Makalah Evolusi Agama
BAB I
PENDAHULUAN
Evolusi adalah suatu fenomena yang muncul pada kepercayaan-kepercayaan atau agama, agar lebih adaftatif dan dapat diterima, lebih otonom dan kompleks, agar lebih dapat diterima oleh masyarakat penganutnya. Fenomena inilah yang oleh ahli disebut sebagai evolusi agama.
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai logika tentu memandang fenomena berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan oleh orang lain. Ketika suatu fenomena yang dianggap diluar batas kekuatan manusia muncul, maka ada yang menyebutnya sebagai tuhan, tapi adapula yang lebih cerdas yang menganggap bahwa ada sesuatu yang berkuasa atas fenomena itu.
Anggapan awal kami manusia sebagai manusia yang berbudaya tentu saja akan berubah-ubah dalam beragama, baik dari segi ritualnya maupun dari keteraturan-keteraturan keagamaan lainnya. Manusia akan terus bekembang menjadi lebih komplek kebudayaannya, dari segala dimensi, termasuk agama. Apakah perubahan itu menjadi lebih buruk dari sebelumnya ataukah menjadi yang lebih baik. Apakah yang dimaksud dengan evolusi agama? Bagaimana bentuk evolusi agama? Apakah agama-agama samawai seperti Islam juga berevolusi? Bagaimana akhirnya masyarakat mempercayai satu Tuhan atau lebih, dan bagaimana hal itu berproses, dan berubah untuk tujuan tertentu adalah hal yang akan dicoba dijelaskan dalam makalah ini..
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAL-USUL AGAMA
Apakah agama selalu muncul dalam komunitas masyarakat?, sosiologi akan menjawab” ya”, karena beragama adalah kecondongan manusia untuk mempercayai adanya kekuatan melebihi kekuatan manusia, dan hal itu adalah naluri alamiah manusia. Bagaimana naluri itu muncul dan menjadi sebuah agama coba dijelaskan oleh beberapa sosiolog. Seperti Dadang Kahmad yang mengemukakan teori asal-usul agama[1]
I. Teori Jiwa
Pada mulanya manusia dengan melihat hal-hal yang disekitarnya meyakini bahwa alam ini dihuni oleh materi seperti yang mereka lihat dan rasakan. Selanjutnya manusia mulai meyakini adanya jin dan roh, hingga mereka beranggap bahwa dunia ini tidak hanya dihuni zat material tapi juga oleh hal-hal yang immaterial. Mereka beranggapan bahwa roh dan jiwa itu kekal dan mempunyai kekuatan yang bisa menjaga kehidupan ataupun menghancurkannya. Akhirnya merekapun menganggapnya tuhan dan menyembahnya.
2. Teori Batas Akal
Akal manusia tidak bisa menerangkan seluruh gejala yang terjadi di dunia ini, sedangkan manusia terbiasa memecahkan masalah dengan akalnya, meskipun akal manusia selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, tapi tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal.[2]
Karena itu manusia menginginkan sesuatu yang bisa menjelaskan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Mulanya manusia memakai magic, tapi seterusnya merekapun sadar bahwa hal itu tidak bisa menjawab semuanya hingga akhirnya mereka mulai mencari agama.
3. Teori Krisis Dalam Hidup.
Ketika manusia mengalami hal-hal hebat dalam hidup yang berupa musibah tau bencana, kematian, sakit dan lainnya yang tidak bisa dicegah dengan materi baik berupa harta, merekapun mulai mencari agama sebagai upaya penenangan diri dalam situasi krisis tersebut.
4. Teori Sentimen Masyarakat.
Menurut teori ini agama muncul sebagai akibat getaran dari rasa emosi jiwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat. Agama bukan lahir dari anggapan tentang wujud supranatural tapi sebagai kesatuan masyarakat.
5. Teori Kekuatan Luar Biasa.
Adalah bentuk preanimisme dalam agama, yaitu yang mempercayai bahwa fenomena-fenomena yang muncul di alam seperti hujan, angin adalah tuhan yang layak disembah.
6. Teori Wahyu
Bahwa agama berasal dari perintah Tuhan yang Ia wahyukan melalui utusannya, agama seperti ini dikenal dengan sebutan agama samawi.
B. EVOLUSI AGAMA
I.Teori Evolusi Agama
Evolusi adalah perubahan secara berangsur-angsur dan bertahap.[3] Sedangkan agama adalah seperangkat, perlambang dan paktek berdasarkan ide yang sakral.[4] Yang dimaksud dengan sakral adalah yang berkaitan dengan hal-hal penuh misteri baik yang sangat mengagumkan maupun menakutkan.[5]
Adapun evolusi agama dalam bahasa sederhana adalah perubahan agama secara bertahap. Menurut R.N.Bellah bahwa evolusi agama adalah proses meningkatnya diferensiasi dan kompleksitas untuk lebih beradaftasi terhadap lingkungannya, sehingga agama tersebut bisa lebih diterima dan lebih otonom daripada sebelumnya.[6]
Siapakah atau apakah yang berevolusi?. Bellah melanjutkan bahwa yang berevolusi adalah agama sebagai sistem simbol.[7]Simbol ini diperlukan karena inti krilaku keagamaan tidak bisa diekspresikan, maka untuk lebih menghidupkan zat sakral dalam agama maka dibuatlah simbol.[8]
Yang dimaksud dengan agama sebagai suatu sistim simbol adalah perangkat-perangkat agama yang menjadi lambang dari identitas agama. Seperti shalat dalam Islam, gereja dalam agama Kristen, api dalam agama Majusi.
Adapun menurut Greefitz agama sebagai sistim simbol adalah[9]:
- 1. keteraturan umum, hal ini cendrung berubah sepanjang waktu, setidak-tidaknya dalam hal tertentu ke arah yang lebih diferensiasi dan komplek dan mendalam. Seperti ketika anggapan bahwa memakai serban dalam shalat bukan lagi sebagai suruhan agama melainkan diluar agama. Ketika hal ini terjadi maka agama Islam telah berevolusi. Atau juga seperti ketika keyakinan ketabuan menikah bagi pendeta dalam agama Kristen telah runtuh, dan para penganut agama ini telah berubah keyakinan bahwa hal itu tidak dilarang agama.
- 2. konsepsi-konsepsi tindakan keagamaan dari sifat pelaku keagamaan. Seperti konsep pajak yang berubah di Indonesia menjadi salah satu bagian dari zakat, atau keyakinan orang bahwa mengingat tuhan dalam arti yang umum telah bisa menggantikan kedudukan shalat.
- 3. Tapi dua teori ini belumlah implisit, karena dalam agama itu sendiri terjadi perubahan dalam anggapan siapa tuhan yang sebenarnya, seperti anggapan bahwa hujan itu adalah tuhan yang kemudian mengkat menjadi ada kekuatan yang bisa menurunkan hujan. Bukankah hal itu juga merupakan evolusi?. Mungkin hal yang seperti inilah yang dianggap oleh Bellah sebagai evolusi dalam dalam dimensi lain. Termasuk dimensi sosial-budaya.[10]
2.Tahap-Tahap Evolusi
Seperti yang kita kemukakan pertama kali bahwa evolusi adalah perubahan secar bertahap, artinya agama melalui tahapan-tahapan tertentu dalam perubahannya. Bellah mengungkapkan 5 tahapan yang biasanya dilalui oleh agama dalam evolusi, hal ini ia simpulkan setelah meneliti beberapa agama di Eropa, India dan Cina. Ia pun mengakui bahwa teorinya ini adalah hal yang paling umum yang dapat dilihat.[11]
Meskipun ia mengemukakan 5 tahapan evolusi yaitu fase primitf, fase arkaik, fase historis, fase pramodern dan fase modern tapi ia juga mengakui bahwa memang kecendrungan para ahli untuk membaginya kepada 4 tahap bahkan 3 tahap adalah hal yang sangat wajar, karena dalam beberpa fase tertentu hampir-hampir tidak berbeda.[12]
Kerancuan pembagian ini menurut sebagaian ahli adalah karena kemiripan beberapa fase, yang paling sering digabung adalah fase pramodern dengan fase modern, kemudian fase primitif dan arkaik.[13] Menurut Bellah bahwa fase pramodern ini sebenarnya hanyalah transisi menuju fase modern. Dengan dasar inilah kami tuliskan 4 tahapan tersebut.
a. fase primitif
Pada fase ini manusia sebagaimana fitrahnya cenderung untuk meyakini adanya kekuatan yang lebih besar dari kekuatan manusia.[14] Baik berupa roh atau benda seperti langit, gunung dan lainnya, juga fenomena alam seperti gempa, kemarau dan lainnya. Tapi manusia primitif tidak menyembah semua hal ini karena anggapan tidak semuanya layak disembah, seperti angin yang tidak akan mereka sembah apabila mereka belum menyaksikan betapa dahsyatnya peran angin dalam kehidupan mereka.
Tindakan keagamaan pada fase ini adalah identifikasi dan partisipasi. Ritual mereka adalah untuk menyatukan diri dengan yang mereka sembah tanpa ada perantara, semua yang hadir ikut berparsitipasi. Masing-masing berusaha menghilangkan jarak dengan yang mereka sembah.
Maka dalam ritual ini mereka melalui 4 tahapan yaitu:[15]
- persajian(offering), meskipun tidak diketahui bahwa apakah hal itu sama dengan sesajen, kurban, ataukah malah yang dianggap persajian itu adalah persajian diri ataukah niat untuk bersatu.
- Pengancuran (destruction), pribadi penyembah berusaha dihancurkan untuk dapat bersatu dengan tuhan.
- Perubahan identitas (transformation), bahwa dalam keadaan menyatu dengan tuhan ia mengharapakan pribadi baru, identitas baru setelah selesainya acara.
- Penjelmaan kembali ( returncommunion ), dengan hal ini ia akan menjadi manusia yang lebih baik dan sempurna.
Pada fase primitif ini organisasi keagamaan dan sosial adalah satu yang tak terpisah. Peran dalam agama juga berperan dalam sosial. Maka usia dan keturunan adalah hal yang sangat penting bagi pemimpin agama.[16]
2. fase arkaik (kuno/purba)
pada dasarnya masa arkai dengan primitif tidaklah jauh berbeda, hal itulah yang menjadi sebab ketidak sepakatan ahli dalam membagai masa ini kepada dua fase. banyak hal dari wujud agama merupakan warisan dari masa primitf tapi lebih sistimatis dandiv style= terperinci.[17]
Gambaran khas fase ini adalah munculnya cult (peneyembahan yang tersistimatisi), peran ahli agamapun semakin signifikan. Tuhan yang mereka sembah semakin sedikit, seperti tuhan kilat dan hujan adalah satu. Demikian juga dengan fenomena dan benda lain dengan cara dan proses yang bermacam-macam.
Tindakan keagamaan arkaik berbentuk cult, dimana perbedaan manusia sebagai subjek cult dengan tuhan sebagai objek jauh lebih jelas daripada agama primitif. Oleh karena ini pembagian, perincian tentang komunikasi dengan tuhan sangatlah penting pada masa ini.[18]
Adapun organisasi keagamaan keagamaan pada masa ini juga berfungsi sebagai organisasi sosial. Anggapan bahwa para bangsawan adalah keturunan tuhan menjadikan peran dwifungsi ahli agama ini tetap dipertahankan. Raja adalah penghubung kepada tuhan adalah kecenderungan umum fase ini.
Pada fase ini setiap klan dari masyarakat biasanya mempunyai cult tersendiri dan terpisah dari yang lainnya. Persaingan antara cult-cult ini dapat ditafsirkan sebagai usaha dan perjuangan untuk memperebutkan sikap baik tuhan terhadap klan atau paling tidak agar tuhan tidak berpindah ke klan lainnya.
3. fase historis
Dikatakan fase historis adalah karena masyarakatnya kurang lebih melek hurup. Hal yang paling khas dari fase ini adalah dualistik agama, yaitu pemisahan kehidupan dunia dan akhirat yang tidak dikenal pada fase sebelumnya. Dan unsur keagamaanpun berpusat tentang akhirat. Semacam syurga dan neraka telah dikenal pada tahap ini.
Maka tindakan keagaaman pada fase ini bertujuan untuk mencari keselamatan akhirat. Unsur berkurbanpun tetap ada tapi dengan makna baru yaitu pencarian terhadap ridho tuhan, bebeda dengan sebelumnya yang semata mengharapkan hujan, angin atau lainnya. Agama historis cenderung terpisah dari dunia, bahkan ketika dicoba untuk menggabungkannya terjadi pertentangan bahkan relatif tidak diterima.
4. fase pramodern-modern
karakter agama pada fase ini adalah lenyapnya pen-strukturan dunia dan akhirat, meski faham dualisme tetap ada tapi dengan makana baru bahwa kedua dunia itu tidak dapat dipisahkan secara komplit, keselamatan tidaklah dapat dicapai dengan menarik diri dari dunia. Masyarakat pada fase inipun berusaha menyeimbangkan antara keduanya.
Simbol agama fase ini berpusat pada hubungan langsung antar individu dan kenyataan transendental, seperti keyakinan berpakaian sopan adalah untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Maka tindakan pada fase ini meliputi segala kehidupan, tentu saja hal ini akan menjadi sebab merosotnya beberapa praktek keagamaan tertentu. Dan sebagai gantinya adalah penyembahan tuhan dalam setiap detik kehidupan. Penekanannya pada keyakinan internal seseorang dan mengabaikan tindakan atau praktek tertentu.
Salah satu ciri agama dalam fase modern adalah munculnya sekularisme,[19]Sekularisme adalah faham yang menganut keduniawaian atau kebendaan,[20] juga proses melepaskan diri dari kontrol agama.[21] Agama dan modernisasi adalah suatu masalah yang sangat menarik dalam sosiologi. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa modernisasi telah merubah pandangan manusia terhadap agama.
Istilah modern berarti mengacu kepada “ sekarang ini”.[22] Sedangkan menurut Koentjoro Ningrat bahwa modernisasi adalah usaha sadar yang dilakukan oleh suatu lembaga atau negara untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan dunia dan zamannya.[23]
Begitulah agama semakin berkembang hingga timbul kecendrungan merosotnya dualisme, merosotnya nilai terhadap akhirat. Orang lebih tertarik dengan aktivitas dunia dan tidak bergantung pada ahli-ahli agama untuk mencari kebenaran. Apakah Islam sejak lahir mengikuti tahap-tahap evolusi ini?. menurut Sayyid Qutub, fase diatas atau yang lebih dikenal dengan fase evolusi tidak mesti dilalui oleh setiap agama, dan Islam adalah salah satunya.[24]
Memang jikalau kita melihat ke sejarah agama Islam dan sejarah perdaban ummat Islam dan membandingkannya dengan tahapan evolusi ini, kita akan menemukan bahwa Islam sejak lahirnya bisa dikatakan pada tahap yang ke empat, bahkan tahap ke-empat inipun belum bisa menggambarkan Islam secara tepat.
Kenapa Islam tidak berevolusi seperti yang lainnya?. Masih menurut Sayyid Qutub bahwa hal ini adalah karena Islam adalah agama samawi.[25] Memang bukan jawaban yang logis bagi ilmu sosiologi, tapi bagaimanapun juga memang hal itu tidak bisa dipungkiri, karena tidak mungkin Muhammad sebagai manusia biasa bisa mensistimatiskan agama Islam sesempurna ini hanya dalam beberapa tahun saja yang pada agama-agama lain hal ini berproses melalui ratusan tahun dalam setiap tahapnya.
D.EVOLUSI AGAMA DALAM PENDEKATAN LAIN
Kita telah menyebutkan teori evolusi menurut Bellah, kami akan mengungkapkan beberapa teori lain yang kami anggap lebih sederhana,seperti:
Taylor berpendapat bahwa evolusi agama mulai dari anymisme sebagai bentuk agama yang paling awal dan berubah menjadi dinamisme dan menjadi politheisme hingga menjadi monotheisme.[26] Lain halnya dengan Mahmud Yunus yang menganggap bahwa agama lahir dari bentuk dinamisme menuju anymisme dan dari politheisme menjadi monotheisme.[27]
I. Anymisme dan Dinamisme
Kebanyakan ahli agama berpendapat bahwa dinamisme lebih dahulu muncul ketimbang anymisme[28]. Masyarakat primitif pada walnya memandang pohon, laut adalah tuhan yang layak disembah karena memberikan mudharat dan manfaat bagi kehidupan mereka. Seperti hujan yang diharapkan dan gunung merapi yang ditakuti. Merkapun menyembahnya.
Faham ini selanjutnya berevolusi kepada kepercayaan bahwa sebenarnya kejadian, fenomena dan benda-benda alam hanyalah kejadian dari kekuasaan sesuatu dibalik fenomena atau benda tersebut. Dengan anggapan seperti itu maka mereka mulai mneyembah roh ( dalam arti wujud non materi atau materi yang halus) atau kekuatan yang mendatangkan gempa, angin, yang menjadikan pohon berbuah dan lain sebagainya, maka dinamisme ini pun berevolusi menjadi anymisme.
Hilangnya kesuburan tanah, musim hujan yang menjadi musim kering adalah bukti bagi mereka bahwa tuhan itu tidak menetap dan berpindah-pindah.[29]
2.Politheisme
Masyarakat primitf yang mempercayai kekuatan atau roh pada dasarnya menyembah banyak tuhan, tuhan yang berkuasa atas angin, laut, matahari, bulan dan lain sebagainya mereka percayai sebagai tuhan. Tapi tidak semuanya mereka sembah atau paling tidak seringnya mereka sauatu tuhan tidak sama dengan tuhan yang lainnya. Hal ini dikarenakan bahwa kekuatan tuhan itu tidak sama, ada yang lemah dan ada yang kuat.
Maka tuhan yang dalam anggapan mereka yang mempunyai kekuatan yang paling dahsyatlah yang layak disembah, dan merekapun memberikan nama sesuai dengan fungsi tuhan itu, seperti tuhan angin, tuhan kesuburan dan lainnya. Hal ini menjadikan mereka menyembah berbagai tuhan yang berbeda dengan yang lainnya. Masyarakat yang hidup dengan berburu tentu akan menyembah tuhan pohon misalnya, lain halnya yang hidup digurun tentu mereka akan lebih sering menyembah tuhan hujan.
Dalam poltheisme terdapat pertentangan antara satu dewa dengan yang lainnya, seperti tuhan kemarau dan tuhan hujan, antara Wishnu dan Shiwa. Juga ketika terjadi musibah besar kebingungan kepada tuhan yang manakah mereka harus meminta. Dengan melalui beberapa tahap manusia mencoba mengatasi berbagai kelemahan ini, mencoba mencari penjelasan yang lebih menyeluruh hingga tidak ada pertentangan keyakinan dalam dirinya, hingga ia pun sampai kepada kesimpulan bahwa hanya ada satu tuhan yang pantas disembah. Dengan begitu agama telah berevolusi menjadi monotheisme.
3.Henotheisme dan Monotheisme
Monotheisme adalah agama yang mempercayai dan menyembah satu tuhan dan menyangkal adanya tuhan yang lain yang mereka sembah. Sedangkan henotheisme adalah agama yang mempercayai dan menyembah satu tuhan meskipun tidak menyangkal adanya tuhan yang lain[30]. Kami memandang bahwa henotheime ini adalah transisi dari polytheisme menuju monotheisme murni. Kepercayaan henotheisme seperti terdapat di Yunani.
Ketika suatu kepercayaan atau agama mulai mengangap bahwa ada tuhan yang layak disembah dan adapula yang tidal layak karena beberapa hal, termasuk kalah dalam bersaing dengan tuhan yang lain, atau karena tugasnya telah selesai, dan lain sebagainya. Ketika anggapan ini muncul dalam suatu agama maka agama itu berpeluang untuk menjadi monotheisme murni.
Agama wahyu adalah agama yang tidak berevolusi dengan tahapan seperti ini, karena sejak diketahui oleh manusia agama itu telah sempurna. Islam adalah contoh paling sempurna agama wahyu monotheis dalam segala dimensinya.
Tapi beberapa agama samawi juga berubah menjadi polytheisme, atau oleh penganutnya masih dianggap sebagai monotheisme tapi dengan konsep yang sangat tidak jelas dan rancu. Contoh yang paling tepat adalah agama Kristen yang mengakui satu tuhan tapi menyembah tiga tuhan yang mereka anggap sebagai kesatuan (trinitas).[31]
Hal senada juga diutarakan oleh Dadang Kahmad, ia membagi evolusi agama kepada tiga tingkatan, yaitu:[32]. Yang paling rendah adalah mempercayai bahwa ada makhluk halus yang menempati suatu tempat di sekitar manusia, makhluk ini mampu berbuat diluar batas kemampuan manusia, kepercayaan seperti ini sering disebut dengan animisme.
Selanjutnya adalah, ketika manusia mengalami gejala-gejala di dunia, ia pun menganggap bahwa gejala itulah tuhannya, tapi kemudian ia mulai berubah keyakinan bahwa gejala itu hanyalah perwujudan dari tuhan yang sebenarnya.
Tingkatan tertinggi ditandai dengan munculnya penyusunan tingkatan dalam masyarakat juga negara, hingga hal itu berimbas kepada pengkategorian tuhan, dan mebaginya kepada beberapa tigkatan, hinga nantinya mereka sadar bahwa ternyata tuhan yang lain adalah perwujudan daru satu tuhan sejati.
E. PENUTUP
Dalam teori yang dikemukakan oleh Bellah terlihat bahwa agama berevolusi siring dengan kemajuan kebudayaan manusia dan kemajuan cara mereka berfikir. Tapi tetap saja manusia primitip tidak bisa mempercayai tuhan non materi. Anggapan bahwa tuhan itu tebatas pada dia yang berkuasa atas fenomena alam ini, dan untuk mendatangkan manfaat ataupun menolak musibah mereka menyembahnya.
Begitulah selanjutnya terus berkembang sedikit demi sedikit , perubahan inilah yang akhirnya disebut sebagai evolusi agama. Para ahli tidak sepakat dalam membagi tahapan evolusi karena ketidak jelasan perbedaan satu fase dengan yang lainnya. Meskipun beberapa teori telah dikemukakan tapi hal itu juga hanya hal-hal yang paling mencolok dari penelitian beberapa agama. Dan evolusi tentu saja tidak harus dilalui oleh seluruh agama. Dengan mempelajari evolusi ini sekali lagi terlihat jelas keistimewaan agama Islam. dan membuktikan bahwa agama ini adalah agama samawi dan sempurna sejak diturunkan.
DAFTAR PUSTAKA
- Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai pustaka , Jakarta, 2001.
- Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000.
- Daniel Saveri, Theories of Religion. Oxford Press, New York, 2000.
- Elizabeth.K.nottingham, Agama Dan Masyarakat, terj Abd Muis, Raja Grapindo, Jakarta, 2000.
- I.J.W.Schools, Modernisasi:Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, terj Sokadijo, Gramedia, Jakarta, 1991.
- Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya,jil I, Jakarta, 1985.
- _____________, Islam Rasional, Mizan Bandung, 1995.
- Judistira.K.Garna, Antropologi Agama, t.p. Bandung, 1997.
- Koentjoro Ningrat Kebudayaan Mentalitik dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1976.
- Mahmud Yunus,Al-Adyan,Toha Putra,Semarang, 1987
- Nurcholish Majid, Islam Kemodernan Dan keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998.
- Roland Robertson, tim Penerjemah, Agama Dalam Analisa Dan Interprestasi Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1998.
- Sayyid Qutub,terj Yudian,Evolusi Moral,Ikhlas, Surabaya,1993.
- Thomas,F,Odea, tim penerjmah, Sosiologi Agama,Rajawali Press, Jakarta, 1992
- Walter H Capps, Religious Studies in The Making Of Disciplin, Fortress press, 1995.
- Zakiyah Drajat,Perbandingan Agama,Bumi Aksara, Jakarta,1996.
________________________
[1] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000. Hal 3.
[2] Daniel Saveri, Theories of Religion. Oxford Press, New York, 2000. Hal 3.
[3] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai pustaka , Jakarta, 2001. hal 310.
[4] Walter H Capps, Religious Studies in The Making Of Disciplin, Fortress press, 1995. hal 17.
[5] Elizabeth.K.nottingham, Agama Dan Masyarakat, terj Abd Muis, Raja Grapindo, Jakarta, 2000. Hal 8.
[6] Roland Robertson, terj Yudian, Agama Dalam Analisa Dan Interprestasi Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1998. hal 17.
[7] Ibid.
[8] Elizabet, op,cit. Hal 13.
[9] Ibid. hal 309
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid. hal 315.
[13] Thomas,F,Odea, tim penerjmah, Sosiologi Agama,Rajawali Press, Jakarta, 1992. hal 62.
[14] Mahmud Yunus,Al-Adyan,Toha Putra,Semarang, 1987. hal 3.
[15] Rolan, op.cit. hal 316.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] I.J.W.Schools, Modernisasi:Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, terj Sokadijo, Gramedia, Jakarta, 1991. Hal 1.
[20] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan Dan keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998. Hal 216.
[21] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan Bandung, 1995. Hal 188.
[22] Judistira.K.Garna, Antropologi Agama, t.p. Bandung, 1997. Hal 4.
[23] Koentjoro Ningrat Kebudayaan Mentalitik dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1976. Hal
[24] Sayyid Qutub,terj Yudian,Evolusi Moral,Ikhlas, Surabaya,1993.hal 93
[25] Ibid.
[26] Zakiyah Drajat,Perbandingan Agama,Bumi Aksara, Jakarta,1996. hal 94.
[27] Mahmud Yunus,op,cit. hal 10.
[28] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya,jil I, Jakrta, 1985. hal 5.
[29] Ibid.
[30] Thomas, op,cit. hal 26.
[31] M.Yunus,op,cit. hal 48.
[32] Dadang, opcit, hal 20.