Makalah Maqamat Dan Ahwal
Oleh : Fauzan
PENDAHULUAN
Tujuan akhir dari perjalanan sufi adalah untuk mengenal dan berada sedekat mungkin dengan Allah dan sekaligus disana akan diperoleh kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai disana, menurut Al-Ghazali, disamping harus mengamalkan seluruh ajaran syariat, juga harus menempuh jalan panjang yang berjenjang atau al-maqamat.
Dikalangan sufi orang pertama yang membahas masalah al-maqamat barangkali adalah Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Ia digelari al-Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhassabah atau intropeksi diri. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan kekafiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan riya. Hampir satu angkatan dengannya muncul al-Surri al-saqathi (w.257 H) dengan pendapatnya, ada empat hal yang harus ada dalam kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya kepada Allah. Kemudian tampil pula Abu Sid al-Kharraz (w. 277 H) dengan formasi lengkap serial dan fase perjalanan sufi.[1]
Siapapun yang pertama menyusun al-maqamat tidaklah dipermasalahkan, tetapi yang pasti adalah bahwa sejak abad tiga hijriah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik yang bersifat amalan lahiriah maupun amalan bathiniyah. Kendatipun pengetahuan ketasawufan itu pada dasarnya bersifat refetatif, namun dapat dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut al-maqamat. Apakah tujuannya hanya sekedar ingin mendekatkan diri kepada Allah , ataukah tujuan ma’rifah dan mahabbah, ataukah sampai pada ittihad, setiap orang harus melalui tahapan-tahapan tadi. Penamaan jenjang-jenjang itu adalah karena sifatnya yang mapan atau langgeng. Artinya seorang salik harus mapan lebih dahulu pada satu tingkat, baru ia boleh beralih ketingkat berikutnya, kondisi kejiwaan pada saat peralihan itu disebut al-hal.[2]
PEMBAHASAN
MAQAMAT
A. Pengertian dan pembagian Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[3] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[4] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-farg, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[5]
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-farg,al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla.[6] Dalam pada itu Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-faqr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.[7]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-farg, al-sabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu’, al-mahabbah dan al-ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu terkadang para ahli tasawwuf menyebutnya sebagai maqamat dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad. Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu sebagai berikut :
1. Al-Taubah
Al-Taubah berasal dari bahasa Arab yaitu taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali.[8] Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memehon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut yang disertai dengan amal kebaikan. Harun Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi adalah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi.[9] Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[10]
Selanjutnya dalam bukunya, Kunci memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilaihi (Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.[11]
Didalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat. Diantaranya sebagai berikut :
و الذين اذا فعلوا فاحشة او ظلموا انفسهم ذكروا الله فستغفروا لذنوبهم ( ال عمران : ١٣۵)
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (QS. Ali ‘Imran, 3:135).
وتوبوا الى الله جميعا ايه المؤمنون لعللكم تفلحون ( النور : ٣١)
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur, 24:31).
2. Al-Zuhud
Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.[12] Sedangkan menurut Harun Nasution Zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[13]
Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud didalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.[14]
Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup diakhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Hal ini dapat dipahami dari isyarat ayat al-Qur’an sebagai berikut:
قل متاع الدنيا قليل والاخرة خير لمن التقى ولا تظلمون فتيلا ( النساء : ۷7)
Katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun (QS. Al-Nisa’, 4:77).
وما الحيوة الدنيا الا لعب ولهو وللدار الاخرة خير للذين يتقون افلا تعقلون ( الانعام : ٣۲)
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An’am, 6:32).
فما متاع الحيوة الدنيا فى الاخرة الا قليل ( التوبة : ٣۸)
Padahal kenikmatan hidup didunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit. (QS. al-Taubah, 9:38).
Sikap zuhud sebagaimana telah disebutkan diatas, menurut Harun Nasution, adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin misalnya, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ibu kandungnya sendiri, Zubaidah, menyebelah kepihak Al-Ma’mun, ketika antara kedua saudara ini timbul pertikaian tentang siapa yang menjadi khalifah.[15]
Berkenaan dengan keadaan demikian itu, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Mu’awiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim (w. 150 H), dan Jabir Ibn Hasyim (w. 190 H). Di Basrah muncul Hasan Basri (w. 110 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah. Di Persia timbullah Ibrahim Ibn Adham (w. 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (w. 194 H), dan di Madinah muncul Ja’far al-Sadig (w. 148).[16]
3. Al-Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.[17] Kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) antara halal dan haram. Al-Muhasibi menolak segala makanan yang dalamnya terdapat syubhat. Tangan Bishr al-Hafi, tiap ada makanan yang dalamnya terdapat syubhat tak dapat diulurkannya untuk mengambil makanan itu.[18]
Sikap menjauhi diri dari yang syubhat ini sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi:
فمن التقى من الشبهات فقد استبرا من الحرام (رواه البخارى)
Barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram. (HR. Bukhari).
4. Al-Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.[19] Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[20]
5. Al-Shabr
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati.[21] Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.[22]
Selanjutnya Ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.[23] Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad.[24]
Dikalangan para sufi sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan.[25] Sikap sabar sangat dianjurkan Allah sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
فاصبر كما صبر اولوا العزم من الرسل ولا تستعجل لهم (الاحقاف : ٣۵)
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (QS. al-Ahqaf, 46:35).
و اصبر وما صبرك الا بالله ولا تحزن عليهم ولا تك فى ضيق مما يمكرون ( النحل : ۱۲۷)
Bersabarlah dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. al-Nahl, 16:127).
6. Al-Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.[26] Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.[27]
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa tawakkal tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.[28]
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterimakasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerahkan kepada qadab dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut dari pada dirinya. Percaya pada janji Allah. Menyerah kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah.[29]
Bertawakkal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah, diantaranya Allah berfirman:
و اتقوا الله وعلى الله فليتوكل المؤمنون ( المائدة : ۱۱)
Dan bertawakkallah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (QS. al-Maidah, 5:11).
7. Al-Ridha
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang.[30] Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Tuhan. Menerima qada dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan qadar, malahan perasaan cinta bergelora ketika turunnya bala’ (cobaan yang berat).[31]
Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat dan kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha. Selain itu ia juga rela berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa dan lainnya. Semua itu bagi sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata karena mengharapkan keridhaan Allah.
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan Akhlak yang mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dan hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam tasauf akhlaki.
B. Pengertian dan macam-macam Ahwal
Menurut sufi, ahwal adalah bentuk jamak dari hal, dalam bahasa Inggris disebut state adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari hasil usahanya. Datangnya situasi atau kondisi spikis itu tidak menentu, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih. Ada pula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama, disebut bawadih. Apabila keadaan mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian, itulah yang disebut hal. Menurut al-Qusyairi, hal selalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat puncak kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih berganti itulah ia disebut hal.[32]
Para sufi atau ahli tasawuf menggambarkan hal atau ahwal sebagai perasaan, keadaan, atau suasana hati yang masih bersifat temporal (tidak tetap), yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang berjuang keras menjalani kehidupan kesufian.[33]
Apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut hal itu, sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan hal itu adalah sebagai hasil dari latihan dan amalan yang mereka lakukan. Cuma saja, karena sufi selamanya bersikap tawakkal kepada Allah maka mereka mengatakannya demikian. Sebab, dalam kesempatan lain mereka mengatakan, kendatipun kondisi kejiwaan itu diperoleh sebagai karunia Allah, tetapi orang yang ingin mendapatkannya harus berusaha meningkatkan kualitasnya melalui latihan dan memperbanyak ibadah. Hal ini berarti bahwa orang yang pantas menerima karunia hal hanyalah orang yang berusaha kearah itu.
Kalau maqam adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari prilaku seseorang, maka kondisi mental al-hal bersifat abstrak. Ia tidak dapat dilihat dengan mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilikinya. Oleh karena itu tidak dapat diinformasikan melalui bahasa tulisan atau lisan.[34]
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), Ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterimakasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[35]
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan diatas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riadhah, mujahadah, khalwat, uzlah, muraqabah, suluk dan sebagainya.
Riadhah berarti latihan mental dengan melaksanakan zikir dan tafakkur yang sebanyak-banyaknya serta melatih diri dengan berbagai sifat yang terdapat dalam maqam. Mujahadah berarti berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah. Khalwat berarti menyepi atau bersemedi. Uzlah berarti mengasingkan diri dari pengaruh keduniaan. Muqarabah berarti mendekatkan diri kepada Allah, dan Suluk berarti menjalankan cara hidup sebagi sufi dengan zikir dan zikir.
AL-FANA dan AL-BAQA
A. Pengertian
Dari Segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan benda-benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa keberadaan benda alam itu atas dasar permulaannya, bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.[36]
Al-fana dalam pengertian yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi berikut ini.[37]
ذهاب القلب عن حس المحسوسات بمشاهدة ما شاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن الذهاب هذا مالا نهاية له يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.[38]
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.[39]
Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat beruk (maksiat) lahir dan batin. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam literature barat ditemukan pengertian al-fana sebagai “The passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence.[40]
Dalam istilah tasauf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
اذا اشرق نور البقاء فيفنى من لم يكن ويبقى من لم يزل
Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal.[41]
التصوف فانون عن انفسهم فاقون بربهم بحضور قلوبهم مع الله
Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.[42]
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji.
Dalam tasawuf ada 3 (tiga) tipe utama fana yang harus dilewati dan ditempuh jika seseorang ingin mencapai yang Maha Muthlaq, yaitu:
1. Fana fi Mursyid
Fana dalam mursyid (syeikh). Manusia yang terjatuh tidak bisa sampai pada fana dalam Allah (fana fi Allah) dengan segenap kemampuannya sendiri. Dia memerlukan seorang pembimbing spritual. Seorang mursyid yang merupakan wadah murni bagi pancaran ilahi yang berasal dari nabi Muhammad SAW. Pancaran ini muncul dari ajarannya dan dari kitab suci Allah, yakni Al-Qur’an yang mengandung berbagai misteri kehidupan dan dikemukakan kepada seluruh ciptaan oleh nabi Muhammad. Fana fi mursyid terjadi ketika ajaran nabi Muhammad yang diberikan melalui mursyid masuk kedalam hati sang murid dan terhujam kuat, sang muridpun terserap oleh ajaran itu dengan terus menerus merenungkan dan mengingat Allah.
2. Fana fi Rasul.
Fana dalam dalam Rasulullah, nabi suci Muhammad. Tak ada seorangpun akan berjumpa dengan Allah sebelum berjumpa dengan nabi Muhammad. Sesudah tahap fana dalam mursyid, sang muridpun menempuh perjalanan dengan rahmat Allah yang tak terhingga, menuju tahap fana berikutnya, yakni fana fi rasul. Pada tahap ini sang murid diliputi oleh cinta yang meluap-luap kepada nabi Muhammad, ini adalah cinta yang lebih besar dari segala sesuatu lainnya yang dialami hingga kini, nabi lebih dicintainya dari pada dirinya.
3. Fana fi Allah.
Fana dalam Allah. Ini merupakan tahap terakhir dalam perjalanan kembali menuju Allah, wujud sang pencintapun fana dan terserap dalam wujud kekasih. Dari sini terjadilah perjalanan tanpa henti dengan penyingkapan pengetahuan tak terhingga dari esensi itu sendiri.[43] Selanjutnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri (al-fan ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana yang dimaksud adalah:
فناءه عن نفسه وعن الخلق بزوال احساسه بنفسه وبهم فنفسه موجودة والخلق موجود ولكن لا علم له بهم ولابه
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu… Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.[44]
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana ‘an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadrinya lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohaniah. Menurut Harun Nasution, kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana ‘an al-nafs.[45] Tak ubahnya dengan fana yang terjadi diketika hilangnya kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk diatas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, taqwa dan kelakuan baik. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal, karena hal yang demikian tidak terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam menuju ittihad (penyatuan rohani dengan Tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Baidawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada dua wujud yang terpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan.[46]
B. Tokoh yang mempopulerkan paham al-fana dan al-baqa
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan paham fana dan baqa ini. Nama lenkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin 'Isa al-Bustami. Ia lahir di Bistam, Persia, pada tahun 874 M. dan meninggal dalam usia 73 tahun. Sungguhpun orang tuanya sebagai pemuka masyarakat yang mampu di Bistam, namun Abu Yazid memilih hidup sederhana dan sangat menaruh kasih sayang kepada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam, dan ketika kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ia menjawab: "Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah berpergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini".
Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya. Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia pernah mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang diudara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batas-batas yang dilarang syariat.[47]
4. Analisis perbandingan
Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, dimana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif dimana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima. Karena apabila diteliti apa yang dikatakan al-Qusyairi diatas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Dzat Muthlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekspresinya, yaitu daya hakikat Tuhan, itulah yang disebut fana dari makhluk. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka fana itu sebenarnya adalah suatu keadaan insidental, artinya tidak berlangsung secara terus menerus.
Pada perkembangannya yang awal, kelihatannya ada dua aliran fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaidi al-Baghdadi, biasanya disebut fana fit tauhid. Kalau seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.[48] Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami yang mengartikan al-fana sebagai sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.
Dengan demikian, pada umumnya diasumsikan bahwa tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan, yang diistilahkan dalam simbul “fana”. Sebelum masa Abu Yazid, fana diartikan kaum sufi sebagai “pengabdian”, sehingga fana diri berarti pengabdian kesadaran diri atau pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah munculnya Ibn Arabi, ia medefinisikan fana kepada dua pengertian, yakni :[49]
1. Fana dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidak tahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia “menyadari” non eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.
2. Fana dalam pengertian metafisika, yang berarti “hilangnya bentuk-bentuk” dunia fenomena dan berlangsungnya subtansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah “fananya” bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu kata Ibn Arabi fana yang benar itu adalah hilangnya “diri” dalam keadaan pengetahuan intuitif dimana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Abu Abd. Al-Rahman al-Sulami, Thabaqat al-Shafiyah, Kairo: Mathba’ah al-Sya’ab, 1380 H.
- Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, Mesir: Dar al-Khair, t.t.
- Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. Ms. Nasrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 1996.
- Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
- H.A. Rivay Siregar, Tasauf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
- Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
- Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Syarh al-Qasyani, t.t.p.: al-Halabi, 1321 H.
- Ibrahim Basyuni, Nas-ah al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969.
- Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
- Jamil Shaliba, Mu’jam al-falsafy, jilid II, Beirut: Dar al-Kitab, 1979.
- Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
- Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
- R.A. Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam, di-Arabkan A.E. Affifi, Kairo: t.p., 1939.
- Qamar Kailani, Fi al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976.
___________________
[1]Abu Abd. Al-Rahman al-Sulami, Thabaqat al-Shafiyah, (Kairo: Mathba’ah al-Sya’ab, 1380 H), h. 58.
[2]Qamar Kailani, Fi al-Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976), h. 31.
[3]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 362
[4]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. III, h. 62.
[5]Ibid.
[6]Ibid
[7]Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 162-178.
[8]Mahmud Yunus, Kamus…, h. 79.
[9]Harun Nasution, Falsafat..., h. 67.
[10]Ibid.
[11]Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet. I, h.105-106.
[12]Mahmud Yunus, Kamus..., h. 158.
[13]Harun Nasution, Falsafat..., h. 64.
[14]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, t.t.), h. 115.
[15]Ibid., h. 64-65.
[16]Ibid., h. 65-66.
[17]Mahmud Yunus, Kamus..., h. 497.
[18]Harun Nasution, Falsafat..., h. 67.
[19]Mahmud Yunus, Kamus…, h. 321.
[20]Harun Nasution, Falsafat..., h. 67.
[21]Mahmud Yunus, Kamus…, h. 211.
[22]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah..., h. 184.
[23]Ibid.
[24]Ibid.
[25]Harun Nasution, Falsafat..., h. 68.
[26]Mahmud Yunus, Kamus…, h. 506.
[27]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah..., h. 163.
[28]Ibid.
[29]Harun Nasution, Falsafat..., h. 68
[30]Mahmud Yunus, Kamus…, h. 142.
[31]Harun Nasution, Falsafat..., h. 69.
[32]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah…, h. 43.
[33]Ibid.
[34]H.A. Rivay Siregar, Tasauf; Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 132.
[35]Harun Nasution, Falsafat..., h. 63.
[36]Jamil Shaliba, Mu’jam al-falsafy, jilid II, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), h. 167.
[37]Ibrahim Basyuni, Nas-ah al-Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), h. 138.
[38]Harun Nasution, Falsafat..., h. 63.
[39]Mustafa Zahri, Kunci.., h. 234.
[40]R.A. Nicholson, Fi al-Tasawuf al-Islam, di-Arabkan A.E. Affifi, (Kairo: t.p., 1939), h.149.
[41]Mustafa Zahri, Kunci.., h. 234.
[42]Ibid.
[43]Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. Ms. Nasrullah dan Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), h. 66-67.
[44]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah..., h. 3030.
[45]Harun Nasution, Falsafat..., h. 81.
[46]Mustafa Zahri, Kunci.., h. 236.
[47]Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. XI, h. 102.
[48]Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah..., h. 19.
[49]Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, Syarh al-Qasyani, (t.t.p.: al-Halabi, 1321 H), h. 230.
[50]Harun Nasution, Falsafat..., h. 83.
[51]Ibid., h. 85-86.