Al-Ghazali mengatakan bahwa Ma`rifat itu adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. banyak pengertian Ma`rifat, salah satunya bahwa Ma`rifat merupakan usaha mengenal Allah, diri dan lainnya. sedangkan Ijtihad merupakan sebuah keputusan yang diambil berdasarkan ilmu dan keimanan yang optimal. Ma`rifat Dan Ijtihad merupakan pembahasan yang panjang jika diteliti lebih mendalam. untuk itu makalah ini secara khusus membahas Ma`rifat Dan Ijtihad melalui beberapa sumber dan pendapat.
Makalah Ma`rifat Dan Ijtihad oleh: Tarmizi
B.Ma`rifat |
Sebenarnya Ma`rifat kepada Allah SWT adalah seluhur-luhurnya ma’rifat dan bahkan merupakan semulia-mulianya Ma`rifat. Sebab Ma`rifat kepada Allah SWT itulah yang merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan keruhanian. Dari Ma`rifat kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada Ma`rifat kepada nabi dan rasul serta hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat beliau. Bahkan dari berMa`rifat kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada Ma`rifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti Malaikat, Jin dan Ruh. Juga dari Ma`rifat kepada Allah SWT itu pulalah timbulnya Ma`rifat akan perihal yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berkahir, juga mengenai kehidupan di alam Barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa ba’ats (kebangkitan dari kubur) hisab atau perhitungan amal, pahal, dosa, siksa Neraka dan kenikmatan Syurga. I. Cara BerMa`rifat. Untuk bermakrifah kepada Allah SWT itu mempunyai dua cara.[1] Kedua cara itu adalah: dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa dengan teliti apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT yang berupa benda-bendar yang beraneka ragam ini. dengan mema’rifati nama-nama Allah SWT serta sifat-sifatNya. Maka dengan menggunakan akal dan pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah SWT dari sudut lain akan dapatlah seseorang itu berma’rifat kepada tuhannya, ia akan mempertoleh petunjuk ke arah itu.[2] II. BerMa`rifat Dengan Pikiran Sesungguhnya setiap anggota itu tentu ada tugas-tugasnya, sedangkan tuga akal adalah mengangan-angankan, memeriksa, memikirkan dan mengamati, jikalau kekuatan-kekuatan yang semacam itu menganggur maka hilanglah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting baginya dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup, jikalau ini sudah terjadi, akan menyebabkan terjadinya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal itu bergerak dan melepaskan kekangannya, segera bangun dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang demikian ini termasuk dari inti ibadah kepada tuhan. Sebagaimana firmannya: قل إنما أعظكم بواحدة أن تؤمنوا الله مثنى ز فرادى شيئ تتففكروا “katakanlah aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja, yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah SWT, dua-dua orang atau seorang-seorang, kemudian berfikirlah kamu semua (QS Saba’: 46). III. BerMa`rifat Menurut al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa Ma`rifat itu adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi.[3] Inilah pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang bisa diperoleh oleh akal. Makrifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada karunia pemberian tuhan kepada hambaNya yang sanggup menerimanya. Karena banyaknya amal, maka datanglah karunia sebagai balasan untuk ganjaran pahala atas amal itu. Apabila perbekalan telah menjadi suci bersih maka tercapailah maqam atau derajat yang tinggi. Jadi karunia adalah pemberian, sedangkan maqam adalah amalan.[4] Memang sampai dimana tingkat Ma`rifat manusia tentang tuhan terdapat perbedaan intrepretasi di kalangan sufi. Menurut al-Ghazali, Ma`rifat itu adalah sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu berpadu atau bersatu dengan tuhan. Menurutnya, pengertian Ma`rifat adalah mengetahui dengan mata hati, akal. Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu maka ia ungkapkan dalam kalimat: nazhrun ila wajhillah.[5] Yang berarti melihat atau memandang wajah Allah SWT dengan mata hati bukan dengan mata kepala. Oleh karena itu menurut al-Ghazali bahwa orang arif atau orang yang mencapai makrifah tidak lagi menyeru tuhan dengan kalimat “wahai Allah SWT” karena kalimat seperti itu menunjukkan bahwa Allah SWT masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang yang arif, tabir itu telah tiada, maka tidak perlu lagi saling memanggil. III. Ma`rifat menurut Zunnun al-Mishri. Ia merupakan orang yang pertama, yang membahas Ma`rifat secara mendalam, maka ia dipandang sebagai tokoh paham Ma`rifat. Beliau membagi Ma`rifat tentang tuhan kepada tiga kelompok:
Orang filosif dan mutakallimin mencari tuhan dengan menggunakan akalnya oleh karena pengetahuan akal dan mantik, maka mengartikan akan adanya, tapi belum tentu merasakan lezatnya. Yang lebih diutamakan ialah ilham atau faidh yaitu: limpahan karunia tuhan atau kasyaf, yaitu tuhan membuka hijab hatinya dalam alam keruhanian, diwaktu akal berjalan lagi dan tiba di derajat yang mustawa.[6] Dengan adanya usaha yang keras, dan didasari keihkalasan sufi untuk mendekatkan diri kepada tuhan, sedangkan tuhan selalu menurunkan rahmatnya , di saat itu terbukalah tabir (hijab) dan terjadinya komunikasi dua arah dalam bentuk makrifah. Zunnun al-Mishri menggambarkan tanda-tanda orang yang telah mendapatkan Ma`rifat kepada tiga:
Dengan samapainya seorang sufi ke tingkat makrifah, ia pada hakikinya telah dekat benar dengan tuhan. |
D. Syarat-Syarat Mujtahid |
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat diambil intisari, dari sayarat-syarat mujtahid adalah:
- orang-orang yang telah mengetahui hukum.
- hukum Alquran al-Karim: ia harus mengetahui nama ayat yang amm (umum) dan mana yang khass (khusus), mujmal, muthlaq dan lain sebagainya.
- hukum sunnah: ia harus mengetahui mana hadist yang shahih, dhaif, mutawatir, ahad.
- hukum bahasa Arab: ia harus memahami ilmu-illmu bahasa Arab seperti ilmu: nahwu dan sharf, ushul, mantiq, ma’ani, badi’, serta bacaanya.
Syarat inu diperlukan karena kalau seseorang tidak mengetahui apa yang terebut diatas dengan apakah ia berijtihad menentukan suatu hukum? Sebab ayat-ayat Alquran al-Karim dan hadist nabi adalah berbahasa arab. Dalam kitab syarah as-sunnah dinyatakan pula bahwa seseorang belum dapat dinamakan mujtahid kecuali setelah berkumpul padanya lima macam ilmu:
- ilmu kitabullah (ilmu Alquran al-Karim dan asbabun nuzul).
- ilmu hadist.
- ilmu tentang pendapat ulaman salaf dan khalaf, tentang ijma’ dan ittifaq mreka.
- ilmu bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu perangkat lainnya.
- ilmu qiyas (membandingkan suatu hukum), kalau nash tidak didapati.[8]
E. Lapangan Dan Hukum Ijtihad |
Menurut imam al-Ghazali lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qat’i. Sedangkan hukum ijtihad, para ulama menyatakan hukum ijtihad itu bisa wajib ain, wajib kifayah, sunnah dan haram, tergantung kepada kapasitas mujtahid dan lapangan ijtihadnya.
Penutup..Daftar pustaka dan Footnote