Fenomena mudik ini telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya. Setiap tahun jumlah pemudik meningkat dari tahun ke tahun. Mudik lebaran dapat dianggap sebagai sebuah ritual religius dan sosial. Religius karena kebiasaan ini dilakukan bersama dengan perayaan tahunan hari besar lebaran. Sosial karena kebiasaan mudik lebaran sarat akan makna kekeluargaan karena didalamnya terjadi proses reuni anggota keluarga.
Mudik lebaran juga sering kali digunakan oleh masyarakat sebagai simbol meningkatkan status sosial yang diukur dari keberhasilan ekonomi. Bagi sebagian masyarakat kecil, maka mudik merupakan bentuk pelepasan dari penderitaan dan tekanan hidup di perkotaan. Dan untuk sebagian masyarakat lainnya, mudik ini pun dianggap sebagai rekreasi yang mengandung keunikkan tersendiri.
Dari perspektif penataan ruang, maka fenomena mudik lebaran semakin mengkonfirmasi masih terjadinya ketergantungan yang besar pada beberapa aglomerasi kota-kota utama Indonesia. Maka fenomena mudik lebaran merupakan salah satu cermin kebelum-berhasilan kita dalam mensejahterakan masyarakat desa dan membangun kawasan perdesaan secara lebih berimbang dengan kawasan perkotaan. Kota-kota, dengan segala daya tariknya tetap menjadi magnet utama bagi masyarakat desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan.
Dari beberapa pihak meyakini bahwa besarnya jumlah pemudik ini merupakan tambang emas bagi pembangunan daerah asal pemudik. Pemudik, biasanya membawa sejumlah dana untuk keperluan berbagi dengan keluarga dan keperluan konsumtif, dari aktivitas pembelanjaan ini ekonomi lokal dapat bergerak naik dan mendorong pembangunan daerah. Tetapi, pengamat administrasi pembangunan Irfan Ridwan Maksum justru mengatakan jangan terlalu berharap dari modal yang dibawa para pemudik. Pasalnya, kehadiran sejumlah besar pemudik di daerah asal bersifat sesaat dan hanya pada momen tertentu. Pemerintah Daerah (Pemda) pun tidak punya kuasa untuk mengatur penggunaan modal yang dibawa para pemudik ini, guna menggerakkan perekonomian daerah. Secara nasional, kata Irfan, belum meratanya pembangunan dikarenakan Indonesia belum memiliki kelembagaan pembangunan perkotaan nasional. Kebijakan politik otonomi daerah pun, rasanya sampai saat ini belum mengaitkan bagaimana kelembagaan perkotaan di daerah ditata. Akibatnya, Sumber Daya Manusia terus tersedot dan beralih ke kota-kota besar yang lebih menjanjikan dalam hal pembangunan, dan otomatis ketersediaan lapangan kerja.
sumber : okezone