I LA GALIGO

I LA GALIGO

Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. 
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. [1] Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa,Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang naratordalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh musik olehansambel panggung. [2] Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi Selatan. [3]
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesi tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. [4] Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara ekslusif dariIndonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidiyang menceritakan sebagian dari cerita.
Epos I La GaLigo
Epos I La Galigo, tak lepas dari nama sosok Sawerigading yang menjadi tokoh utama dalam legenda itu. Kisah ini berawal ketika kerajaan di langit mengetahui adanya wilayah bumi yang masih kosong. Raja La Patiganna mengadakan musyawarah dengan keluarga dari kerajaan langit lainnya, Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Dalam pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar adanya utusan dari kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi. Akhirnya, terpilihlah anak La Patiganna bernama La Toge’Langi yang dinikahkan dengan sepupunya sendiri, We Nyili’Timo. We Nyili’Timo adalah putri Guru Ri Selleng dari kerajaan gaib.
La Toge’Langi dinobatkan menjadi Raja Alekawa (Bumi) dengan memakai gelar Batara Guru. Untuk mendapatkan gelar itu, Batara Guru harus menjalani masa ujian selama 40 hari 40 malam. Usai berakhir, akhirnya pasangan itu diturunkan di Ussu. Satu wilayah di Sungai Cerekang, Kabupaten Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dari perkawinan Batara Guru dengan We Nyili’Timo, lahirlah seorang anak bernama La Tiuleng yang bergelar Batara Lattuq yang sekaligus menjadi pangeran kerajaan Luwu. Setelah dewasa, Batara Lattuq dinikahkan oleh anak La Urumpassi, We Datu Sengeng. Usai pernikahan, akhirnya Batara Guru dan istrinya kembali ke langit. Maka, tahta kerajaan diserahkan kepada Batara Lattuq.
Dari perkawinan Batara Lattuq dengan We Datu Sengeng, maka lahirlah anak kembar emas. Yang laki-laki diberi nama Sawerigading, dan yang perempuan bernama We Tenriabeng. Saat proses kehamilan Sawerigading, ia ditempatkan dalam satu batang bambu betung. Dan nama yang disematkan memunyai makna Sawe berarti menetas dan Ri Gading berarti di atas bambu (bentung).
Namun sebelum anak kembar emas itu lahir, Batara Guru sudah berpesan kepada Batara Lattuq, agar kedua anak emasnya dipisahkan. Karena, Batara Guru melihat tanda-tanda, jika dewasa nanti Sawerigading akan terpicut dan jatuh hati pada adik kembar perempuannya itu.
Jika perkawinan antara Sawerigading dengan We Tenriabeng terjadi, maka sudah dianggap melanggar ketentuan alam bumi dan langit. Maka, akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri akan mengalami bencana yang luar biasa.
Ternyata tanda-tanda yang dikhawatirkan Batara Guru atas Sawerigading terhadap adik kembar emasnya, terjadi. Ketika diam-diam melihat sosok We Tenriabeng, Sawerigading langsung terpicut dan jatuh hati, bahkan ingin menikahinya. Atas gelagat itu, rencana itu mendapat tentangan dari rakyat.
Karena tidak ingin melanggar dan terjadi bencana bagi kehidupan di bumi, We Tenriabeng membujuk Sawerigading untuk tidak melanggar pantangan yang sudah diultimatum oleh ayahnya, Batara Guru.
We Tenriabeng kepada Sawerigading mengatakan, masih ada sosok perempuan yang wajah dan perawakannya sama persis dengan adik kembar emasnya itu. Namanya We Cudai yang masih berdarah sepupu. Adalah putri dari La Sattumpugi dari Kerajaan Cina yang sekarang berada di daerah Pammana, Wajo, Sulawesi Selatan. La Sattumpugi adalah adik dari Batara Lattuq.
Keberangkatan Sawerigading penuh dengan rasa kecewa dan ia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya di tanah Luwu. Ia akhirnya berangkat ke Kerajaan Cina. Dan bersamaan dengan itu, We Tenriabeng langsung naik ke langit dan menikah dengan Remmang Ri Langi.
Di Kerajaan Cina, Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Ia harus bertarung dengan tunangan We Cudai, Settiaponga. Sawerigading menaklukkannya dalam pertempurannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Kerajaan Cina.
Akhirnya, Sawerigading menikahi We Cudai. Dari perkawinannya, melahirkan anak pria bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah, yang akhirnya menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dan dari masa kejayaan I La Galigo, ia membuat karya sastra monumentar tentang silsilah keluarganya sendiri. Kisah yang sebenarnya biasa saja, namun masa yang membedakannya.
I La Galigo menuliskannya dalam lembaran lontara. Ia menceritakan bagaimana asal muasal turunannya ada di bumi dari langit. Dalam epos itu juga, I La Galigo menceritakan ayahnya, Sawerigading yang memunyai nama besar dalam kehidupan masa masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan. Dan akhirnya, menjadi legenda tersendiri bagi masyarakat Cerekang dan sekitarnya, serta didaku menjadi sosok besar kehidupan bumi.
I La Galigo Di Melayu dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusurMelayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang MelakaBanda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugismenetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri JohorKedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri BalkisPermaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.















.