In this postcolonial retelling of the relationship between the English teacher Anna Leonowens and King Mongkut, the film does not make the common mistake of overvaluing or mystifying Eastern culture. The Siamese are not portrayed as "inscrutable" or "mysterious" or innately superior. Though the minor English characters are shown as treacherous and hypocritical, treachery also exists within Siamese culture--and is revealed to Mongkut by a self-serving English merchant. Buddhism is portrayed neither as pagan superstitions (as in the earlier movies) nor as more spiritual than Christianity. The respective religions are presented instead as separate paths. The King is shown to be a caring and loving husband to his many wives and concubines, rather than Brynner's vain collector. When Anna' son, Louis (Tom Felton), asks his mother--"Why doesn't Queen Victoria have more than one husband?"--it is less a ridiculous thought than an honest questioning of cultural assumptions.
The subplot of Tuptim, played with tender intelligence by Bai Ling, is also told with amazing complexity. Again Tuptim is separated from her true love when her father presents her to the King. In this film, the lovers are heartbroken but more accepting of the obligations of their culture. The King is portrayed as the kind and considerate lover that the head wife assures Tuptim that he will be. Tuptim is executed for infidelity not because of the King's pride but because of Anna's arrogant proclamation that she can persuade the King to change his mind and spare Tuptim. Mongkut knows that the stability of his country depends on his perceived authority--which must be immune from foreign influence.
What keeps this film from succeeding as a masterful epic is a sense of fragmentation. With so many story lines, no one scene can really stand as the climax or moment of understanding. These various plots are woven together without the grace found in the performances or cinematography. The death of Mongkut’s favorite child is too obviously foreshadowed. In addition, the death of this child upstages the more poignant deaths of the movie's more fully-developed characters.
Tuptim's execution is the strongest sequence of the film. Roger Bondelli's editing juxtaposes the public execution of the lovers with Anna praying in her English home and Mongkut praying at a temple. Instead of showing the failure of Siamese culture, Tuptim and Mongkut accept their culture and the consequences of their actions. However, Anna's Bible offers her no solace, and in her frustration she knocks over her tea service: Christianity isn't without value, but it's inappropriate in Siam and leads to destruction.
Tennant creates a beautiful, epic film that provides a background for the human story without overwhelming it. Jodie Foster alternates between the arrogant English woman who demands to be noticed and the vulnerable woman surprised by her own feelings and inadequacy. Though she has the brashness to "think that she is the equal to a King," her Anna is finally revealed to lack the strength and integrity of Mongkut. Like Anna, the audience can't help but be seduced by Chow Yun-Fat's King.
Anna Leonowens arrives in 19th-Century Siam to teach English in the Royal Siamese court. Though her methods and perceptions at first surprise and even alarm leaders of the Siamese court, including King Mongkut himself and especially the more conservative members of his militia, Anna eventually endears herself to the King by earning the respect and affection of his children, in particular the young Crown Prince. The interference of colonial powers including France and Great Britain, however, lead to conflict as the Thai king fights to keep Siam free as the only asian country never conquered by foreigners. Other conflicts include the forbidden romance between Burmese slave-princess Tuptim and her Thai lover and Anna's interference in the matter of the princess's punishment.
--LS, Resident Scholar
Anna is an English school teacher hired to teach the children of the king of Siam. Soon, the country is in danger of being taken over by England. Only, Anna can stop them. The plot is thin, and has a poor screenplay. Only amazing costumes, set, and camera work can save this film from getting low marks.
--Estefan Ellison, Resident Scholar
Anna comes to Siam to teach the King's children the ways of the Western world. In the process she finds romance with the King and treachery in his court. A rousing spectacle of epic proportions.
--Jason Jones, Resident Scholar
Kesetaraan gender masih harus terus diperjuangkan karena perempuan tidak hanya memerlukan perlindungan dari kaum laki-laki, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan perlindungan hak-hak azasi kaum perempuan seperti persamaan hak dalam dalam mengembangkan bakat dan potensi dirinya melalui pendidikan dan perlindungan hukum yang lebih pasti. Namun dalam pelaksanaannya, tidak sedikit ditemukan penyimpangan dari hubungan patriatisme yang menyebabkan perempuan menjadi manusia nomor dua bahkan menjadi obyek penderita, maslah ini yang menjadi tuntutan banyak pihak untuk terjadi kesetaraan gender.
Bentuk ketidakadilan gender yang harus terus diperjuangkan adalah berbagai bentuk ketidakadilan dalam tata kehidupan masyarakat yang merupakan tuntukan budaya masyarakat tetapi memberikan pembatasan-pembatasan kepada kaum perempuan. Akibat pembatasan (peran domestik) tersebut perempuan menjadi pasif. Efek negatif yang tidak secara lansung ditularkan oleh sebab pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin di antaranya adalah: (1) diskriminasi perempuan, (2) ekploitasi kaum perempua, (3) marginalisasi perempuan, (4) Sub-ordinasi permpuan, (5) stereotipe atau pelabelan negatif terhadap perempuan, (6) kekerasan terhadap perempuan, (7) bahan kerja lebih berat dan panjang.
Berbagai bentuk ketidakadilan gender tersebut, biasanya tidak berdiri sendiri tetapi saling tekait dan saling mempengaruhi, dan sudah mengkristal dalam budaya masyarkat, sehingga sangat sulit untuk diluruskan.
1. Diskriminasi perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang sering menimpa kaum perempuan adalah diskriminasi perempuan atau mengutamakan laki-laki. apabila perempuan dalam menyuarakan pendapatnya saja kurang mendapatkan tanggapan di masyarakat, bagaiman partisipasinya dalam pembangunan bisa optimal. Hal yang lebih nampak apabila melihat dalam struktur pemerintahan, presentase kaum perempuan yang menjadi pejabat struktural sangat sedikit dibanding laki-laki, demikian juga dalam bidang legislatif, perempuan yang menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan segala hak-hak rakyat jumlahnya masih sangat sedikit.
Diskriminasi kaum perempuan juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, dimana kaum laki-laki dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan dengan upah atau gaji yang tinggi, sedangkan perempuan lebih diposisikan sebagai tenaga pembantu laki-laki, seperti sekretaris, akuntan atau penerima tamu. Hal ini tidak adil, karena kepercayaan tersebut bersumber kepada keyakinan yang salah bukan kepada kondisi empirik yang dibuktikan melalui prestasi. Bahkan bila diuji potensinya, boleh jadi perempuan lebih berpotensi untuk menduduki jabatan tinggi atau paling tidak potensinya sama dengan laki-laki.
2. Eksploitasi Kaum Perempuan
Kaum perempuan, lebih parah lagi apabila berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, sering menghadapi kondisi yang sangat merugikan, baik di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan di dunia kerja. Perempuan yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, akan identik dengan karakteristik perempuan berpendidikan rendah, kurang informasi (kurang gaul), kurang pengetahuan, kurang pengalaman dan cenderung pasrah (nerimo). Kondisi perempuan seperti ini sangat rentan terhadap perlakuan tidak adil. Salah satu perlakuan tidak adil bagi kaum perempuan adalah dalam bentuk eksploitasi, pemaksaan, penjajahan hak dan bersangkutan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan.
Pada zaman sekarang sudah modern katanya, bentuk eksploitasi kaum perempuan malah semakin menjadi, khususnya terhadap tenaga kerja rendahan. Investor luar negeri dan dalam negeri terus berdatangan, pabrik-pabrik didirikan, lowongan kerja dibuka, termasuk lowongan kerja untuk kaum perempuan. Kaum perempuan lebih dianggap sebagai tenaga kerja yang tekun, mudah diatur, penurut dan murah upahnya. Anggapan ini yang sangat merugikan kaum perempuan, terlebih lagi perlindungan hukum, lebih memihak kepada investor dari pada kepada rakyat miskin tenaga rendahan. Akibatnya banyak pabrik-pabrik yang mengerjakan perempuan yang terbagi dalam tiga shif, artinya mesin di pabrik tidak berhenti sehari penuh dan pekerja perempuan ada yang terkena sif malam sampai pagi.
Bila dilihat dari jenis pekerjaan yang diposisikan untuk kaum perempuan, umumnya lebih dikaitkan dengan kondisi fisik seperti kecantikan dan keluwesan kaum perempuan sehingga terjadi bentuk eksploitasi perempuan untuk kepentingan bisnis atau politik.
3. Marginalisasi Perempuan
Dari berbagai bentuk marginalisasi perempuan (khususnya perempuan berpendidikan rendah) baik yang disebabkan karena diambil alih oleh kaum laki-laki maupuin yang digantikan oleh mesin, yang tersisa hanya peran perempuan pada sektor pekerjaan yang kurang produktif dengan upah murah seperti pemetik ”teh” dan penanam padi di sawah. Pekerjaan pemetik daun teh merupakan pekerjaan yang tidak menarik bagi laki-laki dan peralatan mesin juga belum ada. Upah memetik daun teh sangat murah, tetapi pekerjaannya cukup rumit yaitu harus turun bukit naik bukit, masuk perkebunan di pagi hari, mengerubuti embun, dengan cuaca dingin karena memang perkebunan teh berada di pegunungan.
Marginalisasi perempuan berkaitan dengan budaya patriatisme yang memerankan perempuan disektor domestik, dan laki-laki pada sektor publik. Namun demikian maslah gaji atau materi juga turut menentukan, karena walaupun pekerjaan domestik yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan, tetapi apabila pekerjaan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan publik dengan upah/gaji tinggi, maka pekerjaan tersebut akan menjadfi pekerjaan laki-laki. Sebagai contoh pekerjaan memasak yang biasanya telah menjadi pekerjaan perempuan, tetapi juru memasak di restoran atau hotel berbintang, bukan oleh perempuan lagi, tetapi juru masaknya (koki) laki-laki. Pekerjaan tadi tidak menjadi milik perempuan, melainkan sudah didominasi oleh tenaga profesional yaitu koki laki-laki.
4. Sub-ordinasi Perempuan
Sub-ordinasi perempuan merupkan kelanjutan dari pandangan bahwa perempuan makhluk yang lemah, maka laki-laki sebagai makhluk yang kuat datang untuk melindungi kaum perempuan, selanjutnya laki-laki dengan berlaga sebagai pelindung memberikan pembatasan-pembatasan kepada kaum perempuan. Bentuk penyimpangan dari perlindungan laki-laki kepada perempuan menjadi penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini melahirkan sub-ordinasi terhadap perempuan. Bentuk sub-ordinasi bermacam-macam, berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, dari waktu ke waktu, dan dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya. Budaya Jawa masa lalu menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh artinya akan ke dapur juga. Pembagian peran perempuan bekerja di dapur untuk melayani suami, selanjutnya menjadikan perempuan semakin tersub-ordinasi di bawah perintah dan keinginan suaminya. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini yang merugikan kaum perempuan.
”Salah satu bukti dari rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan ”reproduksi” tersebut bahwa pekerjaan ini hampir-hampir tidak dihargai secara ekonomis, meski tingkat kerumitan dan waktu yang duhabiskan untuk pekerjaan tersebut tidak lebih ringan dari pekerjaan ”produktif”, (Achmad Muthali’in, 200. padahal pekerjaan 4M tersebut tidak bisa digantikan oleh laki-laki, sehingga timbul kecenderungan baik laki-laki maupun perempuan sendiri memilih dan mencari kesempatan untuk memasuki pekerjaan yang produktif. Tetapi bisa dibayangkan apabila pekerjaan 4M tidak dihargai kemudian perempuan tidak mau mengandung, melahirkan dan menyusui, lalu bagaimana generasi kita selanjutnya. Kasus ini telah terjadi pada negara-negara industri, dimana perempuannya tidak mau mengandung dan melahirkan, bahkan tidak mau menikah sehingga jumlah penduduk, semakin berkurang.
5. Stereotipe Jenis Kelamin
Pengertian stereotipe jenis kelamin secara umum mengacu kepada trade mark atau pelabelan jelek kepada perempuan. Pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok perempuan tertentu yang mengidentifikasikan kriteria atau karakteristik tertentu sehingga merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Streotipe jenis kelamin adalah pelabelan kepada perempuan dengan berbagai pembatasan baik berupa keharusan/kewajiban atau pelarangan tertentu yang menuntut untuk ditaati berdasarkan adat budaya masyarakat dan apabila dilanggar akan mendapat semacam sangsi sosial. Dengan pemberlakuan pandangan stereotipe yang bersumber pada budaya masyarakat peradaban lama semacam ini, apabila dilihat dari segi kesetaraan gender. ”stereotipe gender merupakan suatu bentuk penindasan idiologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokan kaum perempuan”, (Mandour fakih, 1996).
Sebagai contoh, salah satu pelabelan kepada perempuan adalah pandangan bahwa gadis perawan adalah makhluk yang rawan sehingga harus dijaga dan dibatasi, agar tidak terkena gangguan sampai pada saatnya menikah. Pandangan stereotipe jenis kelamin merupakan akibat lanjutan dari penyimpangan budaya patriatisme, dimana laki-laki atau keluarga melindungi perempuan khususnya gadis perawan, celakanya pengertian perlindungan yang berlebihan berubah menjadi penguasaan sehingga terjadi pengekangan-pengekangan terhadap perempuan. Dengan pengekangan yang dilakukan di kalangan keluarga akan menghambat ruang gerak dan kesempatan bagi kaum perempuan dalam mengembangkan potensi dirinya. Akibat selanjutnya, kemampuan, prestasi dan peran perempuan baik dalam masyarakat, maupun dalam linhgkungan kerja menjadi ketinggalan dibandingkan lawan jenisnya.
Contoh lain dalam stereotipe atau pelabelan kepada perempuan adalah ”perempuan sebagai ibu rumah tangga”. Stereotipe tersebut memposisikan perempuan menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap urusan rumah dan anak-anaknya. Posisi ini membuat seorang istri sebagai orang nomor dua atau pendamping suami bahkan sebagai peran pembantu (bukan peran utama) dalam rumah tangga. Akibat dari pelabelan ini, jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan publik yang dianggap “wilayah” laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis, olah raga keras, dan yang sejenisnya dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Akibat selanjutnya adalah, pendidikan kaum perempuan menjadi tidak prioritas atau dinomorduakan. Perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak dan pendamping suami harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga yaitu anak-anak dan suami, ketimbang kepentingan untuk mengembangkan potensi dirinya. Di sisi lain, beratnya perjuangan dan pengorbanan istri (ibu), hasil kerjanya tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan yang dihailkan oleh laki-laki (materi).
6. Beban Kerja Lebih Berat
Beban kerja perempuan (ibu) selain jenis dan jumlahnya yang sangat banyak, juga jumlah jam kerjanya yang lebih panjang. Sejak dahulu jam kerja perempuan terkenal lebih panjang, karena dimulai “sebelum terbit matahari, sampai terbenam mata suami”.
Sungguh mulia perempuan yang memilih kariernya sebagai ibu rumah tangga, dan selayaknya mendapat penghargaan yang sama dengan laki-laki suaminya yang menjadi kepala keluarga. Tidak salah bila agama Islam menghormati kaum perempuan melebihi kaum laki-laki.
Gambaran beban kerja perempuan lebih berat, khususnya yang menimpa keluarga kelas menengah ke bawah, masih berlansung di negeri nusantara. Dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia pada umumnya, semua pekerjaan domestik sudah menjadi tanggung jawab istri / ibu, seperti mencuci pakaian, mencuci perabot rumah tangga, menyapu, ngepel lantai, memasak sampai menghidangkjannya.
Bagi perempuan yang bekerja pada sektor publik, bukan berarti lepas tanggung jawab untuk pekerjaan di rumah, tetapi pekerjaan di rumah tetap menjadi tanggung jawab perempuan / istri. Seorang perempuan atau ibu yang bekerja di luar rumah, begitu pulang ke rumah bukan istirahat, tetapi meneruskan pekerjaan domestiknya di rumah, ditambah dengan pekerjaan rutin untuk melayani suami seperti menyediakan makanan, minum dan keperluan kerjanya.
7. Kekerasan Terhadap Perempuan
Bentuk penyimpangan yang paling mengerikan dari budaya patrialisme adalah terjadinya bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu jenisnya dapat berupa kekerasan fisik atau kekerasan non fisik.
Bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan non-fisik, bentuknya dapat berupa ancaman, penghinaan, atau penyiksaan batin. Dalam keluarga sering terjadi kekerasan dalam bentuk non-fisik seperti penghinaan, ancaman, hardikan atau penyiksaan batin dengan tidak diberikan nafkah (uang belanja). Sedangkan bentuk kekerasan non fisik terhadap perempuan oleh masyarakat seperti cemoohan atau penimpuan terhadap peremnpuan. Penimpuan kepada peremnpuan seperti ditipu dengan cara dijanjikan untuk bekerja di kota atau di luar negeri, pada kenyataannya dijual untuk dijadikan pelacur.
Bentuk kekerasan dilakukan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang sering dilakukan oleh petugas keamanan dengan menggunakan standar ganda terhadap pelacur, baik yang dilokasikan maupun yang tersebar dan bersatu dengan masyarakat. Di satu piahak, mereka dilarang dan ditangkapi, dipihak lain mereka diperas, diambil keuntungannya melalui penarikan data retribusi dari para pela
The subplot of Tuptim, played with tender intelligence by Bai Ling, is also told with amazing complexity. Again Tuptim is separated from her true love when her father presents her to the King. In this film, the lovers are heartbroken but more accepting of the obligations of their culture. The King is portrayed as the kind and considerate lover that the head wife assures Tuptim that he will be. Tuptim is executed for infidelity not because of the King's pride but because of Anna's arrogant proclamation that she can persuade the King to change his mind and spare Tuptim. Mongkut knows that the stability of his country depends on his perceived authority--which must be immune from foreign influence.
What keeps this film from succeeding as a masterful epic is a sense of fragmentation. With so many story lines, no one scene can really stand as the climax or moment of understanding. These various plots are woven together without the grace found in the performances or cinematography. The death of Mongkut’s favorite child is too obviously foreshadowed. In addition, the death of this child upstages the more poignant deaths of the movie's more fully-developed characters.
Tuptim's execution is the strongest sequence of the film. Roger Bondelli's editing juxtaposes the public execution of the lovers with Anna praying in her English home and Mongkut praying at a temple. Instead of showing the failure of Siamese culture, Tuptim and Mongkut accept their culture and the consequences of their actions. However, Anna's Bible offers her no solace, and in her frustration she knocks over her tea service: Christianity isn't without value, but it's inappropriate in Siam and leads to destruction.
Tennant creates a beautiful, epic film that provides a background for the human story without overwhelming it. Jodie Foster alternates between the arrogant English woman who demands to be noticed and the vulnerable woman surprised by her own feelings and inadequacy. Though she has the brashness to "think that she is the equal to a King," her Anna is finally revealed to lack the strength and integrity of Mongkut. Like Anna, the audience can't help but be seduced by Chow Yun-Fat's King.
Anna Leonowens arrives in 19th-Century Siam to teach English in the Royal Siamese court. Though her methods and perceptions at first surprise and even alarm leaders of the Siamese court, including King Mongkut himself and especially the more conservative members of his militia, Anna eventually endears herself to the King by earning the respect and affection of his children, in particular the young Crown Prince. The interference of colonial powers including France and Great Britain, however, lead to conflict as the Thai king fights to keep Siam free as the only asian country never conquered by foreigners. Other conflicts include the forbidden romance between Burmese slave-princess Tuptim and her Thai lover and Anna's interference in the matter of the princess's punishment.
--LS, Resident Scholar
Anna is an English school teacher hired to teach the children of the king of Siam. Soon, the country is in danger of being taken over by England. Only, Anna can stop them. The plot is thin, and has a poor screenplay. Only amazing costumes, set, and camera work can save this film from getting low marks.
--Estefan Ellison, Resident Scholar
Anna comes to Siam to teach the King's children the ways of the Western world. In the process she finds romance with the King and treachery in his court. A rousing spectacle of epic proportions.
--Jason Jones, Resident Scholar
Kesetaraan gender masih harus terus diperjuangkan karena perempuan tidak hanya memerlukan perlindungan dari kaum laki-laki, tetapi bersamaan dengan itu diperlukan perlindungan hak-hak azasi kaum perempuan seperti persamaan hak dalam dalam mengembangkan bakat dan potensi dirinya melalui pendidikan dan perlindungan hukum yang lebih pasti. Namun dalam pelaksanaannya, tidak sedikit ditemukan penyimpangan dari hubungan patriatisme yang menyebabkan perempuan menjadi manusia nomor dua bahkan menjadi obyek penderita, maslah ini yang menjadi tuntutan banyak pihak untuk terjadi kesetaraan gender.
Bentuk ketidakadilan gender yang harus terus diperjuangkan adalah berbagai bentuk ketidakadilan dalam tata kehidupan masyarakat yang merupakan tuntukan budaya masyarakat tetapi memberikan pembatasan-pembatasan kepada kaum perempuan. Akibat pembatasan (peran domestik) tersebut perempuan menjadi pasif. Efek negatif yang tidak secara lansung ditularkan oleh sebab pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin di antaranya adalah: (1) diskriminasi perempuan, (2) ekploitasi kaum perempua, (3) marginalisasi perempuan, (4) Sub-ordinasi permpuan, (5) stereotipe atau pelabelan negatif terhadap perempuan, (6) kekerasan terhadap perempuan, (7) bahan kerja lebih berat dan panjang.
Berbagai bentuk ketidakadilan gender tersebut, biasanya tidak berdiri sendiri tetapi saling tekait dan saling mempengaruhi, dan sudah mengkristal dalam budaya masyarkat, sehingga sangat sulit untuk diluruskan.
1. Diskriminasi perempuan
Bentuk ketidakadilan gender yang sering menimpa kaum perempuan adalah diskriminasi perempuan atau mengutamakan laki-laki. apabila perempuan dalam menyuarakan pendapatnya saja kurang mendapatkan tanggapan di masyarakat, bagaiman partisipasinya dalam pembangunan bisa optimal. Hal yang lebih nampak apabila melihat dalam struktur pemerintahan, presentase kaum perempuan yang menjadi pejabat struktural sangat sedikit dibanding laki-laki, demikian juga dalam bidang legislatif, perempuan yang menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan segala hak-hak rakyat jumlahnya masih sangat sedikit.
Diskriminasi kaum perempuan juga terjadi dalam lapangan pekerjaan, dimana kaum laki-laki dipercaya untuk menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan dengan upah atau gaji yang tinggi, sedangkan perempuan lebih diposisikan sebagai tenaga pembantu laki-laki, seperti sekretaris, akuntan atau penerima tamu. Hal ini tidak adil, karena kepercayaan tersebut bersumber kepada keyakinan yang salah bukan kepada kondisi empirik yang dibuktikan melalui prestasi. Bahkan bila diuji potensinya, boleh jadi perempuan lebih berpotensi untuk menduduki jabatan tinggi atau paling tidak potensinya sama dengan laki-laki.
2. Eksploitasi Kaum Perempuan
Kaum perempuan, lebih parah lagi apabila berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, sering menghadapi kondisi yang sangat merugikan, baik di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan di dunia kerja. Perempuan yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, akan identik dengan karakteristik perempuan berpendidikan rendah, kurang informasi (kurang gaul), kurang pengetahuan, kurang pengalaman dan cenderung pasrah (nerimo). Kondisi perempuan seperti ini sangat rentan terhadap perlakuan tidak adil. Salah satu perlakuan tidak adil bagi kaum perempuan adalah dalam bentuk eksploitasi, pemaksaan, penjajahan hak dan bersangkutan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan.
Pada zaman sekarang sudah modern katanya, bentuk eksploitasi kaum perempuan malah semakin menjadi, khususnya terhadap tenaga kerja rendahan. Investor luar negeri dan dalam negeri terus berdatangan, pabrik-pabrik didirikan, lowongan kerja dibuka, termasuk lowongan kerja untuk kaum perempuan. Kaum perempuan lebih dianggap sebagai tenaga kerja yang tekun, mudah diatur, penurut dan murah upahnya. Anggapan ini yang sangat merugikan kaum perempuan, terlebih lagi perlindungan hukum, lebih memihak kepada investor dari pada kepada rakyat miskin tenaga rendahan. Akibatnya banyak pabrik-pabrik yang mengerjakan perempuan yang terbagi dalam tiga shif, artinya mesin di pabrik tidak berhenti sehari penuh dan pekerja perempuan ada yang terkena sif malam sampai pagi.
Bila dilihat dari jenis pekerjaan yang diposisikan untuk kaum perempuan, umumnya lebih dikaitkan dengan kondisi fisik seperti kecantikan dan keluwesan kaum perempuan sehingga terjadi bentuk eksploitasi perempuan untuk kepentingan bisnis atau politik.
3. Marginalisasi Perempuan
Dari berbagai bentuk marginalisasi perempuan (khususnya perempuan berpendidikan rendah) baik yang disebabkan karena diambil alih oleh kaum laki-laki maupuin yang digantikan oleh mesin, yang tersisa hanya peran perempuan pada sektor pekerjaan yang kurang produktif dengan upah murah seperti pemetik ”teh” dan penanam padi di sawah. Pekerjaan pemetik daun teh merupakan pekerjaan yang tidak menarik bagi laki-laki dan peralatan mesin juga belum ada. Upah memetik daun teh sangat murah, tetapi pekerjaannya cukup rumit yaitu harus turun bukit naik bukit, masuk perkebunan di pagi hari, mengerubuti embun, dengan cuaca dingin karena memang perkebunan teh berada di pegunungan.
Marginalisasi perempuan berkaitan dengan budaya patriatisme yang memerankan perempuan disektor domestik, dan laki-laki pada sektor publik. Namun demikian maslah gaji atau materi juga turut menentukan, karena walaupun pekerjaan domestik yang seharusnya dikerjakan oleh perempuan, tetapi apabila pekerjaan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan publik dengan upah/gaji tinggi, maka pekerjaan tersebut akan menjadfi pekerjaan laki-laki. Sebagai contoh pekerjaan memasak yang biasanya telah menjadi pekerjaan perempuan, tetapi juru memasak di restoran atau hotel berbintang, bukan oleh perempuan lagi, tetapi juru masaknya (koki) laki-laki. Pekerjaan tadi tidak menjadi milik perempuan, melainkan sudah didominasi oleh tenaga profesional yaitu koki laki-laki.
4. Sub-ordinasi Perempuan
Sub-ordinasi perempuan merupkan kelanjutan dari pandangan bahwa perempuan makhluk yang lemah, maka laki-laki sebagai makhluk yang kuat datang untuk melindungi kaum perempuan, selanjutnya laki-laki dengan berlaga sebagai pelindung memberikan pembatasan-pembatasan kepada kaum perempuan. Bentuk penyimpangan dari perlindungan laki-laki kepada perempuan menjadi penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Hal ini melahirkan sub-ordinasi terhadap perempuan. Bentuk sub-ordinasi bermacam-macam, berbeda dari satu tempat dengan tempat lain, dari waktu ke waktu, dan dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya. Budaya Jawa masa lalu menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena toh artinya akan ke dapur juga. Pembagian peran perempuan bekerja di dapur untuk melayani suami, selanjutnya menjadikan perempuan semakin tersub-ordinasi di bawah perintah dan keinginan suaminya. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini yang merugikan kaum perempuan.
”Salah satu bukti dari rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan ”reproduksi” tersebut bahwa pekerjaan ini hampir-hampir tidak dihargai secara ekonomis, meski tingkat kerumitan dan waktu yang duhabiskan untuk pekerjaan tersebut tidak lebih ringan dari pekerjaan ”produktif”, (Achmad Muthali’in, 200. padahal pekerjaan 4M tersebut tidak bisa digantikan oleh laki-laki, sehingga timbul kecenderungan baik laki-laki maupun perempuan sendiri memilih dan mencari kesempatan untuk memasuki pekerjaan yang produktif. Tetapi bisa dibayangkan apabila pekerjaan 4M tidak dihargai kemudian perempuan tidak mau mengandung, melahirkan dan menyusui, lalu bagaimana generasi kita selanjutnya. Kasus ini telah terjadi pada negara-negara industri, dimana perempuannya tidak mau mengandung dan melahirkan, bahkan tidak mau menikah sehingga jumlah penduduk, semakin berkurang.
5. Stereotipe Jenis Kelamin
Pengertian stereotipe jenis kelamin secara umum mengacu kepada trade mark atau pelabelan jelek kepada perempuan. Pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok perempuan tertentu yang mengidentifikasikan kriteria atau karakteristik tertentu sehingga merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Streotipe jenis kelamin adalah pelabelan kepada perempuan dengan berbagai pembatasan baik berupa keharusan/kewajiban atau pelarangan tertentu yang menuntut untuk ditaati berdasarkan adat budaya masyarakat dan apabila dilanggar akan mendapat semacam sangsi sosial. Dengan pemberlakuan pandangan stereotipe yang bersumber pada budaya masyarakat peradaban lama semacam ini, apabila dilihat dari segi kesetaraan gender. ”stereotipe gender merupakan suatu bentuk penindasan idiologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokan kaum perempuan”, (Mandour fakih, 1996).
Sebagai contoh, salah satu pelabelan kepada perempuan adalah pandangan bahwa gadis perawan adalah makhluk yang rawan sehingga harus dijaga dan dibatasi, agar tidak terkena gangguan sampai pada saatnya menikah. Pandangan stereotipe jenis kelamin merupakan akibat lanjutan dari penyimpangan budaya patriatisme, dimana laki-laki atau keluarga melindungi perempuan khususnya gadis perawan, celakanya pengertian perlindungan yang berlebihan berubah menjadi penguasaan sehingga terjadi pengekangan-pengekangan terhadap perempuan. Dengan pengekangan yang dilakukan di kalangan keluarga akan menghambat ruang gerak dan kesempatan bagi kaum perempuan dalam mengembangkan potensi dirinya. Akibat selanjutnya, kemampuan, prestasi dan peran perempuan baik dalam masyarakat, maupun dalam linhgkungan kerja menjadi ketinggalan dibandingkan lawan jenisnya.
Contoh lain dalam stereotipe atau pelabelan kepada perempuan adalah ”perempuan sebagai ibu rumah tangga”. Stereotipe tersebut memposisikan perempuan menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap urusan rumah dan anak-anaknya. Posisi ini membuat seorang istri sebagai orang nomor dua atau pendamping suami bahkan sebagai peran pembantu (bukan peran utama) dalam rumah tangga. Akibat dari pelabelan ini, jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan publik yang dianggap “wilayah” laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis, olah raga keras, dan yang sejenisnya dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Akibat selanjutnya adalah, pendidikan kaum perempuan menjadi tidak prioritas atau dinomorduakan. Perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak dan pendamping suami harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga yaitu anak-anak dan suami, ketimbang kepentingan untuk mengembangkan potensi dirinya. Di sisi lain, beratnya perjuangan dan pengorbanan istri (ibu), hasil kerjanya tidak mendapatkan penghargaan yang setara dengan yang dihailkan oleh laki-laki (materi).
6. Beban Kerja Lebih Berat
Beban kerja perempuan (ibu) selain jenis dan jumlahnya yang sangat banyak, juga jumlah jam kerjanya yang lebih panjang. Sejak dahulu jam kerja perempuan terkenal lebih panjang, karena dimulai “sebelum terbit matahari, sampai terbenam mata suami”.
Sungguh mulia perempuan yang memilih kariernya sebagai ibu rumah tangga, dan selayaknya mendapat penghargaan yang sama dengan laki-laki suaminya yang menjadi kepala keluarga. Tidak salah bila agama Islam menghormati kaum perempuan melebihi kaum laki-laki.
Gambaran beban kerja perempuan lebih berat, khususnya yang menimpa keluarga kelas menengah ke bawah, masih berlansung di negeri nusantara. Dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia pada umumnya, semua pekerjaan domestik sudah menjadi tanggung jawab istri / ibu, seperti mencuci pakaian, mencuci perabot rumah tangga, menyapu, ngepel lantai, memasak sampai menghidangkjannya.
Bagi perempuan yang bekerja pada sektor publik, bukan berarti lepas tanggung jawab untuk pekerjaan di rumah, tetapi pekerjaan di rumah tetap menjadi tanggung jawab perempuan / istri. Seorang perempuan atau ibu yang bekerja di luar rumah, begitu pulang ke rumah bukan istirahat, tetapi meneruskan pekerjaan domestiknya di rumah, ditambah dengan pekerjaan rutin untuk melayani suami seperti menyediakan makanan, minum dan keperluan kerjanya.
7. Kekerasan Terhadap Perempuan
Bentuk penyimpangan yang paling mengerikan dari budaya patrialisme adalah terjadinya bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan itu jenisnya dapat berupa kekerasan fisik atau kekerasan non fisik.
Bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan non-fisik, bentuknya dapat berupa ancaman, penghinaan, atau penyiksaan batin. Dalam keluarga sering terjadi kekerasan dalam bentuk non-fisik seperti penghinaan, ancaman, hardikan atau penyiksaan batin dengan tidak diberikan nafkah (uang belanja). Sedangkan bentuk kekerasan non fisik terhadap perempuan oleh masyarakat seperti cemoohan atau penimpuan terhadap peremnpuan. Penimpuan kepada peremnpuan seperti ditipu dengan cara dijanjikan untuk bekerja di kota atau di luar negeri, pada kenyataannya dijual untuk dijadikan pelacur.
Bentuk kekerasan dilakukan terhadap perempuan yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang sering dilakukan oleh petugas keamanan dengan menggunakan standar ganda terhadap pelacur, baik yang dilokasikan maupun yang tersebar dan bersatu dengan masyarakat. Di satu piahak, mereka dilarang dan ditangkapi, dipihak lain mereka diperas, diambil keuntungannya melalui penarikan data retribusi dari para pela