Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna “keadilan,” yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.
Pendahuluan
1. Aliran kalam rasional |
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut al-Ushul al-khamsah.[2] Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan, pertama; menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman. Kedua; berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan perbuatan buruk.[3] Mewakili aliran mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar[4] bahwa “keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan segala kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik”. Tuhan dalam pandangan mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an yang menjadi sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah antara lain: “Kami menggunakan neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan dirugikan walau sedikitpun. Jika ada masalah yang seberat biji sawi pun pasti akan kami datangkan. Cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya:47) “Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.”(QS. Yasin:54) Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.[5] Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, karena bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kezaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia, dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Ini bermakna, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya, karena ia yakin bahwa perbuatannya itu dilakukan dengan penuh kehendak dan pilihannya sendiri, dan kemudian ia memperoleh balasan atas perbuatannya itu, maka itu adalah wajar dan adil.[6] Selanjutnya, “Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.[7] Muhammad abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.[8] Keadilan dalam pandangan Abduh,[9] berkaitan dengan hukuman dan balasan; baik hukum diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik kepada perbuatan yang baik dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya. Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil. Sebaliknya, keburukan diciptakan oleh manusia yang telah diberikan oleh Tuhan kemerdekaan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Mereka itu bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan akan mendapatkan pahala atau hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.[10] Dalam hal ini, konsep ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan konsep Mu’tazilah, dengan demikian Syi’ah pada akhirnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada ‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada manusia.[11] Walaupun tidak semua pendapat Mu’tazilah dapat diterima kaum Syi’ah, namun secara garis besar dapat dimasukkan kedalam kelompok ini. |
2. Aliran kalam tradisional atau Ahli Sunnah |
Adapun aliran kalam tradisional disebut juga ahli Sunnah atau ahli Hadits, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya. Tidak ditemukan secara khusus ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ari dalam memperkuat pandangan tentang keadilan Tuhan ini. Hal ini disebabkan paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy’ari lebih bertitik berat pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat-ayat yang sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat-ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tersebut. Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-Baghdadi[12] mengatakan, “Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.” Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.[13] Aliran Asy‘ariyah meninjau masalah keadilan Tuhan dari segi “manusia harus bersikap adil kepada Tuhan,” sang khaliknya.[14] Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan adalah sebaliknya, yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak dari alam semesta sehingga tidak berhak berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Karena pengetahuan Allah tentang keadilan yang sesungguhnya. Sifat adil di sisi Allah merupakan pengetahuan yang qadim.[15] Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri. |
Al-`dalah dan hubungannya dengan empat prinsip lainnya
SOLUSI PERSOALAN “KEADILAN TUHAN”
BENARKAH ALLAH BERBUAT ADIL DALAM KEHIDUPAN INI? |
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar pertanyaan dari orang-orang yang merasa bahwa dalam hidupnya ia tidak mendapatkan keadilan dari Tuhan. Ini adalah sebuah kesimpulan yang ia ambil setelah merasakan dan melihat dalam kehidupannya sebuah kenyataan hidup yang pahit, baik itu bencana, musibah, dan hal-hal lainnya yang tidak diinginkan, misalnya musibah kematian, kelaparan, sakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah berusaha maksimal dan musibah lainnya. Secara teologi, hal tersebut perlu dijelaskan dengan sebaik mungkin karena bila pertanyaan tersebut tidak terjawab secara memuaskan, maka hal tersebut dapat membawa kerusakan akidah seorang muslim, karena telah berprasangka buruk terhadap Allah. Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq). Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas). Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya. Untuk lebih dapat memahaminya, di bawah ini terdapat skema yang dapat memberikan gambaran bahwa konsep keadilan sangat terkait dengan konsep taqdir. |
KONSEP AL-‘ADALAH DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN