Gambaran tentang Fiqih Lintas Agama

Makalah Gambaran tentang Fiqih Lintas Agama

PENDAHULUAN

Sebelum melakukan studi kritis, perlu kiranya diketahui secara mendasar mengenai hal-hal yang terkait dengan lahirnya buku tersebut, seperti nama penulis, penerbit, tahun terbit dan yang terpenting adalah apa dan bagaimana konsep atau pemikiran yang dikembangkan penulisnya serta maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh hadirnya buku tersebut.

Judulnya “FIQH LINTAS AGAMA, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis” adalah sebuah buku yang terbit tahun 2004, kerjasama antara Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation. Buku tersebut merupakan hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang ditulis secara gotong royong oleh tokoh-tokoh dan intelektual dari lembaga-lembaga seperti, Yayasan Haramain, Lakpesdam-NU, P3M, LSAP-Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal, Ma’arif Institute, Yayasan Pendidikan Madania, PPIM, PBB-UIN, dan Yayasan Paramadina. Mereka menamakannya sebagai “Tim Penulis Paramadina.” Orang-orang yang terlibat dalam penulisan buku ini yaitu: Zainun Kamal, Nurcholis Madjid, Masdar F. Mas’udi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawwar-Rachman, Kautsar Azhari Noer, Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus AF, dan sebagai editor, Mun’im A. Sirry.

Berbeda dengan buku-buku yang terbit dari berbagai artikel yang dalam setiap topiknya akan dapat dilihat nama penulisnya, maka dalam buku FLA kita tidak dapat melihat hal tersebut. Dalam hal tersebut tim penulis ingin menunjukkan bahwa buku ini merupakan hasil kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi alot yang mereka kerjakan selama ini. Mungkin juga ini sebagai tanggung jawab bersama, karena jika buku ini mendapat “sambutan hangat” dari para pembacanya, maka resiko akan dihadapi dan ditanggung bersama.

Buku Fiqh Lintas Agama di dalamnya dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berisi, “Pijakan Keimanan Bagi Fiqh Lintas Agama.” Menurut Tim penulis hal ini sangat penting, karena fiqh yang terbuka dan progresif sangat bergantung pada kepada pemahaman teologi yang pluralis pula. Sebab, fiqh yang mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain memang merupakan produk teologi eksklusif.[1] Dalam bagian ini kita diajak untuk memahami beberapa hal yang terkait dengan teologi pluralitas, seperti: Ajakan menuju titik temu antaragama; Ajaran kehanifan yaitu ajaran yang non-sektarian dan non-komunalistik; Konsep Ahl al-Kitab: pengakuan terhadap para penganut kitab suci; Menegaskan kesinambungan dan kesamaan agama-agama; dan lain sebagainya.

Pada bagian kedua, tema yang diangkat adalah “Fiqh yang peka keragaman ritual meneguhkan inklusifisme Islam.” Sebagai kesinambungan bagian pertama, maka pada bagian kedua dijelaskan bahwa teologi pluralis membutuhkan fiqh pluralis. Fiqh hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis. Fiqh ekslusivis hanya sesuai dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqh eksklusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqh yang sesuai dengan situasi ini adalah fiqh pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.[2]

Adapun masalah-masalah yang dibicarakan pada bagian kedua adalah berbagai masalah keagamaan dalam hubungan antaragama dalam bidang ibadah dan muamalat, seperti: mengucapkan salam kepada non-muslim, doa bersama (antaragama), mengucapkan selamat Natal dan selamat hari-hari raya agama-agama lain, mengizinkan orang non-muslim masuk masjid, mengizinkan orang non-muslim masuk kota Makkah dan Madinah, dan melaksanakan ibadah di tempat-tempat ibadah agama-agama lain.

Pada bagian ketiga, dimunculkan tema “Fiqh yang menerima agama lain dan membangun sinergi agama-agama.” Pada bagian ini dikemukakan beberapa topik seperti: Fiqh teosentris dan jebakan otoritarianisme; Konsep Ahl al-Dzimmah dan Jizyah; Kawin dan waris beda agama; Agama Islam sebagai agama kemanusiaan, dan seterusnya.

Sementara bagian keempat sebagai bagian terakhir dari buku FLA, diangkat tema “Meretas kerjasama lintas agama.” Topik-topik yang ada dalam bagian ini adalah: Belajar dari ketegangan Islam-Kristen; Dari toleransi ke dialog; Bentuk-bentuk dialog agama; Dari dialog ke kerjasama, dan bentuk-bentuk kerjasama.


PEMBAHASAN

A. TOPIK-TOPIK UTAMA FIQH LINTAS AGAMA

Munculnya buku Fiqih Lintas Agama yang oleh sebagian orang disebut kontroversial, telah menimbulkan berbagai komentar dan kritikan bagi pembacanya. Berbagai diskusi dan seminar digelar untuk membedah buku Fiqih Lintas Agama tersebut. Pertanyaan yang kemudian timbul: mengapa buku ini menjadi kontroversial dan menarik bagi masyarakat muslim Indonesia. Salah satu yang menjadi jawabannya bahwa buku Fiqih Lintas Agama telah menembus dan melintasi sekat-sekat agama yang hal ini kontras dengan produk fiqh masa klasik. Kajian fiqh lintas agama telah mengangkat ide-ide yang selama ini belum tersentuh atau terabaikan oleh kajian fiqh klasik khususnya dalam bidang hubungan antaragama dan antarkeyakinan.

Beberapa ide yang ada dalam Fiqih Lintas Agama yang dianggap penting akan dimunculkan kembali dalam makalah ini. Dimunculkan bukan untuk mengulangi atau meringkas buku Fiqih Lintas Agama, tetapi untuk diteliti dan dikritisi serta ditunjukkan sisi kuat dan lemahnya pandangan-pandangan penulis buku tersebut. Hal ini menjadi penting karena dengan melihat dan mendalami sebuah paradigma khususnya dalam konteks fiqh, maka akan dapat diberikan penilaian yang objektif terhadap masalah yang dibahas. Pada bagian ini nantinya akan dirangkum beberapa komentar dan dalil yang akan memperkuat atau memperlemah tema-tema yang dibahas.


B. Pijakan Keimanan Bagi Fiqh Lintas Agama

Kita memulai dengan menganalisis masalah yang berkaitan dengan paham keimanan pluralis sebagaimana yang tertera dalam buku Fiqih Lintas Agama. Dari masalah tersebut akan berlanjut kepada beberapa peristilahan yang banyak disebutkan dalam buku ini seperti istilah din dan syir’ah, ajaran kehanifan (hanafiyyah), makna Islam, ahli kitab, dan kalimatun sawa’. Terdapat beberapa pendapat atau pandangan utama dalam buku Fiqih Lintas Agama yang akan menjadi pokok pembahasan kita, antara lain:
  • Teologi pluralis membutuhkan fiqh pluralis. Fiqh hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis. Fiqh ekslusivis hanya sesuai dengan teologi eksklusivis. (hlm. 65)
  • Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau syari’ah, yakni: jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama dalam segala hal. (hlm. 20)
  • Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan Ketuhanan yang maha Esa atau tawhid; sedangkan perkataan muslim menunjukkan pengertian sikap tunduk (din) dan pasrah total hanya kepada kemurnian, kesucian dan kebenaranan itu, yang di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan yang maha Esa (islam). (hlm. 26)
  • Sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab. (hlm. 42)
  • Ahl al-kitab dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim. Ahli kitab secara harfiah berarti “yang mempunyai kitab” ialah konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci. (hlm. 42-42).
  • Ahli kitab bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja, tetapi Hindu, Budha, Majusi dan sebagainya juga termasuk ahli kitab. (hlm. 48)
  • Bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang asasi; yang asasi ialah pengertiannya. (hlm. 56)


C. Analisis dan Uraian

Persoalan tauhid bagi seorang muslim adalah persoalan penting karena ia menjadi dasar atau pondasi yang harus diyakini dan dikukuhkan dalam hati setiap muslim sebagai langkah awal untuk melaksanakan kebenaran-kebenaran yang telah tertanam dalam hatinya.

Sebagian besar ulama menyatakan, iman itu tidak cukup dengan pengakuan dengan hati (tashdiq bil qalb) dan penegasan dengan lisan (iqrar bil lisan), tetapi juga perlu pengamalan dengan anggota badan (al-‘amal bil jawarih). Sehingga iman tanpa amal menunjukkan ketidaksempurnaan, begitu juga sebaliknya, beramal tanpa ada iman akan menjadi sia-sia.

Sama halnya dengan teologi eksklusif, maka teologi pluralis adalah teologi yang dibangun atas dasar ketauhidan terhadap Allah penguasa alam. Konsep bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, adalah konsep yang diyakini bersama. Perbedaan antara teologi pluralis dengan teologi eksklusif terletak pada soal pemahaman dan cara pandang. Bagi teologi inklusif atau pluralis, agama-agama yang diturunkan sebelum Islam dan dibawa oleh nabi-nabi sebelum nabi Muhammad saw, masih merupakan agama tauhid. Penganut agama-agama tersebut disebut sebagai ahli kitab dan memiliki ajaran kehanifan yang berasal dari tradisi agama Ibarahim. Sedangkan Teologi eksklusif menyatakan bahwa agama Islam-lah yang tetap konsisten mengamalkan konsep tauhid tersebut. Sedangkan bagi agama-agama lainnya konsep monoteisme sudah tidak murni lagi, bahkan bagi agama-agama samawi sekalipun (Yahudi dan kristen). Bagi teologi eksklusif, penganut agama-agama selain Islam digolongkan sebagai kafir atau musyrik.

Harun Nasution berpendapat bahwa agama kristen tidak lagi memiliki ketauhidan murni. Sejarah menunjukkan bahwa ketiga agama itu memang mempunyai asal yang satu. Tetapi perkembangan masing-masing dalam sejarah mengambil jurusan yang berlainan, sehingga timbullah perbedaan antara ketiga-tiganya. Pada mulanya, Yahudi, Kristen dan Islam berdasar atas keyakinan tauhid yang satu (monoteisme). Tetapi dalam pada itu, kemurnian tauhid dipelihara hanya oleh Islam dan Yahudi. Dalam Islam, satu dari dua syahadatnya menegaskan: “Tiada tuhan selain Allah” dan dalam agama Yahudi, syema atau syahadat menyebutkan: “Dengarlah Israel, Tuhan kita satu.” Tetapi kemurnian tauhid dalam agama kristen dengan adanya paham Trinitas, diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.[3]

Sejarah telah menunjukkan penyimpangan tauhid yang terjadi pada agama-agama samawi sebelum Islam seperti Yahudi dan Nasrani. Dalam al-Qur’an telah disebutkan bahwa orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Isa itu putera Allah”..(QS. Taubah: 30); “….Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Mariam.“ (QS. Al-Maidah:72); “….Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga….”(QS. Al-Maidah: 73).[4] Menjadi sesuatu yang sangat musykil apabila Yahudi dan Nasrani sebagaimana telah disebut kafir dalam al-Qur’an masih berpegang pada konsep tawhid yang murni.

Seorang kristolog asal Mesir bernama Amr Ali Effat menyatakan, lebih dari 14 kali Allah SWT memerintahkan kita untuk menyadarkan ahli kitab, yang mana mereka sebenarnya dulu adalah umat Islam pada waktu diturukannnya kitab suci mereka, tetapi kemudian mereka telah melenceng keluar dari jalan yang benar. Allah Swt berfirman: “Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan menyembunyikan kebenaran.” (QS. Ali Imran: 71)[5]

Selanjutnya dalam sejarah dapat diketahui penyimpangan ajaran tauhid agama Nasrani. Pada tahun 325, Konstatin (Kaisar Romawi) mengadakan konsili para uskup yang pertama di Nicea, mengumpulkan dan menyusun Bibel serta mendirikan gereja yang pertama, dan kemudian mengangkat Paus yang pertama. Pada tahun itu juga, tepatnya pada tanggal 20 Mei 325, dibawah tekanan dan ancaman kaisar, para delegasi dan konsili itu mengangkat Jesus menjadi “Tuhan.” Hal ini sangat menyenangkan hati kaisar yang merupakan seorang atheis, dengan perkataan lain kerajaan romawi telah menciptakan sebuah agama baru dan memaksa rakyatnya maupun rakyat negara jajahannya untuk ikut menganut agama baru ini. Untuk mencegah pembangkangan terhadap keputusan ini, gereja melarang siapa saja untuk memiliki, membaca atau melihat Bibel dengan ancaman hukuman bakar hidup-hidup, alasannya adalah karena bibel itu penuh dengan kesalahan-kesalahan. Larangan itu baru dicabut tahun 1511, namun isi Bibel sudah mengalami penambahan dan pengurangan yang menimbulkan kontradiksi.[6]

Berkaitan dengan persoalan istilah seperti Islam, hanif, ahli kitab, dan sebagainya. Tim penulis berpendapat bahwa sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-Islam, tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara harfiah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam bahasa Arab, sementara para nabi dan rasul, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing (QS. 14: 4). Jadi yang dimaksud islam dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah dalam arti generik atau umum, bukan Islam sebagai agama atau komunitas tertentu.

Imam Syafi’i, sebagaimana yang dikutip al-Maududi berpendapat bahwa ahli ktab hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja. Sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk ahli kitab, karena nabi Musa dan nabi Isa diutus hanya pada Bani Israil saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya.[7]

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa pemikir-pemikir muslim berbeda penafsiran dalam mengartikan istilah-istilah yang ada dalam al-Qur’an seperti makna Islam, hanafiyyah, ahli kitab, din, syir’ah dan sebagainya. Dan memang istilah-istilah tersebut mengundang penafsiran yang berbeda-beda, al-Qur’an sendiri membuka peluang untuk itu. Perbedaan manhaj yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an tentu menghasilkan penafsiran yang berbeda pula. Kita tidak bisa menentukan dengan pasti bahwa penafsiran kaum tekstualis atau kontekstualis, atau antara pemahaman teologi eksklusif dengan pemahaman teologi inklusif-pluralis, mana yang paling benar. Karena yang pasti tahu hanya Allah SWT. Tetapi satu hal yang penting bahwa sikap kehati-hatian dalam menafsirkan memang perlu diperhatikan. Salah dalam menentukan cara atau jalan akan membawa kesesatan dan kerugian.


D. Fiqh hubungan antaragama (Inklusif-Pluralis)

Pada bagian ini akan diambil beberapa pandangan para penulis tentang konsep fiqh hubungan antaragama. Bagian ini merupakan kelanjutan dari bagian yang telah dibahas sebelumnya, bahwa iman atau keyakinan tidak hanya dibenarkan dalam hati dan diucapkan melalui perkataan tetapi juga harus menjadi amaliyah dalam kehidupan sehari-hari. Di sini, konteks hukum akan lebih terasa karena produk dari teologi inklusif-pluralis ada dalam bagian ini. Di antaranya:
  • Mengucapkan salam kepada non-muslim dibolehkan berdasarkan hadis Nabi saw,[8] dan berdasarkan surat yang dikirimkan Nabi saw kepada Negus (Nagasyi), Raja Etiopia. (hlm. 71-72)
  • Mengucapkan Selamat Natal dan Selamat Hari Raya agama-agama lain tidak dilarang, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, persahabatan dan untuk kemaslahatan. (hlm. 84) Begitu juga dengan menghadiri perayaan-perayaan hari-hari besar agama lain dan doa bersama antaragama.
  • Mengizinkan orang-orang non-muslim masuk mesjid karena Nabi setelah menetap di Madinah, beliau dikunjungi oleh orang-orang kristen Najran, (hlm. 109) ketika telah sampai di sana, Nabi mengizinkan mereka masuk dan melaksanakan kebaktian di masjid itu. (hlm. 110)
  • Kawin beda agama dibolehkan antara muslimah dengan ahli kitab karena ahli kitab bukanlah termasuk pelaku syirik sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah: 221. (hlm. 158)
  • Sejatinya hukum waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab), dan menantu (sakhr), apapun agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan. (hlm. 167)

E. Analisis dan Uraian

Mengenai boleh mengucapkan salam kepada non-muslim bagi para penulis Fiqih Lintas Agama adalah didasarkan pada Hadis Nabi saw dan surat yang disampaikan Nabi kepada Negus (Raja Etiopia). Dalam hal ini Agus Hasan Bashori Bashori menyebutkan bahwa data-data atau sumber yang mereka ambil tidak valid. Dalam rujukannya mereka menulis: “Sirat al-Halabi, vol. 3, hlm. 279: Thabaqah al-Kubra, vol. 1, hlm. 259, sebagaimana dikutip oleh Ja’far Subhani, Ar-Risalah; Sejarah Kehidupan Rasulullah, terj. Muhammad Hasyim dan Meth Kierana (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996) hlm. 497 (hlm. 123), setelah dirujuk Thabaqat al-Kubra, ternyata di sana tidak ada kata “salamun alaik”, yang ada hanyalah keterangan bahwa Rasulullah mengutus Amru adh-Dhamri untuk membawa dua surat Nabi kepada Negus, satu mengajak masuk Islam dan yang lain minta agar menikahkannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sofyan yang telah pisah dengan suaminya Abdullah bin al-Asadi karena murtad masuk Kristen.[9]

Kalau kita rujuk kitab ulama-ulama terpercaya maka yang benar adalah tidak demikian, melainkan Nabi menulis “salamun ala man ittiba’a al-huda” pada surat-suratnya yang dikirim pada raja-raja Etiopia. Surat yang pertama kali diriwayatkan oleh ath-Thabari, yang akhirnya berbunyi, “Aku telah utus kepadamu keponakanku (yang bernama) Ja’far beserta satu rombongan dari kaum muslimin, maka jika ia telah datang kepadamu, muliakanlah mereka dan hindarilah sikap sombong.” Di duga kuat surat ini dikirim pada periode Mekkah.

Adapun pada surat yang pertama, nama Negus disebut jelas yaitu Ashamah dan isinya mengajak masuk Islam dan bertauhid (kalimat sawa’) dengan menyertakan ayat 64 surat Ali Imran. Ini berdasarkan riwayat Baihaqi. Sedangkan redaksi yang diambil dalam buku Fiqih Lintas Agama ini adalah riwayat yang disebut oleh Ibnul Qayyim yang kemudian juga diteliti oleh DR. Hamidullah (Paris), surat ini tidak menyebut nama Negus dan tidak pula ayat 64 surat Ali Imran. Karena diduga surat itu dilayangkan setelah meninggalnya Ashamah, yaitu kepada penggantinya yang belum diketahui dia masuk Islam atau tidak. Sementara Ashamah (Raja Negus) sendiri diketahui sudah Islam, terbukti ketika ia meninggal pada bulan Rajab tahun 7 H, setelah Nabi pulang dari perang Tabuk, beliau mengumpulkan sahabat untuk salat ghaib.[10]

Dari hal di atas dapat diketahui bahwa Nabi saw., hanya mengucapkan “salamun ‘alaik” hanya muslim saja, tidak kepada ahli kitab atau kaum non-muslim. Sementara banyak hadis yang melarang seorang muslim mengucap salam kepada non-muslim.

Dalam masalah Natalan, Quraish Shihab menjelaskan: Walaupun berkaitan dengan Isa al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat kristen yang pandangannya terhadap al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktifitas apapun yang berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal.[11]

Seperti terlihat, larangan itu muncul dalam rangka upaya memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah yang berwenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an.[12]

Persoalan kawin beda agama merupakan persoalan yang paling banyak diperbincangkan oleh para fuqaha. dalam al-Qur’an disebutkan:

“Pada hari ini di halalkan bagimu yang baik-baik dan makanan orang-orang ahli kitab itu halal bagimu, sedang makananmu halal pula bagi mereka, dan dihalalkan juga bagimu mengawini perempuan yang menjaga kehormatannya di antara perempuan yang beriman dan perempuan ahli kitab sebelummu jika kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya bukan untuk berzina dan bukan untuk menjadikannya sebagai gundik…(Q.S. al-Maidah: 5)[13]

Sebagian fuqaha tidak mempersoalkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab karena secara tekstual telah disebutkan dalam ayat di atas. Permasalahannya hanya seputar; siapa wanita ahli kitab yang dimaksudkan ayat tersebut dan apakah masih ada wanita ahli kitab untuk konteks saat ini. Namun bagi paham pluralis, wamita muslim sebagaimana yang dijelaskan di buku Fiqih Lintas Agama juga boleh menikah dengan laki-laki non-muslim. Untuk itu, beberapa pendapat akan kita ajukan pada masalah tersebut.

Sebagian ulama Ahlu Sunnah membolehkan menikahi wanita ahli kitab karena pernikahan beda agama telah dipraktekkan oleh Nabi saw, para sahabat dan tabi’in. sedangkan Abdullah bin Umar berpendapat bahwa menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani itu tidak diperbolehkan. Ia mengatakan: Allah telah melarang orang muslim menikahi orang musyrik, maka aku tidak tahu mana syirik yang lebih besar ketimbang seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, apadahal sebenarnya Isa itu hanyalah hamba Allah dan rasulullah di antara rasul-rasul yang lain.[14]

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Baqarah: 221)[15]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat 221 di atas merupakan pengharaman dari Allah terhadap kaum muslimin supaya tidak menikah dengan wanita musyrik yaitu para penyembah berhala seraya menegaskan bahwa wanita musyrik tidak halal dinikahi. Ibnu Katsir juga mempertegas pendapatnya dengan menjelaskan surat al-Mumtahanah sebagai keterangan Allah selain surat al-Baqarah, yang melarang menikahi orang di luar Islam.[16]

“Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka itu tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang teguh pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)

Pendapat-pendapat di atas menunjukkan perbedaan fuqaha dalam masalah kawin beda agama. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Tergantung bagaimana mereka menilai makna “wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya.” Namun sekali lagi, bagi kaum pluralis, wanita muslim juga boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab. Memang sangat aneh kedengarannya karena tidak ada sepotong dalil-pun yang membolehkan hal tersebut.

Ketika Zuhairi Misrawi datang ke Medan, saya sempat bertanya mengenai kebolehan wanita muslimah kawin dengan ahli kitab. Zuhairi menjelaskan, bahwa kebolehan wanita tersebut menikah dengan ahli kitab adalah keterpaksaan atau hal yang dharurat. Ia mengatakan “pada dasarnya hal itu sangat jarang terjadi kecuali karena kecelakaan alias si wanita sudah hamil duluan. Lantas, haruskah kita membiarkan si wanita tersebut masuk agama mereka atau kita bolehkan saja ia menikah beda agama.” Saya diam (masuk akal juga), lalu belakangan timbul pertanyaan; apakah karena keadaan darurat atau terpaksa syari’at dapat kita robah sedemikian rupa seperti sebuah adonan yang tergantung kemauan si koki mau dibuat masakan apa?

Pernah dalam sekali perkuliahan, seorang teman bertanya tentang masalah yang sama, yaitu kebolehan wanita muslimah menikah dengan ahli kitab. Dosen tersebut menjelaskan bahwa Fiqih Lintas Agama sebenarnya untuk produk ekspor bukan untuk kalangan masyarakat Indonesia. Ia kemudian bertanya kepada kami yang hadir. Bagaimana dengan wanita-wanita muslimah yang ada di tempat atau daerah yang tidak ada laki-laki muslim di sana, apakah ia harus menahan libidonya atau nafsu seksualnya dan bertahan sekuat tenaga sehingga ada laki-laki muslim yang menikahinya, sementara ia jauh dari kemungkinan tersebut. Lagi-lagi kami diam saja!

Berbagai macam tanggapan dan pendapat dari para ahli mengenai persolan –persoalan dalam Fiqih Lintas Agama. Namun, sangat jelas bahwa penekanan dan pengambilan istimbath hukum yang mereka kembangkan sangat memperhatikan konsep kemaslahatan dan maksud yang terkandung bagi penetapan suatu hukum.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dalam bukunya yang terkenal “I’lam al-Muwaqqi’in” menyebutkan: “dasar dan asas syari’at adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, baik di dunia ini, atau di akhirat nanti. Isi syariat itu adalah keadilan, kasih sayang, kemaslahatan dan kebijaksanaan.”[17] Oleh karena itu kerusakan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan bukan merupakan bagian dari syari’at, karena syari’at ditetapkan pasti untuk kemaslahatan.

Dalam khazanah Islam, pandangan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan oleh konsep al-kulliyat al-khamsah, atau lima prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam. Imam al-Syatibi menyebutnya sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan.[18] Yaitu; memelihara agama (hifzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara keturunan (hifzh al-nasab), memelihara akal (hifzhal-‘aql) dan memelihara harta (hifzh al-mal).

Kembali lagi ke persoalan Fiqih Lintas Agama, dapat dilihat jenis atau metode tafsir yang mereka gunakan adalah metode kontekstual yang mengedepankan realitas atau konteks daripada redaksi ayat atau hadis. Dalam hal ini mereka menggunakan kaidah “al-‘ibratu bi khusus as-sababi laa bi ‘umum al-lafzhi.” (penilaian itu berdasarkan kekhususan sebab (konteks) bukan pada keumumam redaksi atau lafaznya). Sebagaimana yang ditegaskan oleh Zainun Kamal pada waktu debat dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.[19]

Ijtihad-ijtihad yang berkembang saat ini dan timbulnya kesadaran sebagian umat Islam untuk memikirkan kembali permasalahan fiqh agar dapat bertahan dengan kondisi yang selalu mengalami perubahan merupakan sisi positif bagi perkembangan hukum Islam. Namun yang harus selalu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian dalam berijtihad dalam mengambil keputusan hukum agar tidak mengalami kesalahan dan penyimpangan. Kiyai Ali Yafie menyebutkan beberapa penyimpangan dalam ijtihad-ijtihad kontemporer, anatar lain: Mengesampingkan nash hukum; Salah memahami nash atau sengaja menyimpangkan interpretasi dan pengertiannya; Berpaling dari hasil ijma’ yang diyakini; dan menggunakan kias yang tidak pada tempatnya.[20]

Ahmad Rafiq menyebutkan beberapa ciri-ciri menonjol dari paradigma fiqh kontemporer, yaitu: 1) Selalu mengupayakan interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks fiqh untuk mencari konteksnya yang baru; 2) Makna bermazhab dirubah dari bermazhab secara tekstual ke mazhab secara metodologis; 3) Verifikasi mendasar untuk memilih mana ajaran yang pokok dan yang cabang; 4) Fiqh dihadirkan sebagai etika sosial bukan sebagai hukum positif negara; 5) Pengenalan metodologi pemikiran filosofis terutama dalam masalah budaya dan sosial.[21]


PENUTUP

Dari uraian-uraian di atas dapat kita lihat bagaimana pemikiran dan konsep-konsep yang ada dalam buku Fiqh Lintas Agama. Berbagai kritikan dan analisis yang telah dipaparkan disadari masih sangat dangkal dan belum sampai kepada harapan yang diinginkan. Hal ini sangat wajar bahwa sebuah makalah yang memiliki keterbatasan tentunya tidak mungkin dapat melakukan studi kritis yang optimal terhadap sebuah buku yang banyak memiliki paradigma dan pandangan. Karenanya, saran-saran yang konstruktif sangat diperlukan dalam kesempurnaan makalah ini. Wallahu a’lam bi al-shawaf


DAFTAR PUSTAKA
  • Abu al-‘Ala al-Maududi, al-Islam fi mawajahah al-Tahaddiyah al-Mu’assharah, Dar al-Kalam, Kuwait, 1983
  • Abu Ishak al-Syathibi, Al-muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tth
  • Agus Hasan Bashori, Koreksi Total Buku Fiqh Lintas Agama, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2004
  • Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
  • Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung, 1994
  • Al-Qur’an dan Terjemahnya, Lembaga Percetakan al-Qur’an Raja Fadh, Madinah al-Nabawiyah
  • Amr Ali Effat, Perintah Dalam al-Qur’an, Makalah pribadi
  • A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
  • Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, terjemahan: Abdullah bin Muhammad dan Abdurrahman bin Ishaq. Pustaka Imam Syafi’i, 2002
  • Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2004
  • Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Paramadina, Jakarta, 2004
  • Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif, LSIP, Jakarta, 2005
___________________
[1] Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004) h. 15
[2] Ibid., h. 65
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1985) h. 22
[4] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Lembaga Percetakan al-Qur’an Raja Fadh, Madinah al-Nabawiyah, h. 173
[5] Amr Ali Effat, Perintah Dalam al-Qur’an, Makalah pribadi, h. 1
[6] Ibid., h.
[7] Abu al-‘Ala al-Maududi, al-Islam fi mawajahah al-Tahaddiyah al-Mu’assharah (Kuwait: Dar al-Kalam, 1983) h. 117
[8] Hadis ini menceritakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw., tentang Islam yang mana yang terbaik. Nabi menjawab: “memberikan makanan dan membaca salam kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal.” (HR. Muslim melalui Abdullah bin Amru)
[9] Agus Hasan Bashori, Koreksi Total buku Fikih Lintas Agama, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004) h. 81
[10] Ibid., h. 82-83
[11] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004) h. 372
[12] Ibid.,
[13] Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 158
[14] A. Rahman I Doi, Penjelasan Tentang Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 179
[15] Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 54
[16] Ismail Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, terjemahan: Abdullah bin Muhammad dan Abdurrahman bin Ishaq. (Pustaka Imam Syafi’i, 2002) h. 427
[17] Zuhairi Misrawi, Doktrin Islam Progresif, (Jakarta: LSIP, 2005) h. xi-xii
[18] Abu Ishak al-Syathibi, Al-muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tth, h. 62
[19] Agus Hasan Bashori, Op cit., h. 59
[20] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan, 1994) h. 65
[21] Ahmad Rafiq, Fiqh Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998) h. 10-11













.