Pemikiran Thaha Husein tentang Pembaharuan dan Sekularisasi dalam Islam muncul pada masa modern, pemikiran tersebut timbul sebagai hasil dan kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Thaha Husein lahir pada tanggal 14 November 1889 di kota kecil di Mesir bernama Magbargha. Pendidikan dasarnya dimulai di maktab, lembaga pendidikan dasar yang kemudian dilanjutkan ke al-Azhar, akan tetapi setelah beberapa lama ia meninggalkan al-Azhar. makalah ini khus membahas tentang Pemikiran Thaha Husein | Pembaharuan dan Sekularisasi.
Pendahuluan
B. Biografi Thaha Husein Thaha Husein lahir pada tanggal 14 November 1889 di kota kecil di Mesir bernama Magbargha. Pendidikan dasarnya dimulai di maktab, lembaga pendidikan dasar yang kemudian dilanjutkan ke al-Azhar, akan tetapi setelah beberapa lama ia meninggalkan al-Azhar. Setelah meninggalkan al-Azhar, Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Kairo. Di sinilah ia berkenalan secara sistematis dengan metode pemikiran Barat modern, yakni setelah berkenalan dengan Prof. Nallino, Prof. Ennolittman dan Prof. Santilana. Dari Universitas Kairo, Thaha Husein melanjutkan studi ke Perancis di Universitas Surbanne sebagai anggota misi pendidikan Universitas Kairo. Tiga tahun kemudian Thaha Husein mendapatkan gelar dokotr di Universitas Kairo dan berkarir di universitas tersebut selama tiga puluh tahun sebagai guru besar dan administrator, pejabat kementrian pendidikan dan menteri pendidikan pada era pemerintahan partai Wald tahun 1950-1952.[1] |
C. Metode Berfikir Thaha Husein Dalam memandang setiap masalah dan memperoleh pengetahuan, ternyata Thaha Husein menggunakan metode berfikir Cartesian. Hal ini diketahui dari penuturannya bahwa ia ingin mengikuti jalan para ilmuan dan filsafat modern dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Sementara dalam berfilsafat Thaha Husein menggunakan metode filsafat yang diperkenalkan oleh Descartes dalam membahas segala hakikat.[2] Thaha Husein tidak ingin menerima apa yang telah dikatakan oleh para pendahulu kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian walaupun hasilnya tidak sampai kepada kepastian, akan tetapi dengan penelitian dan kajian tersebut, seseorang bisa sampai kepada pendapat yang lebih kuat..[3] Thaha Husein merumuskan metode sebagai kaidah-kaidah yang ketat yang memelihara rasio seorang peneliti dari kesalahan dan memungkinnya untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian seseorang akan terhindar dari usaha yang sia-sia.[4] Dengan penekanan metode ini tampaknya Thaha Husein ingin menegaskan sikapnya untuk menolak taklid terhadap produk para pendahulu, dan selanjutnya ia mengajurkan penggunaan nalar bebas dan melakukan kritis atas segala sesuatu, sebab memandang baha masyarakat Islam pada umumnya seolah-olah menerima begitu saja produk-produk para pendahulu tanpa pernah mempertanyakan keabsahan dan kesesuaiannya dengan kondisi masyarakat muslim pada masa produk tersebut diterapkan. Thaha Husein menginginkan kaum muslim untuk menggunakan kebebasan berfikirnya tanpa terikat dengan para pendahulu hingga terwujudnya dinamika intelektual yang dinamis. Metode kritis ini tidaklah bertentangan dengan Alquran. Sekalipun agama lebih tinggi dari akal, dan karena agama sejalan dengan akal maka hendakanya agama didekati melalui jalan argumen yang rasional dengan metode yang kritis. Selanjutnya, bertolak dari keinginannya untuk menerapkan metode kesangsian atau metode kritik, Thaha Husein menarik suatu kaidah dasar bagi seorang peneliti yang ia ambil dari metode Descartes bahwa apabila seseorang ingin sampai kebenaran maka hendaklah ia mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu yang ia ketahui sebelumnya dan memulai pencarian dengan pemikiran yang kosong. Hal itu dimaksudkan oleh Thaha Husein agar pemikir-pemikir muslim tidak terikat dengan tendensi-tendesi, paradigma dan aksioma dan segala tatanan kepercayaan yang ada pada dirinya, terutama kebencian akan sesuatu.[5] Seorang pemikir hendaknya memandang sebuah kasus dengan pandangan yang murni dan kosong, tidak timbul dari sentimen dan hawa nafsu dan tidak dipengaruhi oleh kebenaran dan agama akan tetapi hanyalah pandangan-pandangan seorang sejarawan yang mengosongkan diri dari sentimen dan keinginan-keinginan walau dengan perbedaan fenomena, referensi dan tujuan.[6] Metode ilmiah pada hakekatnya adalah suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan logis, karena ideal sebuah ilmu adalah untuk memperoleh interelasi sistematis dari fakta.Metode berfikir dan metode pendekatan ilmiah yang bebas dari sentimen-sentimen, termasuk sentimen kegamaan bukan berarti terlepas dari kebenaran seseorang kepada tuhan. Metode berfikir yang demikian dapat dibandingkan dengan gagasan-gagasan yang dikatakan sebagai desekularisasi yang menghendaki pemandua antara berfikir dan dzikir. Aktivitas berfikir didasarkan pada daya berfikir yang ada dalam diri manusia sementara aktivitas berzikir didasarkan pada daya merasa yang ada pada diri manusia, meskipun hasil kegiatan berfikir juga dipandang sebagai zikir. |
D. Gagasan Pemikiran Thaha Husein 1. Antara Rasion dan Agama Rasio dan agama sama-sama sangat dibutuhkan seorang manusia, seseorang belum cukup hanya dengan agama, ia juga membutuhkan rasio dan sebaliknya. Pertentangan antara keduanya adalah sesuatu yang niscaya, akan tetapi hakikat permasalahannya bukanlah ada atau tidaknya pertentangan itu, akan tetapi apakah pertentangan itu membahayakan atau menguntungkan, atau dengan kata lain apakah agama dan ilmu pengetahuan memberikan kesejateraan pada manusia ataukah memberikan kesengsaraan. Lebih lanjut, Thaha Husein menganggap bahwa rasio harus menjadi penunjuk jalan bagi manusia meski rasio memiliki keterbatasan terhadap masalah tertentu yang hanya dapat diketahui dengan agama. di sinilah terlihat bahwa Thaha Husein tidak begitu tertarik dengan pembahasan metafisika sebab menurutnya naif dan tidak jelas.[7] 2. Determenisme Historis. Metode berfikir lain yang menjadi titik tolak pemikiran Thaha Husein adalah keyakinannya yang begitu kuat kepada determenisme historis yang menjelaskan bahwa setiap fenomen baik materi maupun non-materi dapat direfer kepada kekuatan sosial, alam, atau peristiwa sejarah yang kesemuanya merupakan akibat dari faktor sosial dan alam dan merupakan suatu objek untuk diteliti dan dianalisa sebagaimana materi yang merupakan subjek dari proses kimiawi. Ada tiga kritik yang selalalu dihadapkan kepada determenisme historis, yakni:
|
E. Gagasan Sekularisasi Thaha Husein
Penutup..Daftar Pustaka dan Footnote