PERBATASAN INDONESIA
Setiap negara berwenang untuk menetapkan batas terluar wilayahnya. Geografi adalah wilayah yang tersedia dan terbentuk secara alamiah. Kondisi obyektif geografis merupakan wadah atau ruang sebagai ruang gerak hidup suatu bangsa yang didalamnya terdapat Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia. Oleh karena itu geografis merupakan fenomena yang mutlak diperhitungkan baik fungsi maupun pengaruhnya terhadap sikap dan tatalaku negara yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, perlu diperhitungkan dampak sikap dan tatalaku negara terhadap geografis sebagai tata hubungan antara manusia dan wadah lingkungan.

BATAS DARAT INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga. Di darat, Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan dengan Timor-Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan.  Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.  Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.

BATAS LAUT WILAYAH INDONESIA
Sedangkan sebagai negara kepulauan, maka wilayah Indonesia terdiri atas perairan pedalaman, perairan kepulauan (archipelagic waters), laut wilayah, zona tambhan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.

• Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional yang ke-3 Tahun 1982.
Melalui konferensi tersebut maka pokok-pokok asas negara kepulauan diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982(United Nation Convention On The Law Of The Sea). Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang Undang No. 17 tahun 1985 pada tanggal 13 Desember 1985.
Berlakunya UNCLOS 1982, akan berpengaruh dalam upaya pemanfaatan laut bagi kepentingan kesejahteraan seperti , bertambah luasnya Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen Indonesia (200 mil).
UNCLOC 1982 memberikan keuntungan bagi pembangunan nasional: Bertambah luasnya perairan yuridiksi nasional berikut kekayaan alam yang terkandung dilaut dan dasar lautnya, serta terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai medium transportasi namun dari segi kerawanan juga bertambah.
Perjuangan Indonesia selanjutnya menegakkan kedaulatan dirgantara terutama dalam rangka memanfaatkan wilayah Geo Stationery Orbit (GSO) yang dapat dijadikan wilayah kepentingan ekonomi maupun pertahanan dan keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Wilayah Indonesia di dalam perkembangannya mengalami pertambahan luas yang sangat besar. Wilayah Indonesia ditentukan pertama kali dengan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 1939. Selanjutnya seiring dengan perjalanan NKRI, Pemerintah RI memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara mulai dari Deklarasi Djuanda, berbagai perundingan dengan negara tetangga sampai pada akhirnya konsep Negara Kepulauan diterima di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS'82).
Berdasarkan konsepsi TZMKO tahun 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia hanya meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut. Sedangkan menurut UUD 1945, wilayah negara Indonesia tidak jelas menunjuk batas wilayah negaranya. Wilayah negara proklamasi adalah wilayah negara ex kekuasaan Hindia Belanda, hal ini sejalan dengan prinsip hukum internasional uti possidetis juris. Dan selain itu, UUD 1945 tidak mengatur tentang kedudukan laut teritorial. Produk hukum mengenai laut teritorial baru dilakukan secara formal pada tahun 1958 dalam Konvensi Geneva.
Pada tahun 1957, Pemerintah Indonesia melalui DEKLARASI DJUANDA, mengumumkan secara unilateral / sepihak bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil. Barulah dengan UU No 4/Prp tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia ditetapkan ketentuan tentang laut wilayah Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal lurus. Perairan Kepuluan ini dikelilingi oleh garis pangkal yang menghubungkn titik-titik terluar dari Pulau Terluar Indonesia.
·         Deklarsi Djuanda 13 Desember 1957
Yang menyatakan tentang penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia. Maka sejak itu berubahlah luas wilayah Indonesia dari kurang lebih 2 juta km persegi menjadi 5 juta km persegi dimana kurang lebih 65 % wilayahnya terdiri dari laut atau perairan (negara maritim), dan 35 % adalah daratan. Terdiri dari 17.508 buah pulau dengan : 5 (lima) buah pulau besar : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya dan 11.808 pulau-pulau kecil yang belum diberi nama.Dengan luas daratan : kurang lebih 2.028.087 km persegi. Dengan panjang pantai : kurang lebih 81.000 km persegi. Topografi daratannya : merupkan pegunungan dengan gunung-gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Jadi pengertian Nusantara adalah kepulauan indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau-pulau baik pulau besar dan pulau kecil dan diantara batas-batas astronomis sebagai berikut :

•Utara: 060-080 lintang utara
•Selatan:110-150 lintang selatan
•Barat:940-450 bujur barat
•Timur:1410-050 bujut timur
• Dengan jarak Utara – Selatan : kurang lebih 1888 km persegi.
Jarak antara Barat – Timur : kurang lebih 5.110 km persegi.

ZEEI(Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia)
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menjelaskan bahwa laut diluar dan berbatasan dengan laut wilayah keliling Indonesia yang meliputi dasar laut, samapai bagian keatas air laut ynag mempunya jarak sejauh 200 (duaratus) mil laut itu diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia ke batas paling luar wilayah laut indonesia.
Didalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia terdapat juga penjelasan / penegasan mengenai batas-batas wilayah Indonesian yang behubuungan dengan jalur laut luar yaitu sbb: bahwa dalam batas 12 mil wliayah laut Indonesia ,kapal-kapal asing yang yang melalui wilayah ini harus izin terlebih dahulu,dan juga tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil kekayaan laut yang terdapat pada batas tersebut.Sedangkan pada batas 200 mil dari wilayah indonesia,kapal-kapal asing yang diperbolehkan melalui wilayah ini tanpa harus izin terlebih dahulu ,dan juga tidak diperbolehkan untuk mengambil hasil kekayaan laut yang terdapat pada batas tersebut.

BATAS UDARA WILAYAH INDONESIA
Untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum udara, maka para ahli hukum menggali hukum-hukum lama yang pernah berlaku yang berhubungan dengan ruang udara dan akhirnya diketemukannya suatu maxim (ketentuan lama) yang berlaku pada jaman Romawi yang menyebutkan “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum” yang dapat diartikan barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki pula apa yang ada diatasnya dan juga yang ada dibawahnya serta tidak terbatas. Maxim tersebut menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli hukum seperti :
1. Paul Fauchille (1858-1926) dengan teorinya Air Freedom Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara bawah. Teori Paul Fauchille tersebut didasari oleh karena :
a. Sifat udara adalah bebas.
b. Udara adalah warisan seluruh umat manusia.
2. West Lake dengan teorinya Air Sovereignty Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Untuk menyelesaikan masalah kedaulatan wilayah udara tersebut, maka pada tahun 1910 diadakan konperensi internasional (The International Conference on Air Navigation) di kota Paris (Perancis) yang hanya dihadiri oleh 3 negara yaitu negara Inggris, Jerman dan Perancis.
Delegasi negara Inggris mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang ada diatasnya, delegasi negara Jerman mengusulkan bahwa negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang dapat dikuasainya, sedangkan delegasi negara Perancis mengusulkan bahwa ruang udara adalah bebas dengan memperhatikan akan kepentingan keamanan negara, penduduk dan harta benda, maka apabila dilihat usulan-usulan seperti tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tidak adanya keseragaman pendapat di antara ke tiga negara yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa konperensi tersebut mengalami kegagalan. Pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919 disebutkan bahwa setiap negara anggota mengakui hak kedaulatan lengkap dan eksklusip di ruang udara di atas wilayahnya baik di darat, laut wilayah maupun di negara kolonial (jajahan) nya.
Konvensi ini mengalami kegagalan juga, karena belum mencapai jumlah ratifikasi seperti yang ditentukan, dan ini juga dikarenakan hanya negara-negara anggota Konvensi Paris 1919 saja yang diakui wilayah di ruang udara, sedangkan bagi negara-negara yang bukan anggota konvensi ini tidak diakui memiliki wilayah di ruang udara. Untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur mengenai kedaulatan negara di ruang udara, maka pada tahun 1929 American Comunication Beaureau mengadakan pertemuan dan menghasilkan suatu kesepakatan bahwa mengakui setiap negara memiliki wilayah di ruang udara yang ada diatasnya.
Dengan adanya kesepakatan ini menyebabkan semua negara di dunia merasa memiliki kedaulatan di ruang udara, dan menjadikan ajaran Paul Fauchille dan Westlake sepenuhnya tidak dapat dipertahankan, karena setiap negara memiliki kedaulatan mutlak di ruang udara dengan memberikan kebebasan penerbangan. Pada tahun 1944 diadakan konperensi internasional di kota Chicago (Amerika Serikat).
1. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA HORISONTAL
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line).
Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara.
Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.
2. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA VERTIKAL
Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal masih tetap menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa sarjana terkemuka khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat) yang mungkin dapat digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah sama dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah 60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi sebuah pesawat udara konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.
Pendapat Priyatna Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa “T.N.I.- A.U. selaku penegak kedaulatan negara di udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional ………. dstnya”. Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa) termasuk G.S.O. (Geo Stationer Orbit).
Dengan demikian pada waktu itu negara Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut pendapat Beaumont dan Showcross.
Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan batas ketinggian wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari permukaan laut. Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa “batas wilayah negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Geneva 1944 sehingga kita menganut pemahaman bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya, dan tidak dikenal adanya hak lintas damai.
Dengan demikian dapat dibayangkan betapa berat tugas dan tanggung jawab TNI Angkatan Udara, yang harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di udara. Menjadi lebih rumit lagi tugas ini karena ada sebagian wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia yang berstatus sebagai wilayah yang Indonesia tidak memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif, yaitu wilayah udara yang berada di bawah pengaturan Flight Information Region (FIR) Singapura.
Di wilayah udara kedaulatan RI inilah semua pengaturan penerbangan berada di bawah otoritas Singapura. Sungguh merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Ditambah lagi karena sudah berlangsung puluhan tahun, sering kali otoritas pengatur lalu lintas udara Singapura bertindak berlebihan dalam mengatur pesawat Indonesia di atas wilayah Indonesia sendiri dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (yang sebenarnya adalah bisnis penerbangan) di Bandara Changi untuk kepentingan Singapura sendiri. Semua penerbang Indonesia yang pernah atau sering melaksanakan tugasnya di wilayah ini pasti merasakan kejanggalan yang sangat tidak mengenakkan ini. Bergerak di rumah sendiri, tetapi harus mendapat izin dan diatur mutlak oleh tetangganya, dengan rumah yang jauh lebih kecil atau dari paviliunnya.














.