Islam transformatif, Dinamis dan Teologi Pembangunan

Islam transformatif merupakan pencarian dialogis, bagaimana agama harus membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial. Adapun konsep teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama pada dasarnya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan.


Oleh : Ummi Kamilah MG

Pendahuluan

Proses modernisasi pasca kemerdekaan negara-negara Islam pada pertengahan abad ke-20 ini, di samping membawa kemajuan di beberapa bidang, juga menimbulkan persoalan baru di dunia Islam. Berbagai perubahan tidak dapat dihindari, termasuk perubahan-perubahan ke arah yang tidak dikehendaki. Salah satunya perubahan kondisi umat Islam yang semakin tertinggal jauh dari peradaban Barat Modern. Kondisi itu pada gilirannya membuat dunia Islam sangat bergantung pada negara-negara maju di Barat dalam bidang ekonomi, politik dan teknologi. Bahkan akhirnya ketergantungan tersebut menimbulkan bentuk-bentuk kolonialis baru negara-negara maju kepda dunia Islam yang rata-rata menempati status negara ke tiga.

Menghadapi ketergantungan dan ketertinggalan itu, para pemikir Islam kontemporer berusaha keras mencari jalan keluar, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh para pemikir pembaharu Islam sebelumnya. Mereka mencari sebab-sebab ketertinggalan tersebut kemudian membangun paradigma pemikir-pemikir baru yang relevan bagi umat Islam untuk menghadapi permasalahan kontemporer. Dalam mencari pemecahan masalah tersebut, para pemikir Islam memiliki perbedaan pendekatan berpikir antara pendekatan tradisionalisme dan revivalisme, adalah yang pertama lebih menekankan nilai-nilai Islam yang telah berkembang dan terlembagakan ke dalam suatu masyarakat serta aneka budayanya. Sedangkan pendekatan kedua lebih menekankan kembali kepada nilai-nilai Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabatnya, dan kurang mengapresiasi budaya-budaya lokal sebagaimana kelompok tradisional.[1]

Islam Transformatif: Sebuah Paradigma Baru

Islam transformatif merupakan pencarian dialogis, bagaimana agama harus membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial. Adapun konsep teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama pada dasarnya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan.[2] Agama tidak bisa bicara dengan sendirinya, tetapi harus ditransformasikan dan ditafsirkan oleh umat manusia. Transformasi inilah yang bisa disebut sebagai bentuk riil dari gerakan sosial baru. Tetapi sebelum melakukan transformasi, umat sejatinya telah dengan jelas melakukan kajian-kajian kritis atas fenomena sosial yang terjadi.[3]

Umat agama-agama tidak akan pernah berhenti bergerak. Dia senantiasa dinamik sesuai dengan perubahan dan perkembangan sosial yang ada. Bagaimana umat atau jamaah memahami teks, kemudian menjadi penting dibahas. Mengingat, perkembangan yang terus terjadi sehingga teks tidak kehilangan makna historis dan konteks sosialnya. Terjadi perdebatan sengit pada aras teks ini. Ada pihak yang tetap berpendapat bahwa teks suci keagamaan tetap harus dipahami sebagaimana adanya. Dia harus dibaca secara tekstual. Sementara itu ada pihak yang berpendapat bahwa teks harus dipahami secara kontekstual, tidak literalis sebagaimana adanya. Hal ini karena, teks datang pada jamaah bukan tanpa konteks sosial yang kosong. Teks hadir dalam kondisi sosial tertentu, bukan kevakuman sosial. Di sinilah kemudian teks harus dipahami secara kontekstual, sehingga teks agama memiliki relevansinya sepanjang masa. Yang paling penting adalah substansi dan spirit dari teks tersebut yang harus dipahami dan diaktualkan.[4]

Akhirnya, dalam konteks perkembangan zaman ini dan masa depan, keterlibatan agama membutuhkan agenda baru, berupa teologi (Islam) yang bervisi transformatif. Yakni suatu rumusan normatif tentang bagaimanakah seharusnya (rumusan teologi transformatif) agama terlibat dalam masalah-masalah sosial, sesuai dengan perkembangan zaman.

Pemikiran transformatik, sebuah pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh sebab itulah, secara terus-menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang dapat melakukan motivasi dan mentransformasi masyarakat dari pelbagai aspeknya dalam skala yang teoritis maupun praksis. Dalam pandangan pemikir transformatif ini, Islam haruslah menjadi gerakan pemberdayaan masyarakat (empowerment) dan community development sehingga Islam mengarah pada pembebasan manusia dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidakadilan dan seterusnya. “Pembumian” Islam menjadi corak paling dominan dari gerakan transformatif ini.


Dalam tataran teoritis mereka berusaha menawarkan teori sosial alternatif, salah satunya “ilmu sosial profetis”, seperti yang ditawarkan Kuntowijoyo, dan Ilmu Sosial Transformatif oleh Moeslim Abdurrahman. Ada sedikit perbedaan antara Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo ketika menempatkan Islam dalam proses perubahan sosial. Kuntowijoyo lebih melihat Islam sebagai basis analisisnya, dengan sedikit mengabaikan analisis berdasarkan perkembangan ilmu-ilmu sosial lain yang ditulis oleh cendekiawan Barat. Sementara Moeslim Abdurrahman melihat proses sosial dari dimensi Islam yang disintesakan dengan ilmu-ilmu sosial lain, sekalipun ditulis oleh ilmuwan sosial Barat.[5] Belakangan ini, di kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) muncul suatu pemikiran baru mengenai teologi Islam transformatif, yang memulai cara berteologinya dengan mempertanyakan dasar asumsi dan ideologis dari[6]:
  • Pertama, teologi yang konformis, yaitu kelompok-kelompok agamawan yang prihatin terhadap masalah kemiskinan dan keterbelakangan, tetapi pola kerjanya dalam mengatasi masalah tersebut dilakukan secara pragmatis, tanpa analisis sosial.
  • Kedua, teologi yang modernis, yang melihat masalah kemiskinan dan keterbelakangan sebagai masalah mentalitas–meminjam istilah JJ Rostow– precondition of take off.
Teologi transformatif (sebagai paradigma radikal) mencoba melihat proses imperialisme budaya (dalam perilaku, selera, gaya hidup, dan tata nilai masyarakat) dalam ideologi modernisasi, sekaligus mencari alternatif bagaimana masyarakat mampu mengontrol made of production[7] (hubungan-hubungan produksi) dan segala bentuk produksi ideologi dan informasi dalam masyarakat, sehingga masyarakat diharapkan bisa merealisasikan potensi-potensi dirinya–tujuan spiritualitas itu–secara maksimal–, tanpa hambatan struktural.

Teologi transformatif –sebagai bentuk keterlibatan agama di masa depan–di Indonesia, memang masih baru dan sedang mencari bentuk. Tetapi kiranya, inilah bentuk teologi sosial baru Islam di Indonesia yang sekarang sedang merambah menghadapi berbagai macam bentuk hegemoni kapitalisme yang terbungkus dalam ideologi modernisasi.

Teologi transformatif merupakan bentuk teologi yang berangkat dari tradisi ilmu sosial kritis. Pada umumnya, kalangan “teolog-teolog” yang bervisi transformatif ini, diinspirasikan oleh paradigma teori sosial yang–dalam bahasa Kuntowijoyo– menganggap struktur sosial sangat menentukan bentuk-bentuk struktur teknik dan struktur budaya.[8]

Metodologi yang dipakai dalam analisis sosial pada teologi ini, adalah analisis ekonomi-politik, yang memasukkan unsur kekuasaan (power) sebagai variabel analisis, khususnya dalam membahas dan melihat perkembangan kapitalisme.[9]

Pembicaraan tentang teologi transformatif ini di kalangan teolog Indonesia, banyak diadvokasi oleh tokoh-tokoh seperti M. Sastraprateja, A. Suryawisata, dan Dr. Banawiratma (dari kalangan Katolik). Sedangkan dari kalangan Islam biasanya orang merujuk pada tokoh-tokoh seperti M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi , Moeslim Abdurrahman, M. Habib Chirzin, Mansour Fakih, dan juga Masdar F. Mas’udi. Pada umumnya, mereka ini adalah para ahli-ahli ilmu sosial yang meminati teologi, dan atau sebaliknya, para teolog yang hendak memakai analisis ilmu sosial radikal.[10]

Obsesi teologi transformatif adalah ingin menganalisis penyebab kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran umat dari sudut pandang struktural. Selama ini, teologi modernisasi sudah memecahkan problem tersebut dengan menunjukkan bahwa “ada yang salah” dalam berteologi selama ini. Dalam bahasa retoriknya, pada dasarnya keterbelakangan dan kemunduran umat disebabkan oleh sikap fatalistik, dan penyerahan diri kepada nasib, atau karena etos sosial dan etos kerja yang rendah.[11]

Kritik teologi transformatif adalah: bahwa keterbelakangan bukan disebabkan faktor-faktor teologis, budaya, atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh akibat “ketidakadilan hubungan antara dunia maju dan Dunia Ketiga, yang berwatak imperialisme pada tingkat global, dan bentuk-bentuk eksploitasi serta hubungan-hubungan yang tidak adil pada tingkat lokal, yang dijalankan melalui hubungan dan cara produksi yang menghisap.[12]

Cara berpikir struktural semacam itu, adalah khas di kalangan teologi transformatif yang berusaha memperhitungkan penderitaan dan kebutuhan yang dirasakan para pelaku dalam suatu kelompok sosial, dengan cara melihatnya sebagai akibat dari konflik struktural di dalam tatanan sosial yang ada. Teologi ini berusaha menggambarkan konflik-konflik struktural tersebut, dengan cara memberikan penjelasan secara historis tentang sebab-sebab terjadinya penindasan.

Prof. Dawam Rahardjo, salah seorang tokoh di lingkungan Islam yang menggagas teologi ini dekade pada 80-an, menyebutkan pendekatan ini dengan istilah “historis-struktural,” yang manfaatnya adalah: pertama, dapat menghasilkan pemikiran yang tidak utopis-normatif. Kedua, bisa memperluas wawasan yang sering tampak sempit ketika orang mempergunakan model-model abstrak dan artifisial. Ketiga, bisa menghasilkan bahan-bahan yang bermanfaat untuk menyusun rencana “rekayasa sosial” secara lebih tepat dan relevan, karena memperhatikan perkembangan masyarakat. Keempat, menyelamatkan kita dari gagasan lompat jauh ke muka,” yang sering dijadikan dasar untuk melegitimasikan pola-pola manajemen yang totaliter.[13] Tentu saja “analisis-struktural” di atas, dilakukan bukan pada taraf teologi, melainkan pada level analisis sosial.

Teologi transformatif tidaklah memisahkan antara teologi dan analisis sosial, bahkan menyatukannya dalam daur dialektis: dari kritik dialogis, ke kritik tafsir, kemudian mencari tafsir alternatif dan mewujudkannya dalam tindakan praksis sosial sebagai praksis teologis.[14] Dengan demikian, kalangan teologi transformatif berusaha memanfaatkan, sekaligus mensintesakan berbagai analisis sosial dan tafsir Kitab Suci atas realitas sosial-keagamaan dewasa ini.

Mereka, misalnya membaca tentang keadaan masyarakat agama dewasa ini, melalui Harvey Cox –yaitu ilustrasi tentang sekularisasi, dan kebangkitan agama di Dunia Ketiga–, tentang kesangsian/kritik ideologis dari Karl Marx, terutama kritik kapitalisme, tentang tafsir yang kaya dari Alquran mengenai realitas sosial.[15] Usaha untuk melaksanakan eksperimentasi teologis transformatif, dilakukan selain dengan belajar dari kelemahan cara kerja NGO (lembaga swadya masyarakat) –yang tidak secara eksplisit memasukkan paradigma teologi dalam proses pengembangan masyarakat– juga dengan mencari pendekatan baru. Yaitu melalui penafsiran teks dengan kesadaran akan konteksnya dan kemudian mempelajari konteks secara dialogis. Dengan cara empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Perbedaannya dengan kecendrungan Islamisasi ialah bahwa teologi transformatif ini lebih menekankan pada hubungan dialogis antara teks dan konteks, dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realita menurut model ideal. Di samping itu, menurut Moeslim Abdurrahman,[16] pengembangan teologi transformatif juga sebagai upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat. Sebab, dalam eksperimentasi teologi transformatif, pada dasarnya umat yang hidup bersama sebagai simbol-simbol keyakinannya diberi peluang untuk menggali kekuatan dari simbol-simbol keagamaannya. Itu dalam mengatasi ketimpangan struktural yang mengungkungnya. Oleh karenanya, dalam proses teologi transformatif, selain juga harus melibatkan kegiatan analisis sosial bersama untuk memahami konteks, juga perlunya refleksi iman bersama yang terungkap dalam simbol-simbol keagamaannya. Di sinilah sebenarnya diperlukan kerjasama antara para teolog, analisis ilmu sosial dan para tokoh masyarakat untuk memberi fasilitas kepada proses transformasi sosial.

Transformasi rupanya memang jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformatif, pada dasarnya juga adalah gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris. Suatu cita-cita yang melambangkan penjunjungan tinggi harkat dan harga kemanusiaan, keyakinan orang dihargai dan perbedaan pendapat menjadi tradisi. Untuk mencapai situasi seperti itu, harus disadari memang tidak gampang. Namun rasanya harus ada yang memulai. Yaitu, siapa saja yang dalam pandangan hidupnya merasa perduli terhadap persoalan ketimpangan sosial sebagai tantangan iman bersama.[17] 

Islam itu transformatif, din al-ishlah, agama perbaikan, “keharusan” memperjuangkan otonomi masyarakat, “tidak bergantung pada negara” dan juga kemungkinan “perbaikan masyarakat,” yakni masyarakat yang demokratis, egaliter, populis, mandiri dan sebagainya.[18]

Trend Baru Teologi Transformatif

Tampaknya respon kalangan “modernisasi Islam” berangkat dari kepedulian akan keterbelakangan umat Islam di dunia sekarang. Keterbelakangan itu disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan dan ketertutupan dalam memahami ajaran agamanya sendiri. Itulah yang membuat Islam tertinggal dari kemajuan yang dicapai Barat.

Paradigma “modernisasi Islam” cenderung melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi. Jadi bagi kalangan “modernisasi Islam”, persoalannya adalah bagaimana dengan tradisi teks mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Hal ini sangat berbeda dengan kalangan “Islamisasi” yang cenderung berupaya menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan sosial. Kalangan “Islamisasi” sebenarnya lahir dari rasa kekhawatiran bahwa Barat telah merasuki peradaban kaum muslimin dengan sifat yang dekaden terhadap agama.

Bagi kalangan “teologi transformatif”, semua persoalan peradaban manusia sekarang ini dianggap berpangkal pada persoalan ketimpangan sosial-ekonomi, karena adanya struktur yang tidak adil. Kalangan “Teologi Transformatif” menyimpulkan bahwa agama dalam proses modernisasi sekarang ini melahirkan tiga corak,[19] yaitu:
  • Pertama, tampil sebagai alat rasionalisasi atas modernisasi, dengan melahirkan perkembangan teologi rasional yang mengacu pada tumbuhnya kepentingan intelektualisme sekelompok akademikus.
  • Kedua, sebagai alat legitimasi atas nama melancarkan dan mendukung berhasilnya program-program modernisasi. Program-program ini dirancang dan dilaksanakan secara teknokratis berdasarkan paradigma pertumbuhan ekonomi, dan bukan untuk pertumbuhan nilai-nilai dasar pembangunan harkat kemanusiaan sendiri. Dalam konteks seperti ini, corak teologi yang dominan adalah teologi paralelisme yang bersifat justifikatif.
  • Ketiga, kelompok masyarakat tertentu, terutama “kaum dhuafa”, yang tidak terserap ke dalam dialog besar proses modernisasi dewasa ini, terpaksa menghanyutkan diri dalam impian teologi eskatologis yang bersifat eskapistis. Mereka tidak jarang menunjukkan sikap hidup fatalistis: bahwa “dunia hanyalah tempat bersinggah untuk minum”, bahwa “dunia hanyalah penjara bagi orang-orang yang beriman dan surga bagi orang-orang kafir”, dan lain sebagainya.
Jadi agama dalam tiga corak di atas tidak berangkat atau menyentuh problem yang ada dalam realita. Agama berhenti dan hanya asyik mempersoalkan kerangka utopis pada tingkat super-struktur. Dalam situasi yang semacam itu, teologi harus dirumuskan kembali berdasarkan realitas struktural yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehari-hari dan dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat Indonesia.

Yang paling penting, prinsip “Teologi Transformatif” itu tidak bersifat ortodoksi dan harus terkait dengan ortopraksis. Ia harus berwatak fasilitatif, dalam arti memberi fasilitas sebagai kerangka bacaan melihat realitas. Juga tidak ada hubungan patron-klien dalam membaca kehendak Tuhan. Dan mementingkan isi dari pada bentuk ungkapan simbolis agama. Serta dengan jelas menuju cita-cita perwujudan masyarakat muttaqien, dengan setiap orang mempunyai derajat yang setara di hadapan kebenaran Allah SWT.[20]

Makna “teologi” dalam konteks ini, sebenarnya bukan saja ilmu kalam, yakni sebuah ilmu tradisional Islam, yang sistematisasinya terfokus pada empat masalah dasar, seperti usaha mengetahui adanya Tuhan dan berbakti kepada-Nya, mengetahui apa yang baik dan buruk, dan menjalankan apa yang baik dan buruk itu. Namun, juga termasuk apa yang kurang dieksplorasi dalam tradisi kalam yang kita kenal selama ini, yakni Fiqih. Lagi-lagi, fiqih di sini bukan hanya fiqh al-ashghar, seperti yang selama ini ada, tetapi juga meliputi fiqh al-akbar–dalam pengertian Abu Hanifah–yang isinya bukan hanya tentang ilmu fiqih saja, tetapi juga meliputi dimensi akidahnya. Fiqih ini menyangkut landasan ushuliyah atau dasar-dasar pokok mengenai akidah yang nantinya mendasari detail fiqih itu (fiqh al-ashghar atau fiqih dalam pengertian sempit tadi).[21]

Kalau asas dunia modern adalah rasionalisasi-fungsional, maka asas teologi Islam modern adalah rasionalitas akal-budi yang terkurung dalam dirinya yang otonom dan mempunyai kebenaran, suatu bentuk rasionalisme idealis. Di sini terdapat kesesuaian yang begitu rapi. Teologi–yang mempunyai kekuatan legitimasi religius, menjadi sejalan dengan tujuan modernitas. Di satu sisi, ini memang kelihatan progresif, tetapi di sisi lain, ternyata teologi ini jugalah yang merefleksikan struktur penindasan pada masa modern ini.[22]

Teologi adalah salah satu bentuk kesadaran masyarakat yang pada dasarnya merefleksikan bagaimana kondisi material tersebut dikelola. Teologi Rasional merupakan salah satu bentuk dari teologi yang memberikan legitimasi untuk suatu hubungan produksi masyarakat. Jadi, kalau kepentingan suatu transformasi masyarakat adalah ke arah keadilan sosial untuk masyarakat yang dhu’afa’, maka teologi ini sama sekali tidak relevan, karena tidak mencerminkan watak revolusioner dari masyarakat dhu’afa’. Teologi tersebut lebih merupakan kekuatan legitimatif bagi mereka yang mendapatkan keuntungan dari keadaan masyarakat yang sedang berlangsung.[23]

Teologi selama ini masih bersifat mikro, masih sangat menekankan pada aspek individual an sich. Padahal, masalah keadilan dewasa ini sudah bersifat makro, sudah menyangkut struktur-struktur sosial manusia. Namun, persoalannya adalah apakah hal ini juga menjadi tanggung jawab teologi? Bukankah pemecahannya terletak dalam ilmu-ilmu empiris seperti ilmu sosial?  Jawabannya sederhana saja, kalau teologi itu menyangkut kesadaran manusia yang paling mendalam perihal hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya, teologi adalah suatu dorongan hati, suatu sisi yang paling dalam dari diri manusia, yang bersifat psikologis, tetapi mempunyai implikasi sosiologis. Maksudnya, teologi sangat mungkin menjadi ideologi, yaitu suatu kekuatan yang sangat mengatur bagaimana manusia harus hidup dan bertindak berdasarkan apa yang diyakininya.[24]

Pembaruan teologi yang bersifat rasional, dalam kacamata kaum dhu’afa’ jelas tidaklah memadai, karena hanya melihat ajaran dan pranata agama menurut logika melulu dengan mendukung kebebasan menafsirkan ayat-ayat sehingga sesuai dengan akal. Sampai di sini, jelas Teologi Rasional sangat menopang elit modern dan tunduk kepada tujuan modernitas itu sendiri. Nyatanya mereka–yang membutuhkan Teologi Rasional–adalah mereka yang telah terlatih dan terbiasa dengan kaidah rasionalitas-fungsional. Sementara kaum dhu’afa’, atas dasar tujuan mereka–yakni suatu humanisasi struktur-struktur sosial yang menindas ini–tentu saja sama sekali tidak membutuhkan teologi semacam itu. Mereka membutuhkan teologi yang berparadigma lain, yaitu suatu teologi-sosial yang membebaskan, yang memberikan mereka janji dan harapan demi suatu kehidupan yang lebih baik. Paradigma pembaruan teologi yang harus diusahakan ke arah itu adalah teologi yang memberikan tempat yang sungguh-sungguh terhadap suatu peralisasian manusia.[25]

Dalam rangka inilah, kelihatan pentingnya kesadaran struktural dalam teologi, yang ciri khasnya adalah penekanan terhadap usaha pengembangan kesadaran kritis manusia berdasarkan suatu teologi. Teologi ini sendiri, dasar normatifnya adalah visi sosial keagamaan (Alquran) yang diolah dengan filsafat sosial, dan seterusnya tradisi-tradisi radikal yang telah menggariskan dasar teori sosial kaum dhu’afa’ melalui aksi politik sebagai aksi pendidikan dan selanjutnya aksi kebudayaan (baca: cultural action for freedom). Isi teologi tersebut sebagian bersifat analsis sosial, sebagian lagi refleksi teologi.

Kalangan teologi transformatif beranggapan bahwa proses pemerataan ekonomi dalam rangka pembasmian kemiskinan, hanya mungkin dilaksanakan secara efektif bila prakondisi sosial yang mutlak diwujudkan terlebih dahulu, terutama yang menyangkut perombakan kelembagaan atau struktur sosial yang ada. Tujuannya adalah mentransformasi alokasi sumber daya, sehingga dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk keperluan rakyat banyak. Karena itu, kalangan transformis ini–yang melihat kemungkinan proses pembangunan dengan perubahan struktural–perlu terlebih dahulu melihat faktor-faktor eksternal seobjektif mungkin.

Tanpa memasukkan kepelikan analisis sosial ekonomi, maka kalangan teologi transformatif mengasumsikan bahwa, proses pembangunan seharusnya dilaksanakan sebagaimana didefenisikan kalangan transformis di atas. Karena itu, peran teologi transformatif ini dalam proses pembangunan adalah memberikan “kritik ideologi” atas usaha-usaha dominasi alat-alat produksi, dominasi teknologi, dan dominasi makna, yang disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari strategi pembangunan developmentalisme, yang biasa disebut dengan “pertumbuhan plus” (growth plus development strategy).[26]

Dengan begitu, semakin kuatlah pemikiran teologi yang bervisi transformatif, yang tekanannya bukan lagi mengusahakan masyarakat ke arah kemodernan, tetapi lebih mentransformasikan struktur-struktur sosial kemasyarakatan yang menindas, ke arah struktur sosial yang lebih fungsional dan humanis, demi perealisasian martabat manusia.

Islam Dinamis

Islam dinamis lebih ditekankan kepada penegakan nilai-nilai ajaran Alquran dalam kehidupan modern khususnya di Indonesia. Islam adalah agama yang mengandung sistem pergerakan yang dinamis[27]: meskipun ayat dan Sunnah terbatas, akan tetapi ayat-ayat dan Sunnah itu mengacu pada terlaksananya maqashid al-syari’at, yang belum tentu tergambar teks ayat secara eksplisit. Inilah yang akan dijadikan pedoman dan landasan berpijak guna menjawab segala tantangan yang dihadapi manusia dalam kehidupan di dunia, untuk kebahagiaannya di akhirat. Maqashid syari’at ini dapat diketahui melalui ijtihad selaku prinsip gerakan dalam struktur ajaran Islam.

Sebagai ijtihad sosialisasi dan pembumian ide-ide Alquran pada dataran kehidupan manusia yang selalu berkembang dan mengalami perubahan digunakanlah metode ijtihad tahqiq al-manath. As-Syathiby mendefenisikan tahqiq al-manath suatu metode penerapan hukum–yang telah digali mujtahid dari kandungan nash–terhadap masalah yang sedang dihadapi sehingga maksud syari’at dapat tercapai dan beliau menyebutnya sebagai ijtihad yang tidak akan berhenti sampai akhir zaman.[28] Yang menjadi pusat kajian dalam tahqiq al-manath ini bukan lagi Alquran dan Hadis, melainkan manusia dengan lingkungannya yang selalu berkembang dan berubah.

Dalam melaksanakan Ijtihad tahqiq al-manath, ijtihad istinbathi memegang peranan yang amat penting, karena pengetahuan tentang esensi dan ide umum suatu ayat tetap menjadi tolak ukur dalam penerapan hukum melalui tahqiq al-manath, serta kekeliruan dalam menetapkan ide ayat akan membawa kekeliruan dalam menilai masalah-masalah baru dan penerapan hukum terhadapnya.

Pada sisi lain ide hukum yang telah digali dari Alquran melalui ijtihad istinbathi, seringkali tidak dapat diterapkan dalam suatu maslah disebabkan beberapa faktor. Pertama, kondisi sosial mukallaf di saat turunnya ayat sangat berbeda dengan kondisi yang dihadapi mujtahid. Sehingga apabila ide ayat itu diterapkan, tujuan syari’at tidak tercapai lagi, atau akan mengorbankan maksud syara’ lain yang lebih penting.
Kedua, seringkali masalah kekinian mirip dengan masalah yang dimaksud dalam Alquran dan hadis, namun bila diteliti lebih cermat bisa jadi tidak sama karena inti permasalahannya berbeda.[29]

Untuk menjawab permasalahan tersebut, metode ijtihad tahqiq al-manath menempuh dua pendekatan: Pertama, mencari hukum lain yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi manusia. Hukum yang dimaksud di sini bisa dari salah satu ‘illat yang diproduk melalui takhrij al-manath,[30] dalam arti mengganti pilihan tanqih al-manath sebagai ide hukum satu ayat, atau ide hukum suatu ayat yang ditemukan kemudian.
Kedua, tidak memberlakukan ide hukum suatu ayat, dan tidak pula mengganti dengan yang lain, yang dalam kajian ushul fiqh dikenal dengan istilah iqaf al-tanfidz. Ijtihad tahqiq al-manath didemonstrasikan dalam rangka membumikan hukum Islam itu pada dataran sosial yang selalu berkembang dan mengalami perubahan.[31]

Iman harus terlibat kepada umat manusia atau–meninjam istilah Kuntowijoyo–agama harus melakukan “konkretisasi”. Artinya, ajaran-ajaran abstrak agama mesti dibawa pada realitas konkret manusia. Agama mesti berpihak dalam pertarungan antara ma’ruf dan munkar. Ketika terjadi ketidakadilan, maka agama mesti menyuarakannya dan membela rakyat yang tertindas. Ketika ada korupsi dan kolusi, agama harus mengingatkan dan bersikap tegas. Dan ketika negara sedang mengalami krisis ekonomi dan kekurangan bahan makanan, maka agama harus membantu dengan memobilisasi massa agar terlibat dalam proses pemecahan umat tersebut dan memberi hukum tegas terhadap orang yang menghalangi proses pemenuhan kebutuhan umum masyarakat dengan menimbun bahan makanan. Memakai bahasa Olaf Schumann, teologi tidak boleh mengurung diri dalam benteng tempat ia menikmati isolasi dari kehidupan sekitarnya. Di sinilah terletak makna iman yaitu keterlibatan dalam mengatasi problem manusia.

Setidaknya ada tiga alasan[32] untuk menyebutkan bahwa beriman berarti keteguhan untuk melakukan tindakan seperti tersebut di atas.
  • Pertama, Tuhan tidak akan memerintah seorang Rasul atau menurunkan kitab suci kecuali untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraannya kemudian membentuk umat yang adil, sejahtera, dan menebarkan kasih sayang terhadap umat manusia.
  • Kedua, rukun iman enam–dalam konteks mazhab-mazhab Sunni–yang diajarkan Nabi Muhammad saw bukanlah ajaran yang mutlak baku jumlah dan formulasinya. Sehingga sangat wajar bila Mazhab Syi’ah memiliki rukun iman yang berbeda dan tidak heran bila ada yang menyatakan bahwa jumlah rukun iman itu satu atau dua. Jumlah enam dari rukun iman pada periode Nabi saw adalah karena tuntutan epitisme zaman dalam proyek rekayasa insan kamil.
  • Ketiga, secara teologis, dari berbagai ajaran agama-agama telah diakui adanya titik temu. Karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana kesadaran pluralisme sebagai realitas sosial yang mesti untuk mengakui keberadaan agama lain itu dibawa kepada sikap tulus bermakna bagi kehidupan seluruh umat. Pluralisme tidak hanya perlu diakui sebagai realitas sosial namun lebih dari itu adalah apa yang perlu dilakukan dengan adanya pluralisme. Perlu adanya langkah dari tahap pengakuan pluralisme kepada bentuk tindakan yang merupakan pengejewantahan dari pengakuan terhadap pluralisme.

Kesimpulan

Transformasi sebenarnya adalah konsep yang luas dan menyeluruh. Sebab menyangkut pembaharuan beberapa aspek secara serentak, secara reflektif, baik yang berkaitan dengan ajaran, maupun kelembagaan dan formasi sosial. Sedangkan visi, juga mempergumulkan ketentuan normatif dengan hasil pembacaan realitas. Jika pergumulan ini tidak terjadi, visi itu tidak mungkin akan lahir. Mengapa, karena ayat akan tetap dipelajari sebagai ayat–dan bukan ruhnya yang diambil untuk memerangi perubahan sosial. Dalam zaman modernisasi sekarang, ketika proses dehumanisasi mengancam solidaritas kemanusiaan, sudah saatnya mencari rumusan visi yang lebih besar. Yaitu bagaimana mengutuhkan kembali hubungan sosial yang terkoyak-koyak oleh ketimpangan dewasa ini, dalam kesadaran iman yang aktual, walau dimulai dengan serangkaian kegiatan transformatif yang sekecil apapun.

Memfungsikan agama dalam konteks sekarang dan di masa yang akan datang, tidak lagi cukup dengan berbicara atau menafsirkan tentang Tuhan (seperti arti “teologi” selama ini, “ilmu tentang Tuhan”), tetapi tidak kalah penting, ikut terlibat mengubah kondisi material yang telah membawa masyarakat dalam situasi dehumanisasi itu.


Daftar Bacaan
  • Abdurrahman, Moeslim. Menuju Masyarakat Egalitarian: Transformasi. Jakarta: API, 1987.
  • ----------------------------. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
  • ----------------------------. Wong Cilik dan Kebutuhan Teologi Transformatif” Makalah. Jakarta: P3M, 1989.
  • al-Zuhaily, Wahbah. Al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Kitab, 1978.
  • Baso, Ahmad. Civil Society Versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
  • Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
  • Fakih, Mansour. “Mecari Teologi untuk Kaum Tertindas,” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun: 70 Tahun Harun Nasution. Jakarta: LSAF, t.t.
  • Harahap, Syahrin. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Alquran dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
  • Rachman, Budi Munawir-. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001/
  • Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
  • Nurhakim, Moh. Islam: Tradisi dan Reformasi “Pragmatisme” dalam Pemikiran Hassan Hanafi. Jakarta: Banyumedia Publishing, 2003.
  • Qodir, Zuly. Islam Liberal “Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: 2003.
  • Rahardjo, M. Dawam. “Pendekatan Historis-Struktural: Menemukan Format Pembangunan,” dalam Prisma, No. 10, 1986.
  • Segundo, J.L. Liberation of Theology. Dublin, Gill and Mcmillan, 1997.
  • Syathiby, Abu Ishaq Asy-. Al-Muwafaqat fi Ushul al Ahkam Jili IV. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
  • Syaltut, Syekh Mahmud. Al-fatawa. Mesir: Dar al-Qalam, tt.
mau lihat footnote klik disini













.