Makalah Ibnu Rusyd Dan Averroisme
Oleh: Sufriyansyah
PENDAHULUAN
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam akhirnya memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.
Dalam makalah ini sedikit akan diuraikan pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd di samping pengaruh pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP DAN KARYANYA
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.[1] Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh. Ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal dengan sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz[2].
Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis.[3] Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama, syari’at, dan kedokteran yang terkenal pada masa itu.[4] Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1197 Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, kota Cordova.
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam[5]. Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai mengalami kemunduran akibat kritikan tajam al-Ghazali terhadap masalah-masalah filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd yang beragama non-muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd akhirnya mulai berkembang di Eropa secara perlahan walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang keras dari pihak gereja. Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahu dan sastra[6]. Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:
- Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-falasifah.
- Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan metode-metode demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
- Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing).
- Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]
- Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali
- Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan
- Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran
- Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal
- Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan
- Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang
- Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.
Buku-buku yang disebutkan di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd dalam berbagai bidang seperti filsafat, kedokteran, fiqh/ushul fiqh, politik dan sebagainya. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.[8]
B. FILSAFAT IBNU RUSYD
Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[9]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya, Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[10] Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
1. Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kelompok lain.[11]
Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.[12] Agama dan filsafat adalah sejalan dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Dengan demikian, berfilsafat secara benar dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar pula, akan didapat pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
2. Tingkat Kemampuan manusia
Dalam hal ini Ibnu Rusyd membuat perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Mereka adalah kelompok yang menggunakan metode retorik (khathabi), metode dialektik (jadali) dan metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.
Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu berbeda-beda dan beragam.[13] Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.
Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, pengajaran yang baik dan ajak bicaralah (debat) mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Ia juga lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (al-Nahl: 125)
3. Kebahagiaan
Mengenai konsep kebahagiaan, Ibnu Rusyd sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan sarana untuk menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Dengan demikian ia tidak bisa menerima anggapan kaum sufi bahwa kebahagiaan seseorang dapat dicapai tanpa ilmu pengetahuan.[14]
Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, ia sudah membawa kesiapan untuk menerima pengetahuan-pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka kesiapan ini berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan alam akal dan alam ruh.[15]
4. Akal dan Jiwa Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani[16]. Kedua gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara manusia memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal, pemahamannnya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.
Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal praktis juga memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis mempunyai tugas untuk memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat universal.[17]
C. TANGGAPAN ATAS KRITIK AL-GHAZALI
Seperti diketahui, al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali, meneyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut. Judul buku ini mengisayaratkan bahwa al-Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam berfikirnya.
Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof ialah berkaitan dengan masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan yang bersifat juz’iyyat, dan kebangkitan jasmani. Berikut ini akan dijelaskan tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.
1. Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada), lebih condong kepada soal penamaan belaka. Sebabnya, mereka sendiri pada dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang menengahi keduanya. Para teolog maupun filosof sepakat dalam memberikan sebutan nama kepada kedua sisi wujud itu, tetapi mereka berselisih mengenai wujud pertengahan. Pada wujud yang pertengahan inilah alam semesta menempatkan posisinya.
Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[18]
Sisi wujud yang berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[19]
Adapun sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya disebabkan oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat tersebut pada alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.[20]
2. Pengetahuan Tuhan
Dalam masalah pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil , kecuali dengan cara yang kulliyat (umum, universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini dengan menegaskan bahwa al-Ghazali telah salah paham terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan manusia.[21] Pengetahuan manusia adalah mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh panca indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat-sifat kulliyat atau juz’iyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan kepada makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.
3. Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali menjelaskan dalam Tahafut al-Falasifah adalah para filosof mengatakan bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani. Yang akan menerima balasan baik atau buruk atas perbuatan manusia selama di dunia adalah rohaninya bukan jasmani.[22]
Menanggapi masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan pendapat para filosof merupakan ta’wil (interpretasi) yang tidak perlu dipermasalahkan karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini adanya hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi kebangkitannya.[23] Baik para filosof maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan adalah pada rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak ada yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi, jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
D. GERAKAN AVERROISME DI EROPA
Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemikiran Ibnu Rusyd masuk ke Barat melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu berpengaruh bagi orang-orang kristen Eropa karena dikenal sebagai “komentator Aristoteles” yang membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Melalui terjemahan karya-karya bahasa Arabnya ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, para sarjana Barat abad pertengahan banyak dipengaruhi pandangan-pandangan filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan rasional Ibnu Rusyd. Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin.[24] Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[25]
Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[26] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.
Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan) atau Prima Causa menurut Aristoteles. Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut
Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu, pada tahun 1277 pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan gerakan intelektual ini, sebaliknya malah semakin menyebar ke berbagai wilayah lainnya di Eropa.[27]
Melihat kepada keadaan di atas, maka di lakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dominasi mutlak gereja dan menolak gerakan Averroisme yang dilakukan oleh tokoh-tokoh gereja. Meskipun dalam beberapa sisi mereka dapat menerima prinsip-prinsip Aristotelian yang dikembangkan Ibnu Rusyd, dalam beberapa hal mereka menolak prinsip-prinsip Aristotelian dan “menasranikannya” seperti yang dilakukan oleh Arbertus the Great dan muridnya Thomas Aquinas. Keduanya adalah anggota ordo Dominican, sebuah ordo imam Katolik yang didirikan oleh St. Dominicus (m. 1221).[28]
Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
PENUTUP
Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian pemikiran filsafat Ibnu Rusyd di atas belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara terperinci dan mendalam. Namun dapat dipahami bahwa Ibnu Rusyd merupakan filosof muslim yang kaya dengan khasanah pemikiran-pemikiran yang filosofis dan ilmiah, sehingga pemikiran dan karya-karyanya tidak hanya dihargai di dunia Islam namun juga di dunia Barat yang ditandai dengan munculnya gerakan Averroisme di Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997
- Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996
- C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Yayasan Obor, Jakarta, 1991
- Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995
- Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1968
- _____________, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1976
- Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996
- Mahmud Qasim, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1973
- Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983
- Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2004
- Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, Rajawali, Jakarta, 1989
- Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996
___________________________________
[1] Mahmud Qasim, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1973, h. 112
[1] Mahmud Qasim, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1973, h. 112
[2] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997, h. 107
[3] Ibid, h. 108
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 165
[5] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1976, h. 84
[6] Ernest Renan, Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, terj. ‘Adil Zu’aitir, (Kairo: Dar ihya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, 1957) sebagaimana dikutip oleh; Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2004, h. 26
[7] Ahmad Hanafi., h. 165-167
[8] Ibid., h. 31-32
[9] Ahmad Fuad al-Ahwani., h. 108
[10] Sebagaimana dikisahkan oleh murid Ibnu Rusyd yang bernama Bendud bin Yahya al-Qurthubi bahwa Ibnu Rusyd bercerita: “Pada suatu hari Ibnu Thufail memanggilku datang, lantas berkata, “hari ini aku mendengar, Amirul Mukminin mengeluh karena gelisah membaca rumus-rumus filsafat Aristoteles, atau rumus dari orang-orang yang menerjemahkannya dan menyebut bahwa rumusan-rumusan itu tidak dapat dipahaminya. Ia mengatakan, seandainya ada orang yang sanggup menyimpulkan dan menjelaskan rumus-rumus itu, tentu orang banyak akan mudah pula memahaminya. Ibnu Thufail melanjutkan: kalau anda sanggup, kerjakanlah. Besar harapanku, anda mampu melakukan karena aku tahu kecerdasan anda, kejernihan pandangan dan kuatnya minat anda pada ilmu filsafat. Aku sendiri (Ibnu Thufail) tidak mampu melakukan pekerjaan itu dan menumpahkan segenap perhatianku pada masalah yang lebih penting”. Ibnu Rusyd mengakhiri ceritanya: “itulah yang mendorong diriku membuat kesimpulan dari buku-buku filosof Aristoteles”. Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, h. 110
[11] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996, h. 55
[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, h. 85
[13] Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal,terj. Ahmad Shodiq Noor, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, h. 17
[14] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1968, h. 56
[15] Ibid.,
[16] Miska Muhammad Amin, epitemologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983, h. 61
[17] Ibid.,
[18] Ibnu Rusyd, kaitan., h. 32
[19] Ibid., h. 33
[20] Ibid., h. 34
[21] Ibid., h. 29, lihat juga: Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Rajawali, Jakarta, 1989, h. 161
[22] al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Mesir, Dar al-ma’arif) h. 206, sebagaimana dikutip oleh, Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., h. 50
[23] Ibnu Rusyd, Kaitan., h. 47
[24] Averroisme atau al-Rusydiyah al-Latiniyyah adalah gerakan intelektual yang berkembang di Barat (Eropa) pada abad ke-14 hingga abad ke-17. pada prinsipnya gerakan Averroisme berusaha mengembangkan gagasan pemikiran Ibnu Rusyd yang rasional, filosofis dan ilmiah. Averroisme mendorong lahirnya renaisans di Barat yang pada gilirannya membawa orang-orang Barat pada zaman modern dengan kemajuannya yang pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi. Lihat, Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995, h. 116
[25] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., h. 96
[26] Ibid., h. 97
[27] Ibid., h. 99
[28] Ibid.,