Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama ”kaum rasionalis Islam".[1] Diketahui bahwa tidak menentukan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an menurut Khawarij, adalah dosa besar. Dari sini mereka menarik kesimpulan dengan pernyataan bahwa pembuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, yaitu murtad, dan orang murtad harus dibunuh.
Makalah oleh: M.Hasan Basri
Ilmu kalam adalah objek perdebatan Mu’tazilah dalam menghadapi lawan-lawannya, baik dari pengenut agama Majusi, penyembah berhala, para ahli bid’ah, maupun para ahli fiqh dan hadis, ataupun penganut paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pemikiran mereka dicurahkan untuk mendebat lawan-lawan selama sekitar dua abad. Forum-forum para gubernur, menteri, dan ulama disibukkan dengan masalah itu. Pemikiran-pemikiran keislaman saling berbenturan dalam perdebatan yang dibubuhi dengan paham-paham Persia, Yunani dan India. Gaya dan corak perdebatan mereka memiliki ciri-ciri yang istimewa sehingga berbeda dengan gaya perdebatan yang dilakukan pihak lain. Premis-premis yang mereka kemukakan bertentangan dengan premis-premis yang digunakan oleh mayoritas mazhab lain dalam Islam. Akan tetapi, secara umum perdebatan itu tidak menyimpang dari apa yang diserukan Islam. Keistimewaan mereka di dalam berdebat dan mengkaji masalah antara lain sebagai berikut: Mereka menjauhi taqlid dan mencegah pengikut mereka untuk menuruti pendapat orang lain tampa lebih dahulu membahasnya, menguji dan menganalisa dalil-dalil yang digunakan. Mereka menghormati pendapat dan materi pendapat, bukan nama besar dari yang berpendapat, dan bukan yang mengatakan. Itulah sebabnya mereka tidak saling bertaqlid di antara sesama mereka. Prinsip mereka dalam masalah ini bahwa semua orang yang beriman diberi tanggung jawab dan dituntut berijtihad untuk menemukan dasar-dasar agama. Barangkali inilah sebabnya mereka terpecah menjadi beberapa aliran:[3]
|
Hudjail dan Pemikirannya |
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hudjail Hamdan bin al-Hudjail al-‘Allaf lahir pada tahun 135 H (751 H) dan wafat pada tahun 235 H. Hudjail menerima ajaran Mu’tazilah dari dua orang murid Wasil bin Atha’ yang bernama Bisyr ibn Sa’id dan Abu Usman al-Za’farani, Bisyr sendiri adalah pemimpin cabang Mu’tazilah di Bagdad. Sementara Hudjail semasa hidupnya banyak berhubungan dengan filsafat Yunani yang dikenal dengan filsafat hellenistik,[5] yaitu dengan menetapkan rasio atau pemikiran akal untuk menyelesaikan permasalahan dalam bidang kefilsafatan, karenanya aliran ini mendorong munculnya disiplin kalam, yakni sebuah teologi yang khas islam. Sehingga dengan disiplin ilmu ini membuat al-Hudjail mahir dalam berdebat dengan menggunakan logika melawan kaum Majusi dan Atheis yang pada akhirnya ia menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah setelah Wasil bin Atha’. Sungguhpun apa yang dapat diketahui akal tersebut, di atas kecil, tetapi merupakan dua dasar pokok dan utama bagi agama, hal-hal yang dicakupnya luas sekali. Di dalamnya tercakup garis-garis besar, hal-hal yang haram dan wajib dikerjakan. Di dalamnya telah tercakup soala akhlak dan moral yang penting bagi agama. Namun sebetulnya, kaum Mu’tazilah tidak menganggap akal mengetahui segala-galanya tanpa wahyu. Akal manusia dalam pendapat mereka tidaklah begitu kuat untuk mengetahui segala hal, dan oleh karena itu wahyu perlu bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang sebenarnya buruk baginya.[7] Akal, betul dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara atau ritual berterima kasih itu. Kata Ibn Hasyim ibadah diketahui bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabilah yang menjelaskan ibadah itu, dan apa yang dibawa Nabi mesti benar.[8] |
Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan pemikiran Hudjail dalam teologi;
- Abu al-Hudjail memberi pendapatnya tentang nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut faham Wasil, kepada Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada zat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim pula.
Ini menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang bersifat qadim, maka itu mestilah Tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara murninya tauhid atau Ke Maha Esa-an Tuhan, Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di atas.
Tetapi Tuhan menyebut diri-Nya dalam Alquran mempunyai sifat-sifat, Hudjail memberikan pendapatnya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tuhan, menurutnya, betul mengetahui tetapi bukan dengan sifat, malahan menggetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Teks yang dipakai oleh Hudjail menurut al-Syahrastani adalah:
ان البارئ تعالئ عالم بعلم وعلمه ذاته
Dalam hal ini Hudjail mencoba mengatasi persoalan adanya Tuhan lebih dari satu kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri di luar zat Tuhan. Dengan membuat sifat Tuhan adalah zat Tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari Tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum Mu’tazilah denga nafy al-sifat.[9]
- Masalah al-‘adl, Hudjail berpendapat bahwa manusia, dengan mempergunakan akalnya, dapat dan wajib mengetahui Tuhan, Oleh karena itu, kalau manusia lalai dalam mengetahui Tuhan, ia wajib diberi ganjaran. Manusia juga mengetahui yang baik dan yang buruk; oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, seperti bersikap adil dan berkata benar, dan wajib menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, seperti berdusta dan bersikap zalim. Dalam hal ini Hudjail kelihatannya dipengaruhi oleh falsafat Yunani yang mengagungkan kekuatan akal, sehingga menusia dengan perantaraan akalnya dapat mengetahui adanya Tuhan dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk tanpa adanya wahyu dari Tuhan.
- Tuhan menciptakan manusia bukan karena ia berhajat pada mereka, tetapi karena hikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermamfaat bagi manusia. Ajaran yang timbul dari pemahaman ini adalah al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia. Tuhan sebenarnya dapat bertindak zalim dan berdusta terhadap manusia, tetapi mustahil bagi Tuhan berbuat demikian. Perbuatan demikian mengandung arti tidak baik, dan Tuhan sebagai zat yang Maha sempurna tidak bisa berbuat yang tidak baik. Perbuatan-Nya semuanya wajib bersifat baik.[10]
- Hudjail memberikan sifat qidam bagi Allah semata, dan hal ini mengandung pengertian bahwa ikhtiar manusia hanya ada di dunia saja, sebab akhirat bukanlah tempat pembebanan syari’at, dan di sana tidak ada ikhtiar. Di akhirat segala sesuatunya kembali kepada iradah-Nya. Tidak ada kegiatan di sana, sebab ada kegiatan berarti ada awalnya, dal hal itu mengharuskan adanya akhir. Padahal tidak ada akhir sesudah selesainya kehidupan alam dunia. Selaras dengan keadaan seperti itu, maka di akhirat nanti, manusia dalam kebersatuan, diam tanpa gerak. Ahlul jannah diliputi kenikmatan tiada tara, sedangkan ahlun nar diliputi kesengsaraan dan siksaan.[11]
Al-Jubba’i dan pemikirannya |
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i (w. 295 H) dan anaknya Abu Hasyim ‘Abd al-Salam (w. 321 H). Dalam teologi mereka juga memberikan pendapatnya yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lainnya;
Menurut anaknya Abu Hasyim, Tuhan mengetahi melalui keadaan mengetahui. Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi hal .[13] |
Footnote |
[1] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, Cet.ke- 4, 1986, hal. 38. [2] Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, Cet. ke-4, 1996, hal. 127. [3] Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Mesir Dar al-Fikr al-‘Araby,1996, 164-165.. [4] Ibid. [5] Ghufran A. Mas’udi, Ensiklopedi Islam, Loc. Cit. [6] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, Cet. I, 1987, hal. 56. [7] Harun Nasution, Islam Rasional, Op.cit, hal.133. [8] Qadhi Abdul Jabbar, Al- Ushul al- Khamsah, Op.cit., hal. 563. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Loc.cit. [9] Harun Nasution, Teologi Islam, Op. cit, hlm. 46. [10] Ibid. Hlm. 47. [11] Mustafa Muhammad Asy Syak’ah, Islam bila Mazhab, terj. A. M. Basalmah, Islam Tidak Bermazhab, Jakarta, Gema Insani Press, cet. 2, 1994, hlm. 317. [12] Harun Nasution, Op.cit. hlm. 49-50. [13] Ibid. Hlm. 50. |