Mazhab Zahiri Atau Aliran Zahiriyah

Makalah Mazhab Zahiri Atau Aliran Zahiriyah
Oleh: Karim Siregar

A. Pendahuluan

Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu mazhab fikih yang pertama kali muncul di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Zahiriyyah, aliran ini juga dikenal dengan nama mazhab ad-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut dengan az-Zahiriyyah (Penganut ajaran lahiriyah).[1] Hingga sekarang, pemikiran-pemikiran aliran ini masih bisa ditemukan, bahkan sering menjadi bahan perbandingan ketika melakukan pembahasan-pembahasan kontemporer. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertamakali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani (202-270 H) yang berjuluk Abu Sulaiman.[2] Sebagai salah satu aliran yang cukup besar, adalah sangat menarik untuk mengkajinya. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu hasil dinamika perkembangan pemikiran ummat Islam.

PEMBAHASAN

B. Latar Belakang dan Perkembangan

Daud az-Zahiri, sebagai pengikut mazhab Syafi’i, dengan tekun mendalami fikih dan ushul fikih imam Syafi’i. Dalam perkembangan selanjutnya, tampaknya Daud az-Zahiri melihat bahwa ternyata imam Syafi’i dan murid-muridnya juga menggunakan nalar dalam berijtihad.[3] Penggunaan nalar secara intensif dan efektif oleh imam Syafi’i dan murid-muridnya terlihat jelas ketika mereka menggunakan qias. Karena itu, Daud az-Zahiri menganggap bahwa mazhab Syafi’i dengan pendekatan qiasnya dan mazhab Hanafi dengan istihsannya sesungguhnya relatif sama dalam penggunaan nalar ketika berusaha menggali dan menetapkan hukum.[4]

Di samping itu, pada abad ke-dua hijriyah bermunculan berbagai aliran dalam rangka memahami sumber hukum Islam. Aliran Muktazilah yang lebih menonjol dalam bidang teologi terkenal dengan kemampuan akal, sementara aliran al-Bathiniyah yakni salah satu sekte aliran Syi’ah terkenal sebagai sekte yang mentakwilkan ayat Alquran al-Karim secara berlebihan. Kedua aliran tersebut menurut Daud az-Zahiri sudah melampaui batasan dalam menggunakan akal dalam memahami nash.

Ketika akan diperlakukan sebagai sesuatu yang memliki kekuatan yang begitu tinggi, termasuk oleh penganut mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi, Daud az-Zahiri menanggapinya dengan mendirikan mazhab baru, suatu mazhab yang justru membatasi secara ketat intervensi akal terhadap wahyu. Aliran ini menggali hukum dari nash Alquran al-Karim sebatas yang dapat ditangkap secara lahiriyah saja, sementara makna yang tidak jelas artinya ditolak. Pentakwilan hanya dilakukan ketika ada indikasi atau dalil yang mendukung pentakwilan tersebut. namun demikian, bukan berabrti mazhab Zahiriyyah menolak kehadiran akal dalam memahami nash, hanya saja sikap kehati-hatian mereka lebih dominan.[5]

Adapun yang mendukung penyebaran mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:
  • Daud az-Zahir menulis pendapatnya dengan dalil-dalil yang cukup kuat.
  • Murid-muridnya berfungsi sebagai penyebar dan penerus ajarannya, antara lain: Ibnu Hazm (putra Daud az-Zahiri), Abu Yahya Zakaria bin Yahya bin Abdullah Saji’ (w. 307 H), Ibrahim bin Naftawaih (244-323 H) dan Abu Hasan Abdullah bin Ahmad bin al-Mugallas (w. 324).
  • Dari pengikut aliran Zahiriyyah, terdapat orang-orang yang berpengaruh pada pemerintahan Bani Umayyah seperti qadi Abu al-Qasim Ubadilillah bin Ali an-Nakha’i yang membawahi wilayah kehakiman Khurasan dan Iran. Pada abad ke-empat hijriyah, aliran ini tidak hanya berkembang di Irak dan Iran tapi juga meluas hingga ke Oman dan Sind.

Di dunia Timur, mazhab Zahiriyyah masih memiliki penganut hingga pertengahan abad ke-lima hijriyah. Pada saat itu muncul Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (w. 458 H), beliau adalah seorang tokoh dari aliran Hanbali, menguasai ushul fikih, mendalami Alquran al-Karim dam Hadis. Beliau juga merupakan seorang qadi, dalam kapasitasnya sebagai qadi, ia berhasil mengeser posisi mazhab Zahiriyyah dan sejak itu pamornya menurun dan digantikan oleh mazhab Hambali.

Pada abad ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur, akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.

Munculnya Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276 H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.

Mereka yang dimaksud antara lain: Abdullah bin Qasim bin Qasim as-Sayyar (w. 272 H) dan Mundzir bin Sa’id al-Balluti (273-335 H). Setelah priode Mundzir bin Sa’id, tampil pula Mas’ud bin Sulaiman bin Muflih Abu al-Khayyar (w. 426 H). Tokoh yang disebut terakhir ini merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebesan berfikir dan yang menjadi guru utama Ibnu Hazm dalam mempelajari dan mendalami ajaran mazhab Zahiriyyah.[6]

Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.

Daerah-daerah, selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibnu Hazm dalam rangka mengembangkan dan mengajarkan mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:
  • Maroko atau Maghribi. Di daerah ini yang berperan menyebarkan dan mengembangkan mazhab Zahiriyyah adalah Muhammad bin Suraih (392-476 H) di Maroko, pada waktu itu dikenal adanya kelompok al-Hazmiyyah, yaitu sekelopok ulama fikih yang menganut secara sungguh-sungguh ajaran Ibnu Hazm. Mazhab Zahiriyyah pernah menjadi mazhab resmi rakyat Maroko, yaitu pada masa pemerintahan Abu Yusuf Ya’qub, al-Manshur (seorang sultan dinasti Muwahhidun) yang memerintah pada tahun 580-595 H.
  • Baghdad. Di sini, mazhab Zahiriyyah tumbuh dan dikembangkan oleh Muhammad bin Nashr Futuh bin Abdullah al-Asadi al-Humaidi (420-488 H) ahli dalam bidang sejarah dan periwayatan hadis dan diteruskan oleh Abu al-Fadhl Muhammad bin Tahir al-Makdisi (488-507 H).
  • Iskadariyah. Di daerah ini mazhab Zahiriyyah dilanjutkan dan dikembangkan oleh Muhammad bin al-Walid al-Fikhri (w. 502 H). Sementara itu di Spanyol sendiri sepeninggal Ibnu Hazm, mazhab Zahiriyyah dikembangkan dan diteruskan oleh Abu Rafi’ bin Fadhal bin Ali bin Sa’id bin Hazim atau salah seorang putera Ibnu Hazm yang tidak diketahui kelahiran dan tahun wafatnya, Abdul Baqi bin Muhammad bin Sa’id bin Biryal al-Anshari (416-502 H).

Perkembangan mazhab Zahiriyyah di Syuriah tidak hanya terbatas pada sisi ajaran keagamaan saja, tetapi juga dalam masalah politik praktis. Pada tahun 788 H, sebagian dari tokoh mazhab ini dibawah pimpinan Syihabuddin Abu Hasyim Ahmad bin Muhammad bin Isma’il bin Abdurrahman bin Yusuf (704-792 H) melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Mamluk yang berkuasa saat itu, tetapi pemberontakan itu dapat digagalkan oleh pemerintah yang berkuasa dan pelaku. Akan tetapi tidak semua tokoh mazhab Zahiriyyah ikut dalam pemberontakan tersebut, di antaranya adalah Musa bin Amir Syafaruddin az-Zanji (w. 788 H) dan Ahmad bin Muhammad bin Manshur bin Abdullah Syihabuddin al-Asymuni (w. 809 H).

Pada akhir abad ke-8 awal abad ke-9 H, mazhab Zahiriyyah mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan ini antara lain munculnya buku al-Khuttat (catatan-catatan sejarah yang memuat informasi negatif tentang mazhab Zahiriyyah), buku itu ditulis oleh Ahmad bin Ali bin Abdulkadir Abul Abbas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al-Makrizi (w. 845 H) ahli Sejarah dari Persia.


C. Ajaran dan Faham Mazhab Zahiriyyah

Inti ajaran dan faham yang berkembang dalam mazhab Zahiriyyah berkisar pada persoalan sumbe hukum Islam dan pendekatan yang digunakan dalam memahami sumber tersebut. konsekuensi logis dari perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan pendapat dalam masalah fikihnya, mazhab Zahiriyyah hanya mengenal tiga sumber hukum Islam, yakni Alquran al-Karim, sunnah Rasulullah saw. dan ijma’. Bagi penganut mazhab Zahiriyyah, keumuman nash Alquran al-Karim dan sunnah sudah cukup untuk menjawab semua tantangan dan masalah.[7] Pendirian tersebut beradasarkan firman Allah swt. dalam surah an-Nahl: 89:

“dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembir bagi orang-orang yang berserah diri.

Dalam rangka memahami sumber-sumber utama tersebut, para pengikut mazhab Zahiriyyah menolak intervensi rasio dengan segala bentuknya. Dengan demikian, konsep istihsan, istishab, dan takwil[8] mereka tolak. Akan tetapi untuk mengatasi persoalan yang belum tersentuh secara jelas oleh nash baik Alquran al-Karim maupun sunnah mereka menggunakan pendapatan yang disebutk ad-dalil dan istishab.

Ad-dalil adalah suatu metode pemahaman atas suatu nash (al-istidlal al-fikh) yang menurut ulama aliran mazhab Zahiriyyah pada hakikatnya tidak keluar dari nash atau ijma’ itu sendiri. Dengan pendekatan ad-dalil dilakukan pengembangan suatu nash atau ijma’ melalui dilalah atau petunjuknya secara langsung tanpa langsung mengeluarkan illatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, konsep ad-dalil tidak sama dengan qias sebab untuk melakukan proses kias diperlukan kesamaan illat antara kasus asal dan kasus baru, sedangkan pada ad-dalil tidak diperlukan mengetahui illat tersebut.[9]

Pendekatan hukum ad-dalil dari suatu nash dapat mengambil bentuk sebagai berikut:
  • Konsklusi (natijah) yang ditarik dari premis-premis yang terdapat dalam suatu nash, contohnya, di dalam hadis Rasulullah saw. disebutkan: setiap yang memabukkan adalah khamar adalah premis pertama dan setiap khamar hukumnya haram adalah premis ke-dua, dan kesimpulan (natijah)nya adalah setiap yang memabukkan hukumnya haram. Dengan demikian pengharaman khamar adalah melaui nash dan pengharaman minuman yang memabukkan, melalui pendekatan ad-dalil yang dalam hal ini natijah biasa disebutk dengan qadaya-qadiyah sugra dan kubra, atau natijah dalam ilmu mantiq.
  • Syarat yang dikaitkan dengan suatu sifat atau keadaan apabila syarat untuk terjadi atau terwujudnya suatu sifat atau keadaan telah terpenuhi maka sifat atau keadaan yang dijanjikanpun harus ada. Sebagai contoh firman Allah swt. dalam surah al-Anfal: 38 yang artinya: “katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu jika mereka berhenti (dari kekafirannya) niscaya Allah swt. akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu.....” sekalipun pada mulanya ayat tersebut ditujukan kepada Abu Sufyan dan kawan-kawannya, namun dengan pendekatan dalil ayat tersebut dapat mencakup semua orang yang berhenti dari kekafirannya. Dengan pendekatan ad-dalil tersebut, setiap orang yang berhenti dari kekafirannya, maka yang bersangkutan akan mendapatkan ampunan dari Allah swt.
  • Arti yang dikandung suatu lafal, berarti lafal tersebut menolak makna atau keadaan lain kontradiktif dengan makna tersebut, seperti makna lafal halim yang terdapat dalam surat Taubah: 104 yang artinya: “sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. Penyantun=halim. Lafal halim tersebut berdasarkan pendekatan ad-dalil menunjukkan bahwa Ibrahim tidak mungkin memiliki sifat kasar, yang tidak menyantun.
  • Semua keadaan/hukum tidak dapat ditetapkan kecuali satu, ada kalanya haram adakalanya fardhu, dan ada kalanya mubah. Maka apabila tidak aada ketentuan haram, atau fardhu maka hukumnya mubah. Hal semacam ini menurut penilaian Abu Zahrah termasuk dalam kategori isitishaq menurut konsep mazhab Zahiriyyah.
  • Preposisi berjenjang (al-qadhaya al-mudarajah) maksudnya adalah bahwa peringkat pertama pasti lebih tinggi dari peringkat ketiga, sekalipun dalam teks tidak disebutkan secara tersurat.
  • Pembalikan preposisi (aks al-qadhaya), maksudnya di balik preposisi umum yang positif (kulliah mujabah). Senantiasa ada preposisi khusus terbatas (juziyyah) yang merupakan pembalikan dari preposisi umum tadi. Untuk memperjelas konsep ini, Ibnu Hazm mengemukakan contoh sebagai berikut: semua yang memabukkan hukumnya haram (Preposisi umum), dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa sebagian dari yang haram itu memabukkan (preposisi khusus/terbatas).
  • Lafal yang di dalamnya terdapat pengertian atau makna lain yang harus ada untuk mewujudkan makna utamanya. Misalnya kalimat: Ainul Aswad sedang menulis. Dari kalimat ini dapat diambil pengertian bahwa ia hidup, memliki anggota badan yang dapat digunakan untuk menulis, sebab untuk mewujudkan yang berasangkutan menulis maka ia harus hidup dan mempunyai anggota tubuh yang dapat digunakan untuk menulis.

Adapun ad-dalil dari ijma’ menurut Ibnu Hazm ada empat macam yaitu:

a. tetap pada hukum semula (istishab hal)

berdasarkan pada ketentuan dalil ini, maka jika ada suatu dalil yang mewajibkan suatu perbuatan dan oleh seseorang dinyatakan bahwa hukum sesuatu telah berubah maka yang bersangkutan harus mendatangkan dalil lain yang kualitasnya dapat mengubah hukum. Sepanjang tidak terdapat dalil yang memadai untuk mengubah hukum yang ada maka hukum yang lama tetap berlaku. Menurut Ibnu Hazm keharusan berpegang pada hukum semula selama tidak ada dalil baru, itulah yang paling meyakinkan. Keyakinan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan kayakinan lain.

b. batas minimal suatu jumlah atau ukuran (aqallu ma qila).

Contohnya, orang dianjurkan bersedekah. Jika ada orang bersedekah sekecil apapun nilainya, yang bersangkutan telah berhak disebut “orang yang bersedekah”. Demikian juga apabila terjadi perbedaan antara ulama mengenai suatu jumlah, maka jumlah yang terendah merupakan batas minimal dan kedudukan inilah yang merupakan ijma’, karena diakui oleh semua pihak yang berselisih.

c. ijma’ untuk meninggalkan suatu pendapat.

Seandainya terjadi perbedaan pendapat di antara beberapa ulama mengenai satu masalah, dan mereka sepakat untuk meninggalkan salah satu pendapat-pendapat tersebut, maka kesepakatan tersebut merupakan dalil bahwa pendapat dimaksud telah batal.

d. ijma’ bahwa satu hukum pada dasarnya berlaku untuk semua ummat Islam.

Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa setiap manusia sama kedudukannya di depan hukum. Oleh karena itu, jika ada hukum yang pada mulanya hanya tertuju hanya pada sebagian orang saja, maka berdasarkan ketentuan ini, hukum tersebut harus berlaku juga bagi orang lain. Mengenai konsep ad-dalil ini, menurut berbagai ulama koma, termasuk Abu Bakar Ahmad al-Khatib al-Bagdadi (1002-1071 H), ahli sejarah dari desa Darzijan di wilayah Baghdad, Daud bin Ali bin Qalab bin Isfahani az-Zahiri yang menolak kias sesungguhnya hanya secara teoritis, sedangkan secara praktis Daud az-Zahir juga mengamalkan kias sekalipun diberi nama lain, yakni ad-dalil. Akan tetapi, terhadap penilaian tersebut, Ibnu Hazm membantahnya dengan tegas dengan mengatakan bahwa “sebagian dari orang-orang yang tidak mengerti mengatakan bahwa qias dan dalil adalah sama. Oleh karena itu mereka telah keliru”.

Selain itu, untuk mempecahkan persoalan-persoalam yang belum diterjemahkan oleh Alquran al-Karim, sunnah serta ijma’, mazhab Zahiriyyah mengembangkan konsep al-istishab, yakni menghukumkan/menetapkan hukum mubah sebagai hukum asal bagi segala sesuatu. Hal ini, menurut penganut mazhab Zahiriyyah berdasarkan petunjuk dalam surah al-Baqarah: 29 yang artinya: “dialah Allah swt., yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” . Mengenai takwil sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hazm, sesungguhnya takwil yang ditolak bukanlah takwil secara umum dan secara keseluruhan, hanya takwil yang sudah melampaui batas seperti menakwilkan kata Baqarah dengan Aisyah, sedangkan takwil yang didukung oleh dalil wajib, maka mereka tidak menolaknya.

Yang tidak kalah pentingnya untuk disebutkan adalah bahwa Daud az-Zahiri melarang mutlak ummat Islam untuk bertaklid, hingga orang awwampun tidak dizinkan bertaklid. Maka apabila seorang yang awwam tidak mampu berijtihad, maka ia harus bertanya kepada seseorang yang mampu menjelaskan masalah tersebut kepadanya, lengkap dengan dalil, baik dari Alquran al-Karim dan sunnah.

Akibat dari pendekatan ijtihadnya yang berbeda, maka banyak pula hasil pendapat hukum yang berbeda dengan pendapat hukum kebanyakan ulama. Beberapa pendapat tersebut adalah:

kebijakan (tasarruf) yang berkaitan dengan hak waris dan hibah misalnya, yang dilakukan oleh seorang yang dalam keadaan sakit, dalam hal ini sakit yang membawa kepada mati yang bersangkutan, adalah sah dan memiliki akibat hukum sebagaimana orang yang sehat.sedangkan menurut zumhur ulama hal tersebut tidak dapat dinyatakan sah. Jumhur ulama mengajukan argumen bahwa tasrruf yang demikian dikhawatirkan hanya berdasarkan pertimbangan kasih sayang yang emosional yang akan menghalangi hak waris bagi ahli waris karena seluruh harta telah dihibahkan kepada orang yang dikasihi tersebut. menurut ulama penganut mazhab Zahiriyyah argumen yang dijadikan kelompok jumhur tersebut tidak dapat diterima berdasarkan pada nash, tetapi hanya berdasarkan rasio, dan tidak ada tempat bagi rasio dalam menetapkan hukum Islam.

air dapat terkena najis karena dimasuki oleh air kencing manusia, karena ada nash hadisnya. Rasulullah saw. bersabda: “janganlah salah seorang dari kamu kencing di air yang tergenang (tidak mengalir) kemudian ia mandi di dalam air tersebut”. (HR Bukhari). Dan tidak terkena najis karena dimasuki oleh kencing babi karena tidak ada nashnya. Apabila dikatakan kepada mereka bahkan hukum kencing babi mengikuti hukum dagingnya, dan dagingnya najis hukumnya, tentui kencingnyapun najis maka mereka akan mengatakan “itu berdasarkan rasio dan rasio tidak berhak memutuskan hukum.

tidak sah talak kecuali dengan menggunakan lafal “at-talak”, as-sara (melepaskan), al-firaq (memisahkan). Hal ini disebabkan karena tiga macam lafal yang disebut oleh nash, dalam hal ini adalah Alquran al-Karim surah al-Baqarah: 229, 241, an-Nisa: 130, al-Ahzab: 49 dan surah at-Thalaq ayat 2. karena Allah swt. tidak menyebutkan kecuali tiga lafal ini, maka tidak boleh melepaskan ikatakan perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan kalimat lain.

setiap segala sesuatu yang tumbuh di bumi yang mempunyai nilai ekonomi wajib dizakati, hanya saja pada hasil bumi yang diukur dengan timbangan ditetapkan syarat agar materi tersebut wajib dizakati hendaklah dalam satu jenis dan sudah mencapai lima wasak (lebih kurang 553 kg) menurut jumhur ulama fikih. Sedangkan pada hasil bumi yang tidak diukur dengan timbangan akan terkena kewajiban zakat baik banyak ataupun sedikit. Pendapat di atas berdasarkan a). riwayat Ibnu Abbas bahwa ia memungut zakat dari daun kucai. b) riwayat Ibnu Umar memungut zakat salt (sejenis gandum yang tidak berkulit), sedangkan c). Riwayat Umar bin Abdul Aziz menujukkan bahwa wajib hukumnya mengeluarkan zakat pada seluruh yang dihasilkan oleh bumi. Ketiga hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.

Untuk membangun mazhabnya, Daud az-Zahiri menulis beberapa karya, antara lain:
  • Kitab al-hujjah, adalah bukut tentang argumentasi.
  • kitab al-Khabar al-Mujib li al-Ilmi, yakni kajian tentang informasi keilmua.
  • kitab al-Khusus wa al-Umum, buku tentang penjelasan lafal umum dan khusus.
  • kitab al-Mufassar wa al-Mujmal, mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya.
  • kitab al-Ifta al-Qiyas, yakni masalah penolakan atas qias.
  • Ifta al-Taqlid, buku yang berisi mengenai larangan bertaklid.
  • Khabar al-Wahid, buku tentang hadis Ahad.

D. Kesimpulan dan Penutup

Zahiriyyah adalah mazhab yang menetapkan hukum Islam berdasarkan zahir nash saja, tidak memberikan takwil atau penalaran ra’yu terhadap nash, baik Alquran al-Karim maupun sunnah. Satu-satunya dalam persepsi Zahiriyyah kemungkinan yang tersedia dan gemilang dalam membaca nash Alquran al-Karim dan hadis adalah melalui zahiriyah. Bacaan ini telah dilakukan oleh beberapa ulama terkemuka pada abad ke-9 H, seperti iman Hanbali yang berpegang pada tafsir harfiyah terhadap nash, walaupun beliau masih memberikan suatu intervensi nalar padanya. Contoh lain adalah Daud dan Ibnu Hazm, mengasumsikan bahwa bathin nash adalah milik Allah swt., sedangkan zahirnya untuk manusia.[10] Adalah amat menarik mencoba mengadakan pembelajaran tehadap mazhab ini, sebab pendekatan yang digunakannya, hampir selalu berbeda dengan apa yang sering kali dipakai oleh mazhab lainnya. Apalagi terdapat fakta bahwa usaha penyebaran mazhab ini dilakukan dengan gigih namun begitu masih saja kurang mendapat sambutan yang hangat. 


Daftar Pustaka
  • Bek, Muhammad Hudari, Tarikh Tasyri’ al-Islami. Beirut: Dar Fikr, 1967.
  • Jurnal, Ulumul Qur’an. Jakarta: Aksara Buana, 1990.
  • Glass, Cryill Ensiklopedi Hukum Islam. akarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990.
  • Rahmat, Jalaluddin,Tinjauan Kritis atas Sejarah Fikih. Jakarta: Paramadina, 1995.
  • Siddiqie,TM. Hasbi, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, t.t.
  • Tizniy, ad-Din wa al-Saura fi Mishr 1952-1981, vol. VII dan VIII. Mesir: Maktabah Madbli, 1989.
  • Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957.
  • Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khitab ad-Diny. Kairo: Sina li an-Nashr, 1992.
___________________
[1] Cryill Glass, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), h. 1976.
[2] Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fikih (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 57.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Araby, 1957), h. 346.
[4] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Diny (Kairo: Sina li an-Nashr, 1992), h. 253.
[5] Zahrah, Ushul, h. 244.
[6] Ulumul Qur’an (Jurnal, Jakarta: Aksara Buana, 1990), h. 76.
[7] TM. Hasbi as-Siddiqie, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, t.t), h. 63.
[8] Muhammad Hudari Bek, Tarikh Tasyri’ al-Islami (Beirut: Dar Fikr, 1967), h. 110.
[9] Muhammad Hudari Bek, Tarikh, h. 14.
[10] Tizniy, ad-Din wa al-Saura fi Mishr 1952-1981, vol. VII dan VIII (Mesir: Maktabah Madbli, 1989), h. 347.













.