Seyyed Hossein Nasr |
Seyyed Hossein Nasr adalah salah satu tokoh islam dunia yang populer dibidang filsafat. Seyyed Hossein Nasr adalah tokoh filsafat yang telah berkontribusi besar kepada kalangan ilmuan. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Di kalangan ummat Islam, muncul seorang tokoh muslim sekitar abad XVIII yang meresponi filsafat perennial dengan mencoba memunculkan kembali doktrin-doktrin tradisional yang disebut dengan filsafat tradisi. Diskursus tentang tradisi Islam di tengah modernitas sebai telaah terhadap pemikiran Seyyed Hossein Nasr, tentu tidak bisa mengabaikan pemikirin filsafat beliau yakni filsafat perennial atau filsafat tradisi. Karena dalam pemikiran filsafatnya itulah terangkum pemikiran-pemikiran beliau tentang tradisi Islam.
Istilah perenial[1] pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus Stechus (1497-1548) dengan judul bukunya “De Pereni Philoshopia” yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh Leibinitz pada tahun 1715.[2] Lalu muncul pertanyaan bagimanakan respon Seyyed Hossein Nasr tentang perenial ini, dan bagaimana pula pemikirannya tentang tradisi Islam di tengah modernitas yang terangkum dalam filsafat perenial beliau.
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr yakni tentang tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas merupakan kritik terhadap pola pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut pemikiran Seyyed Hossein Nasr bahwa pola pikir yang demikian akan membawa manusia kepada keterambangan dan tidak punya tujuan hingga menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Islam tradisional ditawarkan sebagai alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu memandang realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk bisa memandang realitas karena Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang masa. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari ilahi dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengatur segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar pemikiran yang ia bangun.
- Aminrazavi, Mehdi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958 through 1993. Kuala Lumpur: t.p, 1994.
- Boisard, Marcel A., L’Humanisme de L’Islam. Terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
- Hidayat, Komaruddin, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta: Paramadian, 1995.
- Hughes, Homas Patrick, Dictionary of Islam. New Delhi: Cosmo Publication, 1982.
- Nashr, Sayyed Hosein, Traditional Islam in the Modern World. Terj. Bandung: Pustaka, 1994.
- ___________________, Islam and the Plight of Modern. Terj. Bandung: Pustaka, 1994.
- ___________________, Knowledge and Sacre. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
- ___________________, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Alen and Unwin, 1967.
- ___________________, Islamic Life and Thought. London: Allen and Unwin, 1981.
- __________________, Sufe Essays. London: Allen and Unwin, 1981.
- Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
- Permata, Ahmad Norma, Antara Sinkretis dan Pluralitas Perenial Nusantara. Yogyakarta: TWY, 1996.
- Schoun, F., Understanding Islam. London: Unwin Paperback, 1981.
- Schoun, Frithjot, Islam dan Filsfat Perenial, terj. Bandung: Mizan, 1993.
- Thabthaba’I, M., Islam Syi’ah. Jakarta: Grafiti Press, 1989.
- Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of Englisng Language . London: William Collins Publisher, 1980.
FootNote
- [1] Dari segi bahasa, perenial berasal dari bahasa Latin “prennis” yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang artinya kekal atau abadi. Istilah ini digunakan ketika berbicara tentang tuhan sebagai wujud yang absolut, sumber dari segala wujud. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadian, 1995), h. 1.
- [2] Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah perenial pertama kali digunakan oleh Leibinitz dan dipopulerkan oleh Aldous Hunley. Lihat Frithjot Schoun, Islam dan Filsfat Perenial, terj. (Bandung: Mizan, 1993), h. 7. lihat juga Ahmad Norma Permata, Antara Sinkretis dan Pluralitas Perenial Nusantara (Yogyakarta: TWY, 1996), h. 1.
- [3] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958 through 1993 (Kuala Lumpur: t.p, 1994), h. xiii.
- [4] M. Thabthaba’I, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), h. 95.
- [5] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi, h. 95.
- [6] Homas Patrick Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication, 1982), h. 639.
- [7] Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of Englisng Language (London: William Collins Publisher, 1980), h. 1934.
- [8] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 3.
- [9] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 7-9.
- [10] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam, h. 3.
- [11] Sayyed Hosein Nashr, Knowledge and Sacre (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h. 65.
- [12] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (London: Alen and Unwin, 1967), h. 18.
- [13] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 4.
- [14] Marcel A. Boisard, L’Humanisme de L’Islam. Terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 79.
- [15] Istilah intelektus mempunyai konotasi mata hati, yakni satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.
- [16] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature, h. 47.
- [17] Sayyed Hosein Nashr mengelompokkan masyarakat muslim pada saat itu kepada tiga kelompok: masyarakat muslim tradisional, masyarakat yang mengadopsi unsur modernisme dan masyarakat yang berada di tengah-tengahnya. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 27.
- [18] Jalur masuknya pemikiran Barat ke dunia Islam bisa dilihat pada Harun Nasutio, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 12.
- [19] Sayyed Hosein Nashr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), h. 193.
- [20] Sayyed Hosein Nashr, Sufe Essays (London: Allen and Unwin, 1981), h. 18.
- [21] Ibid. h. 91.
- [22] F. Schoun, Understanding Islam (London: Unwin Paperback, 1981), h. 14.