Malaria Serebral

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik, disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral.1 Berdasarkan laporan WHO (2000), terdapat lebih dari 2400 juta penduduk atau 40% dari penduduk dunia tinggal di daerah endemis malaria. Sementara, prevalensi penyakit malaria di seluruh dunia diperkirakan antara 300-500 juta klinis setiap tahunnya. Sedangkan angka kematian yang dilaporkan mencapai 1-1,5 juta penduduk per tahun, terutama terjadi pada anak-anak di Afrika, khususnya daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.2
Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan penyakit malaria masih cukup tinggi, terutama di daerah luar Jawa dan Bali. Namun, kini di daerah Jawa dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria. Hal ini diakibatkan banyaknya pengungsi yang berasal dari daerah yang dilanda konflik, sehingga juga ikut berperan bagi terjadinya penyebaran malaria dari daerah endemis ke daerah non-endemis.2
Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehingga tidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan tepat merupakan sasaran utama. Walaupun sampai saat ini diagnosis pasti hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan keterampilan dan fasilitas khusus.3
Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun). Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria komplikasi).2 Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat, yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi, patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow up pasien yang menderita malaria serebral.

[download pdf lengkap]













.