Ulama dan Kekuasaaan

Ulama dan Kekuasaaan di sini bermakna bahwa ulama mempunyai kekuasaan di bidang ilmu yang mereka miliki. para ulama berusaha dan bersungguh-sungguh menuntut ilmu ke berbagai tempat demi untuk memperoleh pengetahuan dan memperluas wawasan yang mereka miliki. kesempatan kali ini aneka ragam makalah membahas suatu tema yang penting untuk di jadikan pembahasan mengenai Ulama dan Kekuasaaan.
Pendahuluan
A. Pendahuluan


Umat Islam pada umumnya mempercayai watak holistic Islam. Sebagai instrument ilahiyah untuk memahami dunia, Islam sering kali dipandang sebagai lebih dari sekedar agama. Beberapa kalangan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang sebagai “ masyarakat madani”.Ini merupakan penuturan Muhammad Iqbal dalam bukunya yang berjudul The Recontruction of Religion Thoght in Islam, . peradaban yang lengkap bahkan “agama dan Negara”. Yang melandasi rumusan – rumusan ini adalah pandangan yang luas diterima bahwa Islam mencakup lebih dari sekedar system teologi atau moral. Lebih jauh pandangan itu menyatakan bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara spiritual dan temporal, melainkan mengatur semua aspek kehidupan.


Sementara pandangan – pandangan seperti itu memang tetap diterima oleh hampir semua orang, artikulasinya pada tingkat praktis merupakan sesuatu yang cukup problematic. Hal ini tidak serta merta disebabkan oleh tingkat kesalehan yang berbeda dikalangan umat Islam, melainkan terutama disebabkan oleh ciri umum sebagian besar ajaran Islam yang memungkinkan multiinterpretasi terhadapnya, tergantung kepada situasi yang dihadapi.(Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, h 61).


Kata ilmu dalamberbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al- Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan al –Qur’an ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk – makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan. Manusia menurut al – Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seijin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali – kali pula al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang – orang yang berpengetahuan. ( M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, h 434 – 435)


Ilmu merupakan salah satu nilai yang luhur dibawa oleh Islam dan tegak diatasnya kehidupan manusia baik secara moril maupun secara material, dunia maupun ukhrawi. Islam menjadikan sebagai jalan menuju keimanan dan memotivasi amal. Sekaligus karunia ilmu ini pula yang membuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi ini karena dengan ilmu tersebut, Adam sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas malaikat ( dan makhluk yang lain) yang sempat penasaran sehingga mempermasalahkan pemberian amanah ini. ( Yusuf al – Qardhawi, Malamihu al – Mujtama’a al Muslim Alladzi Nasyuduh, Maktabah Wahbah Cairo : Mesir, 1417 H,h 120)


Kita megetahui bahwa tanpa adanya institusi yang membesarkan atau menempah para orang – orang yang berilmu tadi maka kita tidak akan menyakini bahwa mereka adalah mempunyai ilmu dan karena ilmu tadi mereka dijuluki dengan gelar ulama. Perlu kita tekankan di makalah ini bahwa institusi pendidikan Islam sangat banyak mulai dari Pesantren, Sekolah Islam, Perguruan Tinggi Islam, Institut Agama Negri Islam dan bahkan banyak jenis nama institusi pendidikan Islam, tapi dalam makalah ini kita akan berbicara dalam intitusi salah satunya adalah madrasah yang ada di luar Indonesia.


Ulama merupakan orang yang berpengaruh dalam tatanan ilmu “ilmu agama Islam” ulama pada gilirannya akan mewariskan ilmu yang dimilikinya tersebut kepada para anak didiknya. Melihat kondisi ini bahwa jelas Islam akan mewariskan ilmu pengetahuan dari para ulama tersebut dan belajar kepadanya. Didalam makalah ini penulis akan mencoba menulis bahwa apa ada keterkaitan ulama dalam membentuk keilmuan yang ada dikalangan umat Islam dan menjadikan anak didik atau ulama itu sendiri menjadi “kuat” dalam posisi kemasyarakatan dan kalau bisa membentuk keilmuan tersebut tentu akan menggapai pengaruh dalam masyarakat dan bahkan menjadi berkuasa di tatanan masyarakatnya.

B. Pengertian Ulama

Ulama adalah bentuk majemuk dari kata dalam bahasa Arab “alim” yang secara harfiyah yang berarti orang yang berilmu lawan kata ilm ( Ilmu ) adalah jahi ( bodoh). Latar belakang penegertian ini selalu dihubungkan dengan istilah ilmu pengetahuan agama, baik dalam pengertian genosis maupun pengertian eksotis hokum agama. Pada masa-masa paling awal Islam yang disebut ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama[4]. Pada masa al-Khulafaur-Rasyidin tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama, ilmu pengetahuan ke alaman, dan pemisahan politik praktis. Para sahabat Nabi saw umumnya memiliki pengetahuan keagamaan, pengetahuan keagamaan dan sekaligus mereka juga pelaku pelaku politik praktis. Para sahabat terkemuka pada masa itu biasanya duduk dalam satu dewan pertimbangan yang disebut Ahl al – Halli wa al – Aqd. Oleh ulama, para sahabat ini kemudian disebut ulama salaf.

Baru pada masa pemerintahan bani Ummayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi. Misalnya ahli fiqh disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakallim, ahli tasauf disebut mutasawwif, ahli tafsir disebut mufassir. Sementara itu orang yang memiliki ilmu kelaman tidak lagi disebut dengan ulama, tetapi disebut ahli dalam bidang masing -masing.

Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semula disebutkan dalam bentuk jamak berubah pengertiuannya menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama lebih menjadi sempit , karena diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang fiqih, di Indonesia ulama identik dengan fuqaha, bahkan dalam pengertian awam sehari – hari ulama adalah fuqaha dalam bidang ibadah saja. 
Ada beberapa macam istilah atau sebutan bagi ulama di Indonesia. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut tuanku atau Buya di Jawa Barat disebut Ajengan Jawa tengah, Timur Kiyai Banjar ( Kalimantan Selatan ) sulawesi dan NTT disebut Tuanku Guru[5]. Ulama bentuk jamak dari alim “terpelajar” (cendikiawan) orang-orang yang diakui sebagai cenndikiawan atau sebagai pemegang otoritas pengetahuan agama Islam. Mereka adalah para imam masjid – masjid besar ( agung) para hakim, guru – guru agama pada Universitas (PTII) dan secara umumia merupakan lembaga kelompok terpelajar atau kalangn cendikiawan keIslaman yang memiliki hak penentu atas permasalahan keagamaan. Khusunya dalam system monarkhis yang turun menurun. Para penguasa dikukuhkannya melalui keputusan dewan ulama. Untuk menguatkan kekuasaannya dalam memegang tampuk pemerintahan. Ulama selalu memegang legitimasi dalam urusan pemerintahan dan keagaamaan. Dan merupakan ancaman yang terkuat bagi setiap rejim, dimana posisi dewan ulama tetap bertahan sekalipun sebuah sultan, penguasa,atau sebuah dinasti telah mengalami kehancuran.[6] 

Ulama dalam arti luas adalah kaum cerdik cendikawan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Sejalan dengan kelengkapan ajaran al –Qur’an dan sunnah yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Maka para ulama ( dalam pengertian luas ) dan lebih- lebih ulama dalam pengertia sempit yaitu yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu agama. Secara jama’i dapat memecahkan masalah- masalah yang dihadapi masyarakat menuju perkembangan hidup yang sehat, sejalan dengan nilai – nilai ajaran alquran dan sunnah.[7]  Betapapun semakin sempit pengertian ulama dari dahulu sampai sekarang, namun ciri khasnya tetap tidak bisa dilepaskan, yakni ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam jangka khasyyah ( adanya rasa takut atau tunduk) kepada Allah swt.

C. Pengertian Ilmu 

Ilmu dalam kepustakaan Islam banyak diartikan sama dengan ma’rifah, dan demikian pula sebaliknya. Masing -masing kata tersebut saling isi mengisi cakupan artinya. Menurut al – Jurjani ( Ali bin Muhammad) dalam kitab al – Ma’rifat, Ilmu atau ma’rifah diartikan sebagai “ mengetahui sesuatu menurut yang sebenarnya atau keyakinan yang pasti sesuai dengan realitas ”.[8]

Ilmu ( science ) dapat diarti sebagai cabang studi yang berkenaan dengan pengklasifikasian fakta - fakta, dan khususnya dengan penetapan kaidah – kaidah umum yang bisa diuji. Dalam artian ini ilmu terutama menyagkut studi tentang eksternalitas benda – benda yang menjadi sasaran telaahnya, kemudian berusaha menemukan hukum – hukum yang berlaku berdasarkan data valid. Dengan kata lain, ilmu memberikan judgement de faite atau evaluasi terhadap realitas eksternal yang merupakan faite ( subtansi ). Perhatian ilmu dicurahkan untuk mengungkapkan karakteristik pelbagai keadaan (circum Stances) dan fenomena eksternal. Jika kita ikuti pendapat Ali Syariati sesorang intelektual muslim raksasa dari Iran, maka ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan fenomenanya, ilmu merupakan imagi mental manusia mengenai hal yang konkret. [9]

D. Madrasah Sebagai Ladang Pencarian Ilmu

Kebangkitan madrasah di tempat – tempat lain di Timur Tengah dalam waktu yang tidak terlalu lama segera mempengaruhi Haramayn. Didalam buku jaringan ulama oleh Azyumardi Azra mengatakan bahwa, Menurut sejarawan Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki ( 775-832/1373-1428), madrasah pertama di Makkah adalah madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175 oleh ‘Afif Abd Allah Muhammad Al-Ursufi ( w.595/1196) di dekat pintu Umrah, bagian Selatan Masjid Al-Haram. Madrasah Al-Ursufiyah mempunyai sebuah ribath yang disebut ribath Abi Ruqaibah ( Abi Qutaibah) setahun sebelum ‘Afif Al-Ursufi mendidrikan sebuah madrasah di Kairo. Sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal abad ke – 17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Makkah.

Ciri terpenting madrasah – madrasah di Makkah adlah bahwa hampir seluruh madrasah itu dibangun penguasa – penguasa atau dermawan non – Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni madrasah Al-Syarif Al-‘Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, ‘Ajlan Abu Syari’ah ( berkuasa 744-777/1344-1375). Yang terbanyak yang mendirikan madrasah di Mkkah adalah penguasa – penguasa ‘utsmani mereka membengun 5 madrasah, yaitu 4 dibangun Sultan Sulayman Al-Qanuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 982-1003/1574-1595).selanjutnya, khalifah dan pejabat tingi Abbasiyah membangun 4 madrasah. Penuasa – penguasa Mesir termasuk Mamluk, dan penguasa Yaman masing – masing mendidirkan 3 madrasah. Kemudian, penguasa Muslim India membangun 2 madrasah.

Meski kita mempunyai jumlah madrasah yang cukup lumayan di Makkah, cukup beralasan mengasumsikan bahwa tidak seluruh madrasah tersebut bertahan sepanjang periode tiga abad. Untuk mengemukakan satu contoh, madrasah Qa’it Bey yang megah mengalami kerusakan dalam 70 tahun. [10]

Sedangkan bagi Madinah, sejarah lembaga – lembaga pendidikan Islamnya kelihatannya bahkan lebih gelap. Sumber – sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah kebanyakannya tidak berbicara apa –apa tentang hal ini. Pengembara Andalusia pada abad ke – 12 Ibn Jubayr, ketika menghadiri beberapa kuliah di Baghdad termasuk yang diberikan di Madrasah Nizhamiyah menyatakan, ia juga menghadiri kuliah semacam itu di Makkah dan Madinah pada 579/1183. tetapi ia tidak menyebutkan nama beberapa ulama terkemuka di kota itu, sama sekali tidak menyinggung madrasah. Ia mengamati, malam hari kegiatan keilmuan di selenggarakan di masjid Nabawi, di mana ulama dan murid – murid membentuk halaqah lengkap dengan al –Qur’an dan kitab – kitab lain.[11]

Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berkaitan erat dengan lembaga – lembaga social keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, ribath, dan bahkan rumah guru. Hal ini khusunya jelas di Haramayn, dimana tradisi keilmuan menciptakan jaringan ulama ektensif, yang megatasi batas – batas wilayah dan perbedaan – perbedaan pandangan keagamaan.

Tidak ragu lagi, kedua masjid suci Makkah dan Madinah merupakan kancah terpenting bagi ulama yang terlibat dalam jaringan sejak dasawarsa – dasawarsa terakhir abad ke -15. meski jumlah madrasah dan ribath terus meningkat setelah madrasah pertama dan kedua di Makkah masing – masing dibangun pada 571/1175 dan 578/1183, kedua masjid utama di Haramayn tetap menjadi pelengkap yang vital bagi dunia keilmuan di tanah suci.

Pada masa itu madrasah – madrasah sudah diorganisasi secara lebih formal, dan sudah mempunyai kepala – kepala, guru – guru, qadhi – qadhi, dan pegawai – pegawai lainnya yang diangkat resmi. Madrasah – madrasah itu juga mempunyai kurikulum tersendiri, dan bahkan kuota murid – murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing- masing. Bahwa jelas madrasah – madrasah ini terutama diabdikan untuk memberikan pengajaran dasar dan menengah dalam berbagai disiplin keislaman. Dengan semua formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid – murid ketingkat keilmuan Islam lebih tinggi.[12] Segmen ulama di Madinah kelihatannya tidak begitu berbeda dengan Makkah. Banyak mereka, jika tak manyoritas, bukan penduduk asli Hijaz. Jumlah mereka juga kelihatan lebih kecil.[13]

Ulama dan Kekuasaaan
Otoritas keagamaan ulama yang dikenal sebagai mujtahid atau penterjemah hukum – hukum agama ( syariat ), dikembangkan secara luas melaului klaim bahwasanya mereka memiliki hak mengambil keputusan secara indevendent dan hak menafsirkan permasalahan agama berdasarkan pencapaian intelektual dan spiritual mereka. Otoritas ulama juga dikembangkan secara luas melalui klaim bahwasanya, dalam ketidak hadiran imam atau pimpinan sejati ummat muslim, mereka merupakan orang – orang yang paling saleh dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual dan menjadi kewajiban bagi muslim awam menjadikan mereka sebagai pembimbing spiritualitas yang absolute ( marja’i taqlid ). 

Ulama juga memperkokoh jalinan mereka dengan masyarakat umum melalui penanganan peradilan, dan santunan, dan harta waqaf, dan dengan memimpin shalat jama’ah dan berbagai upacara perayaan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Jalinan mereka dengan sejumlah besar para artisan, kaum pekerja ( buruh ), dan elit pedagang sangant besar pengaruhnya.[14] Pengaruh ulama dalam bidang politik dapat kita lihat dalam keterangan Ira M Lapidus yang mencontohkan di Negara Qatar, bahwa pertalian ulama dengan rezim Qatar tidak jelas. Di balik melemahnya rezim Qatar, terdapat preseden sejarah yang berharga berupa kalaborasi antara elit Negara dan elit ulama. Kalangan ulama secara kuat terpengaruh kepada tradisi ketidak pedulian ( Quitisme ) dan penghindaran diri terhadap keterlibatan secara aktif dalam urusan politik.

Etos mereka menghendaki pemusatan pada permasalahan teologis dan urusan keagamaan dan penghormatan terhadap otoritas Negara dalam seluruh aspeknya, dan mereka bergantung kepada Negara untuk pelimpahan jabatan tertentu, untuk mendapatkan tunjangan, pemberian tanah, dan untuk sekolah – sekolah. Fath ali Shah ( 1797-1834), yang secara kritis menyandarkan kekuasaan pada beberapa kekuatan kesukuan, membangun sejumlah makan suci, mengangkat ulama untuk beberapa jabatan pemerintahan, dan menghormati mereka sebagai mediator antara pemerintah dan rakyat. Ia mentolerir indevendensi ulama – ulama besar dari kalangan bangsawan, misalnya Sayyid Muhammad Baqir di Isfahan, yang pengaruhnya didasarkan pada kekayaan atas sejumlah tanah, penguasaannya atas harta kekayaan agama, dan dukungan dari tokoh – tokoh kuat tentara. [15]
Footnote
  • [1] (Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, h 61).
  • [2] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, h 434 – 435
  • [3] Yusuf al-Qardhawi, Malamihu al – Mujtama’a al Muslim Alladzi Nasyuduh, Maktabah Wahbah Cairo : Mesir, 1417 H,h 120
  • [4] .( John L.Espito,The oxford encyclopedia of the ModernIslame World Vol 4, New York: Oxford University Press, 1995, h 258-259)
  • [5] .( Tim Penyusun Ensiklopedi. Insklopedi Islam, Jakarta : PT Ictiar Baru Van Hoeve, 2003, h 120 – 121 ).
  • [6] .( Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2002 h 417 )
  • [7] .( Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan KeIslaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik Dan Ekonomi, Bandung : Mizan, 1993, h 259 )
  • [8] ( Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultur, Lanta Bora Press : Jakarta, 2005, h 51.)
  • [9] M.Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita Dan Fakta, Bandung : Mizan, 1987 , h 108
  • [10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII, Bandung : Mizan, 1995, h 63.)
  • [11] .( Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h 65 )
  • [12] .( Azyumardi , Jaringan Ulama……h, 75)
  • [13] .( Azyumardi , Jaringan Ulama……h, 83)
  • [14] ( Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies ( Sejarah Sosial Umat Islam), terjemah Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999, h 33 )
  • [15] ( Ira M Lapidus, A History……… h, 34 )













.