perayaan aadhi tiruvizha umat hindu di shri maha kaliamman kuil tanjung marulak-tebing tinggi

Setiap umat beragama mempunyai perayaan (celebration) yang dianggap sacral (sacred) untuk membuktikan kedekatannya kepada Tuhan. Setiap agama mempunyai tujuan, bagi umat Hindu tujuan agama itu dapat dirumuskan secara garis besar kepada dua: pertama, untuk mencapai kebahagiaan dunia yang disebut jagat hita. Jagat bermakna dunia dan hita bermakna baik. Jagat hita berarti kebaikan di dunia. Kedua, untuk mencapai kebahagiaan rohani atau batin yang disebut moksa[1], satu keadaan mental dan rohani di mana tujuan pokok dari kehidupan rohani dapat dicapai atau direalisir, satu kegembiraan keadaan batin di mana keadaan bahagia benar-benar dirasakan.[2] Tujuan ini menunjukkan bahwa dalam agama Hindu, Tuhan menjadi persoalan krusial dalam mengantar seseorang ke pada jalan kesempurnaan sampai kepada moksa atau nirvana.

Salah satu perayaan yang membawa diri dekat dengan Tuhan dalam komunitas umat Hindu adalah Aadhi Tiruvizha. Penelitian ini dilaksanakan khususnya di lingkungan kuil Shri Maha Kaliamman, Tanjung Marulak-Tebing Tinggi di mana pengikutnya tidak hanya di sekitar Tanjung Marulak-Tebing Tinggi itu saja namun dari berbagai daerah termasuk Perbaungan-Serdang Bedagai.[3]

Bila dilihat dari proses ritualitas yang dilakukan, perayaan Aadhi Tiruvizha ini hampir sama dengan perayaan dalam komunitas umat Hindu di India yaitu Durga Puja. Durga puja adalah perayaan yang dilaksanakan pada bulan Desember dan secara khusus popular di India bagian Timur Laut, perayaan itu dipersembahkan untuk Dewi Durga yang memiliki kemampuan untuk menghalau kekuatan jahat. Orang-orang berdansa di depan symbol-simbol kebesaran di jalan, dan di Kalkutta festival ini berakhir dengan meletakkan symbol-simbol kebesaran tersebut di sungai.[4] Namun, tetap saja perayaan Aadhi Tiruvizha memiliki perbedaan tatacara ritualitas dan orientasi. Hal ini menunjukkan dalam agama Hindu ada perbedaan tradisi antara satu komunitas umat Hindu di sebuah daerah akan berbeda dengan ritualitas di daerah lain. Hakikinya, semua mengarah kepada proses pemujaan kepada Tuhan

Perayaan Aadhi Tiruvizha

A. Orientasi Perayaan

Dalam kehidupan beragama Hindu unsur kepercayaan kepada do’a[5] merupakan bagian yang sangat penting. Dalam perayaan Aadhi Tiruvizha ini, umat Hindu meminta sesuatu kepada Tuhan (do’a) sesuai dengan apa yang diinginkannya, seperti ingin sukses dalam karir, peruntungan dalam perdagangan dan lain-lain. Selain itu, umat Hindu dalam perayaan ini memiliki niat tertentu (nazar), maka mereka menebusnya dengan melakukan persembahan (sesajen), puja, dan lain-lain.

Dalam perayaan Aadhi Tiruviza ini, do’a merupakan puncak dari ritualitas peribadatan sebagai bentuk permohonan yang tulus dan ikhlash kepada Sang Hyang Widi Washa sebagai kuasa prima atas segala ciptaannya. Umat Hindu dalam menjalankan ritualitas ini (perayaan Aadhi Tiruvizha) harus pasrah kepada sang Hyang Widi Washa. Do’a akan sampai kepada Sang Hyang Widi Washa apabila dilakukan dengan penuh disiplin dan konsentrasi. Dalam kitab suci Baghavad Gita IX. 34 disebutkan: “man-mana bhava mad-bhakto, mad yaji mam namaskuru, mam evaisyai yuktvaivam, atmanam mat parayanah”. Artinya, pusatkan pikiranmu kepada-Ku, berbakti kepada-Ku, bersujud kepada-Ku, dan setelah engkau mendisiplinkan jiwamu, Aku menjadi tujuanmu yang tertinggi, maka engkau akan sampai kepada-Ku.

Dalam ajaran agama Hindu, melakukan do’a/pemujaan kehadapan Sang Hyang Widi Washa ada beberapa cara, yaitu:

a. Dengan mengucapkan mantra/kata suci
b. Dengan menggunakan bahasa symbol atau upacara
c. Dengan menggunakan upacara dan mantram[6]

Proses Perayaan

Adapun proses perayaan Aadhi Tiruvizha ini, antara lain:

Pertama, Pergi ke Sungai. Umat Hindu sebelum ke kuil Shri Maha Kaliamman pergi ke sungai terlebih dahulu. Sungai dalam umat Hindu dianggap memiliki nilai kesakralan. Hal ini sebagai symbol pemujaan terhadap dewa.

Kedua, menjunjung kendi yang berisi air suci. Air (tirtha) memegang peranan penting dalam upacara keagamaan. Air sebagai pemelihara kebersihan, kehidupan serta untuk pembaptisan (wisudhi). Air melambangkan pelebur dosa dan pengikis noda-noda sehingga badan menjadi suci. Air merupakn symbol amrta (hidup) percikan air suci (tirtha) kepada umat Hindu dalam upacara keagamaan seperti Aadhi Tiruvizha dimaksudkan untuk mendapatkan kesehatan, ketentraman, serta kesucian. Air yang diberikan untuk diminum oleh seorang pendeta dimaksudkan untuk mendapatkan ketenangan bathin.

Ketiga, melakukan Ritual Khusus bagi kalangan tertentu, seperti mencucuk lidah dan sampai di kuil memijak api. Semua ini merupakan symbol pembaktian diri kepada Tuhan. Hal ini juga bermakna perwakilan cahaya ilahi sebagai perantara yang menghubungkan antara yang memuja dan yang dipuja sebagai pembersih diri serta lingkungan dari pengaruh negative dan sebagai saksi upacara.

Keempat, Pembayaran niat dengan cara menyediakan sesajen atau memecahkan kelapa. Penyediaan sesajen artinya sebagai bukti pengorbanan terhadap Tuhan agar niatnya dikabulkan Sang Hyang Widi Washa. Sesajen ini biasanya terdiri dari banyak unsur, antara lain: Sirih sebagai lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Daun-daunan sebagai symbol tumbuhnya pikiran yang ening dan suci. Jadi, dalam memuja Tuhan harus dengan usaha untuk menumbuhkan pikiran yang ening dan suci. Karena pikiran yang tumbuh menuju kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk, dari nadsu duniawi. Pikiran yang suci dan ening inilah yang dapat menarik atau menurunkan karunia Tuhan. Bunga sebagai lambang keikhlasan, memuja Tuhan tidak boleh ragu-ragu, harus didasarkan kepada keikhlasan yang benar-benar tulus datang dari lubuk hati yang terdalam dan tersuci. Di samping itu keikhlasan merupakan kebutuhan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Dalam hidup ini kita harus mampu menghasilkan diri dari berbagai ikatan duniawi. Apapun yang mengikat diri kita di dunia ini harus kita ikhlashkan. Pisang sebagai lambang keagungan. Umat Hindu hampir tiidak pernah melupakan buah pisang ketika melakukan puja atau sesembahan (sesajian) baik di kuil maupun di rumah. Keagungan tergambar dari kulitnya yang kuning keemasan serta isinya yang manis.

Kemudian, dalam rangka membayar niat juga dilakukan tradisi ritual memecahkan kelapa. Kelapa dilambangkan sebagai symbol wujud manusia. Serat/sabut kelapa adalah lambang liku-liku kehidupan manusia yang penuh tantangan percobaan serta keterikatan duniawi yang kuat. Oleh sebab itu dibutuhkan pengupasan serta ulasan yang bijak agar kita tidak disamakan dengan makhluk hidup lainnya. Batok/tempurung adalah lambang kerasnya pengaruh duniawi untuk mencapai jalan mulia dan itu hanya bisa didapat dengan cara sabar, tekun dan rajin sehingga kita bisa melihat ratanya potongan kelapa yang menunjukkan kesucian dan ketulusan hati manusia secara utuh. Memecahkan kelapa berarti menghancurkan keterikatan-keterikatan diri dengan nafsu duniawiyah yang membelenggu agar bisa mendekatkan diri dengan Tuhan. Akhirnya, niatnya akan dikabulkan oleh Sang Hyang Widi Washa.

Kandungan Filosofis

Dari proses perayaan Aadhi Tiruvizha, sebagaimana hasil wawancara penulis dengan pelakunya secara langsung, dapatlah ditarik point-point penting sebagai kandungan filosofis di balik ritualitas perayaan Aadhi Tiruvizha. Adapun kandungannya adalah:

  • Sebagai bentuk pernyataan rasa syukur atas anugerahnya yang telah menciptakan segala sesuatu yang diperlukan bagi kehidupan umat manusia dan semua makhluk.
  • Sebagai Sadhana untuk menyucikan diri kea rah penyempurnaan bagi kehidupan spiritual dan moral umat manusia.
  • Sebagai sadhana untuk memohon kepada Sang Hyang Widi Washa agar dijauhkan dari segala rintangan dan godaan.
  • Sebagai sadhana untuk memohon perlindungan agar selalu berada dalam keadaan selamat.
  • Perayaan Aadhi Tiruvizha ini merupakan ritualitas dalam penebusan terhadap niat atau permohonan umat Hindu kepada Sang Hyang Widi washa terhadap keinginannya.
Penutup

Perayaan Aadhi Tiruvizha dalam umat Hindu merupakan ritualitas yang dilakukan dalam rangka permohonan (niat) kepada Tuhan (Sang Hyang Widi washa). Untuk menebus niat atau juga disebut ada nazar (keinginan) maka dilakukan ritualitas penyembahan (puja) terhadap Tuhan melalui proses ritual-ritual tertentu. Demikianlah hasil wawancara penulis dengan Mannur salah seorang penganut agama Hindu yang melaksanakan langsung perayaan Aadhi Tiruvizha tersebut.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah perayaan aadhi tiruvizha umat hindu di shri maha kaliamman kuil tanjung marulak-tebing tinggi oleh: Sugeng Wanto, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.

Footnote
[1]In Hinduisme, the release of the soul from a cycle of rebirths. It is one of the four acceptable goals of life for Hindus. Lihat Warren Matthews, World Religions (ttp.: Wadsworth Publishing Company, 1999), h.93

[2]Syahrin Harahap, Sejarah Agama-agama (Medan: Pustaka Widyasarana, 1994), h.91

[3]Aadhi Tiruvizha adalah perayaan sakral yang dilakukan setiap tahunnya dalam rangka Puja dan pelaksanaan nazar (niat) bermohon kepada Tuhan. Sebagaimana hasil wawancara penulis pada hari minggu, 16 November 2008 dengan salah seorang pemeluk agama Hindu yang bernama Mannur, usia 35 Tahun berdomisili di Perbaungan-Serdang Bedagai yang melaksanakan langsung perayaan tersebut pada minggu, 10 Agustus 2008.

[4] Molloy, Experiencing The World’s Religions: Tradition, Challenge and change (ttp.: The Mc-Graw-Hill Companies, 2008), h. 104

[5] Dalam setiap kejadian do’a selalu disampaikan untuk tujuan tertentu. Ini merupakan ciri khas dari tata kehidupan beragama menuruty ajaran agama Hindu dharma. Do’a adalah salah satu dari unsur kepercayaan keyakinan atau sraddha dalam agama Hindu. Karena itu do’a mempunyai kegunaan yang sangat penting dan mempunyai kegunaan yang bermanfaat bagi kehidupan umat Hindu, terutama dalam pembinaan mental spiritual. Lihat A.S. Kobalen, MBA, Dewa dan Do’a (Surabaya: Paramita, 2001), h.43

[6]Ibid., h. 44













.