Makalah Hadis Ahad
A. Pendahuluan
Kita telah melihat bahwa meskipun para imam Mazhab besar semuanya sepakat mengenai pentingnya empat prinsip dasar hukum Islam (al-Quran, Sunnah, ijma’ dan Qiyas), perbedaan-perbedaan tertentu masih terjadi dan tetap dalam ketentuan-ketentuan hukum mazhab-mazhab mereka. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul kerena alasan yang beragam, dan alasan utama terkait dengan aspek-aspek interpretasi makna kata, susunan gramatikal. riwayat hadis yang meliputi keberadaan, kesahihan, syarat-syarat penerimaannya dan interpretasi atas teks-teks hadis yang berbeda sumber periwayatannya.
Berdasarkan deskipsi di atas, penulis ingin membahas serta mengkaji secara global klasifikasi hadis, defenisi dan jenis-jenis hadis ahad dan keterkaitannya, serta melihat bagaimana pendapat para Imam Mazhab dalam menyingkap qiyas dan relevansinya terhadap hadis ahad dan keberadaan masing-masing.
B. Klasifikasi Hadis, Defenisi Serta jenis-jenisnya.
Klasifikasi hadis berdasarkan jumlah perawi, dapat dikelompokkan kepada dua, yaitu: Hadis Mutawātir dan hadis ahad.1 Sementara di antara Ulama Hadis, ada yang membagi menjadi tiga, yaitu: Hadis Mutawatir, Hadis Masyhur dan hadis Ahad.2 Pada sesen ini penulis khusus membicarakan tentang hadis ahad. Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.3 Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
هو ما لم يجمع شروط المتواتر.
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun Hadis Masyhur. Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalh defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
Adapun jenis-jenis Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz dan Gharib.
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
ما رواه ثلا ثة – في كل طبقة – ما لم يبلغ حدّ التواتر.
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.
Menurut Ibnu Hajar, Hadis Masyhur adalah:
المشهور ما له طرق محصورة باكثر من ا ثنين ولم يبلغ حدّ التواتر.
“Masyhur adalah Hadis yang memiliki jalan yang terbatas, yaitu lebih dari dua namun tidak sampai ke derajat Mutawatir”.
Di samping itu juga ada istilah lain yang sering disamakan dengan Masyhur, yaitu al- Mustafidh. Dimana al-Mustafidh secara bahasa adalah isim fa’il dari istifadha, berasal dari kata fadha, yang berarti “melimpah”. Para Ulama Hadis berbeda pendapat delam memberikan defenisi al-Mustafidh kepada tiga, antara lain:
1. Sama pengertiannya (muradif) dengan Masyhur.
2. Lebih khusus pengertiannya dari masyhur, karena pada Mustafidh disyaratkan kedua sisi sanadnya harus sama, sedangkan pada Masyhur tidak disyaratkan demekian.
3. Lebih luas dari Masyhur, yaitu kebalikan dari pengertian nomor (2) di atas.
Hukum Hadis Masyhur tidak ada hubungannnya dengan shahih atau tidaknya suatu hadis, karena di antara Hadis Masyhur terdapat hadis yang mempunyai status Shahih, Hasan atau Dha’if dan bahkan ada yang Maudhu’. Akan tetapi, apabila suatu hadis masyhur tersebut berstatus shahih, maka hadis masyhur tersebut hukumnya lebih kuat daripada Hadis ‘Aziz dan Gharib.4
Selain Hadis Masyhur yang dikenal secara khusus di kalangan Ulama Hadis, sebagaimana yang telah dikemukakan definisinya di atas dan disebut dengan al-Masyhur al-Ishthilahi, juga terdapat Hadis Masyhur yang dikenal di kalangan ulama lain selain ulama Hadis dan di kalangan umat secara umum. Hadis Masyhur dalam bentuk yang terakhir ini disebut dengan al-Masyhur Ghair Ishthilahi yang mencakup hadis-hadis yang sanad-nya terdiri dari satu orang perawi atau lebih pada setiap tingkatannya, atau bahkan yang tidak mempunyai sanad sama sekali.
Dengan demikian, Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih. Contohnya hadis yang berasal dari Anas r.a., dia berkata:
انّ رسول اﷲ صلى اﷲ عليه وسلم قنت بعد الركوع يدعو على رعلٍ وذكوانٍ.
(رواه البخا رى و مسلم )
(رواه البخا رى و مسلم )
Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan Muslim).
(2). Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
أبغض الحلا ل الى اﷲ الطلا ق.} رواه ابو داود وابن ما جه{
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Figh, contohnya:
رفع عن أمتي الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه.} رواه ابن ما جه {
“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan kalangan awam, seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسا نه ويد ه, والمها جر من هجر ما حرّم اﷲ .
}رواه البخا رى و مسلم {
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:
نعم العبد صهيب.
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
العجلة من ا لشيطا ن. } رواه الترمذي {
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.5
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
Contoh Hadis ’Aziz adalah:
ما رواه البخاري عن ابي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ اليه من والده ولده .
“Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hadis Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu sehingga aku lebih dicintainya dari orang tuanya dan anaknya”.
Hadis tersebut di atas diriwayatkan dari Abu Hurairah dan juga Anas, dan dari Anas oleh Qatadah dan ’Abd al-Aziz ibn Shuhaib, dan diriwayatkan dari Qatadah oleh Syu’bah dan Sa’id, dan diriwayatkan dari ’Abd al- ’Aziz oleh Isma’il ibn ’Aliyah dan ’Abu al- Waris. Dan diriwayatkan dari masing-masingnya oleh sekelpmpok (banyak) perawi.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد بروايته راو واحد.
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan Hadis Gharib.
Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:
ما ينفرد بروايته شخص واحد في أصل سنده .
“Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”7
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:
إنما اﻷعمال بالنّيا ت( أخرجه الشيخا ن)
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:
هو ما كا نت الغرابه في أثنا ء سنده.
“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه و سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر ( أخرجه الشيخان )
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).
C. Pendapat para imam Mazhab tentang beramal dengan Khabar wahid dan Qiyas menurut Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah.
Perbedaan Khabar Wahid dan Qiyas kerap terjadi pada beberapa segi, apabila hal tersebut terjadi, maka timbul pertanyaan, apakah didahulukan Khabar atau Qiyas atau sebaliknya.?
Para Ahli Ushul memandang beberapa perbedaan antara kedua istilah itu dari sudut pandang mereka masing-masing dalam masalah yang bersifat furu’, baik itu sebelum perbedaan itu timbul, dan juga dapat dilihat dari sudut susunannya. Semestinya kita harus mengetahui topik atau sasaran dari sudut perbedaan tersebut.
Para Pakar Ushul memiliki persepsi dan pendapat mengenai penjelasan perbedaan pada masalah Hadis Ahad dan Qiyas, di mana perjelasan tersebut bersifat umum dan tidak terikat, Abu Husein al-Bisri berkomentar pada perbincangan tentang hal itu di mana; sesungguh Qiyas dapat menerangkan Khabar Wahid, apabila ’illat (dalil Qiyas itu berupa nash yang qath’i, sedangkan Hadis Ahad berupa nash yang dhanni). Melihat ondisi demikian, maka wajib beramal dengan Qiyas tanpa adanya perbedaan sama sekali, sebab nash yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu dalil hukum, maka Hadis Ahad menjadi lemah kedudukannya, sebab nash yang dijadikan dasar hukum merupakan dalil yang dhanni. Jika seandainya ini menjadi barometer dalam penentuan hukum secara benar, maka yang diakui adalah Qiyas yang merupakan dasar pertama. Ini disebabkan dalil yang dipergunakan adalah dali yang bersifat hukum secara jelas dan akurat tanpa ada faktor-faktor lainnya.
Setiap dugaan terdapat kemunginan walau sedikit yang dapat dijadikan pelajaran dalam istilah Hadis, dan jika dalam menentukan suatu formulasi hukum dalail-dalil yang diambil adalah nash-nash qath’i, maka Khabar dapat menjelaskan kedudukan Qiyas sebagai Hadis Ahad, dan ini menjadi masalah perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Al-Amidiy secara bebas menerangkan hal-hal yang menjadi perbedaan dengan berkata: bahwa yang masyhur mengenai hal tersebut sebagaimana disebutkan baik matan itu qath’i, atau dhanni, maka jika matannya qath’i sesuai dengan nash dalam menetapkan hukum, maka dalilnya adalah Qiyas. Seandainya tidak qath’i , maka ia sama dengan dalil-dalil dari Hadis Ahad walaupun rajih atau marjuh. Selanjutnya beliau mengatakan apabila terdapat suatu dalil yang menunjukkan pada pengistimbatan hukum, maka Hadis didahulukan atas Qiyas secara muthlak.
Para Ulama Mazhab terjadi perbedaan persepsi dalam memandang kehujjahan dari setiap yang terjadi di antara mereka, antara lain:
1. Menurut pendapat Imam Syafi’i , Ahmad bin Hambal dan Jumhur Para Imam Hadis kepada tarjihnya suatu hadis terhadap qiyas sama-sama berdasarkan kreteria perawi baik ia seorang yang ’alim atau seorang faqih atau belum memenuhi ciri-ciri tersebut, di mana kesemua itu dengan syarat ’adil dan dhabit. Syeikh Abu Hasan al-Kharakhie dari Mazhab Hanafi mendukung mazhab ini. Adapun alasan mereka, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Mu’adz, maka Rasulullah berkata “ Wahai Mu’adz dengan apa engkau memutuskan suatu perkara, maka Mu’adz menjawab : dengan al-Qur’an lantas kemudian beliau bertanya, jika tidak dijumpai dalam al-Qur’an, maka Mu’adz menjawab dengan Hadis Rasulullah SAW, seandainya tidak ada dalam Hadis, maka ia menjawab: saya berijtihad dengan pendapatku sungguh selanjutnya beramal dengan Qiyas yang sesuai dengan Sunnah baik itu mutawatir ataupun Ahad. Kemudian Rasulullah membenarkan hal demikian.
2. Menurut pendapat Isya bin Aban, bahwa seorang perawi harus dhabit dan ’alim dan tidak cacat, maka wajib mendahulukan qiyas dan ini memerlukan ijtihad. Sedangkan menurut perkataan para Ulama Hanafiyah bahwa tidak wajib beramal dengan Hadis Ahad apabila terdapat perbedaan pendapat dengan Qiyas, jka perawinya tidak faqih. Al-Badzdhawi dalam ushulnya berkata: Adapun periwayatan suatu Hadis, seorang perawi harus terkenal dengan keadilan serta kedhabitannya, seperti Abi Hurairah, Anas bin Malik, jika bersepakat untuk Qiyas, maka kita wajib beramal dengannya. Para Sahabat mereka mendahulukan Qiyas daripada Hadis Ahad, Ibnu Abbas tatkala mendengar perkataan dari Abi Hurairah pada masalah wudhu’, beliau tidak menolaknya dan tidak beramal dengannnya. Dan ia berkata jikalau berwudhu’ dengan air yang terdapat di suatu piring, maka itu termasuk wudhu’ di antaranya.
3. Imam Malik berpendapat bahwa ia mendahulukan Qiyas atas Hadis Ahad secara muthlak. Inilah yang ditegaskan oleh beliau, kecuali orang yang mengambil nash-nash yang bersifat qaht’i dan mereka mengatakan bahwa pendapat tersebut menjadi batal karena terdapat kesalahan yang besar, dan sesungguhnya menegaskan pendapat ini dengan mengatakan bahwa tidak mengetahui pendapat tersebut secara detail.
Khabar Wahid dapat diterima pada hal-hal yang bersifat umum. Keberadaan Hadis Ahad pada suatu keputusan terhadap apa yang umum dan kerap terjadi antar manusia secara kebiasaan, maka timbul pertanyaan, apakah hal itu membutuhkan kepada Hadis Ahad atau sebaliknya.
Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul, seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan para Ulama Hadis memandang bahwa diterimanya hdis tersebut jika keberadaan sanad-nya shahih. Abu Hasan al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan ulama Mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah menolak hadis tersebut dan tidak beramal dengannya.
Orang-orang yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadis Ahad tersebut meliputi beberapa unsur, antara lain:
1. Harus mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadis secara muthlak, baik dari segi perbedaan dalam kontks umum atau tidak.
2. Menurut kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadis Ahad selama dalam pembahasan universal. Seperti; yang diriwayatkan oleh ibn ’Umar, sesungghnya ia berkata: sebagaimana kami saling mengkhabarkan selama 40 tahun, dan kami beranggapan tidak mengapa bermasalah. Sehingga Rafi’ bin Khadij telah meriwayatkan kepada kami, bahwa Nabi SAW melarang tentang itu, maka kamipun berhenti. Di antara itu pula, para sahabat setelah terjadi perbedaan pendapat antara mereka dalam hal wajib mandi, jika bertemu dua kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadis ’Aisyah r.a. : Apabila bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan keluar ataupun tidak, adapun dasarnya saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami mandi bersama.
3. Hal-hal yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadis harus mempunyai kreteria ’adil dan shiqat. Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa yang memungkinkan kebenaran tentang sasaran suatu hadis tersebut. Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran yang bersifat dhanni, maka itu merupakan pembenaran yang muthlak; seperti berita yang menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu diterima di dalam Hadis Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.
Eksistensi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait pada hal-hal yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’ dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar (terang) pada waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantaranya, keberadaan Rukyah Hilal di bulan Ramadhan dan sebagainya.
Beramal terhadap perawi dengan perbedaan apa yang diriwayatkan merupakan perbincangan dari segolongan orang yang mengatasnamakan “ingkar rawi” baik sebelum diriwayatkan ataupun sesudah meriwayatkan suatu hadis. Adapun jika beramal sebelum riyawat hadis, maka itu tidak ada perbedaan pendapat, tetapi harus dapat menerangkan kerajuhan suatu hadis sesudah periwayatannya. Imam asy- Syafi’I mendukung pendapat tersebut jika kehujjahan suatu hadis itu diidentikan dari sahabat, baik melalui perkataannya maupun perbuatannya. Sedangkan menurut orang yang tidak mendukung masalah ini beranggapan bahwa hal tersebut menjadi batal, karena aspek meremehkan, melalaikan, kelupaan dan sebagainya. Jelasnya mereka menolak diterima suatu riwayat tersebut. Adapun dampak yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, seperti yang terdapat dalam hal furu’, di antaranya : mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan mengangkat diantanya, nikah tanpa wali, keberadaan para saksi dan sumpah dalam persoalan harta, radha’ah dan sebagainya.
D. Penutup
a. Kesimpulan.
1. Hadis Ahad adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun Hadis Masyhur menurut ’Ajjaj al-Khathib. Sedangkan Jumhur Ulama Hadis mengelompokkan Hadis Masyhur kepada Hadis Ahad.
2. Di kalangan Ulama Hanafiyah. Hadis Ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi karena kedudukannya tidak sampai kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang menolaknya atau tidak beramal dengannya.
3. menyangkut hal-hal yang bersifat umum, Imam asy- Syafi’I dan Para Ulama Ushul berpendapat bahwa boleh beramal selama sanad-nya shahih.
b. Saran-saran
kontribusi positif terhadap pengembangan makalah sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
al- Khathib, ‘Ajjaj M. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.
al- Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.
al- Khinn, Mustafa. Remume dari Kitab ‘Asar al- Ikhtilaf fi al- Qawa’id al-‘Ushulliyah. Cet. 2 Beirut: Mu’assah al- Risalah, 1981.
1 Para Ulama yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua katagori, yaitu: Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Lihat Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits (Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M), h. 18.
2 M. ‘Ajjaj al- Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 30.
3 Al-Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits. h. 19.
4 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 210.
5 Al- Thahhan, Taisir Musthalah al- Hadits, h. 25.
6Ibid, h. 26
7 Asal sanad adalah bagian (tingkatan) sanad yang padanya adalah sahabat. Apabila menyendiri seorang sahabat dalam meriwayatkan suatu hadis, maka hadis tersebut dinamai Gharib Muthlaq. Lihat Ibid, h. 28.