Pembahasan tentang republik Turki sekuler ini adalah pembahasan yang panjang dan kompleks dengan berbagai dinamika yang telah dilewatinya. Makalah ini mencoba untuk melihat bagaimana Turki melewati berbagai dinamika tersebut. Berawal dari kekalahan-kekalahan perang yang dialami kerajaan Usmani vis a vis berhadapan dengan Eropa, pembaruan-pembaruan yang dilakukan dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan Eropa, proses pem-Barat-an dan sekularisasi, terbentuknya negara Turki yang sekular, hingga akhirnya timbulnya kesadaran Turki untuk kembali ke dalam ajaran Islam. Semuanya akan coba diuraikan dalam keterbatasan makalah ini.
B. PEMBARUAN DI KERAJAAN TURKI USMANI Secara historis, pada masa-masa kejayaan umat Islam khususnya di masa Kerajaan Usmani, perasaan “kecukupan” (sufficiency) kaum Muslim terhadap Islam begitu tinggi, sehingga membawa mereka pada sikap lalai dalam mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-Muslim, dalam hal ini adalah Eropa. Kaum Muslim merasa tidak perlu mengamati—apalagi belajar—dari kaum kafir, karena Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir tersebut. Tetapi kekalahan-kekalahan militer dan politik memaksa kaum Muslim, khususnya para penguasa-penguasa Usmani untuk memeriksa kembali pandangan-pandangan mereka. Kekalahan-kekalahan militer Turki Usmani yang dikunci dengan perjanjian Carlowitz 1699 membuat kaum Muslim berada dalam posisi yang semakin defensif. Perjanjian tersebut membuat kerajaan Usmani terpaksa menyerahkan Hongaria kepada Austria, daerah Podolia kepada Polandia dan Azov kepada Rusia.[1] Kekalahan-kekalahan ini mendorong raja-raja Usmani untuk menyelidiki sebab-sebab kekalahan meraka dan rahasia keunggulan lawan. Mereka mulai memperhatikan kemajuan Eropa, terutama kemajuan di Perancis, sebagai negara yang terkemuka di waktu itu. Eropa mulai mempunyai arti penting bagi pemuka-pemuka Usmani. Orang-orang Eropa yang selama ini dipandang sebagai kafir dan rendah, mulai dihargai. Duta-duta pun mulai dikirim ke Eropa untuk mempelajari suasana kemajuan di sana dari dekat. Di tahun 1720, Celebi Mehmed pergi ke Paris sebagai Duta dengan instruksi mengunjugi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan dan institusi-institusi Perancis lainnya serta memberi laporan. Dalam bukunya Sefaretname, Duta ini, antara lain memberikan laporan tentang kemajuan teknik, organisasi angkatan perang modern, rumah-rumah sakit, observatorium, peraturan karantina, adat istiadat dan sebagainya seperti ia lihat di Perancis. Di tahun 1741 anaknya, Said Mehmed dikirim pula ke Paris. Laporan-laporan kedua Duta ini menarik perhatian Sultan Ahmad III untuk memulai pembaruan di Kerajaan Usmani.[2] Sebenarnya pemuka-pemuka Usmani telah menyadari kemundurannya dibandingkan Eropa dan mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasi keadaan ini, meskipun hanya sedikit kemajuan yang dicapai. Munculnya kesadaran untuk melakukan pembaruan-pembaruan dan kehendak untuk mewujudkannya terlemahkan oleh keyakinan agama yang diwarisi bahwa Islam itu serba unggul dan mandiri. Keyakinan ini mempengaruhi lembaga keagamaan bahkan dalam taraf yang lebih luas. Tentu saja terdapat berbagai faktor lain yang memberi andil kepada kelemahan kerajaan Usmani, seperti kemunduran ekonomi, pertanian, dan khususnya teknologi.[3] Salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran Kerajaan Usmani adalah munculnya korupsi di lembaga keagamaan, sebagaimana yang terjadi di lembaga yang berkuasa dan di kalangan Janissari. Kemunduran ekonomi telah menyebabkan gaji yang diterima semakin berkurang, dan orang-orang berupaya menaikkan penghasilan mereka dengan berbagai cara. Ulama-ulama yang berada dijenjang atas secara khusus mengupayakan perbekalan untuk anak-anak dan keluarganya. Gelar-gelar dianugerahkan dengan gampang yang membuat para penerimanya memenuhi syarat untuk menempati jabatan-jabatan tinggi, meskipun mereka tidak memiliki persyaratan-persyaratan akademis yang dibutuhkan untuk pekerjaannya dan tidak lulus dalam ujian-ujian yang ada. Dengan demikian jenjang-jenjang tertinggi lembaga keagamaan telah menjadi semacam aristokrasi yang memiliki hak-hak istimewa, tetapi tanpa bekal pendidikan nyata seperti generasi-generasi sebelumnya. Mereka hanya memiliki perbekalan intelektual yang buruk untuk memberi nasehat kepada negarawan, karena lebih tertarik mempertahankan kekuasaannya sendiri ketimbang berupaya memajukan kesejahteraan Imperium secara menyeluruh. Hal ini tercermin dalam oposisi mereka terhadap pengenalan percetakan.[4] Padahal penduduk Kesultanan Turki yang beragama Yahudi dan Kristen telah memiliki mesin cetak sejak awal abad ke-16. Mesin cetak dalam bahasa Turki dan Arab dilarang karena desakan dari lembaga keagamaan serta baru berkembang pada tahun 1784. Pada tahun 1741, Sultan Ahmad III mulai mengadakan pembaruan di kerajaannya. Pembaruan semula terbatas pada bidang militer dan birokrasi dan beberapa bidang lainnya. Namun pembaruan pada masa itu kurang membawa hasil karena kekurangan dana yang merosot akibat perang yang berkepanjangan. Selain itu, muncul pula tantangan dari pasukan Jenissari yang didukung oleh Tarekat Bektasyi yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Oposisi yang mereka lakukan pada pada dasarnya bukan menolak esensi dari pembaruan itu, tetapi lebih kepada ketakutan mereka akan kehilangan kedudukan dan mata pencaharian serta pengaruh mereka di masyarakat. C. PEM-BARAT-AN DAN SEKULARISASI Pembaruan-pembaruan yang dilancarkan Kerajaan Usmani yang semula terbatas pada bidang militer dan birokrasi, selain memunculkan suatu ideologi pembaruan yang berorientasi modernis, juga memunculkan lapisan sosial baru, yang secara sederhana sering disebut sebagai kelompok westernis, yang mempunyai komitmen atau orientasi “membaratkan” berbagai sistem dan kelembagaan masyarakat Muslim. Dengan demikian, mereka menggelindingkan bola pembaruan melewati batas-batas yang dapat diterima ulama dan kalangan Islamis lainnya. Didukung oleh militer dan birokrasi, kelompok westernis berhasil menyisihkan atau mengalahkan kalangan Muslim konservatif.[5] Orientasi westernis dalam gelombang pembaruan Turki Usmani semakin mendapatkan momentumnya dengan kebangkitan kaum Turki Muda yang berhasil memegang kontrol efektif melalui Revolusi 1908. Gagasan-gagasan liberalisasi politik—tidak bisa lain—akhirnya memunculkan perlawanan terhadap kekuasaan Dinasti Usmani, yang dalam hal ini diwakili oleh Sultan Abd al-Hamid. Berbarengan dengan itu muncul pula nasionalisme Turki yang mendasarkan diri pada etnisitas dan warisan kultural Turki pra-Islam dengan mengorbankan Islam itu sendiri. Perkembangan ini pada gilirannya merangsang bangkitnya nasionalisme Arab di kalangan pemikir dan elit terdidik Arab yang masih berada di bawah kekuasaan dinasti Usmani. Gerakan nasionalisme kemudian berkembang menjadi ideologi sekuler yang cenderung tidak memberikan tempat bagi Islam. Proses pem-Barat-an di Turki merupakan hasil dari gerakan revolusioner yang ditimbulkan oleh banyak faktor. Proses tersebut bisa disebut sebagai suatu fenomena yang sangat menonjol dalam sejarah modern, mengingat bahwa lebih dari 90% rakyat Turki adalah Muslim. Pergantian Kekhalifahan dengan negara nasional sekular tipe Barat merupakan suatu kejadian yang belum pernah terjadi dalam seluruh sejarah peradaban Islam. Peristiwa tersebut tentu saja mendapat reaksi yang beragam di dunia Islam, bahkan hingga dewasa ini. Hasil-hasil langsung dari proses pem-Barat-an tersebut dapat dilihat dengan munculnya Revolusi Turki Muda 1908, pertumbuhan nasionalisme Turki dan pembentukan republik Turki.[6] Mustafa Kamal sebagai pionir dalam gerakan ini telah berhasil melaksanakan pembaharuan-pembaharuan ala Barat, terutama karena dasar-dasarnya telah disiapkan oleh para pendahulunya. Dengan timbulnya nasionalisme Turki dan permulaan perang kemerdekaan Turki tahun 1919, Imperium Usmani dibubarkan dan rezim Kamal memperoleh kekuasaan pada tahun 1920 yang didasarkan pada prinsip Barat tentang kedaulatan nasional. Tujuan yang diajukan oleh Mustafa Kamal bagi negara nasional Turki yang baru ini adalah nasionalisme dan pem-Barat-an penuh. Dia berusaha membawa membawa Turki masuk dalam orbit peradaban Barat untuk mengakhiri permusuhan yang berabad-abad lamanya antara kekuatan-kekuatan Eropa dan Turki. Di dunia Islam istilah “sekuler” ini pertama kali dipopulerkan oleh Ziya Gokalp (1875-1924 M), sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalis Turki. Istilah ini sering dipahami dalam pengertian irrelegius atau bahkan anti relegius, dan tafsiran ini lebih jauh memunculkan kecurigaan yang juga menyertai sikap terhadap paham sekularisme itu.[7] Ziya Gokalp juga merupakan pemikir paling awal dan paling berpengaruh di kalangan para pemikir Turki abad ke 20. ia adalah seorang ideolog nasionalis Turki. Menurut Gokalp, kekhalifahan Usmaniyah harus menanamkan kesadaran bangsa Turki untuk menghadapi tantangan dari bangsa-bangsa non-Turki yang berasal dari pecahan kekhalifahan. Kepribadian khas bangsa Turki itu berdasarkan kesamaan etnis, geografis dan terutama kebudayaan. Kebudayaan bersama itu mengandung antara lain, bahasa Turki dan agama Islam.[8] Penting untuk diperhatikan bahwa agama Islam, menurut Gokalp, merupakan salah satu unsur kepribadian nasional Turki, akan tetapi ia mendukung bentuk agama Islam sesuai dengan zaman modern dan kaitan secara kelembagaan dengan negara. Keterpisahan antara agama dan negara dan pembatasan pengaruh agama dalam kehidupan sosial atau dengan kata lain dari sekularisme, lebih ditekankan lagi oleh Mustafa Kamal yang menjadi pemimpin Turki setelah Perang Dunia Pertama. Ide utama pemikiran Gokalp adalah bahwa Islam bukan sebuah peradaban dan bahwa pemuka-pemuka Islam harus dijauhkan dari lingkup politik, Gokalp secara total menerima westernisasi sebagai suatu jalan keluar untuk mengatasi keruntuhan yang diderita kaum Muslim. Bagi Gokalp, westernisasi tidak hanya cocok dengan kebudayaan nasional Turki, tapi bahkan merupakan pilihan tak terhindarkan untuk mencapai kemajuan bangsa ini. Gokalp secara tegas membedakan antara peradaban Barat dalam pengertian modernitas dan Kristen. Ia menolak penyamaan sembrono peradaban Barat dengan Kristen. Yang ia maksudkan dengan “peradaban Barat” adalah peradaban modern yang tumbuh dari keunggulan nalar rasional dan ilmu pengetahuan positif dengan mengorbankan Kristen. Gokalp menyatakan, bahwa Islam adalah agama yang didasarkan pada keilmuan dan pencerahan. Islam juga tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Karena itu, Gokalp memberikan solusi berupa pemisahan antara agama dan negara, adopsi peradaban Barat dan perbaikan sistem pendidikan nasional Turki harus sejalan dengan sistem pendidikan modern.[9] Gagasan Gokalp mengenai Turkisme terutama dipicu oleh pertimbangan praktis dalam mengkombinasikan tiga kekuatan yang ada: Islamisme, westernisme, dan nasionalisme. Dalam hal ini, Gokalp memberikan solusi-solusi yang bertujuan untuk: Pertama, memisahkan agama dari negara yang dimaksudkan untuk mengakhiri dominasi Islam atas kehidupan sosial-politik bangsa Turki. Kedua, untuk memisahkan agama dari peradaban Timur, dan dengan itu, membuka peluang bagi nilai-nilai dasar Islam bersanding dengan peradaban Barat serta kebudayaan nasional Turki. |
D. PEMBENTUKAN NEGARA TURKI SEKULER
E. KEBANGKITAN ISLAM DI TURKI MODERN