Ma`rifat Dan Ijtihad

Al-Ghazali mengatakan bahwa Ma`rifat itu adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. banyak pengertian Ma`rifat, salah satunya bahwa Ma`rifat merupakan usaha mengenal Allah, diri dan lainnya. sedangkan Ijtihad merupakan sebuah keputusan yang diambil berdasarkan ilmu dan keimanan yang optimal. Ma`rifat Dan Ijtihad merupakan pembahasan yang panjang jika diteliti lebih mendalam. untuk itu makalah ini secara khusus membahas Ma`rifat Dan Ijtihad melalui beberapa sumber dan pendapat.

Makalah Ma`rifat Dan Ijtihad oleh: Tarmizi
Pendahuluan
Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw. dan merupakan agama yang berintikan ke-imanan dan perbuatatan (amal). Keimanan itu merupakan aqidah dan pokok yang diatasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok-pokok itu keluarlah cabangnya.

Perbuatan itu merupakan syari’at dan cabang-cabangnya yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan serta aqidah itu. Perbuatan dan keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at, ke-duanya itu antara satu dengan yang lain saling sambung-menyambung, hubung-menghubungi dan tidak dapat berpisah satu sama lainnya. Ke-duanya bagaikan buah dan pohon, sebagai sebab dan musabbabnya atau seperti muqaddimah dan natijahnya, maka begitu juga dengan ijtihad dan makrifat kita kepada Allah SWT.
B.Ma`rifat
Sebenarnya Ma`rifat kepada Allah SWT adalah seluhur-luhurnya ma’rifat dan bahkan merupakan semulia-mulianya Ma`rifat. Sebab Ma`rifat kepada Allah SWT itulah yang merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala kehidupan keruhanian.

Dari Ma`rifat kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada Ma`rifat kepada nabi dan rasul serta hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat beliau. Bahkan dari berMa`rifat kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada Ma`rifat dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti Malaikat, Jin dan Ruh. Juga dari Ma`rifat kepada Allah SWT itu pulalah timbulnya Ma`rifat akan perihal yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berkahir, juga mengenai kehidupan di alam Barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa ba’ats (kebangkitan dari kubur) hisab atau perhitungan amal, pahal, dosa, siksa Neraka dan kenikmatan Syurga.

I. Cara BerMa`rifat.
Untuk bermakrifah kepada Allah SWT itu mempunyai dua cara.[1] Kedua cara itu adalah:
dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa dengan teliti apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT yang berupa benda-bendar yang beraneka ragam ini. dengan mema’rifati nama-nama Allah SWT serta sifat-sifatNya. Maka dengan menggunakan akal dan pikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah SWT dari sudut lain akan dapatlah seseorang itu berma’rifat kepada tuhannya, ia akan mempertoleh petunjuk ke arah itu.[2]

II. BerMa`rifat Dengan Pikiran
Sesungguhnya setiap anggota itu tentu ada tugas-tugasnya, sedangkan tuga akal adalah mengangan-angankan, memeriksa, memikirkan dan mengamati, jikalau kekuatan-kekuatan yang semacam itu menganggur maka hilanglah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting baginya dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup, jikalau ini sudah terjadi, akan menyebabkan terjadinya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal itu bergerak dan melepaskan kekangannya, segera bangun dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang demikian ini termasuk dari inti ibadah kepada tuhan. Sebagaimana firmannya:
قل إنما أعظكم بواحدة أن تؤمنوا الله مثنى ز فرادى شيئ تتففكروا 

katakanlah aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja, yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah SWT, dua-dua orang atau seorang-seorang, kemudian berfikirlah kamu semua (QS Saba’: 46).

III. BerMa`rifat Menurut al-Ghazali.
Al-Ghazali mengatakan bahwa Ma`rifat itu adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi.[3] Inilah pengetahuan yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang bisa diperoleh oleh akal. Makrifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada karunia pemberian tuhan kepada hambaNya yang sanggup menerimanya.

Karena banyaknya amal, maka datanglah karunia sebagai balasan untuk ganjaran pahala atas amal itu. Apabila perbekalan telah menjadi suci bersih maka tercapailah maqam atau derajat yang tinggi. Jadi karunia adalah pemberian, sedangkan maqam adalah amalan.[4]

Memang sampai dimana tingkat Ma`rifat manusia tentang tuhan terdapat perbedaan intrepretasi di kalangan sufi. Menurut al-Ghazali, Ma`rifat itu adalah sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu berpadu atau bersatu dengan tuhan. Menurutnya, pengertian Ma`rifat adalah mengetahui dengan mata hati, akal. Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu maka ia ungkapkan dalam kalimat: nazhrun ila wajhillah.[5] Yang berarti melihat atau memandang wajah Allah SWT dengan mata hati bukan dengan mata kepala. Oleh karena itu menurut al-Ghazali bahwa orang arif atau orang yang mencapai makrifah tidak lagi menyeru tuhan dengan kalimat “wahai Allah SWT” karena kalimat seperti itu menunjukkan bahwa Allah SWT masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang yang arif, tabir itu telah tiada, maka tidak perlu lagi saling memanggil.

III. Ma`rifat menurut Zunnun al-Mishri.
Ia merupakan orang yang pertama, yang membahas Ma`rifat secara mendalam, maka ia dipandang sebagai tokoh paham Ma`rifat. Beliau membagi Ma`rifat tentang tuhan kepada tiga kelompok:
  1. pengetahuan orang awwam: tuhan itu satu diketahui melalui ucapan syahadat.
  2. pengetahuan ulama: tuhan itu satu diketahui melalui logika.
  3. pengetahuan sufi: tuhan itu satu, diketahui melalui sanubari pengetahuan dalam arti satu dan dua belum merupakan pengetahuan hakikat tentang tuhan, keduanya disebut dengan ilmu bukan makrifah.
Orang filosif dan mutakallimin mencari tuhan dengan menggunakan akalnya oleh karena pengetahuan akal dan mantik, maka mengartikan akan adanya, tapi belum tentu merasakan lezatnya. Yang lebih diutamakan ialah ilham atau faidh yaitu: limpahan karunia tuhan atau kasyaf, yaitu tuhan membuka hijab hatinya dalam alam keruhanian, diwaktu akal berjalan lagi dan tiba di derajat yang mustawa.[6] Dengan adanya usaha yang keras, dan didasari keihkalasan sufi untuk mendekatkan diri kepada tuhan, sedangkan tuhan selalu menurunkan rahmatnya , di saat itu terbukalah tabir (hijab) dan terjadinya komunikasi dua arah dalam bentuk makrifah.

Zunnun al-Mishri menggambarkan tanda-tanda orang yang telah mendapatkan Ma`rifat kepada tiga:
  1. cahaya makrifahnya tidak memadamkan kerendahan hatinya.
  2. secara batiniah ia tidak mengakui ilmu yang menyangkal hukum lahiriah.
  3. banyaknya karunia yang ia terima tidak membuatnya melanggar larangan Allah SWT.
Dengan samapainya seorang sufi ke tingkat makrifah, ia pada hakikinya telah dekat benar dengan tuhan.



C. al-Ijtihad

I. Pengertian Ijtihad Secara Etimologi (Bahasa)
Dalam bahasa (etimologi) ijtihad berasala dari kata jahada, yang berarti: kesungguhan, kesanggupan, kekuatan dan berat. Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa:

1. menurut Ahmad bin Ali al-Mukri al-Fayumi, ijtihad menurut bahasa ialah:

بذل وسعه و طاقته فى طلبه ليبلغ مجهوده و يصل إلى نهايته

“pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan sesuatu untuk sampai kepada tujuan”

2. menurut as-Syaukani, ijtihad secara bahasa ialah:

عبارة عن استفراغ الوسع فى أى فعل
“ibarat pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja”

3. ahli ushul berpendapat

الاجتهاد: استفراغ لفقيه الوسع لتحصيل طن بحكيم

“ijtihad adalah orang yang fakih yang menumpahkan segala kesanggupannya untuk menghasilkan dzan/sangkaan dengan sesuatu hukum”.[7]



II. Pengertian Ijthad Secara Terminologi (Istilah)

Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan yaitu pada masa Sahabat. Beberapa pengertian itu adalah:

1. menurut Abu Zahrah ijithad itu adalah:

بذل الفقيه وسعه فى استنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصيلية

“upaya eorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.

Jelaslah bahwa yang akan jadi mujthid itu hanyalah orang-orang yang mengetahui dalil-dalil kitab dan sunnah dan merupakan ahli fikih.





III. Syarat-Syarat Mujtahid Menurut beberapa ulama

1. Syarat mujtahid menurut imam al-Ghazali:
  • Mengetahui syari`at serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
  • Adil dan tidak melakukan maksiat.
2. Syarat mujtahid menurut al-Razi:
  • mukallaf.
  • Mengetahu makna lafaz dan rahasianya.
  • Mengetahui keadaan mukhatab.
  • Mengetahui keadaan lafaz.
3. menuruty as-Syatibi:
  • memahami tujuan syara’
  • mampu menetapkan hukum.
  • Memahami ilmu-ilmu bahasa Arab.
4. menurut as-Syaukani:
  • mengetahui Alquran al-Karim dan hadist yang bertalian dengan hukum.
  • Mengetahui ijma’.
  • Mengetahui bahasa Arab.
  • Mengetahui ilmu ushul fikih.
  • Mengetahui nasikh dan mansukh.
Dan masih banyak syarat-syarat mujtahid berbagai versi lainnya oleh para ulama. Melihat begitu banyaknya dan beratnya syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, tampaknya untuk zaman sekarang akan sangat sulit untuk terpenuhi.









D. Syarat-Syarat Mujtahid

Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat diambil intisari, dari sayarat-syarat mujtahid adalah:
  • orang-orang yang telah mengetahui hukum.
  • hukum Alquran al-Karim: ia harus mengetahui nama ayat yang amm (umum) dan mana yang khass (khusus), mujmal, muthlaq dan lain sebagainya.
  • hukum sunnah: ia harus mengetahui mana hadist yang shahih, dhaif, mutawatir, ahad.
  • hukum bahasa Arab: ia harus memahami ilmu-illmu bahasa Arab seperti ilmu: nahwu dan sharf, ushul, mantiq, ma’ani, badi’, serta bacaanya.
Syarat inu diperlukan karena kalau seseorang tidak mengetahui apa yang terebut diatas dengan apakah ia berijtihad menentukan suatu hukum? Sebab ayat-ayat Alquran al-Karim dan hadist nabi adalah berbahasa arab. Dalam kitab syarah as-sunnah dinyatakan pula bahwa seseorang belum dapat dinamakan mujtahid kecuali setelah berkumpul padanya lima macam ilmu:
  • ilmu kitabullah (ilmu Alquran al-Karim dan asbabun nuzul).
  • ilmu hadist.
  • ilmu tentang pendapat ulaman salaf dan khalaf, tentang ijma’ dan ittifaq mreka.
  • ilmu bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu perangkat lainnya.
  • ilmu qiyas (membandingkan suatu hukum), kalau nash tidak didapati.[8]
E. Lapangan Dan Hukum Ijtihad

Menurut imam al-Ghazali lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qat’i. Sedangkan hukum ijtihad, para ulama menyatakan hukum ijtihad itu bisa wajib ain, wajib kifayah, sunnah dan haram, tergantung kepada kapasitas mujtahid dan lapangan ijtihadnya.

Penutup..Daftar pustaka dan Footnote
F. Kesimpulan.

Setelah menelusuri uraian tentang Ma`rifat, maka dapat kita ambil intisarinya:
  • Ma`rifat kepada Allah SWT ada dua cara.
  • Ma`rifat menurut al-Ghazali adalah bukan hasil pemikiran manusia, melainkan merupakan karunia tuhan kepada hambaNya yang sanggup menerimanya.
  • menurut al-Ghazali, Ma`rifat sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu terpadu atau bersatu dengan tuhan. Sedangkan menurut al-Mishri, dengan meMa`rifat manusia akan bersatu dengan tuhannya karena tuhan membuka tabir (hijab) sehingga terjadi komunikasi dua arah antara makhluk dan akhlak.
  • ijtihad sangat penting karena ummat Islam dewasa ini dihadapkan pada sejumlah peristiwa baru dalam berbagai aspek kehidupan, lebih-lebih untuk kasus yang belum ada nashnya.
  • ijtihad sebagai penjelasan terhadap dalil-dalil yang dzanni.
  • ijtihad sebagai sebuah saksi keunggulan agama Islam atas agama-agama lainnya.

Daftar Pustaka
  • Ahmad Zaini Miftah, Dasar Pokok Hukum Islam. Jakarta, 7 Juni 1969.
  • Department Agama, Alquran Dan Terjemahannya.
  • Hamka, Tasawwuf Dari Abad Ke-Abad. Jakarta: Pustaka Islam, 1953.
  • Musthafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998.
  • Sayyid Sabiq, Aqidah Islam. cet. Ke-II. Bandung, CV. Diponegoro, tth.
  • Tajuddin Abdul Wahab, Jam’ul Jawami’, juz XI.

Footnote
  • [1] Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, cet. Ke 2 (Bandung: CV. Diponegoro, tth) h. 31.
  • [2] Ibid. h. 32.
  • [3] Musthafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf (Jakarta: PT Bina Ilmu, 1998) h. 229.
  • [4] Ibid.
  • [5] Ibid.
  • [6] Hamka, Tasawwuf Dari Abad Ke Abad (Jakarta: Perpustakaan Islam, 1953) h. 190
  • [7] Ahmad Zaini Mifta, Dasar Pokok Hukum Islam (Jakarta, 7 Juni, 1969).
  • [8] Tajuddin Abdul Wahab, Jam’ul Jawami, juz XI. H. 68.













.