Otonomi Daerah Sebagai Landasan Kemandirian Daerah

Bab I Pendahuluan 

 Menurut pemahaman saya, masalah pokok yang perlu kita kaji dengan cermat adalah pemberdayaan daerah secara keseluruhan untuk menopang kemandirian dalam kebersamaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses desentraslisasi dan pemberian otonomi daerah adalah proses yang tak terelakkan, imperatif harus dilaksanakan bila kita tetap ingin mempertahankan kesatuan bangsa dan negara kita. Dalam kerangka inilah saya melihat upaya pemberdayaan legislatif daerah baik sebagai tonggak utama dari penegakan demokrasi maupun kemandirian daerah.
Proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah untuk memberdayakan daerah lahir dari suatu paradigma pemerintahan era reformasi. Karena itu, seyogiyanya diletakkan dalam kerangka paradigma baru itu. Untuk itu, sekilas saya akan mengelaborasi beberapa ciri pokok dari paradigma baru pemerintahan bila dibandingkan dengan ciri-ciri pokok paradigma lama pemerintahan.

Setelah jelas, paradigma baru pemerintahan dimaksud barulah akan saya coba untuk mengidentifisir butir permasalahan pokok yang perlu dicermati dan dicarikan jalan keluarnya. Upaya seperti ini perlu agar proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah untuk memperkuat kemandirian daerah sebagai implikasi dari tekad reformasi yang telah bergulir dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dengan selamat mencapai tujuannya tanpa terkoptasi oleh jaringan kepentingana lama yang telah menelantarkan pemberdayaan daerah selama ini.
Saya berharap, dalam semangat reformasi dan juga dalam spirit ilmiah kritis, saudara-saudara jangan menelan begitu saja berbagai gagasan yang saya lontarkan. Apa yang saya paparkan ini bukan suatu pengarahan - suatu kosa-kata Orde Baru yang sangat melecehkan kemampuan intelektualitas manusia kritis - tetapi sebaiknya saudara-saudara bahas dan kaji lebih lanjut dalam Lokakarya Pemberdayaan Legislatif Daerah ini.

Bab II
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Agar masyarakat daerah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi daerah.
2. Mengetahui dampak negatif dan dampak positif dari otonomi daerah.
3. Implementasi otonomi daerah terhadap pemerintahan daerah.

Bab III Pembahasan
1. Paradigma baru pemerintah seperti mungkin telah saudara-saudara ketahui bersama bahwa yang dinamakan paradigma adalah suatu jendela bathin melali mana kita melihat atau mengamati dan mengkaji kenyataan ( a paradigm is a mental window through which we observe reality). Biasanya suatu paradigma itu terdiri dari seperangkat asumsi dan keyakinan-keyakinan dasar (a set of basic assumptions and beliefs) yang membentuk bingkai atau kerangka - seperti halnya sebuah jendela - yang digunakan dalam suatu pengkajian tertentu. Karena itu, bila kita berbicara tentang paradigma pemerintahan, maka sebetulnya kita berbicara tentang seperangkat asumsi-asumsi dasar dan keyakinan yang membingkai baik titik-tolak konseptual pemerintahan, serta program dan kegiatan pemerintahan. Marilah kita telaah apa saja perbedaan-perbedaan pokok paradigma lama Pemerintahan RI dengan paradigma baru Pemerintahan RI dalam mensikapi butir-butir pokok pemerintahan tersebut. Marilah kita cermati keyakinan-keyakinan dasar titik-tolak konseptual pemerintahan dari paradigma baru yang saya tawarkan. Menurut pendapat saya,  keyakinan dasar paradigma baru pemerintahan perlu diletakkan dalam kerangka reformasi. Dan keyakinan dasar reformasi adalah perlunya pengembalian kedaulatan rakyat – yang selama Orde Baru terampas dan tergenggam dalam tangan rejim – balik ke tangan rakyat lagi. Itu berarti, berbagai keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dibuat dengan sepengetahuan rakyat, dengan ke-ikut-sertaan rakyat dan dengan mekanisme pemantauan dan evaluasi yang dibuat oleh rakyat. Keyakinan dasar ini kemudian diterjemahkan dalam proses pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang calon-calon nya ditawarkan oleh berbagai partai politik yang bersaing. Peran pro-aktif wakil rakyat kemudian dilengkapi juga oleh pers, Ornop, insan kampus dan debat publik. Semua upaya itu adalah untuk memberdayakan dan memantapkan fungsi kontrol yang sudah terlalu lama dimandulkan oleh rejim Orde Baru yang lalu. Secara sistemik pemerintahan, ini berarti lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif seyogianya semakin berdaya pada saat berhadapan dengan lembaga eksekutif. Karena itu dapat disimpulkan bahwa keyakinan dasar pertama dari titik-tolak konseptual pemerintahan adalah pengembalian kedaulatan rakyat balik ke rakyat sedangkan keyakinan dasar kedua adalah perlunya pemantapan sistem dan mekanisme kontrol rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan baik dalam bidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kontrol yang efektif hanya dapat terwujud bila sistem penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini tertutup dan cenderung menjadi ajang persekongkolan elit diupayakan menjadi sistem yang terbuka (transparent). Dengan demikian keterbukaan (transparency) adalah keyakinan dasar ketiga dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan yang saya ajukan. Prasyarat lain agar secara efektif dapat melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan adalah keadaan di mana rakyat telah berdaya untuk melakukan itu. Oleh sebab itu keyakinan dasar keempat dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan adalah perlunya pemberdayaan rakyat (people empowerment) . Pemberdayaan rakyat ini perlu diupayakan baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial maupun acuan kelembagaan budaya mereka. Pemberdayaan rakyat dalam semangat reformasi dan desentralisasi hanya secara efektif dapat dilakukan di tingkat pergulatan akar-rumput. Oleh sebab itu, fokus lingkup upaya pemberdayaan perlu sangat membumi di tingkat lokal. Go local adalah keyakian dasar kelima dari titik-tolak konseptual paradigma baru pemerintahan. II. Implikasi Paradigma Baru Pemerintahan. Implikasi dari keyakinan dasar yang pertama dan kedua tentang perlunya pengembalian kedaulatan rakyat balik ke tangan rakyat lagi dan mendesaknya pemantapan kontrol rakyat bagi paradigma baru pemerintahan adalah bahwa seyogianya pengembalian dan pemantapan itu terwujud pada tingkat akar-rumput di daerah-daerah. Semakin dekat dan terjangkau semua sistem dan mekanisme pemerintahan oleh rakyat jelata semakin dekat kita pada pencapaian tujuan reformasi. Desentralisasi dan pemberian otonomi daerah adalah langkah-langkah konkrit untuk mengfasilitasi pengembalian kedaulatan rakyat dan pemantapan kontrol rakyat dimaksud tadi. Oleh kartena itu proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah harus dipahami dalam paket yang lengkap-komperhensif. Artinya, bukan hanya wewenang dan kekuasaan eksekutif pusat saja yang harus diserahkan pada eksekutif daerah tetapi juga seluruh sistem dan mekanismepemerintahan yang juga meliputi system legislative dan yudikatif juga harus diperkuat di daerah-daerah. Karena itu, proses desentralisasi kekuasaan eksekutif harus segera dibarengi dengan desentralisasi infra struktur demokrasi di daerah. Infra struktur demokrasi di daerah itu terdiri dari : (1) partai politik lokal (Local political parties); (2) Ornop local (Local NGOs); (3) pers local (Local press); (4) universitas lokal (Local universities) dan polisi daerah (local police). Hanya bila kelima unsur infra struktur demokrasi di daerah ini dapat diberdayakan barulah kita dapat berharap kedaulatan rakyat benar-benar telah dikembalikan ke rakyat dan bukannya hanya sekedar pengalihannya dari eksekutif nasional ke eksekutif lokal. Bila hal terakhir ini yang terjadi maka proses reformasi dapat dikatakan gagal karena ia hanya dapat melengserkan Soeharto tetapi pada giliran berikutnya ia justeru melahirkan banyak Soeharto-Soeharto kecil di daerah-daerah. Implikasi dari keyakinan dasar yang ketiga yang berkenaan dengan perlunya keterbukaan (transparency) adalah bahwa rakyat melalui para wakilnya di DPR daerah dan juga dengan bantuan dan sokongan dari pers lokal, Ornop lokal serta universitas lokal mampu membuka ruang publik yang semakin merata diikuti oleh seluruh warga guna mencermati, memantau dan menilai kinerja dari pemerintahan daerah. Makna hakiki dari keterbukaan adalah terkuaknya kesempatan yang diatur secara kelembagaan bagi yang diperintah (the ruled) untuk menilai yang memerintah (the Ruler). Keempat, implikasi dari keyakinan dasar bahwa rakyat perlu diberdayakan (being empowered) adalah bahwa perlu dilakukan : (1) pembukaan akses bagi rakyat ke berbagai sumberdaya strategis yang ada di suatu daerah; (2) pemberian kesempatan bagi rakyat lokal untuk turut memiliki sumberdaya strategis yang ada; dan, akhirnya (3) dibukanya kesempatan bagi rakyat local untuk turut mengontrol sumberdaya-sumberdaya strategis yang dimiliki daerah. Untuk dapat melakukan ini semua, pertama-tama perlu dilakukan identifikasi berbagai SDA yang dipunyai oleh suatu daerah. Hal ini dapat dilakukan oleh universitas lokal dengan pengarahan dari Dewan Riset Daerah. Sesudah semua SDA teridentifikasi maka pada tahap berikutnya barulah diputuskan suatu kebijakan pengembangan SDM daerah yang relevan seiring dengan pengembangan berbagai jaringan prasarana darat, laut dan udara yang menyokong eksploitasi SDA. Secara perlahan-lahan diharapkan perangkat kelembagaan akan di/tercipta sesuai dengan dinamika pertumbuhan. Kelima, implikasi dari keyakinan dasar bahwa sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk Go Local adalah bahwa kita perlu mencermati kembali keterkaitan lokal dari potensi SDA, SDM, prasara dan kelembagaan dalam suatu system jaringan. Sistem jaringan ini seyogianya secara sinergik saling memperkuat baik secara vertical – dalam alur produksi dan hirarkhi kelembagaan – maupun secara horizontal – dalam mobilitas SDM dan barang serta jasa yang terpadu dan berdampak berantai secara maksimal.Diharapkan dengan telah terkelompoknya (clustered) keempat hal itu dalam satuan-satuan yang logis-realistik akan terbangunlah berbagai local networks yang secara sambung-menyambung membentuk national network. Kuatnya tiap unit lokal akan dengan sendirinya memperkuat unit nasional secara keseluruhan. Tiap unit ekonomi lokal diharapkan akanmengembangkan komoditi unggulan daerah mereka masing-masing. Dengan cara ini, kemandirian daeral/local tidak harus berarti keretakan nasional. Dan dengan demikian prinsip kemandirian dalam kebersamaan dapat diwujudkan secara nyata dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. BAB IV Kesimpulan Dari paparan saya di atas terlihat jelas bahwa proses desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah adalah suatu implikasi logis dari proses reformasi yang secara sungguh-sungguh bertekad untuk mnyerahkan kemabali kedaulalatan rakyat ke tangan rakyat. Dengan proses ini diharapkan bahwa bukan saja kekuasaan dan wewenang eksekutif pusat dilimpahkab kepada eksekutif daerah tetapi secara komperhensif dilakukan pemberdayaan rakyat di daerah agar terbangun system dan mekanisme kontrol yang efektif demi tertegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Bila pemberdayaan rakyat di daerah berhasil dilakukan maka kita telah membangun landasan kemandirian yang kokoh bagi daerah bukan hanya sebagai unit politik tetapi juga sebagai unit ekonomi yang saling terkait dengan daerah-daerah sekitarnya. Kekokohan unit ekonomi local adalah landasan kekokohan unit ekonomi nasional. Bila daya saing ekonomi lokal meningkat maka dengan sendirinya daya saing ekonomi nasional juga turut meningkat. Dengan demikian kemandirian lokal tidak perlu mengancam keutuhan nasional malah sebaliknya menjadi bongkah-utama (main building blocks) dari kesatuan Negara RI. DAFTAR PUSTAKA Adiwisastra, Josy, Penataan kembali Birokrasi Pemerintah Daerah dalam naan Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah pengukuhan Guru Besar, 2001. H.Syaukani Hr, Affan Gaffar, M.Ryass Rasyid, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar Kerjasama dengan pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, 2002 J.Kaloh, Mencari bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta Jakarta, 2002 Kartasasmita, Ginanjar, Pembangunan Untuk Rakyat, Jakarta, 1996. Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994. Pide, Andi Mustari, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, 1999 S.B.Yudhoyono, dkk. Good Governance dan Otonomi Daerah, kerjasama Presumen dengan Forkoma MAP-UGM, 2002 Syafrudin, Ateng,. Pengaturan Koordinasi di Daerah, PT Citra Aditya Bhakti: Bandung, 1993. Syahrir, Dr. Dkk; Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah, Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta, 2001 Yudhoyono, Bambang, Drs, Msi, Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003













.