Nahdlatul Ulama (NU) : PEMIKIRAN DAN GERAKAN POLITIKNYA

NU
Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia Muslim.   Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi ulaa tradisional yang mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya, organisasi non pemerintahan ini yang palingbesar yang masih bertahan dan melingkar dilakangan bawah . Nahdlatul Ulama (NU) mewakili paling tidak dua puluh juta Muslim, yang meski tidak seluruh resmi menjadi anggota, akan tetapi merasa terikat kepadanya melalui kesetiaan-kesetiaan primordial.
Pendahuluan
Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah gejala yang unik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia Muslim. Ia adalah sebuah organisasi ulaa tradisional yang mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya, organisasi non pemerintahan ini yang palingbesar yang masih bertahan dan melingkar dilakangan bawah . ia mewakili paling tidak dua puluh juta Muslim, yang meski tidak seluruh resmi menjadi anggota, akan tetapi merasa terikat kepadanya melalui kesetiaan-kesetiaan primordial.

Di sebuah daerah yang dilanda kecenderungan kuat kearah pemusatan, NU merupakan organisasi paling signifikan yang sangat terdesentralisasi. Berbicara tentang NU artinyamembicarakan suatu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Visi dan misi serta perjuangan NU baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan RI telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap RI ini. Sehingga tidak heran warga NU, menjadi basis perebutan bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia, setelah NU kembali perjuangan semula atau kembali ke khittah 1926. untuk mengetahui bagaimana pemikiran dan perjuangan NU di bidang politik akan dikemukakan di makalah yang singkat ini.

LATAR BELAKANG LAHIRNYA NU


Seringkali dinyatakan bahwa NU dilahirkan oleh kiai tradisonal yang menyangsikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis yaitu pengaruhMuhammadiyah dan serikat Islam yang semakin luas, demikian menurut pendapat ini, telah memarginasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin serta juru bicara komunitas muslim, dan ajaran kaum pembaharu sangat melemahkan legitimasi mereka.1

Kelahiran NU melalui suatu proses yang sangat panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI) telah mencetak beberapa pemuda alumni pesantren yang bermukim di Makkah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu di sana. Sebelum sempat berkembang mereka segera kembali ke tanah air karena pecah perang dunia ke-II. Namun rencana mereka masih tetap melanjutkan setelah mereka menetap di tanah air. Mereka mendirikan Nahdatul Wathan (1914), Taswir al-Askar (1918). Setelah itu di Surabaya didirikan penghimpunan local yang serupa antara lain adalah Perikatan Wataniyah Ta’mir al-Masajid dan Atta’dibiyah.2

Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite Khilafat, telah mendorong penghimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan organisasi baru yang luas dan berskala nasional. Mereka menilai perhimpunan-perhimpunan umat Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Kemudian ketegangan tersebut berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke kongres Makkah pada tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri sendiri ke Makkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU.3

Namun peristiwa itu hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial cultural yang panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah merintis arah dengan visi keagamaan yang kuat. Jika kemudian mereka membentuk ikatan sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya adalah seperti lembaga pesantren itu, yaitu ingin menegakkan kalimah Allah. Visi ini kemudian dikemangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi sabilillah.4

Jihad mengandung arti yang sangat luas. Dalam arti yang ekstrem jihad berarti perang, tetapi juga berarti, hal-hal dalam keseharian serta menjawab salam atau merawat jenazah.5 Jihad sebagai kewajiban kolektif (kifayah) bukanlah tujuan, melainkan instrumen atau wasilah. Tujuan perang pada hakikatnya adalah menyampikan petunjuk , karena halitu jika dapat dilakukan dengan cara lain yang resiko negatifnya lebih kecil dan manfaatnya jauh lebih besar, seperti dengan cara persuasi, pendidikan, atau perbaikan ekonomi, lebih baik dilakukan tanpa perang.6

Dalam konteks ini dapat dipahami perjalanan NU selanjutnya. Melalui pesantren para ulama mengemban tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah. Setelah dirasakan perlunya mengembangkan lembaga tradisional ini dan cultural yang telah hidup ditengah masyarakat kearah bentuk yang lebih formal dengan visi yang lebih luas, maka didirikan organisasi keamaan sebagai tugas untuk mengantisipasi tugas tersebut NU merupakan salah satu wujud dari upaya itu. Di mulai dari pesantren para ulama muda, pesantren merintis kegiatan-kegiatan mereka. Dari perhimpunan keagamaan seperti Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar kemudian NU (Nahdlatul Ulama). Hanya satu cita-cita mereka adalah untuk merencanakan tanah air merdeka,7 dan cita-cita untuk menempatkan syari’ah sebagai bagian hidup dari kebangsaan.

Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah motif keagamaan sebagai Jihad fi sabilillah. Kedua adalah tanggung jawab mengembangkan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan pelestarian ajaran mazhab Syafi’i. Ini berarti tidak statis, tidak berkembang, sebab pengembang yang dilakukan berfokus pada kesejahteraan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki konteks sejarah. Ketiga, dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan sosial dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan pembentukan nahdlatul Watahn, Taswir al-Afkar, Nahdlatul Tujjar, dan Ta’mir al-Masajid sedangkan yang keempat adalah motif politik yang ditandai dengan semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Makkah serta obsesi hari depan tanah air merdeka bagi umat Islam.

Selain latar belakang di atas, sumber lain mengatakan kelahiran NU sebagai reaksi atas pembaharuan pemikiran Islam di Jawa, dengan sebab ini berdirlah NU pada tahun 1926. adapun sebab-sebab berdirinya organisasi ini sekurang-kurangnya ada dua,8 yaitu: pertama, seruan terhadap penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud, untuk meninggalkan kebiasaan beragama menurut tradisi. Golongan tradisi ini tidak menyukai Wahabisme yang sedang berkembang di Hijaz, karena itu mereka membentuk komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi Nahdlatul Ulama dalam sebuah rapat di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926.

Adanya sebab kedua, adalah ketika itu pembaharuan Islam di Jawa sedang giat-giatnya yang dipelopori oleh Muhammadiyah dan persis dengan pimpinan tiga tokoh yaitu, K.H.Mas Mansur, Fakih Hasyim dan K.H.Ahmad Dahlan. Selama ini pemikiran golongan tradisi selalu bertentangan dengan golongan pembaharu, seperti dalam pengucapan ushalli dan kurikulum pengajaran sekolah. Apalagi yang mewakili umat Islam Indonesia dalam kongres Islam pertama di Makkah adalah dari golongan pembaharu.9

Demikianlah beberapa histories latar belakang berdirinya NU sebagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang dalam sejarah perjalanan pernah menjadi partai politik, lalu kembali ke khittah 1926, sampai sekarang. Sekalipun pada masa reformasi membidangi lahirnya beberapa partai politik Islam, namun NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak menjadi partai politik.
PEMIKIRAN DAN GERAKAN POLITIK NU
Sejak pertama NU telah dihinggapi sebuah mitos politik. Para tokoh yang membidani kelahiran NU telah dibayangi sebuah obsesi tentang hari depan Indonesia yang merdeka. Ketika mereka mendirikan cabang SI di Makkah awal tahun belasan dan kemudian merintis beberapa organisasi sosial pendidikan dan usaha koperasi telah memperlihatkan kearah masa depan sebuah negeri yang merdeka, sebuah negeri yang umat Islamnya bebas melaksanakan syari’at agamanya.

Pada tahun 1926 NU ikut serta ambil bagian dalam sidang Kantoor Voor Ilandsche Zaaken di Jakarta yang membicarakan soal peraturan perkawinan umat Islam dan perbaikan organisasi penghulu. Atas inisiatif C.Gobee, adviseur pada kantor tersebut, pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan umat Islam. Adapun peraturan yang direncanakan pada dasarnya mengatur tentang nikah, talak dan rujuk harus dilakukan menurut prosedur administrasi dan aturan hukum formal. Dilaksanakan di depan penghulu, menyerahkan surat keterangan dari desa cukup umur (15 tahun) dan membayar biaya tertentu. Anak di bawah umur harus seizin Bupati dan pejabat yang terkait, dalam hal ini utusan SI tidak menyetujui rencana itu karena menurut pendapat mereka tidak perlu dilembagakan dalam rangka kenegaraan, utusan yang lain menyetujui rencana itu dengan variasi urusan tambahan yang tidak begiitu penting.10

Pada tahun 1938 dalam Muktamar NU di Banjarmasin diputuskan bahwa Indonesia merupakan Dar al-Islam (negeri muslim).11dapatkah diterima? Padahal dalam kenyataan pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belanda yang kafir? Jawaban muktamar adalah karena mayoritas penduduk negeri ini adalah beragama Islam dan umat Islam masih memiliki keleluasaan menjalankan syari’at agama mereka sselain karena negeri ini 12 pernah dipimpin oleh raja-raja muslim yang sebelumnya.

Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum, sebab salah satu yang penting dalam Islam mengharuskan adanya lembaga kekuasaan untuk menjalankan hukum itu. Atas dasar tersebut maka orientasi NU untuk memperjuangkan berlakunya hukum Islam di tanah air tidak bisa dilepaskan dengan lembaga kekuasaan politik, sebab dengan lembaga itu hukum Islam lebih dimungkinkan dapat difungsikan. Memang diakui ada elemen-elemen syari’at Islam yang tidak memerlukan perangkat lembaga kekuasaan politik,tetapi ada juga elemen-elemen yang mengharuskan lembaga kekuasaan politik. Tentu saja dalam hal ini pada umumnya para pemuka Islam kemungkinan besar berpendapat sama, perbedaannya yang terletak pada elemen mana saja yang perlu dilembagakan dan mana yang tidak. SI misalnya sebelum perang pendapat soal perkawinan tidak perlu di atur oleh negara.13 Terhadap hal yang kedua inilah , elemen syari’ah yang perlu dilembagakan, maka arah perjuangan NU terjun ke dalam dunia politik. Dari konsep perlunya hukum Islam dilembagakan dalam sistem sosial politik, maka slanjutnya NU terus memperjuangkan terciptanya lembaga politik itu.

Politikk NU lebih kelihatan lagi dengan terbentuknya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tanggal 21 September 1937.14 Keterlibatan NU dalam MIAI membawa perubahan orientasi para pemimpin NU dari masalah-masalah keagamaan dan sosial ke politik. Kendatipun sebagaian besar kegiatan MIAI sejak berdiri sampai dengan berdirinya Masyumi pada tahun 1943 diwarnai agenda masalah keagamaan terbukti dengan keputusan-keputusan kongres yang diselenggarakan umumnya mengenai masalah keagamaan, namun suhu politik yang semakin memanas menjelang kemerdekaan sedikit banyak mendorong tokoh-tokoh NU ikut berperan.

Dukungan NU kepada Masyumi awalnya memang nampak bersemangat dengan seruannya kepada umat Islam untuk bergabung ke dalam Masyumi. Namun dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga NU membanjiri Partai Politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan dan hal-hal lain yang menyangkut ketidaksepahaman kebijaksanaan politik menghadapi Belanda dalam perjanjian Linggar jati dan Renville. Keputusan PSII mendirikan kembali partai tahun 1947 itu setelah dibekkan jepang sebelumnya dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952 untuk sebagian juga dipengaruhi alasan-alasan ini, selain barang kali pertentangan lama ketika organisasi-organisasi Islam berselisih paham pada tahun 30-an yang muncul kembali.

Setelah NU keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik baru yang berdiri pada tahun 1952, tiga tahun kemudian NU harus bertarung dengan partai lain dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, dalam pemilu tahun ini NU berhasil mencapai prestasi empat besar, dengan mengumpulkan sebanyak 45 suara. Keberhasilan ini dinilai Alfian karena kemampuan NU menggalang solidaritas dikalangan kaum santri dan itu berarti memperjelas perjuangan mereka untuk memenangkan idiologi Islam dan sekaligus menunjukkan sikap anti komunis.16 pada pemilu tahun 1955 ini kekuatan NU dan kaum santri sangat memegang peranan penting.17

Pada masa Orde Baru, NU memperlihatkan dinamika sosial politik yang agak berlainan dengan masa sebelumnya. Dalam pemilu 1971 NU berhasil menduduki posisi kedua dibawah Golkar dan di atas Parmusi. Berdasarkan kebijakan Orde Baru, melakukan deparpolisasi dalam rangka pembentukan system kepartaian yang hegemonik. Setelah pemilu 1971 terjadilah fusi partai. NU bersama PSII, Perti, dan Parmusi yang kemudian berubah nama menjadi Muslimin Indonesia atau MI, pada tanggal 5 Oktober 1973 bersatu dengan Partai Persatuan Pembangunan.18

Pada awal fusi kedudukan NU dalam PPPrelatif baik dari pada kedudukan mereka dalam Masyumi. Para kiyai/ulama NU lebih banyak duduk di majelis syura, sementara dari unsur MI menjadi eksekutif partai. Dalam perkembangan NU dan MI saling bersaing untuk mendduki pucuk pimpinan PPP. Puncaknya pada masa kepemimpinan H.J. Naro, banyak tokoh NU yang disingkirkan dari jajaran pengurus partai. Keadaan inilah yang membuat NU, lewat Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. Mengikrarkan kembali khittah 1926, kembali menjadi organisasi keagamaan sesuai dengan tujuan awal pembentukannya. Setelah secara organisatoris meninggalkan pelanggan politik praktis, NU menjadi rebutan ketiga OPP. Sementara itu anggota NU yang merasa dirugikan oleh Naro melakukan aksi pengembosan terhadap PPP dalam pemilu 1987 sehingga perolehan suaranya turun. Dalam Muktamar ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, khittah 1926 kembali dilakukan.19

Namun pada masa reformasi, yaitu setelah Orde Baru tumbang, NU turut membidani beberapa partai politik Islam, misalnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummat (PNU), dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU).

Ditinjau dari segi perilaku politik selama ini, banyak pengamat menilai NU bersikap akomodatif dengan penguasa. Yang menjadi argumentasi adalah karena berubah-ubahnya sikap NU. Para pengamat politikpun tidak pernah menemukan titik temu dalam menganalisa prilaku politik NU. Mengapa hal ini bisa terjadi? Menurut K.H.Abdurrahman Wahid (Gusdur), para pengamat NU hanya menyoroti salah satu atau dua aspek. Akibatnya mereka terjerumus pada aspek-aspek yang diutamakan dan tidak mengabaikan aspek-aspek lain yang sama pentingnya.20

Peristiwa dan kegiatan politik dianggap bagian integral dalam agama. Prilaku politik NU, apakah akomodatif atau radikal, diberikan pembenaran dalam agama, yaitu keabsahannya dimata hukum fiqih, inilah yang disebut dengan sub kultural NU. Konsekwensinta dengan prilaku politik NU diamati pula dengan pendekatan kultural. Sebab NU lahir sebagai sebuah paguyuban dengan sub kultural tersendiri. Sub kultural ini lahir dari sosialisasi ajaran-ajaran doktrin yang mereka yakini, pengalaman sejarahnya, dan pergumulan dengan sosio politik di sekitarnya.

Gerakan politik NU mencapai puncaknya ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur), ketua NU, terpilih jadi orang nomor satu ditanah air ini masa bakti 1999-2004, mengalahkan rifalnya Megawati Sukarno Putri, ketua PDIP, yang merupakan partai pemenang pemilu 1999, yang semesti layak menjadi presiden secara demokratis, tetapi Megawati tidak terpilih akibat upaya politikus muslim di MPR.21 Yang merasa tidak menyukai bila presidennya wanita, bahkan tidak memiliki kredibilitas. Hanya saja NU menjadi bahan pembicaraan, bahkan embel-embel kiyai/ulama, serta perannya mulai dipertanyakan, ketika Gusdur dilengserkan dengan berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Hal ini karena Gusdur simbol ulama NU yang kharismatik. Ini pukulan berat bagi NU secara khusus dan umat Islam Indonesia pada umumnya.

Dengan demikian perjalanan politik dari dulu sampai sekarang. NU mulai menyadari berbagai perjuangan di masa lalu, untuk itu sepertinya NU ingin membangun kembali kesadaran umatnya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu NU, memberikan kebebasan kepada para warganya untuk membentuk dan memasuki partai politik yang praktis, namun secara lembaga NU tidak lagi memasuki wilayah politik praktis, kendatipun beberapa partai politik yang ada identiknya dengan NU, seperti PKB, PKU,PPNU dan lainnya.
Daftar Pustaka dan Footnote
Daftar Pustaka
  • Abdul Aziz Taba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
  • Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan, Jakarta, 1957
  • Abu Bakar ad-Dimyati, I’anah at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt
  • Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Chasbullah, Penerbit Baru, Bandung, 1970,
  • Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986
  • Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984
  • Anonim, Ahkam al-Fuqaha, Thoa Putra, Semarang, 1960
  • Abdurrahman Wahid “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa ini”. Prisma no 4 April 1984
  • Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES,Jakarta, 1980
  • M.Ali Haidar, Nhdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, PT. Gramedia Utama,Jakarta, 1994
  • Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984,
  • Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,LKS Yogyakarta, 1994
  • Einar Martahan Sitompul,NU dan Pancasila, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
Footnote
  • 1 Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru,LKS Yogyakarta, 1994, hal. 26
  • 2 M.Ali Haidar, Nhdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, PT. Gramedia Utama,Jakarta, 1994, hal. 314
  • 3 Ibid
  • 4 Ibid
  • 5 Lihat; Abu Bakar ad-Dimyati, I’anah at-Talihin, juz IV, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, al-Qahirah, tt, hal.180-184
  • 6 Ibid
  • 7 Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Chasbullah, Penerbit Baru, Bandung, 1970, hal. 24-34
  • 8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,, LP3ES,Jakarta, 1980, hal. 241-250
  • 9 Dalang kongres pertama tersebut, Indonesia diwakili oleh H.O.S.Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah).
  • 10 Hadir dalam pertemuan itu antara lian; H.Muhammad Isa penghulu Serang, H. Abdul Siradji penghulu Pakualam Yogyakarta, H. Abdul Wahab, HBNO, H. Zamzam, Persis, HOS Tjokroaminoto dan lain-lain, Laporan Sidang Koo Voor Inlandsche Zaken di Jakarta, Suara NO, nomor 3 tahun 1929/346H.
  • 11 Anonim, Ahkam al-Fuqaha, Thoa Putra, Semarang, 1960, hal. 61-62
  • 12 Ibid
  • 13 Suara NO, nomor 3, 1929
  • 14 Abu Bakar Atjeh (Ed), Sejarah Hidup K.H.A.Wachid Hasyim dan Karangan Tersiar, Panitia Buku Peringatan, Jakarta, 1957, hal. 311
  • 16 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia,Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 33
  • 17 Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya mengatasi Krisis, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, 1984, hal. 83-131
  • 18 M.Ali Haidar, Op.Cit, hal. 176-178
  • 19 Abdul Aziz Taba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal.2117
  • 20 Abdurrahman Wahid “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia dewasa ini”. Prisma no 4 April 1984, hal.. 30-33, menurut Gusdur, ada empat hal yang saling berkaita yang harus dilihat dalam mengamati NU, yaitu (1) Tradisi Keilmuagamaan Ahlussunnah Wal-Jama’ah (2)Pandangan kemasyarakatan yang dimilikinya (3) Cara pengambilan keputusan umum dan (4) Proses rekonsialisasi internal jika timbul perbedaan tajam.
  • 21 Politikus muslim itu seperti Amin Rais, ketua Umum PAN, Akbar Tanjung ketua Golkar, Hamzah Haz, ketua umum PPP, Yusril Ihzamahendra ketua umum PBB dan beberapa partai politik Islam lainnya.













.