Pro-kontra atas pernyataan Marzuki Alie pun bermunculan. Sebagian menilai wajar, bahkan mendukung. Sebagian lagi geram dan mengecam. Yang mendukung antara lain Ketua Umum sekaligus pendiri Partai Demokrat, Subur Budhisantoso. “Saya setuju KPK dibubarkan kalau memang orang-orangnya semuanya tidak bebas dari masalah,” kata Subur di Jakarta, Sabtu (lihat, Detiknews.com, 30/7/2011).
Adapun yang mengecam antara lain mantan Wapres Jusuf Kalla (JK). “Kalau berpikir Marzuki Alie seperti itu, maka DPR harus dibubarkan karena banyak anggota DPR yang salah juga,” ujar JK di sela-sela diskusi di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat (Okezone.com, 30/7/2011). Sementara itu, pengacara senior Adnan Buyung Nasution berkomentar, “Kalau dia mau bubarkan KPK, bubarkan saja Partai Demokrat (PD), bubarkan DPR!” kata Adnan di Museum Nasional (Republika.co.id, 30/7/2011).
Indonesia Terkorup
Di negeri ini, korupsi dalam berbagai bentuknya merajalela di semua lini. Hampir tidak ada satu pun institusi negara yang tidak tercemar korupsi. Kenyataannya, pusaran badai korupsi memang terjadi di berbagai lembaga di negeri ini, bahkan sejak negeri ini baru lahir. Salah satunya adalah kasus korupsi PN Triangle Corporation yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 6 miliar pada 1960. Kapten Iskandar, yang pernah menjabat sebagai Manager PN Triangle Coporation, didakwa menyalahgunakan kedudukan dan jabatan serta melakukan pelanggaran terhadap perintah Penguasa Perang Daerah Djawa Barat. Kapten Iskandar dituntut hukuman mati dalam sidang pengadilan Tentara Daerah Militer VI Siliwangi. Ia menjual kopra dan minyak kelapa dengan harga di atas harga yang telah ditetapkan serta menggelapkan tekstil dan benang tenun (Kompas, 25/9/1965).
Itu hanya sekelumit kasus yang terjadi pada masa Orde Lama. Pada masa Orde Baru, korupsi melibatkan banyak keluarga dan kroni Presiden Soeharto saat itu. Adapun pada masa Orde Reformasi, korupsi malah makin merata. Dalam catatan Litbang Kompas, selama tahun 2005 hingga 2009 saja, terjadi kasus korupsi besar di 21 lembaga, mulai dari lembaga negara-seperti penegak hukum, BUMN, departemen, birokrasi, pemerintah daerah, partai politik-hingga para anggota parlemen. Wajar jika Indonesia pernah dijuluki sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang disurvey terhadap indeks persepsi korupsi (Antaranews, 26/10/2010).
Sulit Diberantas
Korupsi memang dipercaya telah ada sejak negara ini merdeka. Upaya untuk memberantas korupsi pun telah dilakukan dalam masa pemerintahan lima presiden. Berbagai langkah antikorupsi telah dilakukan, mulai dari membuat undang-undang hingga membentuk badan khusus yang bertugas menangani korupsi. Selain KPK sebenarnya ada badan independen lain yang memainkan dan berpotensi memainkan berbagai peran penting dalam pemberantasan korupsi, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK) serta Komisi Yudisial (KY). Dari semua badan yang pernah dibentuk itu, kewenangan yang dimiliki KPK menjadikan KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi. Namun ternyata, KPK pun tak bisa diharapkan sehingga terlontar ide Marzuki Alie agar lembaga ini dibubarkan saja.
Demokrasi: Akar Masalah Korupsi
Selama ini ada anggapan bahwa demokrasi adalah sistem politik dan pemerintahan terbaik. Anggapan ini ternyata bohong besar. Di Tanah Air, merebaknya demokrasi justru menyuburkan praktik korupsi. Korupsi di alam demokrasi ini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat dan swasta. DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi malah merupakan sarang koruptor.
Jual-beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb ditengarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan. Bahkan para anggota dewan pun ditengarai sering berperan sebagai “calo” atau dikepung oleh para “calo”. Percaloan di DPR diakui Ketua Komisi I DPR-RI, Mahfudz Siddiq. Ia mengungkapkan, para calo di parlemen sering berkeliaran pada lahan basah DPR, seperti calo jual-beli pasal dalam pembahasan RUU yang menyangkut kepentingan dan kewenangan terkait resources (sumberdaya). RUU itu dibandrol harganya bukan lagi pasal-perpasal, tetapi bahkan ayat-perayat. Arena permainan uang juga terjadi dalam kegiatan fit and prosper test. Kasus fit and proper test berpeluang menjadi gratifikasi jabatan yang memiliki nilai tinggi. “Lahan basah yang juga biasa dimanfaatkan yakni saat pembahasan anggaran untuk proyek kementerian maupun pemerintah daerah,” ujarnya (Rri.co.id, 22/5).
Dengan semua fakta di atas, wajarlah jika berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif DPR/DPRD menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, yudikatif 70% dan eksekutif 32% (Mediaindonesia, 21/4).
Korupsi juga makin marak di daerah justru saat negeri ini dinilai makin demokratis. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepada daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi, 17 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (Vivanews.com, 17/1/2011). Sedang menurut data KPK, hingga Maret 2011, sudah 175 kepala daerah-terdiri dari 17 gubernur serta 158 bupati dan wali kota-yang menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini. Sebagian di antaranya sudah diproses penegak hukum bahkan sudah mendekam di penjara sebagai koruptor.
Mengapa korupsi menggila di dalam sistem demokrasi? Sebab, selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik, termasuk berkompetisi di ajang Pemilu dan Pilkada. Pasalnya, proses politik demokrasi, khususnya proses Pemilu dan Pilkada, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, “Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp 100 hingga Rp 150 miliar. Kalau ditambah dengan ongkos untuk berperkara di MK, berapa lagi yang harus dicari (Kompas.com, 5/7/2010).
Karena gaji dan tunjangan yang “tak seberapa”, maka saat mereka terpilih menjadi penguasa atau wakil rakyat, tidak ada cara lain yang paling cepat untuk mengembalikan biaya politik dalam proses Pemilu tersebut, kecuali dengan korupsi. Inilah lingkaran setan korupsi dalam sistem demokrasi.
Keterkaitan erat demokrasi dengan korupsi ternyata bukan hanya terjadi di Tanah Air. Ledakan korupsi juga terjadi di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerjasama dalam proses Pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan Pemilu. Jeffrey D. Sachs, Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University sekaligus Penasihat Khusus Sekjen PBB mengenai Millennium Development Goals, mengatakan negara-negara kaya adalah pusat perusahaan-perusahaan global yang banyak melakukan pelanggaran paling besar (Korantempo, 23/5).
Di Indonesia, praktik penyuapan dan korupsi juga melibatkan perusahaan asing. Gary Johnson, Kepala Unit Penangan Korupsi FBI, menyatakan bahwa ada kasus-kasus yang melibatkan perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia dan itu berada di bawah FCPA (Foreign Corrupt Practices Act) atau di bawah UU antikorupsi (Detiknews.com, 11/5).
Dari paparan di atas, jelas sudah, sistem demokrasilah akar masalah munculnya banyak kasus korupsi.
Bubarkan Demokrasi?
Jelas, saling tuding di antara elit politik di atas menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakpercayaan terhadap banyak lembaga negara. Jelas pula, bahwa selama ini sistem demokrasi melahirkan para pemimpin korup. Karena itu, bukan KPK yang layak dibubarkan, tetapi justru sistem politik dan pemerintahan demokrasi itu sendiri. Sebagai gantinya adalah sistem politik dan pemerintahan Islam. Itulah sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Syariah dan Khilafah itulah sistem terbaik. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). []
Komentar:
Masihkah kita mengagung-agungkan demokrasi? Bukankah kita sudah diberi oleh Allah sistem yang terbaik (bagi orang-orang yang berpikir)
sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/03/bubarkan-kpk-atau-bubarkan-demokrasi/
gambar : www.kompasiana.com