Tokoh Islam Dunia | Fazlurrahman | rekonstruksi pemikiran islam dan neo-modernisme

Fazlurrahman selain tokoh islam dunia, Fazlurrahman juga seorang pembaru pemikiran Islam par excellent yang lahir dari tradisi keagamaan (mazhab Hanafi) yang cukup kuat. Fazlurrahman Lahir pada tanggal 21 September 1919, Fazlurrahman kecil terbiasa dengan pendidikan dan kajian-kajian keislaman yang dilakukan oleh ayahnya sendiri, Maulana Syahab al-Din, dan juga dari Madrasah Deoband. Dalam usia sepuluh tahun, Fazlurrahman sudah hafal Al-Qur_an di luar kepala. Ketika berusia empat belas tahun, bocah yang suatu saat menjadi tokoh islam dunia  ini sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadis, dan tafsir. Berikutnya, Fazlurrahman berhasil menguasai bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, dan Jerman, selain juga mempunyai pengetahuan yang workable tentang bahasa-bahasa Eropa Kuno, seperti Latin dan Yunani.
Makalah Oleh: M. Syifa Amin W
Pemikiran Fazlurrahman
Situasi pemikiran dan gerakan Islam di Anak Benua India (Indo-Pakistan) tak bisa dipungkiri merupakan latar sejarah yang menyangga konstruk kesadaran dan pemikiran Rahman. Di belahan Indo-Pakistan ini, dinamika pembaruan pemikiran Islam begitu marak dan berakar jauh sejak masa Syah Waliyyullah Ibn Abd al-Rahim al-Dihlawi (w. 1763). Rahman mengkategorikan corak pembaruan awal mula ini sebagai bentuk revivalisme[1] pra-modernis. Corak pemikirannya mengedepankan pendekatan tahtbiiq sebagai cara sistematis untuk menghampiri Al-Qur_an dan Al-Hadis. Tathbiiq menyediakan metoda untuk melakukan ijtihad dan menarik istinbat hukum, sekaligus memberi arahan yang jelas tentang bagaimana menerapkannya. Selain itu, Syah Waliyyullah juga merupakan tokoh pertama yang berupaya untuk menggabungkan sejarah nabi secara sistematis dan menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para nabi itu dapat secara rasional diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada masanya masing-masing. Untuk itu ia berusaha untuk mengintegrasikan beragam ilmu pengetahuan Islam, dari hadis, fiqih, teologi, filsafat, dan sufisme, yang pada hemat saya, semua itu dilakukannya untuk mendekati Islam sebagai sebuah agama yang dinamis dan dapat diterapkan sesuai dengan konteks zamannya masing-masing. 

Pada kurun berikutnya, demam kebangkitan Islam (an-nahdlah) yang digelorakan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir, sampai juga ke Anak Benua India. Gelora kebangkitan yang dipicu oleh semangat ingin melepaskan diri dari cengkraman imperialisme itu memunculkan paling tidak tiga bentuk penyikapan; ada yang konfrontatif sehingga menolak secara apriori apapun yang berasal dari Barat, ada yang apologetik lalu mengklaim nilai-nilai positif yang berasal dari Barat itu sesungguhnya mempunyai akar dan jejak dalam khazanah Islam, dan ada pula yang akomodatif kemudian melihat Barat sebagai realitas yang tak terpisahkan dari kemajuan itu sendiri sehingga harus ditiru dan diakomodasi.

Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) sebagai tokoh yang amat disegani pada waktu itu, secara apologetis, ingin membuktikan bahwa kebenaran agama selalu berkorespondesi dengan fitrah manusia dan hukum alam. Termasuk di dalamnya, Islam secara keseluruhan berkesesuaian dengan kemajuan, terutama dengan kemajuan kebudayaan Inggris abad 19 dengan pengetahuannya yang baru, moralitasnya yang humanitarian dan liberal, serta rasionalismenya yang saintifik. Inilah sebuah penyikapan yang khas modernisme klasik dari gerakan Islam. Gerakan ini menebarkan pemikiran-pemikirannya melalui lembaga pendidikan Aligarh yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Khan pada tahun 1875. Sealur dengan ide modernisme Sayyid Ahmad ini, Sayyid Amir Ali (w.1928) merumuskan apologetika dan ideologi Islam baru.

Sementara itu Sir Muhammad Iqbal (w. 1938) berusaha menghidupkan kembali seluruh dunia muslim melalui pandangan Islam yang dinamis. Ia mengkritik pemahaman Islam yang pada waktu itu statis, sempit, kaku, dan dogmatik. Seraya Iqbal menyerukan pandangan Islam yang memandang kehidupan sebagai gerak dinamis; tindakan adalah baik, dan kehidupan bukan untuk direnungi saja, tetapi untuk dijalani dengan bersemangat. Ia juga menyatakan bahwa agama dan proses ilmu pengetahuan, meskipun metodenya berbeda, namun tujuan akhirnya adalah sama.

Meski demikian, gerakan modernisme klasik yang dipelopori Sayyid Ahmad Khan ini mendapat tantangan internal yang tidak ringan. Ada yang mengambil langkah-langkah moderat dan ada pula yang mengambil jalur konservatif-fundamentalis. Muhammad Syibli Nu`mani (w. 1914) berusaha menjembatani pemikiran kalangan Aligarh yang cenderung modernis dengan kalangan perguruan Deoband yang tradisional dan konservatif. Melalui lembaga pendidikannya, Nadwatul Ulama, ia berusaha menggabungkan ilmu pengetahuan modern dengan khasanah Islam klasik bagi anak didiknya. Sayangnya, sepeninggal Syibli lembaganya tidak menunjukkan kewibawaan pemikiran seperti yang diharapkan. Bahkan, terperosok menjadi sosok konservatisme yang lebih ekstrem. 

Dari jalur lain, aliran Deoband sebagai representasi pemikiran sebuah universitas berhaluan konservatif yang setara dengan Universitas Al-Azhar Cairo, mempelopori kritik tajam terhadap kalangan modernis yang mereka cap sebagai kalangan westernis. Mereka menganggap kalangan modernis terlalu terpukau kepada Barat sehingga semuanya diukur dan diorientasikan dengan nilai-nilai Barat. Kalangan ini ingin menegakkan supremasi dan otentisitas Islam vis a vis Barat yang imperalis itu.

Dari atmosfer pemikiran Deoband inilah lahir sebuah gerakan baru yang bercorak revivalis, atau lebih tepatnya neo-revivalis, yang dipelopori oleh Abul A`la Al-Mawdudi (w. 1979) dengan Jemaat Islami-nya. Dia mengkritik keras pandangan kalangan modernis sehubungan dengan spektrum Islam dan kemoderenan (Barat). Al-Mawdudi mengitrodusir hubungan antara Islam dan Jahiliyah untuk melihat hubungan Islam dan Barat. Ia menyebut kebudayaan Barat kontemporer sebagai Jahiliyah moderen. Menurutnya, untuk kebangkitan Islam, umat tidak perlu mengambil model dan sistem Barat yang sekuler itu, tetapi cukup dengan menggunakan Syariah Islam yang merupakan petunjuk lengkap dan final. Karena kelengkapan ajarannya itu, seorang muslim tidak akan pernah hidup dalam keadaan hina dan tidak berdaya. Islam menurut Al-Mawdudi, dalam bahasa Montgomery Watt, telah mencapai finalitas, superioritas, dan self sufficiency dalam segala dimensinya; ekonomi, sosial, budaya, maupun politik.

Pergumulan pemikiran yang menegang antara kalangan modernis dengan kalangan tradisionalis-konservatif-revivalis ini menjulur sampai saat mereka bersama-sama harus merumuskan konsep kenegaraannya. Kalangan modernis melihat Islam sebagai dasar negara adalah suatu konsep dan nilai yang dinamis sehingga bisa menjadi landasan bagi konsep-konsep negara yang moderen. Sementara kalangan tradisionalis berpendapat, politik dalam Islam adalah wujud kedaulatan Tuhan. Pertentangan dua kutub pemikiran ini hampir tidak bisa ditengahi, sampai Liyaqat Ali Khan (P.M. Pakistan ketika itu) mengajukan objective resolution pada tanggal 7 Maret 1949. Inti resolusi itu adalah kedaulatan hanya milik Allah. Hanya saja, Dia mendelegasikan otoritas-Nya kepada Negara Pakistan melalui rakyatnya agar dilaksanakan dalam batas-batas yang telah ditentukan-Nya. Objective resolution yang kemudian ditubuhkan menjadi konstitusi negara pada tahun 1956 ini memang berhasil meredam ketegangan, tapi tetap saja menyimpan ketidakpuasan dari kedua belah pihak yang berikutnya menjadi benih-benih perselisihan.
Rekonstruksi Pemikiran Islam: Neo-Modernisme
Suasana pergolakan gerakan dan pemikiran Islam semacam itulah yang menjadi latar dan sekaligus rahim dimana Fazlurrahman berkembang dan membangun kesadaran berfikirnya. Rahman menguasai dengan baik khazanah keilmuan Islam klasik (baca: ortodoksi) dan sekaligus melek terhadap ilmu-ilmu moderen. Dia tidak ingin terbelit oleh salah satu dari dua kutub pemikiran yang menegang terus itu. Ia ingin mengatasinya, mengurainya, dan keluar dengan sintesa pemikiran baru yang menyegarkan dan mencerahkan; seraya memposisikan dirinya sebagai penganjur neo-modernisme.

Menurut Fazlurrahman, sejarah gerakan pembaruan Islam selama dua abad terakhir, paling tidak, terbagi dalam empat tipologi. Dia menempatkan dirinya masuk dalam corak gerakan yang keempat. Keempat tipologi itu adalah sebagai berikut:
  • Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat.
  • Gerakan Modernis, yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) di India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir.
  • Gerakan Neo-Revivalisme, yang mempunyai corak _moderen_ namun agak reaksioner, dimana Abul A`la Al-Mawdudi dengan Jemaat Islami-nya menjadi model yang tipikal bagi gerakan ini.
  • Gerakan Neo-Modernisme, Rahman mengkategorikan dirinya termasuk dalam barisan gerakan ini. Sebab, menurutnya, neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Dan ini merupakan pra-syarat utama bagi Renaissance Islam.
Model pemikiran sintesis-progresif semacam apakah yang dibawa gerakan neo-modernisme ini? Rahman, dalam catatan penulis, satu langkah lebih maju dari kalangan modernis maupun tradisionalis Islam dalam dua hal pokok. Pertama, berkaitan dengan soal metodologi. Kedua, berkaitan dengan buah pemikiran. Secara metodologis, Rahman memberi perspektif historis dalam menghampiri Islam dan di membubuhkan analisis hermeneutika-obyektif dalam menggali Al-Qur_an. Hasilnya adalah buah pemikiran yang mempunyai pijakan kukuh di atas pondasi tradisi (ortodoksi) Islam, sekaligus mampu keluar dari jebakan stagnasinya untuk menggamit ruh tradisi yang kontekstual dan kompatibel bagi zamannya, yakni ruh Islam yang substantif dan liberatif.

Analisis Historis: Islam Normatif dan Islam Historis
Metodologi Rahman untuk menghampiri Islam telah membuka cakrawala pengetahuan kita tentang adanya dua dimensi di dalam Islam, yakni: Islam Normatif dan Islam Historis. Dalam bukunya yang berjudul, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982)_, Rahman merekomendasikan perlunya pembedaan antara Islam normatif dan Islam historis. Menurutnya, Islam normatif adalah ajaran-ajaran Al-Qur_an dan Sunnah Nabi yang berbentuk nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip dasar, sedang Islam historis adalah penafsiran yang dilakukan terhadap ajaran Islam dalam bentuknya yang beragam.

Di satu sisi pembedaan ini mensyaratkan adanya penafsiran yang sistematis, holistik, dan koheren terhadap Al-Qur_an dan Sunnah, sehingga nilai-nilainya yang transenden dan azali bisa digali dan ditemukan. Sementara di sisi yang lain, pembedaan tersebut juga mengharuskan adanya analisis dan peniliaian yang kritis terhadap praktik dan penafsiran Islam oleh para pemeluknya sepanjang sejarah. Dengan demikian, dari sisi yang pertama kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar normatifitas agama Islam. Dan untuk itu dibutuhkan metodologi yang tepat untuk menafsirkan secara akurat pesan-pesan normatif Al-Qur_an maupun 

Sunnah. Sedangkan dari sisi yang kedua tadi, kita akan mengetahui dimensi kesejarahan atau historisitas agama Islam. Dan agar nilai-nilai agung dari aspek sejarah Islam tersebut bisa dieksplorasi dan dieksploitasi, maka diperlukan pula metodologi yang tepat untuk menyelami sejarah tersebut secara kritis. Pendekatan yang ditawarkan Fazlurrahman untuk berinteraksi dengan Islam yang menyejarah itu adalah analisis historis (taarikhiyyah).

Pendekatan historis Rahman secara prinsipal dirumuskan oleh Birt terdiri dari tiga tahap yang saling bertautan. Pertama, pemahaman terhadap proses sejarah yang dengan itu Islam mengambil bentuknya. Kedua, analisis terhadap proses tersebut untuk membedakan pripsip-prisipnya yang esensial dari formasi-formasi umat Islam yang bersifat partikular sebagai hasil kebutuhan mereka yang bersifat khusus. Ketiga, pertimbangan terhadap cara yang terbaik untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip esensial tersebut.

Melalui pendekatan ala historisis ini pula, sains-sains Islam sebagai aspek historis tidak lalu diabaikan atau dibuang. Bagaimanapun juga, menurut Rahman, Islam historis telah memberikan kontinuitas kepada dimensi intelektual dan spritual masyarakat. Melalui aspek historis, kajian yang menyeluruh dan sistematis terhadap perkembangan disiplin-disiplin Islam harus dilakukan. Kajian tersebut dibarengi dengan rekonstruksi yang juga bersifat komprehensif meliputi disiplin-disiplin keislaman yang ada. Sebab, suatu bentuk pengembangan pemikiran Islam yang tidak berakar dalam khazanah pemikiran Islam klasik atau lepas dari kemampuan menelusuri kesinambungannya dengan masa lalu adalah tidak otentik. Dari sini Nurcholis Madjid menilai Rahman sebagai tokoh yang selalu berpijak pada adagium: _al-Muhaafazhatu `ala al-qadiim al-shaalih wal-akhdzu bil-jadiid al-ashlah (Memelihara warisan lama yang masih baik, namun jika ada kreasi baru yang lebih baik, maka yang baru itulah yang dipakai)._ Atas dasar penghargaan Rahman terhadap tradisi yang begitu besar itu pula, Akbar S. Ahmed menganggapnya sebagai seorang tradisionalis. Meski demikian, menurut Ihsan Ali Fauzi dengan nada antusias, tardisonalisme atau lebih tepatnya konservatisme Rahman adalah jenis konservatisme yang cerah.

Hermeneutika AlQuran
Lalu, bagaimana cara atau metodologi Rahman dalam bergumul dengan normatifitas Alquran dan Sunnah? Sebelumnya perlu disebutkan di sini bahwa kajian Rahman lebih terfokus pada alquran ketimbang sunah Nabi saw yang sudah terkodifikasi itu. Kalaupun Rahman menaruh perhatian, atau lebih tepatnya menyebut atau merujuk sunah, maka yang dimaksud sunah itu adalah sunah Nabi yang hidup (living tradition) pada zaman Nabi Muhammad saw dulu, dan bukan yang sudah dibakukan oleh para ulama fiqih atau hadis yang datang belakangan. 

Tentang al-Quran, Rahman memandangnya sebagai firman Allah yang pada dasarnya merupakan suatu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia. Ia bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti, salat, puasa, dan haji. Dari awal hingga akhir, al-Quran selalu memberikan penekanan pada semua aspek moral, yang diperlukan secara kreatif bagi tindakan manusia. Oleh karena itu, kepentingan sentral alquranadalah manusia dan perbaikannya. Dan alquranadalah petunjuk yang paling komprehensif untuk manusia (dan perbaikannya) itu. 

Pandangan Rahman tentang komprehensifitas alquran ini didasarkan atas surat Yusuf (12): 111: Alquran itu bukanlah suatu cerita yang dibuat-buat. Namun ia membenarkan kitab-kitab sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, ia menyarankan dan berupaya agar Kitab Suci ini dipahami sebagai suatu kepaduan yang berjalin kelindan yang dapat menghasilkan suatu pandangan hidup yang pasti dan menyeluruh. Untuk itu, doktor lulusan Universitas Oxford ini membangun suatu metodologi yang sekomprehensif, serasional dan sesistematis mungkin. Upaya ini lalu mendapat sentuhan pemikiran yang bernas dari dua pemikir pendahulunya, yaitu: al-Syathibi (w. 1388 M) dan Muhammad Abduh (w. 1905 M). 

Al-Syathibi adalah seorang yuris dari tanah Andalus dan berhaluan Maliki yang menegaskan perlunya pemahaman dalil-dalil Syari`ah dipahami sebagai suatu totalitas dan kumulatif. Sementara itu, pada kurun berikutnya Muhammad Abduh mendesakkan perlunya penafsiran dan pemahaman alquran secara keseluruhan dan tidak terpenggal-penggal. Horison kedua pemikir ini menginspirasi, secara langsung maupun tidak, pemikiran Rahman dalam menghampiri alquran secara rasional dan sistematis. Guru sebagian besar lokomotif neo-modernis Islam Indonesia ini lalu menelisik faktor-faktor kognistif dari wahyu seraya mengesampingkan secara relatif aspek-aspek estetik-apresiatif dari wahyu. Tujuannya adalah agar risalah atau misi alQuran dapat benar-benar dipahami sehingga memungkinkan orang-orang yang beriman dan yang ingin hidup dalam bimbingannya dapat melaksanakannya secara secara koheren dan bermakna. Lebih dari itu, melalui pendekatan yang murni kognitif, baik orang muslim maupun non-muslim _dalam masalah-masalah tertentu_dapat bersatu, asalkan mereka memiliki simpati dan ketulusan hati. Meski masalah iman yang memberikan motivasi untuk hidup di bawah bimbingannya hanya milik orang-orang yang benar-benar muslim. 

Pada dasarnya, Rahman menawarkan dua gerakan (double movement) dalam menafsirkan alQuran. Pertama, dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya alQuran dan kedua, dari masa turunnya alQuran kembali ke masa kini. Gerakan yang pertama terdiri dari dua langkah, yaitu: 
  • pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan alquranmelalui cara mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Kitab Suci tersebut turun sebagai jawabannya,
  • membuat generalisasi dari jawaban-jawaban spesifik itu dan mengungkapkannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral yang bersifat umum. Sedangkan gerakan yang kedua, tugasnya adalah untuk merumuskan ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut, dan kemudian meletakkannya ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit saat ini. 
Penghampiran Rahman yang semacam ini mengingatkan kita pada Emilio Betti yang mengagungkan interpretasi obyektif dalam hermeneutika. Pakar hermeneutika dari Italia ini meyakini adanya obyektivitas dalam pemahaman. Menurutnya, interpretasi sebagai sarana untuk memahami secara obyektif akan membawa sang penafsir pada ketepatan pemahaman dari pikiran obyektif yang ada pada pihak lain (misalnya teks hasil karya orang lain, pen). Demikian pula Rahman, dengan bantuan hermeneutika obyektif yang berbasis double movement dalam kerja interpretasi itu, berupaya menggali prinsip-prinsip hukum atau nilai-nilai substansi dari wahyu yang kontekstual untuk diejawantahkan di masa kini. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa keduanya meyakini adanya makna dari suatu teks, atau; adanya preseden dari masa lalu, situasi sekarang, dan tradisi yang mengantarainya yang dapat diketahui secara obyektif. Hal ini kontras dengan pandangan hermeneutika subyektif, misalnya Hans-Georg Gadamer, yang menyatakan horizon arti suatu teks merupakan sesuatu yang tak terbatas. Konsekuensinya, makna dari suatu teks tidak bisa dikerangkakan dalam sebuah obyektifitas pemahaman yang utuh. Tidak ada makna yang obyektif dalam suatu teks. Yang ada hanyalah pemahaman itu sendiri yang terus-menerus, sekomprehensif mungkin.

Rahman yang meyakini adanya pengetahuan obyektif dalam suatu teks mengaplikasikan metodologinya itu untuk mengkaji Kitab Suci, al-Qur_an. Untuk itu dia sebenarnya memerlukan bentangan latar belakang dan situasi historis yang melingkupi turunnya wahyu (al-Qur_an). Yang pada gilirannya, ada banyak ilmu bantu yang diperlukan untuk melakukan kerja-kerja tersebut, misalnya: sejarah, bahasa, sastra, psikologi, filologi, dan bahkan morfologi teknis. Dengan begitu subyektifitas penafsir dapat ditekan semaksimal mungkin untuk mendapatkan obyektifitas yang diharapkan.

Dus, ketika penafsir telah mampu menguras pengetahuan obyektif dari teks tersebut, langkah berikutnya adalah; bagaimana cara membawanya ke dunia kekinian. Yakni untuk mengkontekstualisasikan pengetahuan obyektif yang didapat itu pada situasi zaman si penafsir. Dalam rangka kontekstualisasi pesan-pesan obyektif alqurantersebut, Rahman memilih penyajian logis, ketimbang kronologis, dalam rangka memaparkan nilai-nilai obyektif yang dapat digali dari teks. Alqurandibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Adapun penafsiran hanya digunakan untuk menghubungkan ide-idenya secara bersama-sama sehingga menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan.
Beberapa Butir Pemikiran Neo-Liberal
Pencarian metodologis Rahman, utamanya dalam bergumul dengan al-Qur_an, menghasilkan disposisi pemikiran yang mengangkat world view qur_ani secara komprehensif. Semua itu dituangkannya dalam master piece yang berjudul; Major Themes of The Qur_an (1980). Di dalamnya Rahman berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Pengasih sebagai eksistensi yang fungsional, alquransebagai sumber nilai dan moral, dan kenabian sebagai bukti kongkrit kepengasihan Allah, serta manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Ia juga berbicara tentang alam semesta untuk dijadikan petanda (keberadaan dan kebesaran) Allah dan harus disyukuri dengan pengolahan dan pelestarian, tentang setan sebagai ujian bagi manusia, serta akhirat sebagai terminal akhir perjalanan manusia dimana ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya di dunia.

Alquranberbicara tentang Tuhan yang tidak harus melulu berorientasi ke atas tapi juga ke bawah. Artinya, sebagaimana dikemukakan Rahman sendiri, yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti _teologis_ yang pelik dan panjang lebar mengenai eksistensi Tuhan. Tetapi, bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta-fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Dengan demikian, Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan dimensi lain; Dia memberi arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; tak berhingga dan yang selain-Nya selalu berhingga. Allah adalah cahaya yang menerangi sehingga setiap sesuatu menemukan kehidupan dan tingkah laku yang wajar.

Eksistensi Tuhan Yang Maha Esa adalah benar-benar hadir _bersama_ manusia, dan meliputi segala yang ada. Konsekuensi dari monoteisme yang semacam ini, menurut Rahman, alquranmenekankan keharusan iman sebagai sesuatu yang bersifat aksi (faith in action) yang harus berdampak nyata pada aktivitas dan perilaku manusia. Di dalam aktivitas dan perilaku manusia tersebut berpadu dua hal, yakni kekuasaan Allah untuk bertindak apa saja terhadap manusia di satu sisi dan kebebasan manusia untuk berbuat sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya di sisi yang lain. Yang dituntut kemudian dari manusia adalah pertanggung jawaban moralnya, yang mana ukurannya adalah takwa.

Tentang manusia, alquranmengabarkan adanya kelebihan manusia atas makhluk yang lain, yakni dalam hal kepemilikannya akan pengetahuan. Ketika Allah menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah, para malaikat protes. Mereka khawatir akan terjadi pertumpahan darah di muka bumi seandainya manusia menjadi khalifah di sana. Para malaikat dan seluruh penduduk surga itu lalu dikumpulkan untuk mengeja nama benda-benda dan menjelaskan sifat dari masing-masing benda tersebut. Ternyata mereka tidak mampu. Yang bisa melakukannya hanyalah manusia (Adam). Melalui pengetahuannya itu manusia bukan hanya menjangkau hal-hal yang fisik, tapi juga yang metafisik. Keberadaan Allah, bahkan, dapat diketahui oleh manusia yang mau memikirkannya, dan manusia yang mau memikirkan petanda-petanda yang diciptakan-Nya.

Namun demikian, akal rasional semata tidak akan mampu mengetahui maksud dari petanda tersebut, untuk itu dibutuhkan suatu disposisi mental-spritual tertentu, yakni kesanggupan untuk beriman. Pengetahuan yang diperlukan oleh manusia dalam rangka meniti jalan lurus-Nya itu, menurut al-Qur_an, ada tiga macam: pertama, pengatahuan mengenai alam yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, atau sains-sains ilmiah. Kedua, pengetahuan sejarah (dan geografi): alquransenantiasa mendesak manusia agar _berjalan di muka bumi_ sehingga dapat menyaksikan apa yang menjadi sebab-sebab kejayaan dan keruntuhan kebudayaan-kebudayaan di masa lampau. Ketiga, pengetahuan mengenai diri sendiri, karena Allah pernah berfirman: _Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di dalam cakrawala (alam eternal) dan di dalam diri-diri mereka sendiri sehingga mereka dapat memahami kebenaran. Tidak cukupkah Tuhanmu sebagai saksi terhadap setiap sesuatu? (41:53).

Kualitas tertinggi manusia yang berpengetahuan itu ditentukan oleh kadar takwanya. Takwa pada tingkatan tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral; semacam stabilitas yang terjadi setelah semua unsur yang positif diserap masuk ke dalam diri manusia. Di dalam takwa terdapat radar hati nurani yang melaluinya manusia bisa membedakan mana yang benar dan salah, yang lurus dan sesat, dan akan melindungi (menjaga) dirinya dari perbuatan yang buruk dan jahat. Atas pengetahuan akan adanya sisi baik dan buruk, benar dan salah, serta lurus dan sesat itu manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan yang dipilihnya. Dari sisi ini, manusia adalah makhluk yang merdeka. Namun demikian, di sisi yang lain manusia juga harus mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang diambilnya kepada Allah di dunia dan akhirat nanti. Sebab kebebasan itu diberikan sebagai konsekuensi dari rahmat dan kepengasihan Allah kepada manusia. Dan Allah akan menilainya dengan alat ukur; takwa, baik untuk menilai manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.



Takwa bukan hanya kualitas mental yang bisa memacu kesalehan individu, namun juga kesalehan sosial. Bahkan Rahman mengatakan bahwa takwa hanya memiliki arti jika diletakkan dalam sebuah konteks sosial. Indikator takwa bisa diejawantahkan dalam konteks sosial itu adalah; apakah di dalamnya telah terselenggara keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi atau belum. Jika belum, berarti ketakwaan dan kesalehan yang ingin dipraktikkan itu masih sebatas jargon dan slogan, tidak mengejawantah. Keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi tidak bisa diabaikan dalam rangka membangun cita masyarakat qur_ani. Yakni masyarakat -- menurut alqurandengan banyak menyebutkan keterlibatan dan pengawasan Allah dalam aktivitas kemanusiaan-- yang mengarah pada penegakkan sebuah tatanan yang etis dan egalitarian Itu. Namun demikian, tatanan masyarakat semacam ini sulit diwujudkan tanpa adanya semangat jihad yang menyala-nyala di benak setiap masyarakat.

Jihad adalah perjuangan yang bersifat total _dengan harta benda dan jiwa raga-- untuk mencapai ridla Allah. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah perjuangan manusia untuk menegakkan keadilan sosial dan ekuilibrium ekonomi itu bagi anggota masyarakat sebanyak-banyaknya. Selain alquranberfokus pada Tuhan dan manusia, ia juga berbicara tentang Alam Semesta. Menurut Fazlur Rahman, alquranmenampilkan perbincangan tentang alam semesta yang memiliki dua dimensi fungsional-teologis. Dalam satu sisi, alam semesta dengan keluasan dan keteraturannya yang tidak terjangkau akal harus dipandang sebagai petanda Allah karena hanya Zat yang tak terhingga dan unik saja yang dapat menciptakannya. Pada sisi yang lain, alam semesta sebagai suatu tatanan yang dinamis dan berkembang harus ditanggapi secara serius oleh manusia (dalam rangka untuk kebaikan kehidupan mereka sendiri). Dengan kata lain, alam semesta selain merupakan bukti eksistensi Allah SWT, dia juga merupakan petanda dan rahmat Allah bagi manusia. Untuk yang pertama (pembuktian), manusia tidak cukup dengan hanya mengerahkan olah akal-rasional, lebih dari itu ia juga harus mempunyai disposisi tertentu, yakni kesanggupan untuk beriman. Untuk yang kedua (alam sebagai rahmat), manusia harus mengurus, mengolah dan melestarikan alam semsta dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. 
Sementara itu tentang dunia eskatologi, Fazlur Rahman mensinyalir bahwa dunia itu identik dengan surga dan neraka. Keduanya adalah suatu bentuk imbalan dan hukuman dari Allah kepada manusia atas semua perbuatannya di dunia. Surga dan neraka dalam pandangan Rahman bukanlah suatu entitas spritual sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian rasionalis Islam, namun keduanya adalah entitas fisik. Akhirat, dimana surga dan neraka ada di dalamnya, adalah saat kebenaran yang akan menyibak tabir realitas moral yang obyektif dari kesibukan mental manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Qaf (50: 22): _Sesungguhnya kamu (manusia) mengabaikan hari itu, lalu Kami (Allah) menyingkapkan tabir itu sehingga penglihatan (manusia) benar-benar melihat._ Oleh sebab itu manusia mempunyai konsekuensi untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya selama hidup di dunia. Hanya dengan itulah dia akan mendapatkan tiket kebahagiaan di kehidupan akhirat nanti. Suatu kehidupan, yang menurut al-Qur_an, sangat penting karena alasan keadilan dan moral sebagai konstitusi relitas tindakan manusia.
Kritik dan Komentar
Pilihan metodologi Rahman, utamanya dalam menginterpretasi al-Qur'an, tidak saja menuai pujian, tapi juga kritik yang serius. Ebrahim Moosa menganggap metodologi yang dipakai Rahman berakibat pada pengabaian aspek-aspek partikular dari al-Qur_an. Aspek-aspek tersebut tergerus oleh generalisasi dan koherensi logis yang dipraktikkan Rahman untuk menggali makna universal Al-Qur'an. Misalnya ketika Rahman menolak konsep syafaat karena dalam pandangannya bertentangan dengan ide sentral al-Qur_an, yakni: keadilan dan ketakwaan. Farid Esack menilai penafsiran Rahman yang seperti itu, terlalu memaksakan wahyu agar sesuai dengan keadilan dan ketakwaan yang merupakan tema sentralnya. 

Kritik yang juga layak diarahkan pada pandangannya mengenai ayat-ayat teologi. Rahman di satu sisi sangat konsisten (baca: kaku) dalam menggunakan kekuatan logika untuk menganalisis ayat-ayat teologi. Namun pada saat yang bersamaan, ia dengan sengaja mengabaikan aspek kronologi dan latar belakang turunnya ayat tersebut. Sebab dalam pandangannya ayat-ayat teologis dan metafisik tidak banyak mengalami evolusi dan perkembangan jika dibandingkan dengan ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, dalam hal ayat-ayat teologis latar belakang dan kronologi ayat tersebut tidak diperlukan.

Nah, pandangan semacam ini hemat saya malah menorpedo keinginannya sendiri untuk mendapatkan makna yang obyektif dari al-Qur_an. Meski demikian, keberatan-keberatan terhadap Rahman seperti ini tidak mengecilkan kontribusi Rahman dalam studi alquranyang memang sangat signifikan. Dia pun menyadari bahwa subyektifitas dan kekurangan dalam suatu penafsiran dan pendekatan tidak dapat dihilangkan sama sekali. Demikian halnya dengan penafsiran beserta metode yang ditawarkannya. Sifatnya adalah dinamis sehingga sangat terbuka untuk diberi sudut pandang lain, bahkan untuk dikritik dan dikoreksi. Selama sudut pandang lain dan kritik itu dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan keagamaan, selama itu pula suatu perbedaan dapat diapresiasi.

Pada sisi ini nilai-nilai liberal dari neo-modernisme, menurut Abd A`la (2003), tampak terungkap nyata pada diri Rahman.Demikianlah apresiasi terhadap tokoh pemikir Islam yang banyak mengilhami pembaruan pemikiran Islam di tanah air. Gerakan pembaruan yang belakangan tak terdengar lagi gemanya itu, harus diurai struktur penyangga, akar-akar dan pondasinya agar kita mengetahui sisi-sisi mana saja yang sudah rapuh dan harus diperbaiki atau diganti. Relevansi apresiasi pemikiran Rahman adalah dalam konteks itu. Dengan demikian semoga kita bisa mendapat inspirasi kembali untuk memberikan sentuhan atau bangunan baru bagi gerakan pemikiran Islam di Indonesia.













.