Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya.  Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya. Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan sedangkan dengan musyrik sama sekali dilarang.




Oleh : Fadlah Mardiyah Pulungan
Pendahuluan

“Rasa cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta, berputar menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi berujar. Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang keberadaannya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang terbang, manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah fitrah  pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan kasih sayang kepada makhluk-Nya, karena memang dia adalah zat yang selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu  agar antara makhluk saling berkasih sayang, bertemu sebagai makhluk Allah atas nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena cinta.

Sejarah cinta telah membuktikan terciptanya sebuah peradaban. Bukan satu atau dua pasangan bertemu dan tengggelam dalam rasa yang Tuhan semburatkan itu, untuk kemudian menyambungkan dua makhluk Tuhan pada ikatan cinta yang membentuk sebuah peradaban baru, dua hati yang menikah. Demikian halnya dengan Ratna, seorang gadis yang beragama Islam dan Herman seorang pria yang beragama non-Islam. Mereka berkeinginan menikah, tapi perbedaan agama menjadi penghalang di antara mereka. Jadi  apa yang harus dilakukan mereka?

Pernikahan beda agama ini, merupakan masalah khilafiyah dalam agama Islam. Para ulama masih mempermasalahkan kebolehan nikah beda agama. Apakah nikah beda agama dihalalkan secara syari’at (hukum Islam), atau ternyata diharamkan?. Hal ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang menjelaskan pernikahan beda agama sendiri masih memerlukan pemahaman yang mendalam. Artinya, dalil yang berkenaan dengan nikah beda agama tidak memberikan kepastian hukum, sehingga memerlukan ijtihad dalam hukum kebolehannya. Itulah dinamika permasalahan nikah beda agama. Surat al-Baqarah ayat 221, oleh sebagian ulama dijadikan landasan tidak diperbolehkannya nikah beda agama. Dalam makalah ini penulis ingin membahas bagaimana pandangan mazhab klasik dan mazhab liberal tentang pernikahan beda agama ini. 

B. Pengertian Pernikahan beda agamaa

Nikah menurut bahasa adalah الضم, berarti berkumpul. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad yang mengakibatkan  kebolehan wathi (setubuh) dengan lafaz Inkah atau Tajwij. [1]Akad tersebut adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan memiliki tujuan yang mulia, yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[2] Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya.
           
C. Pernikahan beda agamaa Menurut Mazhab Klasik

Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan. Alasannya karena ahli kitab adalah orang orang yang percaya kepada kitabullah. Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani yang percaya kepada kitab Taurat yang diturunkan kepada  Nabi Musa A.S dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa A.S. Dalam Islam, menikah dengan perempuan ahli kitab memang  diperbolehkan, berdasarkan petunjuk al-Qur’an berikut ini
:
االيوم احل لكم الطيبات و طعام الدين اوتوا الكتاب حل لكم و طعامكم حل لهم و المحصنات من المؤمنات والحصنات من الدين اوتوا الكتاب من قبلكم ادا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مساقحين ولا متخدي اخدان ومن يكفر بالايمان فقد حبط عمله وهو في الاخراة من الخاسرين

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan makanan orang-orang ahli kitab itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan juga bagimu mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan yang beriman dan perempuan ahli kitab sebelummu jika kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan juga bukan  untuk menjadikannya sebagai gundik….. [3](Q.S. al-Maidah : 5)
           
 Dalam ayat ini Allah membolehkan mengawini orang-orang ahli kitab (kebanyakan ulama menafsirkan Ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani). Di samping itu, pernikahan yang dilakukan dengan perbedaan agama  secara historis pernah dilakukan oleh orang-orang Islam terdahulu di masa Nabi. Nabi menikahi wanita keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur Romawi Mesir bernama Maria al-Qibtiyah, (mengenai wanita-wanita ini ada pendapat yang mengatakan mereka tidak masuk Islam ketika dinikahi dan sudah masuk Islam terlebih dahulu). Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqash Thalhah bin Zubair, Ibnu Abbas, Hudzaifah adalah para sahabat yang menikah dengan wanita di luar Islam. Pernikahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh para tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyab, Said bin Zubair, al-Hasan, Mujahid, Thawus, Ikrimah.[4]

Berdasarkan hal di atas maka Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membolehkan menikah dengan ahli kitab. Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi  perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan. Abdullah bin Umar  pernah berucap: Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik. Maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan Rasulullah  di antara rasul-rasulnya yang lain.[5]

Sungguhpun banyak contoh dari para sahabat yang saleh dan para tabi’in yang menikah dengan ahli kitab, hendaknya berhati-hati  sebelum melaksanakan  perkawinan yang beda agama dan kepercayaan itu. Memang para sahabat  mempunyai sifat yang patut  diteladani dan mereka hidup dengan penuh takwa dan kesederhanaan. Setelah mereka  menikahi perempuan ahli kitab yang berbeda agama dan peribadatannya itu, para  sahabat  mengetahui bagaimana cara  mengendalikan istri  sehingga anak-anak mereka  tidak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan ibunya. Oleh karena itu, menikah dengan perempuan ahli kitab pada umumnya diperkenankan namun dianggap makruh hukumnya. Para ulama empat mazhab telah membahas  dan memberikan pandangan tentang  hukum masalah perkawinan dengan perempuan ahli kitab, yaitu:

Menurut  Mazhab Hanafi, menikahi perempuan ahli kitab itu haram hukumnya  bilamana perempuan ahli kitab itu berada di suatu negeri yang sedang berperang dengan kaum muslimin (dar al-harb), karena  mengawini  perempuan ahli kitab ini akan dapat menimbulkan kerugian dan berbahaya. Dalam keadaan perang itu, anak-anak hasil perkawinan  itu akan lebih cenderung kepada agama ibunya. [6]

Mazhab Maliki sebaliknya, mengajukan dua alternatif pandangan, pertama  menikah dengan perempuan ahli kitab itu hukumnya  makruh sama sekali, baik perempuan  itu seorang kafir zimmi maupun penduduk dar al-harb. Pendapat kedua , menikahi perempuan ahli kitab itu bukan makruh karena al-qur’an mendiamkannya. Sifat mendiamkan dianggap sebagai persetujuan, jadi kawin  dengan perempuan ahli kitab boleh-boleh saja.  Sebaliknya bagi ahli kitab tidak ada keharusan  kalau kedua orangtuanya  harus dari golongan ahli kitab. Perkawinan itu akan tetap sah sekalipun ayahnya  seorang ahli kitab dan ibunya adalah seorang penyembah berhala.

Mazhab Syafi’i  dan Mazhab Hanbali meyakini  bahwa kedua orang tua  perempuan itu haruslah ahli kitab, jika  ibunya seorang penyembah berhala,maka perkawinan dengan ahli kitab itu tidak diperkenankan, sekalipun perempuan itu telah dewasa dan menerima agama ayahnya.[7]           

Selain itu, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang dimaksud ahli kitab oleh para ulama, maka di bawah ini penulis menjelaskan beberapa pendapat ulama mengenai hal tersebut :

1. Imam Syafi’i
    Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya mengatakan :
(قال الشافعي) رحمة الله تعالى : ويحل نكاح حرائر اهل الكتاب لكم مسلم لان الله تعالى احلهن بغير استسناء واجب الى لو لم ينكحهن مسلم[8]
Dihalalkan menikahi perempuan merdeka dari ahli kitab bagi setiap laki-laki muslim tanpa kecuali karena Allah Ta’ala telah menghalalkannya dan saya lebih menyukai kalau laki-laki muslim tidak menikahinya.

Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan bahwa ahli-kitab yang dihalalkan adalah ahli kitab Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk Majusi, juga tidak termasuk ahli kitab, orang-orang Arab yang masuk ke dalam Yahudi dan Nasrani karena asal agama mereka sesat dengan menyembah berhala kemudian mereka pindah kepada agama ahli kitab bukan karena mereka beriman dengan Taurat dan Injil dan sembelihan mereka juga tidak halal. Demikian juga tidak termasuk ahli kitab orang-orang ‘azam yaitu yang bukan orang-orang Arab yang masuk ke dalam agama ahli kitab karena asal agama nenek moyangnya adalah penyembah berhala.[9]

b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm di dalam al-Mahalla mengatakan bahwa yang termasuk ahli kitab yang boleh dinikahi adalah Yahudi, Nasrani, dan Majusi.[10] Ibnu Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim jil. II, h. 27, menginformasikan bahwa Abu Sur Ibrahim Ibn Khalid al-Kalbi (w. 860) yang merupakan seorang pengikut Imam Syafi’i demikian juga Ahmad ibn Hanbal, membolehkan menikmati makanan dan sembelihan orang Majusi dan dapat pula mengawini wanita-wanita mereka.

c. Muhammad Abd al-Karim Syahristani (w. 548 H/1153 M, ahli ilmu kalam)
Berpendapat bahwa ahli Kitab terdiri dari Yahudi dan Nasrani, namun tidak terbatas pada keturunan Bani Israil. Adapun pengikut agama lain yang mempunyai kitab-kitab suci seperti Majusi disebut oleh Syahristani sebagai syibh Ahli kitab (mirip dengan ahli kitab). Syibh ahl-kitab diperlakukan sebagaimana kaum Zimmi lainnya, tetapi kaum wanita tidak boleh dikawini dan sembelihannya tidak boleh dimakan.

d. Pendapat yang lebih longgar dikemukakan oleh Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan beberapa ahli fikih lainnya, seperti Abu Sur. Kelompok ulama ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ahli kitab adalah seluruh  komunitas yang mempercayai nabi atau  kitab suci yang diturunkan  Allah SWT. Ahli kitab menurut pemahaman mereka tidak hanya terbatas pada keturunan Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, seandainya ada komunitas yang mempercayai suhuf nabi Ibrahim  atau Zabur yang diturunkan kepada nabi Daud maka mereka adalah ahli kitab.

Islam membolehkan menikah dengan ahli kitab dengan berbagai macam pendapat ulama di atas, namun menikah dengan orang musyrik dalam bentuk apapun sama sekali dilarang, baik orang yang menyembah berhala, orang yang keluar dari Islam (murtad), penyembah sapi atau binatang yang lain, menyembah pepohonan ataupun menyembah batu. Larangan Islam ini berdasarkan pernyataan dari al-qur’an surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:

ولا تنكحواالمشركات حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة ولو اعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة والمغفرة بادنه ويبين اياته للناس  لعلهم يتدكرون

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak  yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil pelajaran”. ( al-Baqarah : 221)[11]


Diriwayatkan dalam Asbabun Nuzul, larangan menikah dengan orang di luar Islam, rupanya dinukilkan pada masa Rasulullah saw. Yaitu suatu peristiwa yang  dianggap sebagai penyebab turunnya surat al-Baqarah ayat 221.


Suatu ketika diutuslah seorang laki-laki tampan bernama Marsad, orang kaya dari Bani Hasyim ke Mekkah untuk membawa kaum muslimin yang ditawan. Sesampainya di Mekkah datang seorang wanita bernama Unaq, kekasih Marsad ketika dia masih musyrik. Unaq adalah seorang wanita cantik dan belum memeluk Islam. Sebelumnya Marsad telah memutuskan hubungannya dengan Unaq. Waktu itu Unaq sengaja  mendatangi Marsad, dan bertanya  perihal hubungan mereka, “Hai Marsad, apakah engkau masih ingin denganku?” Marsad menjawab, “Islam telah menghalangi hubungan antara engkau dan aku, perbuatan itu haram bagi kami.” Jawaban Marsad ini tak menyurutkan niat Unaq untuk merayu dan mendapatkan kembali Marsad. “Tetapi bila engkau menghendaki aku akan kawin dengan engkau,” kata Unaq. “Baik, kata Marsad, aku akan meminta izin kepada Rsulullah. Sesampainya di Madinah Marsad menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada Rasulullah tentang Unaq, “apakah halal bagi saya untuk mengawininya”, untuk menjawab pertanyaan ini turunlah surat al-Baqarah ayat 221.

 Abdullah bin Abbas menyebutkan sebab turunnya ayat di atas, berkaitan dengan kasus Abdullah bin Rawahah, sahabat nabi SAW, yang memiliki budak perempuan. Pada suatu ketika Abdullah bin Rawahah marah kepada budak perempuan ini. [12]Ketika nabi SAW mengetahuinya, lantas beliau bertanya kepada  Abdullah bin Rawahah sebagai berikut, Nabi bertanya: apa yang terjadi wahai Abdullah? Abdullah bin Rawahah menjawab: “Wahai Rasulullah SAW, budak perempuan itu berpuasa, berdoa dan menyucikan dirinya, serta beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan engkau adalah Rasulullah. Nabi Saw: “Kalau demikian, dia adalah seorang mukminah. Abdullah bin Rawahah: “Maka  demi Allah yang telah mengutus engkau membawa kebenaran, aku akan memerdekakannya dan menikahinya. Setelah Abdullah menikahi budak perempuan tadi, banyak orang muslim mencelanya dengan alasan Abdullah menikahi budak perempuannya. Celaan yang dilontarkan ini berdasarkan bahwa mereka  yang mencela itu lebih suka mengawini perempuan musyrik hanya lantaran keunggulan keturunannya. Berdasarkan peristiwa yang terjadi pada Abdullah inilah ayat al-Qur’an di atas diturunkan.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan perkawinan orang mukmin dengan orang musyrik itu akan menyesatkan pihak orang muslim karena akan membawa kepada jalan kemusyrikan. Ikatan suami istri itu bukan hanya hubungan seksual semata, melainkan hubungan batin dan budaya. Oleh karena itu, perkawinan tadi dilarang di dalam Islam. Memang benar, boleh jadi seorang muslim itu akan mempengaruhi orang musyrik, agar  keluarga dan keturunan orang musyrik tersebut dapat berkenan memeluk Islam. Kemungkinan yang lain juga boleh jadi bahwa  dapat menyeret  pasangan yang muslim, bahkan keluarga dan keturunannya menuju jalan kemusyrikan. Yang paling mungkin diakibatkan dalam perkawinan mukimin musyrik itu adalah bercampurnya antara keturunan muslim  dan non muslim. Orang non muslim mungkin saja menyetujui akibat semacam ini, tetapi seorang muslim tidak dapat melakukan perbuatan semacam ini. Orang yang benar-benar muslim, tidak akan pernah mengambil resiko hanya untuk memuaskan nafsu syahwatnya semata-mata. Orang muslim malah lebih suka mengendalikan hawa nafsunya ketimbang melakukan sesuatu yang akan menyesatkan keimanannya, menjadikannya musyrik ataau paling tidak bagi keturunannya.

Ibn Katsir  juga menjelaskan, bahwa ayat 221 ini merupakan pengharaman dari Allah terhadap kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik. Yaitu para penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita musyrik tidak halal dinikahi. [13]Ibnu Katsir  juga mempertegas pendapatnya dengan  menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai keterangan Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.

يايها الدين امنوا ادا جاءكم المؤ منات مهاجرات فامتحنوهن الله  اعلم بايمانهن فان علمتمو هن مؤمنات فلا تر جعو هن الى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلوب لهن واتوهم ما انفقوا ولا جناح عليكم ان تنكحو هن ادا ما اتيتمو هن اجو رهن ولا تمسك بعصم الكوافر واسئلوا ما انفقتم وليسئلوا ما انفقوا دلكم حكم الله يحكم بينكم والله عليم حكيم (الممتحنه :   )

Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka itu tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka  mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah  kamu minta mahar  yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (al-mumtahanah : 10).[14]

Pada masa Khulafaur Rasyidin, pernikahan dengan non muslim pernah dilarang keras oleh salah satu sahabat Nabi, Umar bin Khattab. Sayyidina Umar pernah memerintahkan kepada semua orang Islam untuk menceraikan wanita-wanita yang mereka nikahi yang berasal dari luar Islam. Sahabat nabi ini, menghawatirkan  pernikahan beda agama terjadi hanyalah  karena ketertarikan semata dan timbul dari semangat hawa nafsu.[15]

 Ulama lima Mazhab sepakat perempuan dan laki-laki  muslim dilarang menikah  dengan orang yang tidak mempunyai kitab. Orang yang tidak memiliki kitab adalah golongan yang tidak mendapatkan kitab yaitu Injil, Taurat, Zabur dan al-Qur’an. Para ulama  lima mazhab menyepakati orang di luar  ini merupakan golongan orang musyrik yaitu para penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, dan golongan orang  zindiq, yaitu golongan orang  yang tidak percaya pada adanya Tuhan.

 Selain itu disepakati juga golongan orang Majusi terlarang menikahi dengan orang Islam. Hal ini disebabkan golongan Majusi telah mengubah kitab suci yang asli. Banyak pula disebutkan  orang Majusi sebagai golongan orang yang menyembah api, suatu tindakan yang tidak bisa ditolerir  sebab tindakan itu menyekutukan Allah.[16]

D. Hukum  Nikah Beda Agama Menurut Mazhab Liberal

Dalam persoalan halal dan haramnya kawin antar agama, para Ulama selalu berpegangan pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Mumtahanah ayat : 10 dan  surat al-Maidah ayat 5. Dengan mengacu pada pengertian literal  surat al-Maidah  ayat 5  itu, maka menikahi perempuan Ahli Kitab itu jelas boleh, kebolehan mana telah diujarkan  al-Qur’an dengan sangat jelas dan tegas tanpa syarat apapun. Dari  ayat-ayat  al-Qur’an yang dikutip di atas akan diuraikan hal-hal berikut ini;  antara kaum musyrik dan Ahli Kitab dan dengan siapa al-Qur’an mengharamkan orang Islam melakukan perkawinan.

Antara Kaum Musyrik dan Ahli Kitab
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang berasal langsung dari Allah memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah ketelitian pemilihan dan  penempatan kosa kata dan redaksi kalimatnya. Pemilihan dan penempatan itu bukan suatu kebetulan, tapi mengandung makna filsafat bahasa tersendiri dan dalam. Satu kosa kata atau satu kalimat yang dipilih hanya menunjuk kepada makna atau hukum  tertentu secara khusus dari kosa kata atau kalimat itu.

Al-Qur’an secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli kitab. Dalam surat al-Baqarah, 2:105, Allah berfirman artinya : “Orang-orang kafir dari Ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…” Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga menyebutkan “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”[17]

Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an memakai kata penghubung “dan” (al-Qur’an: waw) antara kata kafir Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Ini berarti bahwa kedua kata, Ahli Kitab dan Musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Sebelum menjelaskan perbedaan antara kedua kata itu, perlu kiranya di sini diberikan terlebih dahulu  beberapa catatan keterangan tentang makna kafir.

Kata kafir (kufr )dari segi bahasa berarti menutupi, istilah-istilah kafir (kufr ) yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, yaitu menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Ketuhanan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui  rasul-rasul-Nya.[18]

Di dalam Al-Qur’an, disebutkan beberapa jenis kekafiran yang antara satu dengan yang lain tingkatannya berbeda-beda. Kafir (kufr ) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-rasulnya dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Kafir (kufr ) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no. 1).

Kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran. Kafir (kufr ) syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dari-Nya, sebagai sembahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari  Nabi-nabi dan wahyu-Nya.

Kafir (kufr ) nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam kategori ini (lihat:al-Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97)

Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari Islam. Kafir Ahli Kitab, yakni non Muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui  Nabi kepada mereka.[19]

Ada beberapa jenis kekafiran lainnya lagi, tapi buat sementara dapat kita ambil kesimpulan, bahwa istilah kafir mencakup makna yang luas, yang dibawahnya terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang arti dan maknanya berbeda antara satu dan lainnya. Kalau Allah menyebutkan dalam al-Qur’an istilah kafir musyrik, maka itu maknanya mesti berbeda dengan makna istilah dari kata Ahli Kitab, dan jika hanya disebutkan kafir saja maka maknanya perlu dipahami bahwa kata itu mesti menunjuk kepada salah satu dari jenis-jenis kekafiran yang ada.

Allah, secara jelas dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya akan  Ahli Kitab bahwa kepercayaan mereka didasarkan pada perbuatan syirik, sepertt kata mereka, dalam firman Allah: "…sesungguhnya Allah itu adalah al-Masih putra Maryam ."(al-Ma’idah, 5;17), dan mereka juga berkata ,"…bahwa Allah yang ketiga dari trinitas …″ (al-Ma’idah,5: 73), dan mereka berkata lagi:"..al-Masih putra Allah…″(al-Taubah, 9:30). Begitu pula dengan orang –orang Yahudi berkata, disebutkan dalam firman Allah:"….Uzair putra Allah…″(al-Maidah,9:30). Apa yang telah mereka lakukan itu adalah perbuatan syirik, namun al-Qur’an sebagi wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari istilah yang sangat tepat sekali, maka al-Qur’an tidak pernah menyebutkan mereka semuanya itu dengan kata "musyrik" sebagai panggilan dan istilah bagi mereka. Mereka tetap dipanggil Allah dengan sebutan Ahli Kitab. [20]Karena kemusyrikan tidak secara otomatis melekat pada institusi suatu agama.

Hal yang dapat dipahami dengan baik dari ayat- ayat al-Qur’an di atas ialah bahwa setiap perbuatan syirik  tidak menjadikan secara langsung pelakunya disebut musyrik. Karena pada kenyataannnya Yahudi dan Nasrani telah melakukan perbuatan syirik , namun Allah tidak memanggil dan menyebut mereka sebagai musyrik, tapi dipanggil dengan Ahli Kitab. Sebuah analogi logis dapat pula kita kembangkan adalah bahwa orang-orang Islampun bisa melakukan perbuatan syirik, dan memang kenyataannya ada, namun mereka tidak dapat disebut sebagai kaum musyrik. Sebab sebagai konsekuensi logisnya, kalau salah seorang suami-istri dari keluarga muslim sudah disebut musyrik, perkawinan mereka batal dengan sendirinya dan wajib cerai, tapi kenyataan ini tidak pernah diterima. Betapa banyak terdapat dalam kenyataan hidup ini pada orang-orang beragama, termasuk orang-orang muslim, melakukan perbuatan syirik dalm kehidupan sehari-harinya Kemusyrikan itu terlihat dari firman Allah, artinya, “Sembahlah Allah, dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun…” (QS.4:36). Menyembah dan menjadikan Tuhan-tuhan lain selain Allah adalah perbuatan syirik, bahkan ada orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan :"Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya"(QS.45:23). Artinya, orang yang mempertuhankan hawa nafsu, harta, kedudukan, dan lain sebagainya, telah melakukan perbuatan syirik. [21]

Dapatkah   pelaku-pelaku syirik ini dikategorikan sebagai kaum musyrik, dan diharamkan mengawininya oleh orang-orang Islam? Kami berpendapat tidak! Surat al-Baqarah, 2:221 tidak berbicara dengan kemusyrikan seperti itu. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap perbuatan syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, tapi sebaliknya setiap orang musyrik sudah jelas pelaku syirik.

Karena itu perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dikategorikan oleh al-Qur’an sebagai musyrik, yang kemudian haram dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab  Samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli; disamping tidak seorang Nabipun mereka percayai.[22] Adapun Ahli Kitab adalah orang mempercayai salah seorang  nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab Samawi, baik yang sudah terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah dan amalan. Sedangkan yang disebut dengan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun  dari agama mana saja.[23]

Begitu jelasnya perbedaan antara kaum musyrik dengan Ahli Kitab, sehingga kita tidak boleh mencampuradukkan makna dan arti antara keduanya; dimana musyrik diartikan Ahli Kitab dan Ahli Kitab diartikan musyrik. Bila Allah mengharamkan  mengawini  perempuan musyrik, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah: 221, “janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman….” Maka tidak tepat bila ayat al-Qur’an itu dipahami bahwa yang dimaksudkan  dengan perempuan Musyrik itu adalah perempuan Ahli  Kitab. Bahkan Imam Muhammad Abduh lebih spesifik dan terang berpendapat, sebagaimana dinukilkan oleh sang murid, Rasyid Ridha, bahwa perempuan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim, dalam al-Baqarah 221, itu adalah perempuan-perempuan  Musyrik  Arab. Apakah masih ada sampai sekarang orang-orang seperti  Musyrik  Arab itu? kalau ada, hukum dapat berlaku, tapi kalau tidak maka dengan sendirinya tidak ada satu kepercayaan dan agamapun yang menjadi kendala dalam melakukan perkawinan.[24]

Karena itu, pandangan yang memasukkan non-Muslim sebagai musyrik ditolak dengan beberapa alasan berikut: pertama, dalam sejumlah ayat lainnya al-Qur’an  membedakan antara orang-orang musyrik dan ahli kitab (Kristen dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an menggunakan huruf “waw” yang dalam kaidah bahasa Arab disebut “athfun”, yang berarti  pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dengan ahli kitab. Abu Ja’far ibn jarir al-thabari dalam jami’ al-bayan al-ta’wil al-qur’an, termasuk salah seorang ulama terkemuka yang menafsirkan “musyrik” sebagai orang-orang  yang bukan ahli kitab. Musyrik yang dimaksud dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan yahudi. Yang dimaksud musyrik dalam ayat tersebut  yaitu orang musyrik arab yang tidak mempunyai  kitab suci.[25] Kedua, larangan menikahi “musyrik”, karena  dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-laki musyrik memerangi  orang-orang islam. Ketiga, dalam masyarakat arab terdapat tiga kelompok masyarakat  yang disebut kelompok lain, yaitu musyrik, Kristen, dan yahudi. romawi dan Persia. Yang membedakan kelompok Kristen, yahudi, musyrik yaitu ajaran monotheisme. Musyrik sepertinya murni sebagai  kekuatan politik, sedangkan yahudi dan Kristen adalah mereka yang sedikit banyak mempunyai  persinggungan teologis dengan Islam. [26]

Ahli Kitab

Ibn Umar salah seorang sahabat Nabi, mempunyai pendapat menyamakan antara kaum Musyrik dan  Ahli Kitab dan mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan-permpuan  mereka. Akan tetapi hampir seluruh sahabat Nabi, tabi’in , ulama-ulama  masa awal dan kontemporer tidak sependapat dengan Ibnu Umar, bahkan bertentangan dengan praktek para sahabat dan tabi’in.[27]

Abdullah bin Abbas berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani, dan kebolehan menikah dengan perempuan-perempuan mereka hanyalah mereka yang berada dalam Darul Islam. Akan tetapi para sahabat dan tabi’in tidak sependapat dengan Abdullah  bin Abbas. Sebab, sekalipun dalam situasi perang tidak ada diantara mereka yang berpendapat bahwa kawin dengan perempuan Ahli Kitab haram, sebab surat al-Maidah membolehkan perkawinan tersebut secara umum.

Imam syafi’i  berpendapat, bahwa Ahli Kitab hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja, sedangkan  dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk Ahli Kitab. Karena Nabi Musa dan Nabi  Isya diutus hanya pada Bani Israil saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya.[28]

Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai  salah seorang Nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan maka ia termasuk Ahli Kitab, dan tidak disyaratkan  Yahudi dan Nasrani. Bila ada orang yang hanya percaya kepada Shuhuf  Nabi  Ibrahim atau Zabur saja, maka iapun termasuk Ahli Kitab. Bahkan diantara Ulama  Salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab dapat diduga sebagai kitab Samawi, maka mereka juga adalah Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang  Majusi.

Dalam kitab klasik pun disebutkan orang-orang Majusi mempercayai kenabian Zoroaster dan Allah , menurunkan wahyu kepadanya sebagai kitab suci yang bernama Zend Avesta. Orang-orang beragama Sabian, yaitu agama dari golongan ginostik, atau yang mengenal kehidupan Agung, kitab suci mereka bernama Ginza mereka mempercayai bahwa Hernes, Plato dan beberapa filosuf dan semua  pembawa syariat telah mendapatkan wahyu Samawi dari Allah yang ajarannya mengandung perintah larangan, surga, neraka. Karena tingginya ajaran mereka, terutama ajaran moral dan bersesuaian dengan ajaran agama, maka pemikir Islam, Ibn Rusyd  berpendapat bahwa Aristoteles seorang filosuf  Yunani adalah seorang manusia yang bersifat  Ilahi (seorang  Nabi).[29]

Dalam pandangan ulama zaman modern, seorang pakar seperti Rasyid Ridha, menegaskan bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan  sebagai Ahli Kitab. Rasyid Ridha memfatwakan bahwa laki-laki muslim diharamkan menikah dengan  perempuan-perempuan musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah perempuan musyrik Arab masa lalu. Itulah pendapat  mufassir  Ibn Jazir Al-Thabari. Sedangkan orang-orang Majusi, Sabian, penyembah berhala di India, China dan semacam mereka, seperti orang-orang Jepang adalah Ahli Kitab, yang kitab mereka mengandung paham monotheisme (tauhid) sampai sekarang. Karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Jadi  dapat ditegaskan  bahwa Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan lainnya, selain musyrik Arab harus diperlakukan sebagai Ahli  Kitab, dengan halal menikahi perempuan-perempuan mereka dan memakan sembelihan mereka.[30]

3. Perkawinan Perempuan Muslimah  Dengan Non Muslim

Dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-Qur’an, Hadits atau kitab fiqh sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti  itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan  yang sharih. Yang ada justru Hadits yang tidak begitu jelas kedudukan nya, Rasulullah bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (muslimah). Khalifah Umar Ibn Khattab dalam sebuah pesannya, seorang muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah.[31]

Setelah diteliti, Hadits yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-‘Athar sebagai hadis yang tidak sahih. Hadis tersebut  tergolong  Hadis Mauquf yaitu Hadis yang sanadnya  terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan  al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm. Sedangkan ungkapan  Umar  Ibn Khattab merupakan  sebuah ungkapan kekhawatiran bila  wanita-wanita Muslim dinikahi laki-laki non muslim, maka mereka akan pindah agama. Dan umat Islam pada saat itu membutuhkan kuantitas dan sejumlah  penganut yang setia.

Jadi, soal pernikahan laki-laki non muslim dengan wanita muslim merupakan wilayah ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan laki-laki muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada semangat yang dibawa al-Qur’an  sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama Samawi dan mereka membawa ajaran amal saleh sebagai orang yang akan bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menyebutkan perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya saling mengenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu ruang, yang mana antara penganut  agama dapat saling berkenalan secara lebih dekat.[32]

Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk membangun tali  kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah rentannya hubungan antar agama  saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.

Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan tahapan-tahapan yang dilakukan  oleh al-Qur’an sejak larangan pernikahan  dengan orang musyrik , lalu membuka jalan  bagi pernikahan  dengan Ahli Kitab merupakan sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas dua.[33]

E. Penutup

Pernikahan beda agama adalah suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berlainan agama dan kepercayaannya. Dalam Islam, menikah dengan Ahli Kitab itu diperbolehkan sedangkan dengan musyrik sama sekali dilarang.  Walaupun pernikahan beda agama pernah dipraktekkan oleh Nabi, para sahabat dan para tabi’in, Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi  perempuan Yahudi atau Nasrani itu tidak diperbolehkan.

Menurut Mazhab Liberal non-Muslim berbeda dengan musyrik hal itu dapat dilihat dari beberapa alasan yang telah mereka ajukan. salah satu alasan mereka adalah bahwa yang dimaksud “musyrik” dalam al-baqarah 221 sama sekali bukan Kristen dan Yahudi. Tapi orang musyrik Arab yang tidak mempunyai  kitab suci. Jadi menurut mereka boleh menikah dengan non muslim. Selain itu  menurut Rasyid Ridha, bahwa penganut agama Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konfucius, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan  sebagai Ahli Kitab, karena mereka bukan termasuk musyrik Arab. Jadi menikahi perempuan-perempuan mereka adalah halal.


DAFTAR PUSTAKA

  • Al-Dimyati, I’anat Al-thalibin, juz III,  Indonesia: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyah, t.t.
  • Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris as-Syafi’I, Al-umm, jil. V, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
  • Abu Al-Ainain Badran, Al-Alaqah Al-Ijtima’iyah Wa Ghair al-Muslimin (Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.t.), h. 29-31, dikutip  oleh Zainun Kamal, Kawin Antar  Umat  Beragama, makalah pribadi.
  • Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Islam fi Mawajahah Al-Tahaddiyah Al-Mu’assharah, Kuwait: Dar Al-Kalam, 1983
  • A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah  (Syari’ah), Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2002.
  • Ahmad Munjab Mahali, Asbab-an-Nujul, Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta:Grafindo Persada, 2002.
  • Al-Jaziri Abdur Rahman, Kitab al-Fiqh, ala Mazhahi al-Arba’ah,  Vol. IV, Kairo, 1970
  • Depag R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Samara Mandiri, 1999
  • Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
  • Ibn Hazm al-Andalusi, Al-Mahalla bi al-Asar, jil. XI, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995.
  • Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir (terj) Dr. Abdullah bin Muhammad, Abdurrahman bin Ishaq,  Pustaka Imam Syafi’I, 2002
  • Jamil Shaliba, Min Aflaton ila Ibn Sina (Beirut: Dar Al-Andalus, 1981), h. 47, dikutip  oleh Zainun Kamal, Kawin Antar  Umat  Beragama, makalah pribadi.
  • Mun’im A. Sirry, peny., Fiqh Lintas Agama, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan  The Asia Foundation, 2004
  • Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, jil. V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t
  • M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.
  • Nasrul  Umam syafi’I & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama? Semarang: Qultum Media,  2004.
        mau lihat foot note klik disini













.