MAKALAH PENGERTIAN ILMU
KALAM , TAUHID SERTA SEJARAH MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ilmu kalam
Dosen Pembimbing
H. M.imdadur Rohman.MH.I
Disusun oleh:
Danang Purbo Raharjo ( C04211062 )
Fasilatul lailiyah (C04211071)
M.Sukron ( C04211090 )
PRODI EKONOMI SYARIAH ( C )
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayahnya kami bisa menyelesaikan tugas dengan judul “ PENGERTIAN ILMU KALAM TAUHID SERTA SEJARAH MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
”. Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana beliau telah memberikan kita petunjuk kepada jalan yang benar.
Tema ini diberikan kepada kami sebagai tugas mata kuliah dan diharapkan nantinya dapat membantu dosen pengajar dalam menyampaikan materi kuliah di kelas.
Akhir kata, perkenankanlah kami memohon do’a restu atas makalah ini. Dan hanya kepada Allahlah kita berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya.
Akhirul kalam. Ihdinas shiratal mustaqim. tsumma assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatu
September , 2011
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Aqidah ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari akidah/teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat , yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi dalam Islam disebut juga ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu/esa dan keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu kalam.
B.Rumusan Masalah
1. apa pengertian dari ilmu kalam ?
2. apa pengertian dari tauhid ?
3. bagaimana sejarah muncul imu kalam ?
4. apa saja ruang lingkup ilmu kalam ?
C.Tujuan
1.untuk mengetahui pengertian dari ilmu kalam ?
2. untuk mengetahui apa pengertian dari tauhid ?
3 untuk mengetahui sejarah muncul imu kalam ?
4. untuk mengetahui ruang lingkup ilmu kalam ?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang.
Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar.Menurut persepsinya, hukum islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama,fiqh al-akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.[1]
Teologi islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari bahasa inggris, theology. William L. Reese mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning God ( diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).[2] Dengan mengutip kata-kata William Ockham,Reese lebih jauh mengatakan, “Theology to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy and science.”( Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan tentang keimanan,perbuatan,dan pengalaman agama secara rasional.
Al-Farabi mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah setelah kematian yang berlandaskan doktrin Islam. Penekanan akhirnya adalah menghasilkan ilmu ketuhanan secara filosofis.[3]
Adapun Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Sedangkan Musthafa Abdul Raziq berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar kepada argumentasi-argumentsi rasional yang berkaitan dengan aqidah imaniah, atau sebuah kajian tentang aqidah Islamiyah yang bersandar kepada nalar.[4]
Menurut Ahmad Hanafi, di dalam nash-nash kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan sekarang. Arti semula dari istilah al-Kalam adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud Kemudian dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara. Sebagai contoh, kata-kata kalamullah banyak terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya pada Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan Surah an-Nisa’ ayat 164.[5]
Penggunaan al-Kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana kita kenal saat ini pertama kali digunakan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah Al-Ma’mun.Sebelumnya, pembahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam islam disebut al-fiqh fi ad-din, sebagai imbangan terhadap al-fiqh fi al-ilm yang diartikan ilmu hukum ( ilmu qanun ). Biasannya mereka menyebutkan al-fiqhi fiddiniafdhalu minal fiqhi fil ‘ilmi, ilmu aqidah lebih baik dari ilmu hukum.
Menurut As-Syihristani bahwa setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang duterjemahkan pada masa al-Ma’mun, mereka mempertemukan sistem filsafat dengan sistem Ilmu Kalam dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Kalam. Sejak saat itu, diginakanlah penyebutan Ilmu Kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Adapun yang melatarbelakangi mengapa ilmuini dinamakan Ilmu Kalam adalah :
1. Permasalahan terpenting yang menjadi tema perbincangan pada masa permulaan Islam adalah masalah firman Allah ( Kalam Allah ), yaitu al-Qur’an. Apakah Kalamullah tersebut qadim atau hadits ( baru )? Walaupun permasalahan ini hanya merupakan salah satu bagian dari pembahasan ilmu ketuhanan dalam Islam, namun karena ia menjadi bagian terpenting maka ilmu ini dinamai Ilmu Kalam.
2. Dalam membahas masalah-masalah ketuhanan, para mutakallim ( ahli Ilmu Kalam ) menggunakan dalil-dalil aqliyah dan dampaknya tercermin pada keahlian meraka dalam berargumentasi dengan mengolah kata-kata. Dengan demikian, mutakallim diartikan juga dengan ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
3. Secara harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi secara istilah, kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika . Selain itu, kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata dan istilah Yunani “logos” yang juga secara harfiah berarti “pembicaraan”. Dari kata itulah berasal berasal kata-kata logika dan logis. Kata Yunani “logos” juga disalin kedalam bahasa Arab, “manthiq”. Sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Manthiq ( ‘Ilm al-Manthiq ). Jadi kata Arab “manthiqi” berarti “logis”. Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Manthiq atau Logika.
Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam filsafat.
Apabila memperhatikan definisi ilmu kalam diatas, yakni ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara teoritis aliran salaftidak dapat dimasukkan ke dalam aliran ilmu kalam, karena aliran ini –dalam masalah-masalah ketuhanan- tidak menggunakan argumentasi filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke dalam aliran ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin atau fiqh al-akbar.
Sunber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat argumentasi mereka.
Di samping itu, dalil-dalil naqli ini tentunya diperkuat dengan dalil aqli atau alur pikir yang logis. Dalil aqli ini ada yang berasal dari ilmu keislaman murni dan ada yang diadopsi dari pemikiran-pemikiran di luar Islam.Jadi kurang tepat kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu merupakan ilmu keislaman murni, dan tidak benar juga kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari pemikiran di luar Islam seperti filsafat Yunani. Yang benar adalah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang perumusan-perumusannya di dorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar.[6]
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
a. Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
b. Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
d. Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
e. Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
f. Q.S Ar-Rahman : 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak akan rusak selama-lamannya.
g. Q.S An-Nisa’ : 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama. Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
h. Q.S Luqman : 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinnya kepada Allah disebut sebagai orang muhsin.
i. Q.S. Ali Imran : 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara sadar.
j. Q.S Ali Imran : 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan penunjuk jalan kepada para nabi.
k. Q.S, Al-Anbiya : 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku, ras, atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya.
l. Q.S. Al-Hajj : 78: Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya hanya karena Allah semata.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
2. Hadits
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan yang artinya :
Artinnya : “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. Berkata, pada suatu hari ketika Rasulullah SAW berada bersama kaum muslimin, datanglah jibril ( dalam bentuk seorang laki-laki ) kemudian bertanya kepada beliau, “ Apakah yang dimaksud dengan iman?” Rasulullahmenjawab, “yaitu kamu percaya kepada Allah, para malaikat, semua kitab yang diturnkan, hari pertemuan dengan-Nya, para rasul dan hari kebangkitan. “ Lelaki itu bertanya lagi, “ Apakah pula yang diaksudkan dengan Islam ?“ Rasulullah menjawab, “ Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan sholat yang telah difardhukan, mengeluarkan zakat yang telah diwajibkan dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” Kemudian lelaki itu bertannya lagi, “ Apakah ihsan itu?” Rasulullah SAW menjawab, “ Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, Ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu.” Lelaki tersebut bertanya lagi, “ Kapankah hari kiamat akan terjadi?” Rasulullah menjawab, “ Aku tidak lebih tahu darimu, tetapi aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila seorang hamba melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya. Aoabila seorang miskin menjadi pemimpinmasyarakat, itu juga sebagian dari tanda-tandanya. Apabila masyarakat yang asalnya pengembala kambing mampu bersaing dalam mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda akan terjadi kiamat. Hanya lima perkara itu saja sebagian dari tanda-tanda yang aku ketahui. Selain dari itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya. “ Kemudian Rasulullah SAW membaca Surah Luqman ayat 34, “ Sesungguhnya hanya Allah lah yang mengetahui tentang hari kimat; dan Dia-lah yang menurukan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Tiada seorangpun yang dapat mengetahui ( dengan pasti ) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dimanakah ia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kemudian lelaki tersebut beranjak dari tempatnya, kemudian Rasulullah bersabda ( kepada sahabatnya ), “Panggil kembali lelaki itu.” (( Lalu para sahabat pun mengejar lelaki tersebut untuk memanggilnya kembali ), namun mereka tidak melihatnya. Rasulullah SAW pun bersabda, “ Lelaki tadi adalah jibril as., kedatangannya adalah untuk mengajar manusia tentang agama mereka.”
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian ulam sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya sesat.
Keberadaan Hadits yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas, pada dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa hadits-hadits seperti itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3. Pemikiran Manusia
Sebagai salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal dari pemikiran umat islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “ Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Artinya : “ Maka apakah ( Allah ) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan? Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” ( Q.S. An-Nahl Ayat 17 )
Artinya : “ Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada diatas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?” ( Q.S. Qaf Ayat 6 )
Artinnya : “ Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizing- Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur. Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, ( sebagai rahmat ) dari pada-Nya, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berfikir.” ( Q.S. Al-Jatsiyah Ayat 12-13 )
Ayat-ayat yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24, An-Nahl : 68-69, Al-Isra’ : 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29, Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat : 47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.
Ahmad Amin menyebutkan, setelah umat Islam selesai menaklukan negeri-negeri baru dan keadaan mulai stabil dan mereka hidup dengan rizki yang melimpah ruah, mulailah mereka memikirkan tentang ajaran-ajaran agama mereka. Mereka sungguh-sungguh membahasnya dan mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti ini hampir merupakan gejala umum pada setiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya melaksanakan bulat-bulat apa yang dikerjakan agama dan mengimaninya. Lalu setelah itu datanglah fase pembahasan dan pemikiran dalam membicarakan soal-soal agama secara ilmiah dan filosofis.[7] Penelaahan mendalam seperti ini tentu karena adanya ajaran-ajaran Islam yang memerintahkan manusia untuk belajar dan menggunakan pikirannya.
Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan setidaknya ada tiga faktor penting. Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam setelah kemenangannya, pada awalnya mereka memeluk berbaga agama yaitu Yahudi, Nasrani, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain-lain.Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami ajaran agama aslinya. Setelah fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam, mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat persoalan-persoalanya lalu memberinya corak baju keislaman.
Di dalam sejarah, disebutkan bahwa Ahmad bin Haith dahulunya memeluk agama Hindu lalu mempersoalkan masalah reinkarnasi ( tanasukh al-arwah ), yaitu manusia mati lalu hidup kembali menjadi makhlik yang lain. Ada juga Abdullah bin Saba’ dan Persia yang dahulunya memeluk agama Yahudi, menganggap bahwa raja Persia itu mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Kemudian timbul faham menuhankan khalifah Ali r.a.[8]
Kedua, golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk itu, mereka tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-pendapat serta alas an-alasan lawan mereka. Maka terjadilah perdebatan-perdebatan yang rasional antar agama saat itu. Tidak menutup kemungkinan masing-masing golongan mengambil pendapat yang dianggapnya benar walau dari pendapat orang yang berbeda dengannya. Sebagian agama terutama Yahudi dan Nasrani telah menggunakan senjata filsafat Yunani. Philon ( 25 SM-5 M ) orang Yahudi yang pertama memfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan mempertemukannya dengan filsafat Yunani. Clemus von Alexandrian ( 185-254 M ) diantara orang yang pertama-tama mempertemukan agama Kristen Nestorius. Hal ini akhirnya memaksa golongan Mu’tazilah untuk menggunakan senjata yang dipakai lawan-lawannya, yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam golongan Mu’tazilah dan golongan-golongan yang lain, semakin banyak perbedaan pendapat dalam umat Islam. Hal ini merupakan salah satu faktor munculnya ilmu kalam.[9]
Ketiga, sebagaimana pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat membutuhkan filsafat Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka mereka terpaksa mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi ketuhanannya. Misalnya An-Nadham, seorang tokoh Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf.[10]
Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif.[12] Tylor justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dn ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.[13]
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir, masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap suci terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ), buaya, dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan balasan bagi amal perbuatan yang baik.[14]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ).[15]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalam bersumber pada Al-Qur’an, hadits, pemikiran manusia, dan insting. Ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematisasikan, dan mempunyai metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah.[16] Adapun orang yang pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikannya adalah Imam Al-As’ari, tokoh ahlu sunnah wal al-jama’ah, melalui tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat, [17]dan Al-Ibanah An-Ushul Ad-Diyanah.
C.SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN-PERSOALAN KALAM
sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan,bermula dari Peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 8 juni 632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan politik dalam masyarkat islam sehingga mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan umat islam. Perpecahan ini mulai memanas sejak Khalifah Utsman bin Affan mengambil kebijakan mengangkat anggota keluarganya untuk menduduki posisi dalam struktur politik dan jabatan penting, sehingga sebagian besar masyarakat islam tidak senang dengan kebijakan tersebut. Puncaknya adalah saat Khalifah Utsman bin Affan terbunuh saat sedang membaca Al-Qur’an dirumahnya.
Setelah khalifah ustman terbunuh maka kembali diumumkan pergantian kekhalifahan selanjutnya yang berpacu pada penolakan muawiyyah atas terpilihnya Ali bin abi Thalib. Ketegangan antara keduanya mengobarkan sebuah peperangan yang disebut perang siffin dan merupakan perang saudara pertama dalam islam yang dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam),akan tetapi dengan kesigapan nilai ukhuwah maka peperangan ini dapat diakhiri dengan keputusan tahkim (abitetrase), dan dalam tahkim terdapat persoalan-persoalan yang merugikan pihak Ali bin abi Thalib karna menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash utusan dari pihak Muawiyyah dalam tahkim yang mengakibatkan misintrepetasi dari sebagian tentara Ali, karna telah memutuskan persoalan dengan tahkim sebagai akhir dari sebuah pilihan. Hal inilah yang mengakibatkan perpecahan dari kubu Ali bin abi thalib sehingga banyak diantara yang semula berpihak pada Ali kemudian terpecah dan keluar dari barisan militer ali bin abi Thalib ,Putusan hanya datang dari Allah dan harus kembali pada hukum dan ketetapan Allah yang ada dalam Al-qur’an . La hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) Hal ini tidak hanya mempunyai implikasi politik yang tajam, tetapi juga meningkat kepada persoalan-persoalan teologi, yang melahirkan beberapa aliran teologi yaitu :
a. Khawarij: persoalan iman dan kufr (mu’min dan kafir)
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij –terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangka karena, seperti yang telah diungkapkan sejalrah, Khawarij mula-mula memunculkan eprsoalan teologis seputar masalah “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?””apakah muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar teologi mereka. Menurut mereka, Ali dan Muawiyah beserta para pendukungnyatelah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dansemua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari pada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan, segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalam masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan, al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
b. Murji’ah: masalah iman dan menentang pendapat Khawarij
Aliran murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queieties (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah selalu diam dalam persoalan politik.
c. Paham Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Dalam kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan bahwa menurut paham teologi Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kemauannya sendiri, dan manusia sendiriilah yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia mempunyai kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia menghendakinya, dan ia pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya. Aliran ini menolak paham yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut kadar yang telah ditentukan sejak zaman azali. Selanjutnya pengarang kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah itu juga menyebutkan, bahwa menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri mereka, tak ubahnya seperti air yang mengalir, manusia tak ubahnya seperti bulu yang ditiup oleh angin, dia akan melayang-layang ke arah mana angin bertiup. Menurut paham ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan sendiri, tapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah yang menghendaki demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi Tuhanlah yang memaksanya membunuh. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia berbuat dan bergerak karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuham manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Disamping kedua paham itu, terdapat pula paham tengah antara paham Qadariyah yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghailan dengan paham Jabariyah yang dibawa oleh Jaham, yaitu paham kasb, yang dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut al-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, dalam paham Kasb, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan yang jahat. Tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam dirinya mempunyai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
d. Mu’tazilah : al-Ushul al-Khamsah
Setiap pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin attau kafir.
1) Al Tauhid ( Ke-Esa-an )
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.
2) Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5) Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
e. Asy’ariyah: Mazhab Syafi’i
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Tehadap pelaku dosa besar, agaknya asy’ari, sebagai wakil ahl al-sunnah tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut al-asyari, hal itu bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah khususnya tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
f. Maturidiyah: Mazhab Ahmad bin Hambal
Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Setelah menelaah sekian riwayat tentang munculnya ilmu kalam dan persoalan-persoalan disekitar ilmu kalam yang menjadi simbolisasi dari ilmu manthiq dan logika , seakan menata barisan idiologi tentang hal-hal yang mendoktrin untuk terus berfikir akan sesuatu yang telah ada dan mencakup semua sejarah tentang perebutan kekuasaan, perbedaan cara pandang dan sistem perpolitikan. Kaca perbandingan yang menyeluruh dari sekian bentuk knowladge yang bermunculan seiring perkembangan zaman. Wallahu a’lam.
D.Ruang lingkup aqidah ilmu kalam
Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’ dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
D. Sejarah kelahiran aqidah ilmu kalam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara . Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan keputusan Tahkim (arbitrase). sikap ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash(utusan Mu’awiyah dalam tahkim), sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Al-Qur’an La Hukma Ila Lillah(tidak ada hukum selain dari hukum Allah). atau La Hukma Illa Allah( tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka . mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka terkenal dengan nama khawarij. dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib dikenal dengan nama syiah.
Harun lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu:
1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir , tetapi bukan mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara dua posisi). dalam Islam timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. adapun Jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam yaitu aliran Asy’ariyah dan Aliran Maturidiyah.
E. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Pembahasan ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran) . Sebagai sumber Ilmu Kalam, Al-qur;an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah
1. Q. S. Al-Ikhlas(112):3-4. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tidak satupun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya.
2. Q. S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
3. Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan Yang Maha Penyayang bertahta diatas Arsy. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada diantara keduanya.
4. Q. S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai tangan yang selalu berada diatas tangan-tangan orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
5. Q. S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai mata yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan hati makhluknya.
6. Q. S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai wajah yang tidak akan rusak selama-lamanya.
7. Q. S. An-Nisa’(4)125. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama . seseorang dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
F. Faktor-faktor Timbulnya Ilmu Kalam
1. Faktor dari dalam(intern) :
a. Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan bintang-bintang sebagai sekutu Allah. hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-An’am ayat 76-78.
b. Ada yang mentuhan kan Nabi Isa as. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-Maidah ayat 116.
c. Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-an’am ayat 74.
d. Golongan yang tidak percaya akan kerasulan nabi(nabi Muhammad saw. ) dan tidak percaya akan kehidupan akhirat. hal ini ditolak dengan firman Allah surat al-Ambiya’ ayat 104.
e. Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia ini adalah perbuatan Tuhan semuanya dan Soal politik (Khilafah) pemimpin negara. yang dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar.
2. Sebab dari luar (ekstern) yaitu:
a. Danyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi, masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran Islam.
b. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.
c. Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang menggunakan filsafat , dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.
G. Hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya (filsafat dan tasawwuf)
1. Titik persamaan
Ilmu kalam, filsafat dan tasawwuf mempunyai obyek kemiripan. Obyek ilmu kalam ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya. Obyek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Argumentasi filsafat sebagaimana ilmu kalam dibangun diatas dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran yang rasional.
2. Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam , sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai ketuhananya . Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional. Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelana) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Adapun ilmu tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawwuf bersifat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Dilihat dari aspek aksiologi(manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian langsung. Adapun tasawwuf lebih peran sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh yang ingin dicarinya. Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu . jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan yang terakhir adalah ilmu tasawwuf. Kesimpulan
1. Pengertian Aqidah Ilmu kalam adalah artinya ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Nama-nama ilmu kalam yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi Islam. dan Ruang lingkupnya adalah tentang mengesakan tuhan yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqiah-aqidah yang menyimpang.
2. Sejarah munculnya ilmu kalam adalah ketika Rasulullah meninggal dunia dan peristiwa terbunuhnya usman diman antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. dan sumber-sunber ilmu kalam adalah dalil naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran)
3. Faktor timbulnya ilmu kalam ada dua yaitu faktor intern dan ekstern.
4. Hubungan ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya(filsafat dan tasawwuf mempunyai persamaan dan perbedaan.
E.Pengertian Imu Tauhid
Ditinjau dari sudut bahasa (etimologi ) ,kata tauhid adalah merupakan bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu : wahhada yuwahhidu wahdah yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan .[18] kemudian ditegaskan oleh ibnu khaldun dalam kitabnya muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna keesaan tuhan. [19] maka dari pengertian ithimologi tersebut dapat diketahui bahwa tauhid mengandung makna meyakinkan (mengi’tikadkan ) bahwa allah adalah satu tidak ad syrikat bagi-nya
Ditinjau dari sudut istilah ( terminologi ) , telah dipahami bersama bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai obyek dan tujuan tertentu .karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing –masing mempunyai batasan – batasan tertentu pula . demi batasan-batasan tersebut pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan dan cendikiawan didalam membahas, mengkaji , dan menelaah obek garapan dari suatu cabang ilmu pengatahuan .
Demikian juga halnya pada kajian ilmu tauhid yang telah di ta’rifkan oleh para ahli sebagai berikut :
a. syekh muhamad abduh mengatakan bahwa :
ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud allah dan sifat sifat yang wajib ada pada-nya ,dan sifat yang boleh ada padanya dan sifat yang tidak harus ada pada-nya ( mustahi ) , ia juga membahas tentang para rasul untuk menegaskan tugas risalahnya , sifat sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya ( jaiz ) dan yang tidak ada padanya ( mustahil ) [20]
b. syekh husain affandi al-jisral-tharablusymenta ’rifkan sebagai berikut :
ilmu tauhid ialah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetapkan aqidah ( agama islam ) dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan[21]
dari kedua ilmu ta’rif ilmu tauhid tersebut itu dapat lah diambil suatu pengertian bahwa pada ta’rif pertama ( syekh muhamad abduh ) lebih menitik beratkan pada objek formal ilmu tauhid yakni pembahasan tentang wuhud allah dengan segala sifat dan perbuatannya serta membahas tentang para rasulnya , sifat-sifat dengan segala perbuatannya .sedangkan pada ta’rif kedua ( sekh husain al-jisr) menekankan pada metode pembahasannya yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan , dan yang dimaksud disini adalah dalil naqli maupun dalil aqli.dengan demikian ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan berbagai pendekatan .
C.Objek Pembahasan Ilmu Tauhid
Obyek pembahasan atau yang menjadi lapangan bahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi pada tiga bagian utama yaitu :
- tauhid ilahiyah (ketuhanan) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah ketuhanan , hal ini terdiri dari :
- tauhid uluhiyyah yaitu membahas tentang keesaan allah dalam dzat –nya tidak terdiri dari beberapa unsur atau oknum , dia (allah) sebagai dzat yang wajib disembah dan dipuja dengan ikhlas ,semua pengabdian hambanya semata-mata hanya untuknya seperti berdoa dan lain-lain sebagai mana yang dinyatakan dalam firman allah swt dalam surat al-ikhlas ayat 1- 4
- tauhid rububiyah , yaitu pembahasan tentang allah sebagai arrabu yaitu esa dalam penciptaannya pemeliharaan dan pengaturan semua makluhnya sebagai firman allah yang menjelaskan siapakah yang memberi rezeki pada manusia dalam surat yunus ayat 31
- tauhid dzat , sifat – sifat dan nama – nama nya yaitu pembahasan tentang sifat sifat dan nama-nama yang disebut sendiri oleh allah dan rasulnya yang tidak sama dengan makluhnya sifat dan nama-nmanya adalah agung dan sempurna kita tidak boleh memberi nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan nya atau menyusuaikan nama-nama dan sifat sifat itu dengan yang lain seperti membagaimanakan , menggambarkan dan lain-lain .sebagaiman firman allah dalam surat al-a’raaf ayat 180 .
- tauhid nubuwwah ( kenabian ) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian ,kedudukan dan peranan serta sifat sifat dan keistimewaannya , sebagaimana firman allah dalam surat an-nahl ayat 43.
- tauhid sam’iyyat ,yaitu sesuatu yang diperoleh lewat pendengaran dari sumber yang meyakinkan yakni al-qur’an dan al-hadits ,misalnya tentang alam kubur , azab kubur ,hari kebangkitan dipadang mashar ,alam akhirat ,tentang ’arsy ,lauh mahfudz ,dan lain-lain [22] seperti yang disebutkan dalam firman allah surat az-zumar ayat 60 .
D.Dasar-dasar Ilmu Tauhid
Syekh husain al-jisr menjelaskan bahwa didalam membahas ilmu tauhid mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan yakni dalil naqli dan aqli . dalil naqli adalah pengetahuan tentang masalah – masalah agama yang diambil dari alquran dan hadis yang shaheh . dengan dalil naqli tersebut diketahui keterangan – keterangan tentang tuhan dan segala sifat dan perbuatannya serta menunjukan bahwa segala makhluh berada dalm lingkungan hukum alam ( sunnah allah ) yang tidak berubah dan bertukar , sebagaimana tersebut dalam firman allah surat al-fath ayat 23.
Jadi , sifat suatu dalil naqli adalah sebagai pembuktian suatu dalil , dan merupakan akhir dari pembahasan yang penjang sesuai dengan yang ditunjuk oleh dalil , sebagai contoh pembuktian surat al-baqarah ayat 225 .
Adapun dalail naqli adalah pengetahuan yang didapatkan dari keputusan akal yang sehat berdasarkan cara berfikir yang telah ditentukan oleh ilmu pengetahuan , sifat dalil ini adalah sebagai sarana penyimpulan keterangan suatu peristiwa , bertolak dari beberapa peristiwa nyata kemudian diambil satu atau lebih kesimpulan yang benar , sebagai contoh adanya teori gerak , bahwasanya setiap makluh merupakan kumpulan dari sejumlah gerakan sebagai tanda kehidupannya dengan gerakan awal dan gerakan awal itu pasti ada penggeraknya , yaitu tuhan allah SWT .
E.Fungsi Ilmu Tauhid dalam Bidang Ilmu dan Amalan Islam
Berdasarkan pada pengertian dan kedudukan ilmu tauhid yang mendasari semua keilmuan dan amalan dalam islam , maka ilmu tauhid berfungsi dalam ( 2 ) bidang yang salin terjalin antara yang satu bidang dengan yang lainnya yaitu :
- Dalam Bidang I’tiqoyah
- ilmu tauhid berfungsi memberikan dasar dan landasan mental ( basic mentalty ) yang kuat bagi keimanan seorang muslim terhadap keesaan tuhan sebagai satu-satu nya sesembahan dalam ibadah ( tauhid uluhiyah )
- memberikan penerangan yang bersifat dakwah terhadap orang-orang non muslim untuk diajak beriman secara tauhid yang tidak bercampur dengan kemusrikan dengan penjelasan yang baik dan bijaksana , baik dalam artian menolak terhadap semua ajaran ketuhanan yang salah diinterpretasikan maupun bersifat operatif terhadap pemahaman yang bersifat merusak kemurnian tauhid .
- Dalam Bidang Ijtihad
Dalam bidang ini ilmu tauhid berfungsi :
- menjelaskan dan membahas obyek ilmu tauhid secara ilmiah , dengan berdasarkan dalil naqli yang shahih dan dikuatkan dengan dalil aqli yang tidak bertentangan / menyimpang dari ajaran islam itu sendiri
- melengkapi dasar dasar / landasan ilmiah bagi keimanan orang-orang islam yang sekaligus berarti mempersenjatai mereka dengan dalil dalil ilmiyah . dengan demikian agar orang orang islam memiliki kekebalan dan kemampuan terhadap unsur unsur yang akan menggoyahkan keimanan mereka dalam bidang i’tiqad
- karena itu dengan modal tersebut diharapkan dapat jadi pandangan atau sebagai falsafah hidup bagi kaum muslimin dalam menjalani kehidupannya yang dalam hal ini sebagai ” way of life ”
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang dan sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan dan ilmu kalam tidak lepas dari ilmu tauhid , ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan berbagai pendekatan .
Daftar Pustaka
Rozak abdul , rosihan anwar ,ilmu kalam untuk uin , stain , ptais , bandung ,cv pustaka setia ,2009
Mulyono dan bashori , study ilmu tauhid ,malang , uin maliki press ,2010
[2] William L Reese, Dictionary of philosophy and religion, Humanities Press Ltd., USA , 1980, hlm. 28.
[3][3] Musthafa Abd Al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-falasafah al-islamiyah, Lajnah wa at-Ta’lif wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, 1959, h. 268.
[4] Ibid, h. 265
[5] Ahmad Hanafi,Theologi Islam ( Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1974, h. 4
[6] Lihat Sahilun Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1991, h. 29
[7] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, Kairo: Nahdhat al-Mishriyah, Juz III, tt, h. 2
[8] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 44
[10] Ibid.
[11] Lihat Abbas Mahmout Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-agama dan Pemikiran Manusia. Terj. A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta. 1973, hlm. 32
[12] Al-Akkad, op. cit., hlm. 14
[13] Ibid., hlm. 15
[14] Ibid., hlm., 50-51
[15] Raziq, op., cit., hlm. 450
[16] Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, diterjemahkan oleh Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman, Pustaka Setia, Bandung, 1999
[17] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, hlm. 6
[18] Mulyono dan bashori mengutip dari ahmad warson munawir .al munawir kamus bahasa arab –indonesia (yogyakarta :ponpes al munawir ,1984 )hlm.1646.
[19] Mulyono dan bashori mengutip dari ibnu khaldun ,muqaddimah ,terj ahmadie thoha (Jakarta : pustaka firdaus , cetakan pertama ,1986 ) , hlm 589
[20] Mulyono dan bashori mengutip dari syekh muhamad abduh ,risalah tauhid ,terj .Kh firdaus( jakarta:an-pn bulan bintang , cetakan pertama .1963 ) ,hlm 33
[21] Mulyono dan bashori mengutip dari husain affandi al-jisr ,al-husunulhamidiyah ,terj. ahmad nabhan( surabaya : tp ,1970 ) , hlm 6
[22] Mulyono dan bashori mengutip dari abd.jahid dan pemikirtaubbar adlan et ,al ,teks book .pengantar ilmu tauhid dan pemikiran islam ( surabaya : CV . aneka bahagia ,1995 ) , hlm 37