Kumpulan Puisi di dalam bahasa Indonesia
(Sumber: Syafi’ie, Imam.1996. Terampil Berbahasa Indonesia 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.)
I) Karya: Taufiq Ismail. Dari kumpulan puisi Benteng
A) Rendezvous (Baca: randevu)
Rendezvous
Sejarah telah singgah
Ke kemah kami
Ia menegur sangat ramah
Dan mengajak kami pergi
“saya sudah mengetuk-mengetuk
pintu yang lain”
katanya
“tapi amat heran.
Mereka berkali-kali menolakku
Di ambang pintu.”
Kini kami beratus-ribu
Mengiringkan langkah sejarah
Dalam langkah yang seru
Dan semakin cepat
Semakin dahsyat
Menderu-deru
Dalam angin berputar
Badai peluru
Topan bukit batu
II) Karya: Cahaya Sadar. Dari harian Suara Pembaruan, 1 Desember 1991
a) Pembaringan
Pembaringan
(doa untuk ibu)
Ibu,
Segala damba
Mencari tanda
Rindu di belukar
Membatu
Hilang suara
Kemana kini
Merapat dekap
Menggapai hangat
Ke pagi lelap
Tinggal kelambu
Bisu
Berdebu
Bangunlah, ibu
Bayimu yang dulu, kini
Hilang lampu
III) Karya: Muhammad Yamin. Dari Indonesia Tumpah Darahku
a) Permintaan
Permintaan
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku.
Sebelah timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku.
Di mana laut debur mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku mulai tertabur.
Di mana ombak sembur menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya aku berkubur.
IV) Karya: Chairil Anwar
Ø Doa. Dari Deru Campur Debu, 1966
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Aku megembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Ø Krawang- Bekasi. Dari kerikil tajam, 1975
Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti
4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.
V) Karya: W. S. Rendra. Dari antologi Balada Orang-orang Tercinta
Ø Gerilya
Gerilya
Tubuh biru
Tatapan maka biru
Lelaki terguling di jalan.
Angin tergantung
Terkecap pahitnya tembakau
Bendungan keluh dan becana
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Dengan tujuh lubang pelor
Diketuk gerbang langit
Dan menyala mentari muda
Melepas kesumatnya.
Gadis berjalan di subuh merah
Dengan sayur mayor di punggung
Melihatnya pertama.
Ia beri jeritan manis
Dan duka daun wortel.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan.
Orang-orang kampung mengenalnya
Anak janda berambut ombak
Ditimba air bergantang-gantang
Disiram atas tubuhnya.
Tubuh biru
Tatapan mata biru
Lelaki terguling di jalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
Berlindung warna dalam
Sendiri masuk kota
Ingin ngubur ibunya
VI) Karya: Toto Sudarto Bchtiar. Dari S. Effendi, Bimbingan Apresiasi Puisi, 1977
Ø Pahlawan Tak Dikenal
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, saying
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tetapi bukan tidur saying
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 Nopember, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang Nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, saying
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
1955
VII) Karya: Amir Hamza, dari kumpulan puisi Nyanyi Sunyi
Ø Sebab dikau
Sebab Dikau
Kasihan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Lalu lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sadar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di latar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra-
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarak sajak
IN ENGLISH (with google translate Indonesia-english):
Collected Poems in the Indonesian
(Source: Syafi'ie, Imam.1996. Skilled Indonesian Language 1. Jakarta: Ministry of Education and Culture.)
I) Work: Taufiq Ismail. From the collection of poems Fortress
A) Rendezvous (Read: Randevu)
Rendezvous
History has been stopped
To our camp
He was very friendly rebuke
And invited us to go
"I've been knocking-knocking
another door "
he said
"But very surprised.
They repeatedly reject
On the doorstep. "
We are now hundreds and thousands
History of the steps escort
In an exciting step
And the sooner
The more powerful
Rumble
Spinning in the wind
Bullet storm
Typhoon rocks
II) Work: Light Aware. Sounds of Daily Updates, December 1, 1991
a) the bed
The bed
(Prayer for mother)
Mother,
All yearn
Looking for a sign
Missed out on thicket
Petrify
Lost voice
Where to now
Docked hugging
Reaching warm
Morning to deep
Stay netting
Mute
Dusty
Get up, mother
The first baby, now
Missing lights
III) Work: Muhammad Yamin. My blood spill from Indonesia
a) Request
Demand
Listening to the waves on hampirku
Thrilling pounded left and right
Sing sing full compensation
Terbitlah to miss my birth place.
East on pinggirku
Cloudy-sky filled with clouds
Look in amazement island
That's the hell of my homeland.
Where sea swash swash
As well as swishing arrived in sand
That's where my soul began to scattered.
Where the waves spray spurt
Wetting Barisan next coastal
That's where I should berkubur.
IV) Work: Anwar
Prayer. Mix the roar of Dust, 1966
Prayer
Firmly adherent to the
Lord
In stunned
I still call your name
Let me really hard
You're given the full entire
Caya Thy holy hot
Kerdip stay silent candles in the dark
Lord
I lost form
Crumble
Lord
I was wandering in a foreign land
Lord
I megembara in a foreign country
Lord
At thy door I knocked
I can not turn away
Krawang-Bekasi. Of sharp gravel, 1975
Krawang-Bekasi
We are now lying between Krawang-jakarta
Can not shout "Merdeka" and take up arms again.
But who can no longer hear our roar,
Our imagined and berdegap advanced liver?
We talk to you in silence in the lonely night
If the sense of emptiness and chest wall clock is ticking
We die young. Living wall is ticking
We die young. Living bone filled with dust.
Recalls, recall our
We tried what we could
But the work has not been completed, yet nothing
We already give us got soul
Unfinished work, can not take into account the meaning
4-5 thousand lives
We Just bones scattered
But is yours
You're more to determine the value of the bones scattered
Or do our souls drift to independence
Victory and hope
Or not for nothing,
We do not know, we are no longer able to say
Now you're the one who said
We talk to you in silence in the lonely night
If the sense of emptiness and chest wall clock is ticking.
V) work: W. S. Rendra. Ballad of the anthology Loving People
Guerrilla
Guerrilla
Blue body
Look of the blue
The man rolled down the street.
Wind depends
Terkecap bitter tobacco
Dam complained and becana
Blue body
Blue eyes
The man rolled down the street.
With seven bullet holes
Knock on the gates of heaven
And the sun lit up the young
Removing kesumatnya.
Girl running in the red dawn
With major vegetables in the back
See it first.
She give the sweet screams
And grief carrot leaves.
Blue body
Blue eyes
The man rolled down the street.
People know her hometown
Child-haired widow waves
Water drawn-bushel bergantang
Flushing the body.
Blue body
Blue eyes
The man rolled down the road
Through the courageous Dutch substation
Color refuge in
Himself entered the city
Want ngubur mother
VI) Work: Toto Sudarto Bchtiar. Of S. Effendi, Guidance Appreciation of Poetry, 1977
Unknown Soldier
Unknown Soldier
Ten years ago he was lying
But not to sleep, saying
A round bullet hole in his chest
Frozen smile would say, we're at war
He does not remember when he came
His arms wrapped around guns
He did not know to whom he came
Then he lay, but not sleep saying
Half face quiet gaze upward
Capturing deserted desert twilight
World-added frozen amid clattering and roaring sound
He is still very young
The day was 10 November, the rain began to fall
People want to see it again
While arranging bouquets
But that appears, face-his own face he did not recognize
Ten years ago he was lying
But not to sleep, saying
A round bullet hole in his chest
Frozen smile would say: I'm very young
1955
VII) work: Amir Hamza, a collection of poems Soliloquy
For thee
Because Thou
Pity because thee life
Florets all tore flap
Become like a flower of love in my heart
Fragrant juice in my heart
Live like a dream
Then play on screen terkelar
I'm a dreamer anymore dancer
Conscious sober rotatory
Then merupa on screen background
Puppet Menayang color flavor
Heart longs also follow
Two soul-intimate-esa
I stuffed doll you
Comforter set puppeteer song
In exchange glances fireworks display
Only selagu sang along
Find a resounding trade for anyway
I thee in the box located
I stuffed doll you
Penyenang mastermind paraded rhyme