Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. sedangkan Ismail Razi Faruqi merupakan tokoh terkenal dunia. nama besar Ismail Razi Faruqi telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya berbagai megaproyek keilmuan. dalam makalah dibahas secara khusus tentang Corak Filsafat Islam Modern menurut pemikiran tokoh dunia islam Muhammad Arkoun dan Ismail Razi Faruqi.
B. Muhammad Arkoun. |
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad. Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain. Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1] Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2] 2. Pendidikan dan Pengalaman Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3] Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4] Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam. Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[5] Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[6] Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban). Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah. Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis. 3. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun Muhammad Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [7] Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.] Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya. Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri. Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya. Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[8] Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah. Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme. Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam. Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.[9] Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[10] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar. Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini. Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern. Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan. Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri. Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[11] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan: Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata.[12] Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[13] Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan: Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad? 4. Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun. Menurut Arkoun dalam pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), bahwa k olonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran ummat muslim masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam," Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah. Namun, memasuki abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). Dalam kapasitaasnya sebagai seorang ahli sejarah peradaban Islam, ia mengatakan bahwa pemikiran tersebut adalah keliru. Dalam Islam klasik, menurut Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam. Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci. Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan lebih sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keragaman. Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri di atas bangsa. "Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif humanisme. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. Ia mengajak terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran. Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern," ujarnya. Arkoun mencontohkan keinginan pemerintah Maroko meningkatkan status perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, tetapi sebagian yang lain menerimanya. Hukum modern didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu. Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya.[14] |
Ismail Razi al-Faruqi
Penutup
Daftar Pustaka
Footnote