Pemilihan umum merupakan sarana untuk menegakkan demokrasi. Dengan melalui pemilu rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak enam kali sebagai berikut.
1. Pemilu Tahun 1971 (3 Juli 1971)
Pada pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan pada pemilu 1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
Pada pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak menggunakan hak pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.
Pemerintahan Orde Baru setelah pemilu 1971 melakukan penyederhanaan jumlah partai dengan tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan (fusi). Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan ideologi, tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial politik sebagai berikut.
a. PPP, merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti.
b. PDI, merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
c. Golkar.
2. Pemilu Tahun 1977 (2 Mei 1977)
Pada pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI. Pemilu ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99 kursi, dan PDI memperoleh 29 kursi.
3. Pemilu Tahun 1982 (4 Mei 1982)
Pada pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
4. Pemilu Tahun 1987 (23 April 1987)
Pada pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi), sedangkan Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
5. Pemilu Tahun 1992 (9 Juni 1992)
Pada pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6. Pemilu Tahun 1997 (29 Mei 1997)
Hasil pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27 kursi, dan PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.
Penyelenggaraan pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang sebenarnya terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta tertentu, yaitu Golkar.
Dengan kemenangan Golkar yang selalu mencolok itu menguntungkan pemerintah. Golkar menguasai suara di MPR dan DPR dan itulah yang memungkinkan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Hal itu pula yang menyebabkan pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.