Sekte-sekte dalam Islam



aneka ragam makalah mencoba mengembangkan materi utama tersebut yaitu sekte-sekte dalam islam. sekte-sekte dalam islam merupakan pembahasan yang penulis anggap merupakan sebuah kajian yang menarik untuk dikaji dan diteliti, yaitu mengenai perkembangan agama atau kepercayaan tertentu menjadi sekte-sekte dan aliran kepercayaan (kebatinan).

Munculnya sekte-sekte dan aliran kepercayaan tersebut diawali dari sebuah gerakan-gerakan yang ingin berusaha melakukan rekonstruksi, purifikasi, inovasi dan lain sebagainya terhadap ajaran-ajaran konvensional dan normatif dalam sebuah agama atau kepercayaan tertentu. Tapi terkadang, usaha-usaha yang dilakukan seringkali menciptakan sebuah aliran-aliran yang menyimpang jauh dari agama asalnya, sehingga sekte-sekte yang berkembang tersebut akhirnya menciptakan sebuah ajaran-ajaran dan bahkan menimbulkan sebuah agama yang baru pula.

Makalah ini nantinya akan memberikan sedikit penjelasan mengenai kepercayaan dan agama secara sekilas, ditambah dengan deskripsi mengenai kemunculan dan perkembangan sekte-sekte dan aliran kepercayaan yang hadir dalam sebuah masyarakat atau komunitas agama, akan menjadi pembahasan utama dari tulisan ini. 

Tentang kepercayaan dan agama


Tulisan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan sederhana, mengapa manusia itu harus beragama? jawaban yang mungkin benar bahwa agama merupakan fitrah (kebutuhan dasar) manusia. Ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang lemah dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupannya, untuk itu dia membutuhkan sebuah kekuatan baru. Kekuatan baru itu tidak muncul dari dirinya, maka muncullah harapan yang bermuara pada kepercayaan.[1] Jadi, kepercayaan merupakan awal dari agama. Sebelum seseorang beragama, tentunya ia harus percaya dulu dengan agama yang akan dianutnya, setelah percaya dan yakin baru kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut. Agama berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib (numinous) dan suci (sacred)[2], sehingga manusia yang lemah itu percaya bahwa sesuatu yang suci tersebut akan dapat membantunya dalam mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya.

Rudolf Otto, dalam bukunya The Idea of Holy (1917) percaya bahwa rasa tentang suatu yang gaib ini (numinous) adalah dasar-dasar dari agama: “perasaan itu mendahului setiap hasrat untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan bagi perilaku beretika: Kekuatan gaib dirasakan oleh manusia dengan cara yang berbeda-beda. Terkadang menginspirasikan kegirangan liar dan memabukkan, terkadang ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum dan hina dihadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan”.[3]

Akibat dari rasa percaya manusia pada sesuatu yang gaib tadi akhirnya menimbulkan kepercayaan terhadap tuhan, dewa-dewa dan roh-roh. Konsekuensi yang timbul  dari kepercayaan ini adalah munculnya pemujaan (cult) dan ibadat-ibadat yang dilakukan dalam bentuk yang beragam, sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Di sini, kepercayaan tersebut berkembang membentuk lembaga-lembaga, seperti upacara-upacara peribadatan, adanya pemimpin agama, kitab-kitab suci, ajaran-ajaran yang berisi perintah dan larangan dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, kepercayaan nantinya memunculkan agama, sehingga agama, sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat diartikan sebagai bentuk kepercayaan-kepercayaan yang dilembagakan dan terorganisir.

Menarik pendapat DR Ibnu Hajar bahwa kepercayaan itu yang melahirkan agama, bukan agama yang melahirkan kepercayaan. Sebuah pernyataan yang tepat, sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa setiap orang yang menerima wahyu tuhan untuk menyampaikan sebuah agama kepada umat manusia, terlebih dahulu dia harus percaya dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jika tidak ada kepercayaan kepada wahyu, agama tidak akan muncul dan berkembang seperti sekarang ini.

Selanjutnya agama berkembang dengan berbagai dimensinya. Berbicara tentang agama, maka kita akan memasuki wilayah yang cukup luas. Mulai dari jenis agama yang bermacam-macam, defenisi yang beragam dan pendekatannya yang berlapis-lapis,[4] agama juga memasuki wilayah ilmu pengetahuan dan menjadi budaya. Persentuhan agama dan ilmu pengetahuan, melahirkan berbagai disiplin ilmu yang beraneka ragam pula, seperti sejarah agama, sosiologi agama, filsafat agama, antropologi agama dan seterusnya.

Dalam sejarah umat manusia, agama mempunyai peran penting bagi peradaban manusia. Bagi sebuah masyarakat, agama dijadikan sebagai pedoman-pedoman yang dapat membawa manusia kepada derajat yang tinggi. Maulana Muhammad menyatakan bahwa: “agama adalah kekuatan yang telah mewujudkan perkembangan manusia seperti sekarang ini. Seorang Ibrahim, seorang Musa, seorang Isa, seorang Krisna, seorang Budha, seorang Muhammad, secara bergiliran dan sesuai dengan derajatnya masing-masing, telah mengubah sejarah manusia dan mengangkat derajat mereka dari lembah kehinaan menuju puncak ketinggian akhlak yang tak pernah diimpikan”.[5] Oleh sebab itu, salah satu tujuan agama adalah untuk menciptakan manusia yang memiliki nilai-nilai yang dapat menjadikan manusia tersebut berbudi pekerti luhur dan mulia, sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya masing-masing.

Namun dalam perjalananya, agama-agama yang memiliki tujuan mulia tersebut, ternyata tidak semua dapat bertahan dengan berbagai dinamika yang semakin kompleks, sehingga ajaran-ajarannya yang dianggap mapan, ternyata bisa diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu yang muncul dari agama tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana agama dapat melahirkan sekte-sekte atau aliran-aliran baru dari agama tersebut, sehingga tak jarang aliran-aliran atau sekte tersebut berkembang menjadi agama baru yang ajaran-ajarannya bisa begitu jauh berbeda dari nilai-nilai agama asalnya? Berikut ini akan dibahas sedikit tentang sekte-sekte dan aliran (gerakan) kepercayaan dalam agama dengan berbagai dinamikanya.


Sekte dan Aliran Kepercayaan

Karena muncul dari dari suatu kepercayaan atau agama, maka sekte-sekte atau aliran-aliran keagamaan merupakan konteks yang tidak bisa dipisahkan dari kajian agama dan kajian dalam ilmu-ilmu sosial, karena menyangkut individu dan sekelompok orang yang aktif di dalamnya. Beberapa ahli dalam hal ini mencoba mengklasifikasi aliran-aliran tersebut. Soemarno W.S. bersama ahli riset yang lain menggolongkannya kepada tiga jenis, yaitu:

Golongan kepercayaan perorangan, yaitu kelompok yang terdiri dari satu dua orang yang melakukan kepercayaan untuk kepentingan diri pribadi tanpa usaha perluasan kepada orang lain. Golongan perguruan kepercayaan, yang menerima murid dan mempropagandakan ajarannya. golongan perdukunan, di mana ilmu perdukunan dan pengobatan asli dipraktekkan bagi masyarakat yang memerlukannya.[6]

Dari penggolongan di atas, diketahui bahwa sekte-sekte, gerakan kepercayaan, aliran kebatinan dan lain-lain, masuk kedalam jenis yang pertama dan kedua, namun bukan berati bahwa jenis yang ketiga terbebas pengklasifikasian tersebut. Bisa jadi jenis yang ketiga mempunyai potensi untuk menimbulkan ajaran-ajaran yang dapat mewujudkan aliran-aliran kepercayaan yang baru. Uraian di bawah ini, akan membahas mengenai sekte-sekte dan aliran-aliran kepercayaan tersebut.

Kata sekte berasal dari bahasa Latin “secta” yang berarti “kelompok yang mengikuti” (sequi) dan dalam istilah Inggris disebut sects. Pada awalnya sekte digunakan untuk aliran filsafat, agama, atau partai dengan ajaran atau kebiasaan khusus yang menyimpang dari kelompok mayoritas.[7] Para anggota sekte biasanya akan memilih segi-segi tertentu dari suatu ajaran dan menolak yang lain dari ajaran agama seluruhnya.

Dalam sejarah agama-agama besar dunia, sekte-sekte atau aliran tertentu bukan merupakan barang baru. Dalam agama Islam  antara tahun 1090 sampai 1275 ada sebuah organisasi yang bernama The Assasin (Hasyasyin/Nizariah) yang dipimpin oleh Hasan al-Sabbagh yang bertahan kurang lebih dua abad lamanya.[8] Sekte ini merupakan gerakan sempalan syiah Ismailiah yang bermarkas di Iran. Ciri khas dari sekte ini yaitu mereka mengkonsumsi sejenis tumbuhan yang dapat menghilangkan kesadaran pemakainya sehingga berani untuk melakukan penculikan dan pembunuhan. Begitu juga dengan agama Kristen, pada abad pertama telah dijumpai pendeta-pendeta palsu yang menerapkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran gereja.[9] Begitu juga dengan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Hindu, Budha, dan lain sebagainya, masing-masing memiliki kelompok keagamaan yang menyimpang dari ajaran agama asalnya.

Konsep sosiologi mengenai sekte dan aliran (gerakan) kepercayaan biasanya mengacu pada kelompok religius, kecil maupun besar, dari bentuk organisasi yang sederhana maupun yang rumit, yang oleh anggota dan bukan anggotanya dianggap sebuah penyimpangan dalam hubungannya dalam konteks doktrin dan budaya yang lebih luas.  Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut, namun berkonotasi positif bagi para pengikutnya. Sehingga penyimpangan ini merupakan ciri khas  yang tetap dipertahankan oleh masing-masing pengikut suatu ajaran.

Ada dua alasan mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajarai daripada aliran (gerakan) kepercayaan. Pertama, untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya, dan para ilmuan sosial biasa menggunakan istilah “sekte” untuk menyebut aliran-aliran tersebut. Kedua, meskipun sekte sudah dikenal sebagai istilah yang merendahkan, (umat Kristen sudah lama memakai istilah ini untuk menyatakan perbuatan murtad yang menyimpang dari doktri resmi) para ahli sosiologi abad 20 sudah memakai istilah tersebut tanpa menyiratkan penilaian apapun. Orientasi ini timbul dari pandangan para ilmuan bahwa beberapa gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap perkembangan konsepsi Barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan demokrasi—khususnya sekte-sekte protestan abad 17.[10]

Di sisi sebaliknya, aliran kepercayaan (cults) tidak memilki pengaruh inovatif pada masyarakat. aliran kepercayaan tidak mau menjadi kelompok terpencil. Mereka memberikan keuntungan konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan pandangan konprehensif tentang keselamatan sebagaimana biasanya disampaikan sekte-sekte religius.  Upaya membedakan sekte dan gerakan (aliran) kepercayaan menjadi makin rumit pada awal tahun 1970-an, karena makin maraknya kelompok “pergerakan agama baru” yang kontroversial.[11] Para wartawan dan pemimpin gerakan kemudian menjulukinya sebagai gerakan kepercayaan yang bertujuan untuk mendorong kontrol hukum atas berbagai kegiatan mereka, khususnya teknik dan metode konversi dalam memeprtahankan calon pengikut. Namun banyak gerakan baru ini lebih tepat disebut sekte dari sudut pandang sosiologis.

Kajian modern tentang kelompok agama yang menyimpang pertama kali muncul di Jerman pada awal abad ke-20 oleh Max Weber dan Ernst troeltsch. Sebagai ahli sosiologi, Weber tertarik pada kontribusi sekte Kristen pada konsep rasionalitas modern dan ekonomi individu. Troeltsch, sebagai ahli teologi yang mengerti sosiologi, secara khusus tertarik pada sejarah Kristen di mana terdapat hubungan saling pengaruh antara ortodoksi gereja dengan heterodoksi sektarian (pecahan dari doktrin resmi).[12] Setelah Weber dan Troeltsch, para pengkaji masalah gerakan religius sejak pertengahan abad 20 tertarik pada banyak persoalan.

Salah satunya adalah peneliti Amerika bernama Jessica Stern dalam bukunya Terror in the Name of God: Why Religious Millitants Kill (2003) mencoba meneliti bagaimana karakter manusia-manusia yang menjadi pimpinan agama dan para pengikut mereka, yang dalam kenyataannya justru melakukan berbagai kekejaman seperti terorisme, pembunuhan, dsb., sehingga mereka bisa menjadi lebih jahat (evil) daripada kejahatan yang konon ingin mereka berantas itu sendiri. Dalam buku ini diterangkan bagaimana sekte-sekte tersebut berhasil melakukan indoktrinasi terhadap anggotanya sehingga mereka punya pemahaman yang kuat mengenai ajaran yang diterimanya. Sebagai contoh, penganut sekte tertentu di Amerika Serikat diindoktrinasi dengan kepercayaan bahwa orang-orang kulit hitam (Negro) adalah keturunan kera yang bergelantungan dari pohon ke pohon dengan ekornya.[13]

Tetapi orang-orang semacam apakah yang bisa diindoktrinasi seperti itu? Menurut Stern, mereka adalah orang-orang ambivalent, bingung menatap masa depannya, dan tidak tahu harus memilih jalan yang mana.  Mereka bisa terdiri dari orang-orang yang secara sosial-ekonomi kurang punya prospek ke masa depan, tetapi bisa juga dari orang-orang muda, termasuk dari golongan terpelajar, yang merasa tersisihkan dari keluarganya, atau tidak puas kepada pemerintah dan sebagainya.[14] Sejajar dengan hal itu, alasan orang tertarik pada suatu sekte disebutkan antara lain: kebutuhan untuk mengaktikan emosionalitas dalam ibadat dan hubungan yang hangat dalam umat atau komunitas yang relatif kecil. Dalam beberapa sekte, anggota-anggotanya merasa diterima sepenuhnya, ikut dalam pengurusnya, dapat menyumbang pada ibadatnya dan lain sebagainya.[15]

Istilah sekte sering menyiratkan pengertian buruk, dan istilah gerakan kepercayaan terutama berkaitan dengan sifat kontroversial dari berbagai praktek gerakan-gerakan ini. Sebagian diantaranya dituduh melakukan usaha ‘mencuci otak’ pera pengikutnya atau terlibat dengan prilaku seksual yang menyimpang. Gerakan ini kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan fisisk yang tragis, kasus-kasus terkenal yang terjadi di dunia Barat menunjukkan tindak bunuh diri, atau pembunuhan massal lebih dari 900 pengikut People’s Temple di Jonestown, Guyana tahun 1978; kematian 78 anggota Branch Davidians di Waco, Texas tahun 1993; dan kematian sekitar 50 anggota Solar Temple di Chiery, Swiss tahun 1993.[16]

Strategi yang digunakan para pemimpin sekte atau kelompok keagamaan yang menyimpang untuk untuk meninggikan citra diri agar dihormati dan disegani oleh para anggotanya, antara lain dengan mengajarkan tentang hari kiamat dan pengadilan akhir yang menimbulkan kecemasan di satu pihak dan tawaran perlindungan yang bisa diberikan oleh sekte agama tersebut di pihak lain. para anggota pun diharuskan untuk saling melindungi rekannya sekelompok dari ancaman pengaruh dari luar. Yang gagal melakukan ini, akan ditegur dan dipermalukan di depan anggota-anggota yang lain, dan untuk menegaskan eksklusivisme mereka, biasanya mereka memilih tempat yang juga eksklusif dan terisolir.

Misalnya pada tahun 1985, di sebuah daerah pinggiran di negara bagian Arkansas, sejumlah 200 orang anggota pasukan pemerintah AS, mengepung sebuah pemukiman yang terisolir dari keramaian, yang dihuni oleh pengikut sekte Kristen yang bernama CSA (Convenant, the Sword and the Arm of the Lord) yang dipimpin oleh pendeta James Ellison. Kelompok sekte ini sudah mengantisipasi serangan musuh dari luar, yaitu dengan cara menyebar ranjau di sekitar pemukiman mereka, dan menyediakan bahan pangan untuk penghuni dalam pemukiman yang cukup untuk lima tahun.[17]

Bagaimana cara James Ellison bisa mengumpulkan anggotanya yang begitu fanatik dan mau melakukan apa saja yang diperintahkannya? Salah satu caranya adalah dengan membuat ajaran sendiri yang menarik, karena menawarkan penyelesaian yang tegas dan jelas. Ajaran yang diciptakan sendiri ini, dilakukan juga dengan cara meramu berbagai ajaran menjadi satu. Shoko Ashara, pemimpin sekte Aum Shinrikyo, misalnya, meramu doktrinnya berdasarkan campuran ajaran-ajaran Hindu, Budha dan Kristen. Untuk menjaga legitimasi otoritasnya, ia meminta kesetiaan penuh anggota-anggotanya. Dalam ajaran-ajaran yang diciptakan sendiri itu, dikembangkan pula doktrin-doktrin yang mengajarkan bahwa pemimpin sekte adalah manusia luar biasa, yang tidak bisa melakukan kesalahan (dalam istilah Islam disebut ma’sum) seperti Yesus dan nabi-nabi. Karena itu, ia boleh saja melakukan hal-hal yang menyimpang tanpa disalahkan, misalnya melakukan hubungan seks partner manapun yang ia sukai, meminta agar anggota-anggotanya menyerahkan seluruh kekayaannya kepadanya dan sebagainya. [18] penyerahan harta kekayaan ini  juga terjadi dalam sekte Kiamat-pondok Nabi, pimpinan Mangapin Sibuea di Bandung.[19]



Bagaimana dengan Indonesia ?, tidak jauh berbeda juga, bahkan sekte-sekte dan aliran-aliran kepercayaan berkembang dengan pesatnya. Misalnya: sekte Lia Aminuddin, sekte kiamat-pondok nabi  pimpinan Mangapin Sibuea, aliran Madi di Sulawesi, Parmalim di Sumatera Utara dan seterusnya. Pada tahun 1965 tercatat lebih dari 300 sekte atau aliran-aliran kepercayaan yang ada di Indonesia,[20] jika ditambahkan dengan aliran-aliran yang berkembang belakangan ini, maka jumlahnya tentu lebih banyak lagi. Menurut Mustofa, kriminolog Universitas Indonesia menyatakan, munculnya ajaran-ajaran sesat atau “nyeleneh” dalam sebuah agama dapat berawal dari ketidak puasan terhadap status quo. Kemapanan ajaran atau mazhab tertentu bisa jadi teramat membosankan bagi sebagian kalangan. Sehingga mereka pun mencoba mencari bentuk baru yang lebih pas—minimal bagi dirinya. Apalagi, agama ibarat seni, kepuasan tiap individu berbeda ketika beribadah. Terlebih, kini individualisme kian tak terelakkan.[21]

Kesimpulan
Pada hakikatnya agama memberikan pelayanan kepada manusia untuk menjalani kehidupan yang baik dan keselamatan di dunia dan akhirat. Namun dalam prakteknya, manusia seringkali menafsirkan ajaran-ajaran agama tersebut kedalam banyak versi, sehingga muncul dari suatu agama sekelompok orang yang menyimpang dari ajaran-ajaran resmi dari agama tersebut. Maka muncullah yang disebut sekte, gerakan kepercayaan, aliran kebatinan, dan lain sebagainya. Namun, dibalik munculnya sekte-sekte tersebut, dapat menjadi pelajaran berharga dan aspek kajian yang cukup menarik, khususnya dalam kajian ilmu sosial tentang agama.

DAFTAR PUSTAKA
  • Adam Kuper&Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
  • A. Heuken S.J. Ensiklopedi Gereja, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1994
  • Ensiklopedi Islam, Jilid I, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2003
  • Hadi Rahman dalam Forum Keadilan, 5 juni 2005
  • http:/www. Sarlito.Net.ms/books.html
  • Jessica Stern, Terror in the Name of God; Why Religious Millitants Kill, Harper Collin Publisher, New York, 2003
  • Majalah Gatra, 22 November 2003
  • Maulana Muhammad Ali, Islamologi, Darul Kutubiah Islamiah, Cet. Kelima, Jakarta, 1996
  • M. Habib Mustopo, Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1988, h. 59
  • Nur Ahmad Fadhil Lubis, Agama Sebagai Sistem Kultural, IAIN Press, Medan, 2000
  • Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Mizan, Bandung, 2001
  • Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Kanisius, Cet. Kesebelas, Yogyakarta, 1995
           MAU LIHAT FOOTNOTENYA..? klik disini













.