Tafsir bi ra`yi

Tafsir bi ra`yi adalah tafsir yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahi, kaedah yang murni dan tepat, bisa dikutib dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafs³r al-quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat al-quran bedasarkan kata hati atau kehendak sendiri.

1. Pendahuluan

Pemahaman terhadap ayat Alquran melalui penafsirannya samngatlah penting, karena hal tersebut sangat berperan terhadap maju mundur umat dan sekaligus dapat mencerminkan perkembangan dan corak pemikiran yang sedang ditengah masyarakat. Oleh karna itu perkembangan tafs³r sering dikaitkan dengan trend perkembangan pemikiran yang tengah terjadi pada umat.

Tafs³r bi al ra`yi, berkembang setelah berkembangnya metode tafs³r bi al-ma’£ur metode yang didasarkan pada penafsiran rasul, sahabat dan thabi`In, periode ini disebut dengan periode I perkembangan tafs³r - yang berakhir sekitar tahun 150 H setelah berakhirnya masa thabi`in. selanjutnya perkembangan agama islam ke wilayah-wilayah non Islam menyebabkan tersebarluasnya teks-teks ajaran islam sehingga tidak menutup kemungkinan beredarnya hadits-hadis  palsu ditengah masyaraka, ditambah lagi umat dihadapkan pada persoalan-persoalan baru ditengah masyarakat yang menuntut pemecahan dari al-quran, padahal sebelumnya masalah tersebut tidak dijumpai pada masa nabi, sahabat, maupun thabi`in. hal ini mendorong timbulnya usaha penafsiran ayat-ayat al-quran bedasarkan ijtih±d yang mula masih terbatas pada kaedah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh kosa kata, namun pekembangan masyarakat selanjutnya mendukung bertambah peranan akal atau ijtih±d dalam penafsiran ayat-ayat al-quran, sehingga akhirnya muncullah berbagai kitab tafs³r dengan beragam coraknya, termasuk tafs³r bi al-ra`yi didalamnya.[1]

Tafs³r bi al-ra`yi sering digunakan oleh mufassir untuk melegitimasi ma©habnya sesuai dengan ayat-ayat al-quran dan menafsiran ayat-ayat al-quran sesuai dengan ma©habnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mengenai esistensi corak tafs³r bi al-ra`yi ini di tengah-tengah masyarakat. Maka makalah ini mencoba mengupas tentang legalitas tafs³r bi al-ra`yi setelah terlebih dahulu membahas pengertian dan pembagiannya, serta membahas tafs³r bi al-ra`yi terkenal di bagian akhir.



II. Pengertian Tafs³r bi al-ra`yi

Nama ra`yu berasal dari kata ra`aya, yang berarti melihat dengan akal atau fikiran,[2] ra`yu juga dapat diartikan sebagai .berikut:

1.             Al-Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang sering mempergunakan qiyas disebut : (صاحب الرأي ( yaitu: orang-orang yang suka mengunakan qiyas (analogi) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan nash (hadis  atau atsar).[3]

2.            Al-Ijtih±d, arti inilah yang dimaksud dengan istilah ra`yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafs³r bi al-ra`yi sering juga sebagai tafs³r bi al-ijtih±d, atau at tafs³r al-ijtih±di, yaitu penafsiran menggunakan ijtih±d.[4]


Para ulama mengajukan beberapa definisi yang agak berbeda mengenai tafs³r bi al-ra`yi sebagai mana yang dikutib berikut ini:

Menurut M. Aly As-Shabuny:[5]


Tafs³r bi al-ra`yi adalah: “Ijtih±d yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahi, kaedah yang murni dan tepat, bisa dikutib dan sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafs³r al-quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat al-quran bedasarkan kata hati atau kehendak sendiri.”


Menurut Manna` al-Qaththan:[6]

“Tafs³r bi al-ra`yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada pemahamannya yang khusus dan pengambilannya hanya bedasarkan pada akal saja, dan keterangan tersebut tidak didapat dari pemahaman yang berjiwa syari`ah dan yang bedarkan pada nash-nashnya.”

Dari pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh diatas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai definisi tafs³r bi al-ra`yi itu sendiri, yang pernah  memberikan kesan positif terhadap tafs³r bi al-ra`yi tidak hanya sekadar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga bedasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat yang kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafs³r bi al-ra`yi yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan kretian yang lain.

Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah dipahami bahwa tafs³r bi al-ra`yi adalah menafsirkan al-quran dengan berlandaskan pada pendapat ataupun ijtih±d, dan tidak bedarkan pada apa yang dinukilkan ;oleh sahabat atau thabi`in dengan memperhatikan kaedah bahasa arab.

Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-ra`yi ini melakukan panafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengadakan kemampuan rasio semata, malah mereka ditutun untuk tidak sekedar nilai-nilai yang dikandung al-quran dan sunnah tapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafs³r yang mereka kemukakan bisa diterima krebilitasnya. Adapun syarat-syarat mufassir tafs³r bi al-ra`yi ini diantaranya :[7]

1.       Memiliki pengatahuan tentang bahasa arab tentang bahasa arab dan seluk beluknya.
2.      Menguasai ilmu ilmu al-quran.
3.      Menguasi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-quran, seperti hadis  dan u¡­l fiqh.
4.      Beraqidah yang benar.
5.      Mengatui prinsip-prinsip pokok agama islam
6.      Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok agama islam.
7.      Menguai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafs³rkan.

Kriteria-kriteria diatas harus dipenuhi oleh mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-quran.

Sementara itu Dr.Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh mufassir bi al-ra`yi:[8]

1.       Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.

2.      Mencoba menafsirkan, ayat-ayat yang maknanya hanya dikaetaui oleh Allah (otoritas Allah semata)

3.      Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata bedasarkan persepsinya).

4.      Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang dikandungnya

5.      Menafsirkan al-quran untuk mendukung suatu ma©hab, dengan cara menjadikan faham majhab sebagai dasar, sedang tafs³r mengikuti faham ma©hab tersebut.

6.      Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.


Selama mufassir bi al-ra`yi memenuhi persyaratan da menjauahi keenam hal tersebut dibarangi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlajs karena Allah, maka penafsiranya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsiarnya ditolak.

Disamping persyaratan diatas, tafs³r bi al-ra`yi juga harus, tafs³r bi al-ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar kepada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh sayuthi bahwa sandaran yang harus dipedomani tersebut, yaitu :[9]


a.      Naql dari rasulullah, berpegang dari hadits-hadis  yang bersumber dari     rasulullah saw, dengan ketentuan itu ia harus waspada terhadap riwayat yang dhaif (lemah) dan maudhu` (palsu).

b.      Perkataan sahabat, berpegang pada uacapan nabi, karena ynag mereka ucapkan, menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu` (shahih atau hasan), khususnya yang berkaiatan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang dapat dicampuri oleh ra`yu.

c.       Berpengang pada kaedah bahasa arab, dab harus senantia berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang menyimpang dari makna lafadz semestinya.

Selain tiga sandaran diatas Subhi as-Shalih juga menambahkan :[10]


Ø  Berpegang teguh pada ayat, dan terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara`.

Dari uraian diatas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para mufassir bi al-ra`yi, sehingga ,bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir biasa, karena harus memilki keahlihandi bidang ilmu tafs³r mereka juga harus memiliki daya nalar yang tinggi.


III. Pembagian Tafs³r bi al-Ra`yi


            Para ulama tafs³r mengklafikasikan tafs³r bi al-ra`yi kepada dua yaitu:

1.       Tafs³r bi al-ra`yi mahmud

2.      Tafs³r bi al-ra`yi madzmum


a.Tafs³r bi al-ra`yi al-mahmud,

            Yaitu suatu penafsiran yang bedasarkan dari al-quran dan sunnah rasul, sedangkan pelaku dan mufassir adalah seorang pakar dalam bahasa arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya.[11] Tafs³r bi al-ra`yi al mahmud ini sesuai dengan tujuan syara`, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan.


            Adapun mengenai hukumnya, para ulama membolekan jenis tafs³r ini, dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya:

1.       Firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-quran, ataukah hati mereka terkunci ?” (Q.S: Muhammad:24) serta ayat-ayat lain yang mengajak untuk mentadaburkan al-Quran.

2.      Do`a Rasulullah terhadap Ibnu Abbas: “Allah fahamkanlah dia mengenai agama dan pandaiakan dia dalam ta`wil.” Hadist itu menunjukkan keistemewaan yang dimiliki Ibnu Abbas yang mampu menggunakan ijtih±d dalam penafsirannya.

3.      Argumen yang menyataka bahwa bila tafs³r bi al-ra`yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak dibolehkan berijtih±d padahal Rasulullah SAW menjajikan bahwa orang yang berijtih±d mendapat pahala.[12]


 Tasir bi al-ra`yi al mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan memenuhi segala kualifikasi dan sesuai dengan tujuan syar`i ditambah dengan ijtih±dnya sendiri. Salah satu contoh penafsiran bi al-ra`yi ditambah dengan ijtih±dnya sendiri. Salah satu contoh penafsiran bi al-ra`yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al-Mahalli dan imam as-sayuthi dalam kitab tafs³r kolaborasi mereka “tafs³r  jalalain”, mengenai surat al-isra` ayat 85 :

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".



Imam mahalli menafsirkan kata “ruh” bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya kedalam diri manusia maka manusia bisa hidup. Kemudian imam sayuthi memberiakan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah taala. Sebab itu menahan diri dari memberikan definisinya adalah lebih baik.[13]

            Karena tafs³r ini termasuk tafs³r bi al-ra`yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menfsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syariat.



b. Tafs³r bi al-ra`yi al-madzmum,

Yaitu suatu penafsiran dengan tidak disertai ijtih±d, tapi disertai hawa nafsu. Menafsirkan ayat-ayat al`quran sesuai dengan pendapat dan keyakinan mereka, sehingga penafsiran tersebut membawa kepada arah pemikiran yang kosong, ditafs³rkan tanpa ilmu hanya menurti kehendak dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syaria`.[14]

            Hukumnya adalah haram. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya cukup banyak diantaranya:

1.       Firman Allah SWT, didalam surat al-isra` 36

  

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.


2.      Hadis  Nabi Saw:

من قال فى القرأن برأية فليتبوأ مقعده من النار

“Barang siapa berkata mengenai al-quran yanpa ilmu, silahkan mempersiapkan tempat didalam neraka.”


            Adapun contoh penafsiran bi al-ra`yi yang tidak bisa siterima adalah sebagia berikut :

Ø      Penafsirann sebagai orang terhadap Q.S.55:33:

 Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.


            Mereka menduga, bahwa ayat diatas mengisyaratkan kemungkinan para scientis mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat tersebut diberi pengertian demikian, sebab ayat sesudahnya berbunyi:


Kepada kamu, (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga Maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri (dari padanya).


            Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti di atas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri.

Ø      Penafsiran sebagaian orang terhadap Q.S.104:6-7



 (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke hati.


Mereka berpendapat, ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad 20 dan mampu mendeteksi bagian tubuh manusia. Terlihat jelas kalau mereka membawa ayat di atas ke pada makna yang tidak memungkinkan, pada hal apabila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka yang diamksud ayat di atas adalah neraka jahanam pada hari kiamat.[15]


Penafsiran-penafsiran di atas adalah contoh-contoh penafsiran bi al-ra`yi yang haram, oleh karena penafsiran merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-quran, dan sangat jauh dari tujuan syar`i.


IV. Pro dan Kontra Seputar Tafs³r Bi al-Ra`yi

            Semenjak awal perumbuhannya corak tafs³r bi al-ra`yi ini telah banyak mengundag perdebatan di kalangan ulama mengenai kedudukannya, ada yang melarang dan ada pula yang membolehkannya dengan mengajukan argumen yang berbeda.

1.       Kelompok yang membolehkan, mengajukan argumen sebagai berikut:

Ø  Firman Allah dalam surat Shad ayat 29:


Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

Ayat jelas mengajak manusia untuk mengunakan potensi akalnya agar mau memikirkan apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah

Ø  Doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas:

                                  اللهم فقهه قى الدين و علمه التأويلا

            Ya Allah Pahamkanlah dirinya tentang masalah agama dan ajarilah ia cara bertakwil

Doa tersebut menyiratkan besarnya harapan Rasulullah agar Ibnu Abbas memiliki kemampuan berijtih±d dalam memahami al-quran.

Ø  Suatu riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat telah melakukan penafsiran terhadap al-quran, serta ikut serta dalam memberikan penjelasan-penjalasan terhadap ayat-ayat yang bukan berasal dari Rasulullah. Dari atsar ini terlihat bahwa Rasulullah membiarkan para sahabat memberikan pendapat/ijtih±d.[16]



2.            Kelompok yang tidak membolehkan tafs³r bi al-ra`yi, mengemukakan argumentasi sebagai berikut:[17]

Ø  Tafs³r bi al-ra`yu adalah membuat penafsiran al-quran dengan tidak bedasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 169:



Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Ø  Sebuah hadis tentang ancaman terhadap orang menafsirkan dengan ra`yu, yaitu sabda Rasulullah: “Berhati-hatilah dalam mengambil haditsku, kecuali kamu telah benar-benar telah mengetahuinya, siapa yang menduskanya secara sengaja maka bersedialah ia bertempat di neraka, dan barang siapa menafsirkan al-quran menurut pendapatnya, maka hendaklah ia bersedia menempatkan diri di neraka pula. (H.R.Turmudzy)

Ø  Para sahabat dan tabi`in merasa berdosa bila menafsirkan al-quran dengan ra`yunya sehingga abu bakar sidiq mengatakan: “Langit manakah yang akan menaungiku, dan bumi manakah yang akan melindungiku ? Bila aku tafs³rkan al-quran menurut ra`yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.

Melihat argumen yang ada sebenarnya kedua pihak sama-sama memilki kekhawatiran, kubu pertama mengkhawatirkan bahwa perkembangan tafs³r akan mandeg bila ijtih±d itu tidak diperbolehkan pada hal al-quran dan hadis  sangat mendukung hal tersebut, sedangkan kubu kedua mengkhawatirkan terjadinya penyelewangan terhadap penafsiran al-quran bila ijtih±d dipergunakan. Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang tidak membenarkan corak penafsiran ini sedangkan Imam al-Ghazali, Raghib al-Ashfahany, dan Imam al-Qurthuby membolehkannya.

            Memang tidak bisa dipungkiri  bahwa kadang seorang mufassir bi al-ra`yi terlalu dalam memberika penafsiran sehingga menimbulkan kekeliruan, hal ini sering terjadi karena faktor-faktor sebagai berikut:

a.      Subjektivitas mufassir

b.      Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah

c.       Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat

d.      Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat.

e.      Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al nuzul, hubungan antar ayat, maupunkondisi soal masyarakat.

f.        Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara ditujukan.[18]





            Namun bila mau diteliti lebih jauh sebenarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan terjadi kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam tafs³r bi al-ra`yi:

1.       Mufassir yang bersangkutan menyakini kebenaran salah satu diantara banyak makna yang ada, kemudian menggunakan makna tersebut untuk menerangkan berbagai lafal al-quran.




2.      Mufassir yang bersangkutan  berusaha menafsirkan al-quran bedasarkan makna yang dimengerti oleh penutur bahasa arab semata-mata, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-quran itu, kepada siapa diturunkannya al-quran itu dan siapa pula yang di bicarakan oleh al-quran.[19]

Oleh karena itu kekeliruan yang terjadi pada tafs³r bi la-ra`yi ini sering terjadi karena kealfaan dari mufassir sendiri yang beranggapan bahwa kemampuan nalar yang baik dapat dijadikan sebagi satu-satunya acuan dalam memberikan tafs³ran. Mungkin bila mereka memperhatikan acuan-acuan pendukung, kekeliruan dalm tafs³r bi al-ra`yi ini bisa dihindari.

Kitab-kitab tafs³r dibawah ini dikategorikan sebagai kitab bi al-ra`yi, karena dibuat oleh mufassir yang didalam membahas kitab tafs³r tersebut penggunaan ra`yunya lebih dominan dibandingkan tafs³r bil ma’tsurnya.[20] Berikut ini dipaparkan daftar kitab-kitab tafs³r bi al-ra`yi yang termasyur, yang di kemukakan oleh M. Aly As-Shabuny, beserta uraian ringkas mengenai isinya:[21]




NO




Nama Kitab

Nama Pengarang

Tahun Wafat

Nama Populer

1

Mafatih al-Ghaib

Muhammad bin Umar bin Husain al-Rozy

606 H

Tafs³r al-Razy

2

Anwar at-Tanzil wa Asroru at-Ta`wil

Abdullah bin Umar al-Baidhawi

685 H

Tafs³r al-Baidhawi




3

Lubab at-Ta`wil fi Ma`ani at-Tanzil

Abdullah bin Muhammad (Khazin)

741 H

Tafs³r Khazin

4

Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Ta`wil

Abdullah bin ahmad an-Nasafy

701 H

Tafs³r an-Nasafy

5

Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan

Nidhomuddin al-Hasan Muhammad an Naisaburi

728 H

Tafs³r an Naisabury

6

Irsyad al-‘aqli as-Salim

Muhammad bin Muhammad Musthafa at Thathawy

952 H

Tafs³r Abi Sa`ud

7

Al-Bahru al-Muhit

Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi

745 H

Tafs³r Abi Hayyan

8

Ruh al-Munir

Syihabuddin Muhammad al-Alusy al-Baghdady

1270 H

Tafs³r al-Alusy

9

As-Siraj al-Munir

M.Asy-Syarbaini al-Khathib

977 H

Tafs³r al-Khathib

10

Tafs³r Jalalain

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi

864 H dan 911 H

Tafs³r Jalalain



Ø  Tafs³r al-Razy, ia memakai cara-cara ulama mutakallimin dalam menafsirkan. Tafs³rnya adalah tafs³r yang luas dalam pembahasan ilmu kalam, dan ia juga membahas tentang falak, buruj, langit bumi, binatang, manusia, dan lain-lain dengan mksud menegakkan argumen atas adanya Allah swt. 

Ø  Tafs³r al-baidhawiy, tafs³r ini menggunakan metode tafs³r riwayah dan diraayah, serta menguatkan dalil-dalail ahli sunnah, setiap surah selalu ditutup dengan hadis- hadis untuk menunjukkan keutamaan surat tersebut.


Ø  Tafs³r Khazin, tafs³r ini juga terkenal sebagai tafs³r bi al ma’tsur hanya saja tidak pernah menyebutkan sanad, redaksinya gampang dan mudah dipahami.

Ø  Tafs³r an- Nasafy, tafs ini juga yang paling ringkas dan paling sempurna di banding tafs³r-tafs³r bi al-ra`yi yang lain, mencakup segi i`rab dan qira`at, dan mengandung segala segi keindahan ilmu badi` dan isyarah, tafs³r ini tidaklah panjang.

Ø  Tafs³r an Naisaburi, memiliki keistimewaan karena redaksinya mudah dan lafadznya tegas tidak berbelit-belit, sangat memperhatikan dua faktor penting yaitu: pembahasan tentang qira`at dan pembahasan tentang tafs³r isy`ari.

Ø  Tafs³r Abi Sa`ud, bentunnya sangat baik dan redaksinya sangat indah, didalamnya dijelaskan rahasia-rahasia balaghah Qur`an dan hikamh-hikmah ketuhanan.

Ø  Tafs³r Abi Hayyan, tafs³r dinamakan al-Bahrul Muhit, karena banyak berisi berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan materi tafs³r.


Ø  Tafs³r al Alusy, tafs³r ini memuat beberapa pendapat ulama salaf baik dirayah maupun riwayah, mencakup pendapat-pendapat ilmuan dan mengkompromikan ringkasan-ringkasan tafs³r terdahulu. Tafs³rnya dianggap sebagai sumber tafs³r riwayah, dirayah, dan isyarah yang baik.

Namun dari sekian kitab yang terkenal Dr. Aly Hasan al-‘Aridh hanya mengelompokkan liam kitab saja yang memenuhi kriteria dan syarat-syarat bi al-ra`yi yaitu:[22]

Ø  Tafs³r al-Razi                       : Mafatih al-Ghaibi
Ø  Tafs³r al-Baidhawi               : Anwar at-Tanzil wa Asroru at-ta’wil
Ø  Tafs³r Abi Sa`ud                  : Irsyad al ‘Aqli as-Salim
Ø  Tafs³r an-Nasafy                 : Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Ta`wil
Ø  Tafs³r Khazin                       : Lubab at-ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil.



V. Kesimpulan dan Penutup


 Adanya perbedaan ulama dalam mendefenisikan tafs³r bi al-ra`yi menjadi tolak ukur pendapat mereka terhadap boleh tidaknya tafs³r bi al-ra`yi itu sendiri, bagi yang memberikan definisi tafs³r bi al-ra`yi secara lebih luas, maka cenderung membolehkan tafs³r bi al-ra`yi, sedangkan yang memberikan artian sempit tidak memperkenankannya.

Munculnya tafs³r bi al-ra`yi dalam dunia tafs³r, merupakan sumbangan yang positif untuk perkembangan metode tafs³r selanjutnya, karena mufassir dituntut lebih kreatif dalam mengunakan potensi yang dimilikinya untuk menafsirkan ayat-ayat al-quran dan didukung pula oleh luasnya pengetahuan yang dimilikinya. Hanya saja kebanyakan corak penafsiran seperti ini sering disalah gunakan oleh mufassir untuk menafsirkan ayat demi kepentingan ma©habnya ataupun kelompoknya , sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap corak penafsiran iu sendiri.

Demikianlah tafs³r bi al-ra`yi telah diulas secara ringkas dalam makalah ini, namun mesli uraiannya singkat hendaknya dapat mewakili keingintahuan kita terhadap tafs³r bi al-ra`yi dan segala permasalahan yang ada didalamnya. Selanjutnya kritik maupun saran tentu sangat membantu kesempurnaan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abady, Al Yairuz. Al-Qamus al-Muhid. Beirut: Muassasa ar-Risalah, Cet,V, 1996.  Faudah, Mahmud Basuni. At Tafs³r wa Manahijuh, Terj: M. Mochtar Zoerni, Tafs³r-Tafs³r Al-Quran Perkenalan dengan Metodology Tafs³r. Bandung, Pustaka, 1987.


Al ‘Aridl, Ali Hasan. Tarikh Al`ilm al Tafs³r wa Manahij al Mufassirin, Terj: Ahmad Akrom. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.


Al Munawwar, S.Agil Husein. I’jaz al-Quran dan Metodologi Tafs³r. Semarang: Dina Utama.


al-Qattan, Manna. Mabahits fi : ‘Ulum Al-Quran, (Beirut: Muasasah ar Risalah, 1983.


Amanah, Siti. Pengntar Ilmu Alquran dan Tafs³r, (Semarang, Asy Syifa, 1993.

ar Rumi, Fadh bin abdurrahman. Dirasah fi ‘Ulum Al-Quran, Terj: Amirul Hasan dan M.Halabi, ‘Ulumum Qur`an Study Kompleksitas Al-Quran, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet.II, 1999.


As Shahih, Subhi. mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Terj: Pustaka Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran (Jakarta, Pustaka Firdaus , Cet. V, 1995.


As Shiddiqy, M.Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu Al-Quran/Tafs³r, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992.


 Azzarqanni, M. Abdul ‘Azhim. Manahil al- Irfan fi ‘Ulum Al-Qur`an (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah:1988.


Faudah, Mahmud Basuni. At Tafs³r wa Manahijuh, Terj: M.Mochtar Zoerni, Tafs³r-Tafs³r Al-Quran Perkenalan Dennga Metodologi Tafs³r. Bandung,Pustaka, 1987.


Ma`luf, Lois. al Munjid fi al Lughah wa A`lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1980.


Shabuny, M.Aly Ash. at-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Terj: M. Chudlori Umar, dkk, Pengantar Study Al- Quran, (Bandung, Al Ma`arif, 1987.


Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1993.


mau lihat footnotenya...!klik disini














.