SKRIPSI - PERLINDUNGAN HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN ILEGAL DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dan Rumusan Masalah
Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di Indonesia Sejak zaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum dan peranan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri belum memiliki peraturan dan perundang-undangan yang lengkap, padahal pengangkatan anak sudah dilakukan sejak zaman dahulu.
Pada mulanya, tujuan dari lembaga pengangkatan anak adalah untuk meneruskan "keturunan". Manakala di dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, seringkali pengangkatan anak dijadikan cara yang terbaik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertimbangan ini tentunya menjadi motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar dan alternatif yang positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga, setelah bertahun-tahun belum dikarunia seorang anak pun.
Perkembangan masyarakat saat ini menyebabkan terjadinya pergeseran dari tujuan pengangkatan anak itu sendiri, yang semula sebagai cara memperoleh keturunan beralih pada tujuan-tujuan lain yang beragam. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, tujuan dari pengangkatan anak dewasa ini adalah untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi atau kelompok. Dimana tujuan tersebut jauh dari hakekat pengangkatan anak itu sendiri atau dengan kata lain sama sekali tidak mengedepankan kepentingan si anak.

Pengangkatan anak secara hukum dan mempergunakan lembaga hukum dapat dikatakan sebagai perpindahan atau beralihnya seseorang ke hubungan kekeluargaan lain, sehingga timbul hubungan hukum yang sama dengan hubungan antara anak sah dengan orang tuanya.1 Menurut Soerjono Sukanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan faktor hubungan darah.2
Ditilik dari 2 (dua) pengertian di atas, dapat dipahami bahwasanya pengangkatan anak sebenarnya ditujukan untuk melakukan pembenaran secara hukum, agar jaminan terhadap perkembangan anak yang diangkat bisa lebih terjamin, dengan tetap mendasarkan pada kepentingan si anak. Tapi kenyataan yang berkembang justru sebaliknya, Anak apapun statusnya (anak kandung ataupun anak angkat) yang seharusnya mendapatkan jaminan perlindungan yang sama, ternyata menjadi objek penguasaan bagi pihak yang mempunyai keinginan untuk memperoleh hak pengangkatan anak demi kepentingan pribadi maupun golongan.
Dengan tetap mengedepankan kepentingan terbaik anak, maka dalam hal pengangkatan anak ini diperlukan adanya kriteria tertentu yang diatur dalam regulasi yang memadai, sehingga dapat meminimalisasi bentuk-bentuk penyimpangan dalam pra dan pasca pengangkatan anak. Dengan melakukan usaha-usaha pencegahan agar kembali pada jalurnya.

Bentuk penyimpangan dalam pengangkatan anak baik pra maupun pasca pengangkatan anak beragam jenisnya. Penyimpangan pra pengangkatan anak dapat dimisalkan lebih banyak ditimbulkan pada bentuk-bentuk pemalsuan dokumen anak, riwayat anak ataupun penipuan secara lisan dengan janji sejumlah uang dan jaminan masa depan anak. Bentuk penyimpangan yang terjadi pasca pengangkatan anak lebih mengarah pada tindak pidana lanjutan, misalnya : trafficking (perdagangan anak), eksploitasi seksual (PSK), perbudakan anak bahkan transplantasi organ.
Penyimpangan dalam pengangkatan anak seperti yang disebutkan di atas dapat dilakukan melalui dengan beberapa modus pengangkatan anak baik secara legal maupun ilegal, Baik melalui mekanisme legal ataupun yang ilegal pada dasarnya mempunyai potensi yang sama untuk terjadinya tindak pidana lanjutan.
Secara ilegal penyimpangan lebih banyak disebabkan karena tidak adanya jaminan hukum atau yuridis terhadap eksistensi anak, karena biasanya pengangkatan anak dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar kedua belah pihak secara lisan. Sedangkan, penyimpangan secara legal lebih banyak disebabkan karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kelanjutan nasib anak setelah keputusan pengadilan.
Berdasarkan data terbaru pihak kepolisian menunjukkan bahwa selama tahun 2005 terdapat 1600 anak menjadi korban trafficking (perdagangan anak). Kasus trafficking terbesar terjadi di Pontianak, Batam, Denpasar, Indramayu dan ada juga yang diluar ke negeri. Anak-anak yang rawan itu berumur 10-12 tahun Selain itu perdagangan anak dilakukan dengan modus berkedok Pengangkatan

anak. Kasus perdagangan anak di Indonesia melibatkan 32 yayasan yang tersebar di beberapa daerah. Namun dari jumlah tersebut baru 30 yayasan yang menjalani proses penyidikan.3
Kasus pengangkatan anak secara ilegal yang marak terjadi di masyarakat lebih banyak disebabkan ketidakmampuan seorang ibu membesarkan anak. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Aceh yang menimpa Uni Binti Amrin (bukan nama sebenarnya), janda berusia 20 tahun ini terpaksa harus merelakan anaknya untuk diangkat oleh majikannya sendiri. Hal ini dilakukan karena ketidakmampuan Uni untuk membayar biaya persalinan, karena dia hidup sebatangkara pasca bencana tsunami Desember 2004.
Setelah tahu kalau ia hamil, ia dihadapkan pada sebuah dilema karena secara ekonomi dia tidak mampu membayar biaya persalinan dan untuk merawat anaknya kelak. Padahal untuk mencukupi kehidupan sehari-hari saja dia harus bekerja seorang diri. Semua kebutuhan dirinya selama hamil dicukupi oleh, sang
majikan. (Misalnya makan, vitamin, susu serba kecukupan diberi sang majikan ).
Saat itu majikannya bersedia mengadopsi anaknya bila lahir, kemudian akan di bawa ke Jakarta. Biaya persalinan anaknya 2,5 juta rupiah ditanggung oleh majikannya.
Dalam   pengangkatan   anak  yang   dilakukan   oleh   majikan   sudah  pula disertakan surat. Semua   surat-surat tentang anak tersebut sudah ada di tempat majikan   itu, Uni dijanjikan tetap ikut merawat anak itu nantinya ke Jakarta.
dengan alasan, ia sudah diberi biaya persalinan 2,5 juta rupiah.4
Salah satu contoh kasus tindak pidana lanjutan dari penyimpangan pengangkatan anak adalah transplantasi organ anak secara ilegal. Berawal dari modus pengangkatan anak baik secara legal maupun ilegal, yang kemudian anak tersebut diperdagangkan layaknya barang dagangan. Setelah mereka dibesarkan organ tubuhnya diambil dan dijual dengan harga mahal bagi mereka yang membutuhkan. Organ-organ tubuh yang biasanya diperdagangkan adalah mata, ginjal, jantung, hati, dan kulit.
Kasus penjualan anak hingga pengambilan salah satu organ tubuh ini diindikasikan juga terjadi di Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia sebenarnya telah mempunyai regulasi yang mengatur larangan transplantasi organ terhadap anak, yakni dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tepatnya dalam pasal 47 ayat 2 yang menyebutkan, "Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :
a.    Pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa
memperhatikan kesehatan anak;
b.   Jual beli dan/atau jaringan tubuh anak; dan
c.    Penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian
tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik
bagi anak.

Pengertian transplantasi disebutkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan pada pasal I ayat 5 yang dimaksud dengan transplantasi adalah rangkaian tindakan untuk memindahkan transplantasi
pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia menyebutkan pengertian transplantasi diatur dalam pasal 1 poin e, transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk memindahkan alat atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Ditilik dari sejarah, mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sebenarnya sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Jeff E. Zhorne menyatakan bahwa sejak awal abad ke-8 SM, para ahli bedah Hindu telah melakukan transplantasi kulit untuk mengganti hidung yang hilang karena penyakit sipilis, perang fisik, atau hukuman atas suatu kejahatan.
Dalam literatur hadis juga dituturkan peristiwa 'Ufrajah, seorang sahabat Nabi SAW. yang kehilangan hidung dalam suatu pertempuran dan diganti dengan hidung palsu dari perak. Hidung peraknya beberapa waktu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi SAW.

kemudian menganjurkan agar ia mengganti hidung perak itu dengan hidung palsu lain dari emas.
Perkembangan transplantasi organ di era Eropa pada tahun 1913 seorang dokter dari Prancis yaitu Dr. Alexis Carel seorang ahli bedah berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing yang lain. Proses transplantasi ini berhasil dilakukan setelah ia menguasai cara penjahitan ujung-ujung pembuluh darah yang telah dipotong agar darah dapat mengalir secara efisien sebagaimana sebelum dioperasi.
Seiring perkembangan Iptek tentunya membawa tuntutan lebih besar dalam
nilai kebutuhan khususnya di dalam dunia kedokteran, semakin populasi manusia meningkat maka semakin banyak pula manusia yang membutuhkan donor tubuh.
Menurut investigasi kantor berita Agence 1'rance Press, jutaan orang di dunia
masih   menunggu   transplantasi   organ   yang   cocok.   Di   Indonesia   sendiri diperkirakan ada 70.000 orang penderita ginjal kronis yang perlu mendapat terapi cuci darah atau cangkok ginjal.
Transplantasi organ manusia khususnya anak sebagai individu yang lemah
merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang apapun, terutama moralitas dan hukum. Terlebih lagi, anak merupakan individu yang menentukan nasib dari suatu masyarakat di masa yang akan datang. Seperti kata
bijak etnis Batak "Anak hon mi do hamoraon di ahu"(anakku adalah paling berharga bagiku).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya mengambil beberapa rumusan masalah yang menjadi batasan skripsi, diantaranya sebagai berikut :
1.   Bagaimanakah perlindungan hukum transplantasi organ ilegal di Indonesia ?
I.2 Penjelasan judul
Dalam penulisan skripsi ini saya mengambil judul "Transplantasi Organ Ilegal Sebagai Dampak Lemahnya Peraturan Per Undang-Undangan Di Indonesia "dengan judul tersebut dimaksudkan dapat memberi pemahaman istilah sehingga dapat tercipta persepsi dalam memahami pembahasan dan memberi ruang lingkup serta arah penulisan , maka saya menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
Transplantasi Organ : Rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
1.3 Alasan pemilihan judul
Alasan pemilihan judul dalam penulisan ini adalah munculnya polemik tentang bentuk-bentuk kejahatan terhadap anak yang bisa membahayakan anak itu sendiri. Berbagai modus tindak kejahatan digunakan bagi para pelaku tindak
pidana untuk melakukan suatu kejahatan. Tindakan preventif yang diawali dengan pengawalan regulasi perlindungan anak maka tidak akan terjadi tindak pidana lanjutan. Dengan melihat fenomena yang terjadi maka perlu juga tindakan secara represif sehingga tidak terjadi tindak pidana yang mana dalam hal ini adalah kejahatan transpalantasi secara ilegal. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Kesehatan melarang terjadinya jual beli organ anak. Disisi lain di dunia kedokteran transplantasi adalah upaya pengalihan organ untuk menyelamatkan nyawa orang. Dari segi moralitas transplantasi organ tubuh manusia merupakan masalah yang lebih kompleks dibandingkan masalah teknis medisnya karena menyangkut tentang nyawa seseorang. Inilah yang menjadi alasan saya mengambil judul, "Transplantasi Organ llegal Sebagai Dampak Lemahnya Peraturan Per Undang-Undangan Di Indonesia ".
1.4  Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;
1.   Untuk menambah wawasan saya tentang prosedur transplantasi organ di Indonesia melalui kajian akademis
1.5   Metodologi Penulisan
Untuk memudahkan pencarian bahan yang dibuat dalam skripsi ini maka saya melakukan penelitian yuridis normatif yakni dalam menganalisis masalah sesuai peraturan perundang-undangan yang terkait guna memperoleh pemecahan masalah yang akan di bahas.
a. Pendekatan masalah
Metode pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yakni suatu penelitian yang fokus terhadap berbagai aturan hukum. Dalam hal ini yang menjadi objek kajian dalam skripsi ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan PP No 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia, selain itu juga saya juga memperbanyak studi pustaka dengan mengaitkan ketentuan peraluran perundang-undangan yang berlaku.
b. Bahan hukum
1.  Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari aturan per undang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan PP No 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia
2.  Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri dari karangan ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang di ambil.
3.             Bahan hukum tersier yang terdiri dari kamus-kamus, baik berupa kamus hukum atau kamus umum lainnya.
4.             Analisis bahan hukum
Analisis data yang saya lakukan secara kualitatif, komperehensif dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interprestasi data dan pemahaman hasil analisis. Komperehensif artinya analisis data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis. Analisis data dan interprestasi seperti ini akan menghasilkan produk penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempuma.10
1.6 Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Untuk   mempermudah   pemahaman   penulisan   skripsi   ini,   maka  saya mengemukakan sistematika sebagai berikut:
BAB I  : Merupakan bab yang isinya adalah penjelasan singkat dari lalar belakang   dan   rumusan   masalah,   penjelasan  judul,   alasan pemilihan judul, metodelogi dan sistematika penulisan.
BAB II : Aspek-Aspek Dalam Transplantasi Organ Di Indonesia Bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum yang memuat landasan teori, kerangka konsep, serta berbagai definisi tentang transplantasi organ, aspek-aspek hukum dan etika transplantasi organ sebagai pengantar pada bab selanjutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan PP No 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Tataran teoriris yang berkaitan dengan prosedural transplantasi organ secara ilegal.
BAB III :  Perlindungan Hukum Transplantasi Organ Ilegal Di Indonesia Dalam bab ini akan dijelaskan tentang pembahasan dari rumusan masalah dan akan dikupas tentang beberapa hal yang mendasar tentang indikasi awal tindak pidana transplantasi organ ilegal serta dampak hukum yang ditimbulkan ditinjau dari hukum yang berlaku.
BAB IV : Penutup, dalam bab ini yang akan menyajikan kesimpulan akhir dari rumusan masalah yang akan saya sajikan sebagai output jawaban dari pembahasan yang akan di tambah dengan beberapa saran.


















.