2. Tujuan bernegara
Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, setelah berdirinya suatu negara, maka yang dituntut dari negara tersebut adalah bagimana pemerintah mampu melaksanakan dan menegakkan agama Allah swt. Dengan singkat Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa tujuan didirikannya pemerintahan Islam adalah agar agama keseluruhannya menjadi milik Allah dan kalimatNya menjadi tinggi.[13]
Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa negara adalah sarana bagi tegaknya syari’ah.[14] Syari’ah yang ditegakkan itu adalah segala apa yang dibawa oleh Muhammad saw baik berupa al-Kitab maupun sunnah. Namun syari’ah tidak pernah bersifat kaku, karena sebagaimana pengakuan Ibnu Taimiyyah, pada syari’ah itu berlaku ijtihad. Dalam masalah kenegaraanpun berlaku ijtihad, karena tidak ada petunjukan yang jelas dalam nash.
Untuk melaksanakan dan menegakkan syari’ah, maka di dalam negara harus terjadi hubungan yang erat antara ulama dan umara’. Perpaduan antara ulama dan pemimpin akan mampu menegakkan agama Allah. Oleh karenanya mereka menduduki urutan ketiga sebagai hal yang wajib ditaati ummat Islam seperti yang terdapat dalam QS an-Nisa’ ayat 59:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Baik ulama maupun pemimpin dipatuhi sesuai dengan bidang masing-masing. Ualama dipatuhi karena memberikan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nash. Sedangkan pemimpin dipatuhi karena komitmentnya dalam menegakkan masalah jihad, pelaksanaan hukum-hukum dan ketundukannya di bawah petunjuk syari’at. Negara ditegakkan sebagai saranan agar agama Allah bisa direalisasikan. Syari’ah memliki peranan penting sebagai sumber undang-undang negara yang berkaitan dengan dasar negara. Undang-undang harus dibuat sesuai dengan syari’ah atau minimal tidak bertentangan dengannya. Syari’ah meliputi ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alquran, Sunnah dan penafsiran para ulama terhdap keduanya. Karena Alquran dan sunnah hanya memberikan pedoman dasar mengenai negara, maka peranan ijtihad menjadi sangat penting agar syari’ah menjadi lebih kondisional.
Penguasa negara memiliki kekuatan yang didukung oleh ulama dan pemimpin. Mereka adalah orang yang dipercaya rakyat untuk mengatur negara. Ulama yang dimaksud tidak hanya terbatas kepada mereka yang memiliki keahlian di bidang ilmu agama, tetapi lebih kepada orang yang ahli di bidangnya, mampu menerjemahkan syari’ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Umara’ adalah mereka yang memiliki kekuatan memerintah untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada undang-undang yang dibuat berdasarkan syari’at, negara diatur oleh para penguasan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 3. Keadilan. Keadilan pada hakekatnya dimiliki oleh semua orang dan dipercayai akan mewujudkan kemenangan. Salah satu ciri negara yang baik adalah apabila keadilan bisa ditegakkan. Ibnu Taimiyyah berkeyakinan bahwa kesejahteraan masyarakan akan terwujud bila masalah keadilan benar-benar diperhatikan, sehingga menurutnya bahwa: Allah membela sebuah negara yang adil meskipun dimiliki oleh orang-orang kafir, dan Ia tidak akan membela sebuah negara tirani meski dihuni oleh orang-orang mukmin.[15] Keadilan merupakan kunci bagi aturan segala sesuatu. Jika urusan negara ditegakkan berdasarkan keadilan, maka tegaklah negara tersebut meskipun pada penduduknya dan sebaliknya. Konsep keadilan menurut Ibnu Taimiyyah disusun berdasarkan informasi dari Alquran, antara lain pada surat al-Hadid: 25, al-Maidah: 42 dan an-Nisa: 58. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa syari’at yang memerintahkan manusia untuk memimpin dengan adil seluruhnya merupakan keadilan.
Hukum Allah swt. Merupakan sebaik-baiknya hukum. Dan barang siapa memimpin sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt., maka ia telah memimpin dengan adil.[16] Konsep Ibnu Taimiyyah tersebut lebih jelas melalui penjelasan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah: “keadilam ialah segalah sesuatu yang sesuai dengan hukum syari’ah. Maka apa yang tidak sesuai dengan syari’ah berarti tidak adil. Tujuan syari’ah adalah kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Maka ia membawa hukum-hukum yang penuh keadilan.[17] Dalam suatu negara, kekuatan itu dimiliki oleh pemimpin negara dengan dukungan beberapa pihak. Merekalah orang yang paling bertanggung jawab bagi terwujudnya keadilan di dalam kekuasaan mereka. Namun karena negara adalah keseluruhan kerjasama antara penduduknya, maka tegaknya keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Untuk kehidupan bermasyarakat, Alquran sangat menekankan akan amr bi ma’ruf nahiy an munkar. Ibnu Taimiyyah tidak dapat mentolerir adanya kesewenangan atau kezaliman dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, perintah amar bi ma’ruf nahy an munkar dapat dikembangkan menjadi jihad. Untuk menegakkan keadilan tersebut diperluakan penguasa yang adil lagi mempunyai kekuatan untuk menegakkan agama, memberikan hak-hak bagi pemiliknya, serta menindak setiap orang yang melanggar. Menurut Ibnu Taimiyyah bahwa apabila pemimpin bersungguh-sungguh memperbaiki rakyatnya dalam urusan agama dan dunia sesuai dengan kemampuannya, maka dia adalah orang yang paling utama di zamannya sebagai salah seorang pejuang fi sabilillah. Penguasa adil adalah penguasa yang memahami bahwa kekuasaan yang dimilikinya merupakan amanat dari Allah swt. Untuk kepentingan bersama dan oleh karenanya ia harus mampu menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya. Pada masanya, Ibnu Taimiyyah merupakan salah satu tokoh masyarakat yang mendukung dan merealisasikan sendiri upaya menegakkan keadilan.
Hanya saja ia tidak menyetujui cara-cara yang akan menghancurkan ummat, umpanya melalui jalan kekerasan. Maka cara yang dikembangkan untuk menegakkan keadilan apabila terdapat kezaliman yaitu dengan semangat islah/reformasi. Reformasi terhadap kepemimpinan yang menyimpang beresiko lebih rendah daripada kudeta. Penggunaan metode reformasi dan revolusi dalam meperbaiki kerusakan sebuah negara sangat berkaitan dengan kepentingan dan kemashlahatan bersama seluruh bangsa. Pada tingkat tertentu, ketika kezaliman para penguasa masih dapat ditolerir dan kepemimpinan mereka masih dibutuhkan, maka cara reformasilah yang lebih tepat. Pada tataran ini, tampaknya Ibnu Taimiyyah memandang betapa pentingnya reformasi. Namun jika kepemimpinan mereka hanya menyengsarakan rakyat maka tidak ada alasan untuk menolak revolusi. Tapi jika tidak ada keterpaksaan, Ibnu Taimiyyah menolak revolusi. 4. Pengambilan Keputusan. Dalam pemilihan seorang pemimpin, konsep syura harus dijalankan, yaitu dengan melibatkan semua lapisan masyarakat yang diwakili ahl syawkah (orang-orang yang mempunyai kekuatan/tokoh-tokoh). Ahl syawkah merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan di dalam masyarakatnya yang tanpa memandang profesi dan kedudukan mereka ditaati dan dihormati oleh masyarakat. Mereka tediri dari ulama dan umara’. Ulama harus dipandang dalam pengertian yang luas, yaitu setiap orang yang karena ilmunya dan pendidikannya mampu menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah dengan baik dan tepat. Adapun umara’ terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di tengah-tengah masyarakat. Mereka inilah yang bertanggung jawab melakukan kontrak perjanjian (baiat) dengan orang yang diangkat sebagai pemimpin. Sesudah dilakukan baiat dan seorang pemimpian sudah menjalankan tugasnya, maka ahl syawkah tersebuty memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan dan menjadi rujukan pemerintah dalam memberikan petunjuk kepada masyarakat.[18] Dalam setiap pengambilan keputusan negara, prinsip syura harus tetap ditegakkan. Adanya kebersamaan seluruh ummat dalam mewujudkan cita-cita negara mengharuskan mereka untuk saling berkonsultasi, mencari sebuah jalan keluar yang terbaik. Menurut Ibnu Taimiyyah, jika negara dibutuhkan oleh ummat dengan pertimbangan kebutuhan secara rasional dan agama, maka pimpinan, bentik dan konstitusi negara itu harus ditentukan oleh hasil syura umat itu sendiri sebagai pemegang kedaulatan. Para pemimpin negara, dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan harus bersandar pada prinsip syura dalam menyelesaikan semua problematika kehidupan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, bila kostitusi itu negara harus berdasarkan syari’ah, maka peran ulama sangat besar untuk menerjemahkan atau menafsirkan syari’ah tersebut, sehingga konstitusi itu dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki syari’ah. Seorang pemimpin negara, selain menerima pendapat dari para ulama, harus menerima pendapat wakil-wakil rakyat yang memiliki otoritas dari kelas dan tingkatan masyarakat yang berkepentingan dan dari semua orang yang sanggup memberikan pendapat. Ibnu Taimiyyah memberi petunjuk bagaimana cara bermusyawarah yang baik, yaitu permulaannya supaa dimulai dengan pendekatan dari setiap masalah yang dimusyawarahkan berdasarkan nash Alquran dan sunnah. Jika ada pendapat yang paling dekat dengan nash, maka pendapat itulah yang diikuti. Jika sebuah masalah yang diperselisihkan tidak dapat diselesaikan pada waktu itu, baik karena alasan keterbatasan waktu atau karena ketidak mampuan peserta musyawarah, maka dipersilahkan untuk sementara waktu mengikuti pendapat orang yang diakui tingkat kapasitas ilmu dan keagamaannya. Dari keterangan di atas, jelas bagi kita bahwa Ibnu Taimiyyah menginginkan partisipasi dan kerjasama ummat dalam memusyawarahkan dan merumuskan jalan terbaik bagi negaranya, dengan kata lain peranan syura tersebut begitu besar dalam pandangan Ibnu Taimiyyah. Hal itu juga menunjukkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah bahwa bentuk negara adalah semacam demokrasi dimana suara ummat sangat menentukan.
D. Penutup
Berdasarkan keterangan di atas, maka disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan salah seorang sosok tokoh dan pejuang Islam yang mempunyai pemikiran tajam di bidang politik, di antaranya: 1. sejarah politik Islam di masa lalu dapat dibagi kepada 3: negara nubuwwah, khilfah nubuwwah dan negara kerajaan. 2. tujuan mendirikan sebuah negara yaitu untuk menjalankan dan melaksanakan syari’ah Islam dengan aman dan baik. 3. sebuah negara akan aman dan tenteram serta sejahtera, jika prinsip keadilan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. 4. sebuah negara harus menerapkan syura dalam menyelesaikan segala problematika kehidupan berbangsa dan bernegara.