Perkembangan Pemikiran Politik Islam Iran

Perkembangan Pemikiran Politik Islam Iran terfokus kepada pemikiran iran tentang politik islam. salah satu tokoh islam di iran yang mengembangkan pemikiran politik islam yaitu  Reza Pahlevi. salah satu pemikirannya yaitu  mendirikan dinasti baru yakni dinasti Pahlevi. Reza Khan sebagai raja melakukan hal yang sama dengan raja-raja Dinasti Qajar, yakni mengimpor budaya-budaya Eropa. Ada banyak fakta yang mendukung bahwa dinasti Pahlevi ingin melenyapkan “budaya-budaya bercorak Islam” di Iran, seperti perubahan sistem peradilan, pelarangan cadar.

Pendahuluan
Islam sebagai agama mempunyai konsepsi dalam mengatur masyarakat, hal ini dikarenakan di dalam Alquran al-Karim terdapat ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.[1]

Pada dasarnya, ayat-ayat yang mengandung petunjuk tersebut merupakan penegasan terhadap kedudukan manusia di bumi. Itupun merupakan prinsip-prinsip pokok saja tanpa ada rincian yang lebih jelas. Oleh karena itu, Alquran tidak memberikan penjelasan tentang bentuk dan sistem suatu negara dengan jelas.[2]

Ada banyak tokoh-tokoh pemikir Islam yang mencoba memberikan konstribusinya dalam menjawab pertanyaan dasar “apakah agama Islam menyediakan bentuk negara?”. Pada saat negara-negara Islam pada umumnya terlepas dari penjajahan pada abad 20 M, muncul sebuah permasalahan baru dalam politik yakni apakah Islam mengajarkan bentuk negara dan pemerintahan khusus?

Dalam hal ini, paling tidak ada tiga aliran dalam meyikapi pertanyaan tersebut, yakni pertama aliran yang menganggap bahwa agama Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan tuhan tapi juga lengkap dengan aturan yang mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, termasuk hubungan politik. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak mengkaji tentang hubungan keduniaan. Ketiga adalah aliran yang menolak pendapat bahwa agama Islam menyediakan bentuk pemerintahan dan negara, tapi juga menolak pendapat bahwa Islam hanya agama yang tidak berhubungan dengan hubungan duniawi. Mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang juga mengatur hubungan antar manusia, dan menyediakan nilai-nilai, basis moral umum dalam bertingkah laku, termasuk dalam politik.

Salah satu firqah yang terkenal telibat dalam pemikiran politik Islam seperti tersebut di atas adalah Syi’ah yang terkenal dengan konsep Wilayah al-Faqih. Dalam kajian selanjutnya, Syi’ah yang berkembang dan berbasis di Iran, konsep wilayah faqih dikembangkan dan dipraktekkan di negara ini. Makalah ini akan mengkaji tentang perkembangan pemikiran politik negara Iran dalam hubungannya dengan konsep wilayah faqih, serta kajian relevan lainnya.

B. Perkembangan Syi’ah dari Abad 2-14 H


Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya.

Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka.

Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah. Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:

Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.

Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.

Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.

Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.

Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.

Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana. Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.


Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.

Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.

Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.
C. Perkembangan Politik Iran
Salah seorang tokoh yang tidak akan terpisahkan dengan konsep wilayatul faqih di Iran adalah Ayatullah Khomeini. Dalam pekembangan politik Iran, latar belakang kehidupan Ayatullah sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan Dinasti Pahlevi.

Dalam dinasti Pahlevi hanya terdapat dua raja yang berkuasa, yakni Reza Khan dan Muhammad Reza Reza Pahlevi. Dinasti ini bermula tahun 1921 dimana Reza Khan diangkat menjadi kolonel pada pemerintahan dinasti Qajar. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh Reza untuk melancarkan kudeta militer dan berhasil mencaplok mahkota Merak pada tahun 1924.[3]

Reza kemudian mendirikan dinasati baru yakni dinasti Pahlevi. Reza Khan sebagai raja melakukan hal yang sama dengan raja-raja Dinasti Qajar, yakni mengimpor budaya-budaya Eropa. Ada banyak fakta yang mendukung bahwa dinasti Pahlevi ingin melenyapkan “budaya-budaya bercorak Islam” di Iran, seperti perubahan sistem peradilan, pelarangan cadar.

Pada tahun 1941, Reza Khan diturunkan paksa oleh pemerintahan Ingris dan Rusia, yang secara politik telah berhasil menguasai Iran. Demi kepentingan politik Inggris dan Rusia, maka diangkatlah Muhammad Reza Pahlevi, putra Reza Khan, sebagai raja.[4]

Seperti ayahnya, Reza Pahlevi juga menghambat perkembangan budaya bercorak Islam tumbuh di Iran. Para ulama dimusuhi bahkan dibunuh. Iran pada masa kepemimpinannya melambangkan kerajaan Persia pra-Islam. Namun ternyata rakyat tetap bersikeras menginginkan nilai-nilai keIslaman di Iran. Segala tindakan Reza Pahlevi yang bertentangan dengan ajaran Islam mendapat kecaman keras dari rakyat.

Kemarahan rakyat terhadap Reza Pahlevi memuncak ketika raja dengan terang-terangan merayakan hari ulang tahun kerajaan monarkhi Persia yang bertepatan dengan usia ke-50 tahun dinasti Pahlevi. Akumulasi dari ketidaksenangan rakyatpun berujung kepada lahirnya gerakan revolusi Iran pada tahun 1979.[5]

Sebelumnya, pada tahun 1935, telah muncul seorang tokoh yang sangat antusias memperhatikan perkembangan politik di Iran, dialah Ayatullah Khomeini. Pada tahun 1941, Ayatullah mulai mengeluarkan statemen politiknuya lewat bukunya Kasyf al-Asrar yang dipublikasikan terhadap raja Reza Syah. Buku ini juga merupakan jawaban terhadap buku The Secrets of Thousand Years yang ditulis oleh Ahmad Kahravi yang menuding para ulama atau mulla dan mazhab Syi’ah sebagai penyebab keterbelakangan Iran.[6] Dengan lahirnya buku tersebut, perjuangan Ayatullahpun semakin intensif, Ayatullah mulai memberikan ceramah-ceramah yang bertema kritik terhadap pemerintahan monarkhi dan sekuler.[7] Perjuangannya ini didukung oleh aliansi para ulama/mulla dan kaum intelektual.

Ayatullah menggunakan momentum hari ritual Syi’ah pada tanggal 5 juni 1963 sebagai ceramah akbar membangkitkan semangat rakyat Iran untuk menentang pemerintahan Reza.

Ceramah tersebut mengakibatkan penangkapan Ayatullah pada pagi harinya. Penangkapan tersebut, yang berlanjut keputusan mati untuk Ayatullah mengundang protes keras dari rakyat Iran. Ribuan orang Iran berunjuk rasa yang berhadapan dengan militer Iran. Aliansi para mulla yang dipimpin Ayatullah Muhammad Kazem, mengeluarkan statement bahwa hukuman mati atas Ayatullah akan membawa akibat yang sangat gawat. Pernyataan ini berhasil menyelamatkan Ayatullah Khomeini dari hukuman mati, yang sebagai gantinya ia dipenjara selama 8 bulan. Bersamaan dengan itupula, para mulla mengumumkan status Ayatullah sebagai Ayatulllah Mulia (peringkat tetinggi mulla).

Setelah menjalani hukuman penjara, Ayatullah diasingkan ke Turki. Kemudian diperkenankan untuk tinggal di Nejaf (Iraq). Ia tinggal di Nejaf selama 14 tahun. Karena persekongkolan rezim Iraq dengan pemerintahan Iran, Ayatullah diusir hingga ia pergi ke Prancis. Selama pengasingan tersebut, ia tetap berusaha berhubungan dengan rakyat Ira baik melalui tulisan, rekaman ceramah dan sebagainya. Tepatnya pada tanggal 11 februari 1979, Ayatullah kembali ke Iran dan revolusi Iran berhasil menggulingkan Syah Iran.[8]
D.Konsep Wilayah al-Faqih
Istilah wilayah al-Faqih terdiri dari dua kata yakni wilayah dan faqih. Wilayah dalam bahasa Arab berarti kepemimpinan, kesultanan atau kekuasaan.[9] Sementara faqih berarti seorang yang sangat faham tentang keilmuan.[10] Jadi wilayah al-faqih adalah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih.

Dalam memahami konsep Wilayatul Faqih ini, juga perlu memahami landasan utama konsep ini, yaitu prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi SAW, otoritas Nabi, dan wilayah al-aimmah, otoritas para imam a.s. Selain itu kita perlu memahami dengan benar peran konstruktif Wilayatul Faqih dalam sebuah Negara Islam. Di sini kita melihat adanya empat tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual yang bertumpu pada kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan penguasa-penguasa tempo dulu, dimana kekuatan, kekerasan dan kemampuan militer merupakan landasan utama. Dengan kata lain, siapa yang paling kuat secara militer dialah yang akan mengendalikan kekuasaan.

Jika melihat sejarah kawasan di sekitar kita, baik pada masa sebelum atau sesudah Islam, dengan mudah kita dapat melihat bahwa pemerintahan-pemerintahannya termasuk dalam kategori tipe pertama ini. Penguasa-penguasanya memerintah dengan semena-mena. Untuk menjadi penguasa tidak ada persyaratan khusus. Tidak penting apakah sang penguasa, yang biasanya kepala suku atau komandan militer, seorang yang cakap memerintah atau tidak. Tapi karena ia kuat, mampu menaklukkan daerah-daerah yang luas, maka dialah yang berkuasa. Tapi jika kemudian kekuasaannya melemah, maka giliran kepala suku lain atau penguasa lokal dari keluarga lain yang berhasil melakukan kudeta terhadap penguasa sebelumnya yang akan berkuasa dan melahirkan dinasti baru.

Demikianlah. Silih berganti kekuasaan berpindah dari tangan satu keluarga ke keluarga lain. Dari satu orang ke orang lain. Tanpa sedikit pun harus membawa perbaikan nasib rakyatnya, kecuali menambah penderitaan-penderitaan mereka. Tidak hanya pada masa lalu. Bentuk pemerintahan yang serupa juga dapat kita lihat pada banyak pemerintahan-pemerintahan dewasa ini. Bukankah pemerintahan-pemerintahan yang lahir melalui kudeta-kudeta militer yang kerap dilakukan oleh sekelompok perwira militer tertentu pada banyak negara, yang biasanya didukung oleh negara asing tertentu, dan memerintah dengan tangan besi dan dukungan tank dan bedil sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan otoriter tempo dulu ? Sama sekali tidak ada bedanya.

Afghanistan (pada masa komunis) misalnya, sekelompok perwira tertentu, yang didukung penuh oleh negara asing tertentu (Soviet) memaksakan kekuasaan mereka pada rakyat. Tapi ketika rakyat marah dan para penguasa tidak mampu mempertahankan kekuasaan mereka, mereka meminta negara asing itu (Soviet) melakukan intervensi ke negeri mereka guna mengamankan posisi mereka. Negara yang bersangkutan, dengan dalih mempertahankan pemerintahan yang sah, menduduki Afganistan, membombardir rakyat, dan melakukan kejahatan-kejahatan. Tapi sayangnya dunia diam saja. Kalau toh ada protes paling-paling protes lisan. Bukankah semua ini adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan ?

Tipe kedua, Pemerintahan Individual oleh seorang shalih. Yang mengatur urusan negara hanya seorang, tapi seorang yang shalih. Mayoritas rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya dan mempercayainya mengatur urusan mereka. Dialah yang menentukan segalanya, tapi tidak didasarkan pada kekuatan atau kekerasan seperti tipe pertama, melainkan dengan cara bijak dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para Nabi adalah segalanya. Mereka yang mengatur, menetapkan, dan berkuasa penuh. Tapi karena mereka adalah orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dijalankan dengan cara yang terbaik. Sesekali mungkin mereka juga melakukan musyawarah dengan banyak pihak, tetapi tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka. Tipe pemerintahan ini hanya terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam yang suci. Sebab tidak ada jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka tidak akan jatuh pada kekeliruan.

Tipe ketiga, Pemerintahan Demokrasi Liberal. Kedaulatan berada penuh di tangan rakyat; dalam arti siapapun yang dipercaya dan dipilih rakyat untuk menjadi penguasa, tidak menjadi masalah apakah yang bersangkutan seorang filosof, aktor, beragama atau malah seorang atheis, tapi selama rakyat telah memilihnya, maka dialah yang berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut oleh banyak negara dewasa ini. Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika seorang dipilih oleh separuh ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah kekuasaannya. Hal ini juga berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota legislasi menetapkan peraturan, meskipun peraturan itu bertentangan dengan norma-norma agama dan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Inggris yang mengesahkan perilaku seks menyimpang, tapi karena berdasarkan keputusan dewan legislatif, maka apapun bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai sebagai hukum yang sah. Inilah demokrasi gaya Barat.

Keempat, Pemerintahan Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi tidak penuh sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan terikat oleh norma-norma tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, tapi tidak boleh memilih sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan aturan dan norma-norma yang berlaku. Demikian pula pada masalah perundang-undangan. Tidak semua ketetapan yang telah disahkan oleh Parlemen dapat dibenarkan, yaitu jika undang-undang itu tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada tingkat penetapan undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Orang-orang Komunis mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka menjalankan demokrasi yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas dari kritik-kritik terhadap konsep dasar komunisme itu sendiri, mereke sebenarnya tidak dapat dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya, mereka tidak beda dengan pemerintahan-pemerintahan tipe pertama.

Lalu di mana letak Pemerintahan Islam? Dengan mudah kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat. Inti Pemerintahan Islam atau Republik Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi.

Konsep Wilayatul Faqih sama sekali tidak bertentangan dengan penghargaan Islam yang besar atas kehendak rakyat. Bahkan justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi tentu saja tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara Wilayatul Faqih tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti pembahasan berikut ini.

Pada dasarnya setiap negara memiliki tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut sistem demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam menetapkan undang-undang pemilihan anggota atau badan eksekutif dan yudikatif sudah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang yang disahkan oleh parlemen sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan yang dipilih rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kehendak Islam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota badan yudikatif. Seorang hakim tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab bertentangan dengan aturan Islam yang mengharamkan riba.

Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang bersamaan tidak menyalahi aturan agama Islam, maka perlu dibentuk badan yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, parlemen, telah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas utamanya adalah mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua angota parlemen atau paling tidak mayoritas angatanya adalah orang-orang yang ahli tentang Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan karena para anggota parlemen dengan sendirinya sudah dapat melakukan pengawasan. Tapi karena pada prakteknya sulit diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal ini supaya tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam.

Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden tergantung pada persetujuan wali faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota Badan Yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, tetapi tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang disebut dengan Wilayatul Faqih.

Di sini mungkin timbul beberapa pertanyaan. Pertama, jika demikian yang dikehendaki oleh Islam, mengapa pemerintahan Nabi dan para Imam tidak demikian? Nabi dan Imam Ali a.s. misalnya, mereka menunjuk langsung para penguasa di daerah-daerah tanpa melibatkan orang banyak. Bahkan ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi berada di tangan mereka sekaligus. Selain itu tidak ada sama sekali kotak suara dan sebagainya. Menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan, terdapat perbedaan antara Nabi dan Imam dengan yang lainnya. Nabi SAW dan para imam a.s. adalah orang-orang yang ma'shum, disucikan Tuhan dan dijamin kebenarannya, sementara yang lain tidak. Cara pandang kita terhadap seorang wali faqih tidak sama dengan Nabi atau Imam. Nabi atau Imam punya perhitungannya sendiri yang berbeda dengan wali faqih. Nabi dan para Imam melakukan musyawarah misalnya, tapi musyawarah yang mereka lakukan tidak berarti untuk melepas sikapnya jika berbeda dengan pendapat orang lain. Tetap saja kata terakhir ada pada Nabi SAW atau imam a.s. Selain itu, situasi dan kondisi pada masa Nabi SAW dan imam a.s. berbeda sekali dengan apa yang kita hadapi dewasa ini. Ketika kita mengatakan ini tidak berarti bahwa terdapat perselisihan antara aturan-aturan agama. Tapi yang dimaksud adalah perbedaan cara penerapannya.

Pertanyaan lain yang mungkin diajukan ialah : Jika memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka apa salahnya ketiga kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi dipegang sekaligus oleh seorang faqih yang memenuhi syarat? Dengan demikian maka bentuk pemerintahan yang dijalankan adalah bentuk kedua, yaitu pemerintahan seorang shalih?

Menjawab pertanyaan kedua ini perlu ditegaskan bahwa adalah kewajiban seorang faqih yang memenuhi syarat memilih cara terbaik pelaksanaan suatu hukum sesuai masanya, atau yang dalam istilah fiqihnya dikenal dengan ungkapan "mur âtu ghibtah al-muslimin", memilih yang terbaik bagi kepentingan kaum Muslimin. Maka jika ia memilih yang lain, yang tidak sesuai dengan kepentingan kaum Muslimin, berarti ia melakukan kekeliruan, dan dengan sendirinya telah kehilangan hak memimpin.

Barangkali dari prinsip ini muncul pertanyaan, mana yang lebih baik bagi wali faqih, mengangkat seseorang sebagai kepala pemerintahan tanpa meminta persetujuan rakyat banyak atau melalui persetujuan rakyat, yaitu melalui pemilihan umum, kemudian mengukuhkannya jika yang bersangkutan memenuhi syarat untuk itu? Mana di antara dua cara ini yang lebih selamat dari kemungkinan keliru? Mana yang lebih mendekati kebenaran? Bukankah seseorang harus mengikuti mana yang lebih baik? Rakyat merupakan unsur yang paling penting dalam negara. Maka jika faqih berjalan seiringan dengan rakyat, bukankah itu lebih baik dan juga lebih diterima rakyat?

Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara konsep Wilayatul Faqih dengan konsep kedaulatan rakyat tidak harus berseberangan. Malah bersatu dan berjalan seiringan. yang dengan sendirinya akan menepis segala bentuk kediktatoran dan kesemena-menaan. Wilayatul Faqih bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru besar dan melahirkan kesan seakan-akan Islam bertentangan dengan demokrasi. Sama sekali tidak demikian. faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan otoritas absolut. Otoritas faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun atas dasar kepentingan umat. Dari mana faqih mendapatkan otorifas ini? Sudah barang tentu setiap kekuasaan atau pemerintahan harus mendapat mandat atau wewenang dari Allah SWT.

Bahkan pemerintahan Rasul sekalipun, jika tidak berdasarkan pada wewenang dari Allah, maka pemerintahannya ilegal. Karena itu Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk membentuk pemerintahan. Namun Nabi SAW baru dapat melakukannya setelah hijrah ke Madinah, yaitu sesudah semua syarat untuk itu terpenuhi. Setelah Nabi SAW wafat, maka mandat pembentukan pemerintahan ini jatuh pada Imam-Imam pengganti beliau. Oleh karena itu Syi'ah meyakini bahwa wewenang membentuk pemerintahan dewasa ini berada di tangan Imam Mahdi a.s. Akan tetapi karena Imam Mahdi as. ghaib, sementara tidak mungkin umat Islam tanpa pemerintahan yang mengatur urusan mereka sendiri, maka wewenang itu kemudian dilimpahkan kepada para fuqaha (kata jamak : faqih), yang telah memenuhi syarat. Imam Mahdi a.s. sendiri yang melimpahkan mandat itu kepada para fuqaha.

Seseorang yang bernama Ya'kub Ibn lshaq bertanya kepada Imam Mahdi a.s. tentang kepada siapa mereka merujuk pada masa ghaibah, masa sesudah Imam Mahdi a.s. ghaib. Imam Mahdi a.s. menjawab: "Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi, maka kembalikanlah kepada perawi hadis kami (fuqaha) karena mereka adalah hujjah bagiku dan aku adalah hujjah bagi Allah SWT." Dalam salah satu kesempatan Imam Ja'far Shadiq a.s. berkata: "Maka mereka berdua (orang yang sedang bertikai -- pen.) hendaknya mencari siapa di antara kamu yang telah meriwayatkan hadits kami, meneliti yang halal dan haram serta memahami hukum-hukum kami, kemudian hendaknya mereka menjadikannya sebagai hakim, pemutus perkara, karena aku telah mengangkat mereka sebagai hakim."

Selain kedua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain yang secara langsung atau tidak langsung telah menunjuk faqih sebagai pemegang mandat pembentukan pemerintahan pada masa ghaibah.

Terlepas dari semua itu, keharusan adanya kekuasaan yang mengatur umat adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Tapi siapa yang paling berhak menduduki posisi tertinggi itu? Melihat persyaratan yang dituntut untuk jabatan kekuasaan tertinggi dalam Islam, maka yang paling pasti di antara yang ada adalah kaum fuqaha, dalam arti, orang yang ahli dalam urusan-urusan yang menyangkut Islam, mampu mengatur negara, dan tahu akan perkembangan zaman.[11]
Penutup..Daftar Pustaka..dan FootNote
E. Penutup
Usaha untuk mendirikan negara dan pemerintahan Islam telah lama tertanam di dalam ajaran mazhab Syi’ah. Perkara imamah merupakan tema sentral dalam ajaran mazhab ini. Imamah yang hanya dipegang oleh keturunan Ali ini kemudian digantikan oleh walinya ketika sang Imam dalam masa keghaiban. Dalam hal ini kemudian muncullah konsep wilayah al-Faqih yang berkembang di Iran sebagai pusat penganut mazhab Syi’ah.

Salah satu penerapan konsep wilayah al-fakih paling krusial terjadi di Iran pada masa Ayatullah Khomeini yang berhasil mengalan revolusi Iran untuk menggulingkan pemerintahan Dinasti Pahlevi.
Daftar Pustaka
  • Alghar, Hamid, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984.
  • Engineer, Ali, Islam and Its Relevance to Our Age. Terj. Yogyakarta: LKIS, 1993.
  • Esposito, John L., Dinamika Kebangkitan Islam. akarta: Rajawali, 1987.
  • Ma’luf, Louis, al-Munjid. Beirut: Dar al-Masyriq, 1982.
  • Muhammad, Jamaluddin, Lisan al-Arab, juz XX. Mesir: Dar al-Mishriyyah, t.t.
  • Nadvi, Syed Habibul Haq, Dinamika Islam. Bandung: Risalah, 1982.
  • Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.
  • Sihbudi, Riza, Bara Timur Tengah. Bandung: Mizan, 1991.
  • ____________, Dinamikan Revolusi Iran. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
  • Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, jil. II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
  • Syirazi, Ayatullah Nasir Makarim, Memmahami Konsep Wilayatul Faqih, artikel pada www.alshia.com, didownload pada 11 novemper 2007.
Footnote
  • [1] Munawwir Sadjali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), h. 4.
  • [2] Ali Engineer, Islam and Its Relevance to Our Age. Terj. (Yogyakarta: LKIS, 1993), h. 17.
  • [3] Syed Habibul Haq Nadvi, Dinamika Islam (Bandung: Risalah, 1982), h. 132.
  • [4] Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah (Bandung: Mizan, 1991), h. 17.
  • [5] Hamid Alghar, Gerbang Kebangkitan Revolusi Islam dan Khomeini dalam Perbincangan (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1984), h. 43.
  • [6] Riza Sihbudi, Dinamikan Revolusi Iran (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), h. 52.
  • [7] John L. Esposito, Dinamika Kebangkitan Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 185.
  • [8] Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, jil. II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.
  • [9] Jamaluddin Muhammad, Lisan al-Arab, juz XX (Mesir: Dar al-Mishriyyah, t.t.), h. 287.
  • [10] Louis Ma’luf, al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyriq, 1982), h. 591.
  • [11] Ayatullah Nasir Makarim asy-Syirazi, Memmahami Konsep Wilayatul Faqih, artikel pada www.alshia.com, didownload pada 11 novemper 2007













.