Makalah Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Nilainya
Oleh Ismawati Saragih
Bab I
Pendahuluan
Hadis sebagai sumber kedua hukum Islam, memiliki fungsi yang besar. Salah satunya sebagai al bayan Alquran. Namun bukan berarti seluruh hadis yang ada dapat dujadikakn sebagai sumber penetapan hukum. Sebab untuk hal tersebut, diperlukan peninjauan yang lebih dalam, untuk menentukan layak atau tidaknya, hadis tersebut digunakan sebagai sumber penetapan hukum.
Secara garis besar, hadis terbagi pada dua bentuk, yakni hadis yang diterima dan hadis yang ditolak. Sedangkan para ahli hadis membaginya dalam tiga bagian, yakni hadis Sahih, hadis Hasan dan hadis da’if. Pada makalah ini, akan dibahas pembagian hadis tersebut. Adapun yang menjadi sub pembaHasan antara lain pengertian Mutawatir, Sahih, Hasan, da’if, Maudu’ dan sekilas tentang Inkar Sunnah serta hukumnya. Kemudian diakhiri dengan penutup.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti datang berikut dengan kita, atau yang beriring-iringan antara satu dengan lainnya dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan Mutawatir secara istilah, terdapat beberapa defenisi, antara lain menyebutkan: “Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta (jumlah yang banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya”.1
Hasbi as Siddiqi dalam buku Ilmu Mustalah al Hadis mnedefenisikan hadis Mutawatir sebagai berikut: “Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indera oleh orang banyak yang jumlahnya menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta”.2
Berdasarkan kedua defenisi diatas, terlihat ada beberapa hal yang disyaratkan pada hadis Mutawatir, yakni harus diriwayatkan oleh banyak orang, harus diterima oleh banyak orang juga3, agar terhindar dari kedustaan dan diperoleh dari hasil pengamatan panca indera, bukan hasil penafsiran.
Hadis Mutawatir masih dibedakan dalam beberapa bagian, ada yang mengatakan terbagi pada dua bagian, dan ada yang berpendapat terbagi pada tiga bagian, yakni Mutawatir lafzi4, Mutawatir ma’nawi5 dan Mutawatir ‘amali6.
Keberadaan hadis Mutawatir mengharuskan kita untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis Mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinaan yang pasti. Seperti yang dikatakan Ibn Taimiyah, “Barangsiapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadis Mutawatir yang disepakati oleh para ulama”7.
Berbeda dengan Ibn Taimiyah, al Nizam (dari Mu’tazilah) memperbolehkan mendustakan hadis Mutawatir, karena adanya kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hadis tersebut. Berdasarkan pemikiran mereka tentang kelayakan dan kemampuan akal untuk menghapus hadis, maka mengingkari hadis Mutawatir tidak dianggap sesuatu yang aneh, meskipun merupakan ijma’. Menurut mereka mungkin saja umat bersepakat dalam kesesatan.8
Oleh karena itu Mu’tazilah memberikan syarat agar hadis Mutawatir bisa diterima, yakni adanya Ahl Jannah (wali Allah yang terjaga dari dusta) dalam salah satu perawinya. Namun menurut penulis dengan adanya persyaratan yang begitu ketat yang diberikan para ulama hadis, tidak mungkin mereka sepakat untuk melakukan dusta. Penambahan harus adanya Ahl Jannah pada salah satu perawinya akan menimbulkan masalah yang baru dan tentunya akan sulit menentukan siapa saja yang dapat disebut sebagai Ahl Jannah. Karena tiap golongan pasti akan berbeda dalam menilai perawi yang pantas disebut sebagai Ahl Jannah.
B. Pengertian Hadis Sahih
Kata Sahih menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang sempurna. Maka kata hadis Sahih secara bahasa berarti hadis yang sah, hadis yang sehat atau hadis yang selamat9. Menurut para Muhadisin, hadis Sahih adalah hadis yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal10.
Selain defenisi diatas masih banyak lagi defenisi-defenisi yang dikemukakan para ulama mutaakhirin secara konkrit. Seperti yang dinyatakan oleh as Suyuti secara ringkas, yakni hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak berillat11.
Hadis Sahih juga bisa disebut hadis garib12 atau hadis mashur13. Para ahli hadis juga membedakan hadis Sahih pada beberapa tingkatan (derajat) dalam keSahihan. Seperti yang telah dilakukan oleh Imam an Nawawi, membagi hadis Sahih pada tujuh bagian14:
Yang paling tinggi adalah yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
Yang diriwayatkan sendiri oleh Imam Bukhari.
Yang diriwayatkan sendiri oleh Imam Muslim.
Yang atas syarat kedua Imam tersebut, sekalipun mereka tidak mengeluarkannya.
Yang atas syarat Imam Bukhari.
Yang atas syarat Imam Muslim.
Yang dianggap Sahih oleh Imam-imam yang lain.
Para ulama hadis juga membagi hadis Sahih pada dua bagian, yaitu Sahih li zatihi dan Sahih li gairihi, perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada Sahih li zatihi ingatan perawinya sempurba, sedang pada Sahih li gairihi, ingatan perawinya kurang sempurna15. Para ulama hadis dan sebagian ulama fiqh serta usul fiqh, sepakat menjadikan hadis ini sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya16.
C. Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa hadis Hasan berarti hadis yang baik, atau yang sesuai dengan keinginan jiwa. Sedangkan secara istilah, hadis Hasan memiliki berbagai macam defenisi yang diberikan ulama hadis17. seperti defenisi yang diberikan Turmuzi:
“Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”18.
Dari defenisi yang ada, dapat dikatakan bahwa hadis Hasan hampir sama dengan hadis Sahih. Hanya saja terdapat perbedaan dalam ingatan perawinya. Pada hadis Sahih ingatan atau daya hafalannya harus sempurna, sedang pada hadis Hasan, ingatan atau daya hapalannya kurang sempurna.
Seperti hadis-hadis lainnya, hadis Hasan juga masih terbagi. Yakni Hasan li zatihi dan Hasan li gairih19i. Untuk keduanya telah disepakati untuk dapat dijadikan hujjah.
D. Pengertian Hadis Da’if
Daif secara bahasa berarti lemah. Maka hadis Daif berarti hadis yang lemah. Sedangkan secara istilah an Nawawi mengungkapkannya sebagai hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis Sahih dan syarat-syarat hadis Hasan. Secara lebih sederhana Nur ad Din ‘Atr menegaskan sebagai hadis yang hilang salah satu sayarat dari syarat-syarat hadis Maqbul (hadis yang Sahih atau hadis yang Hasan)20. Meskipun setiap ulama memberikan defenisi yang berbeda, namun maksudnya tetap sama.
Kedaifan atau kelemahan suatu hadis biasanya terjadi pada sanad atau matannya.21 Para Muhaddisun juga membagi hadis ini pada beberapa bentuk. Diantara bentuk-bentuk tersebut antara lain22:
Hadis Mursal.
Hadis Munqati’.
Hadis Mu’adal.
Hadis Mudallas.
Hadis Mu’allal.
Hadis Mudtarab.
Hadis Maqlub.
Hadis Syadz.
E. Pengertian Hadis Maudu’
Maudu’ menurut bahasa berarti mengada-ada, menyimpan dan ditinggalkan. Sedangkan hadis Maudu’ menurut istilah ahli hadis adalah hadis yang dibuat-buat oleh para pendusta dan mereka menyandarkannya kepada Rasulullah saw.23. bahkan ada ulama yang menambahkan bukan hanya hadis yang disandarkan kepada Rasul saw. tetapi juga kepada sahabat dan tabiin24
Mengenai kapan munculnya hadis palsu ini, ada yang menyebutkan sejak masa Rasul saw., ada yang menyebutkan sejak tahun 40 Hijriah25. Kemunculan hadis palsu ini juga didorong oleh beberapa motif, antara lain:26
- Pertentangan politik antara Ali dan Mu’awiyah.
- Usaha kaum zindiq untuk menghancurkan Islam.
- Sikap Fanatik terhadap satu golongan.
- Untuk menarik simpati kaum awam.
- Perselisihan dalam fiqh dan ilmu kalalm.
- Membangkitkan gairah beribadah tanpa mengerti apa yang dilakukan.
- Penjilat Penguasa.
- Untuk mengetahui hadis Maudu’, dapat memperhatikan pada beberapa hal, antara lain:
- Atas dasar pengakuan para pembuatnya.
- Maknanya rusak.
- Matannya bertentangan dengan akal sehat.
- Matannya bertentangan dengan Alquran.
- Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara yang kecil.
- Perawinya dikenal sebagai seorang pendusta.
F. Inkar Sunnah dan Hukumnya
Ingkar sunnah adalah suatu paham atau pendapat yang timbul dari sebagian kecil kaum muslimin yang menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam. Menurut Imam Syafi’i, kelompok Inkar Sunnah muncul dipenghujung abad kedua atau awal abad ketiga hijriah. Mereka terdiri dari tiga kelompok:
Menolak hadis-hadis rasul sebagai hujjah secara keseluruhan. Alasannya:
Alquran yang diturunkan dalam bahasa Arab, tentu dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, maka dapat dipahami dengan baik tanpa bantuan hadis. Alquran adalah penjelas segala sesuatu (Q.S. 16:89). Nilai kebenaran hadis adalah zanni. Sesuatu yang zanni tidak dapat dijadikan penjelas bagi yang qat’i (Alquran).
Menolak hadis-hadis Rasul saw. yang kandungannya tidak disebutkan dalam Alquran, baik secara implisit maupun eksplisit. Artinya hadis tidak mempunyai otoritas untuk menentukan hukum baru, diluar yang disinggung Alquran. Menerima hadis-hadis Mutawatir sebagai hujjah dan menolak kehujjahan hadis-hadis ahad.
Menanggapi beberapa argumen Inkar Sunnah tersebut, Imam Syafi’i memberikan jawaban :28
Keotoritasan hadis sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua adalah ayat Alquran sendiri. Banyak ayat yang mengatakan agar umat Islam mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Dengan menguasai bahasa Arab maka orang akan tahu bahwa Alquranlah yang memerintahkan mereka untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. Alquran banyak mengandung ayat yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan. Disinilah hadis Rasul saw berfungsi.
Argumen Imam Syafi’i tersebut telah mampu membendung gerakan Inkar Sunnah dalam kurun waktu yang panjang, meskipun tidak teridentifikasi siapa mereka29, tidak seperti halnya tokoh Inkar Sunnah modern30. Penolakan golongan ini, terhadap sunnah, baik yang berupa ucapan maupun Nabi saw. adalah benar-benar kafir. Penolakan terhadap hadis sama artinya menolak Alquran. Karena Allah dengan tegas menyerukan pada hamba-Nya untuk mengikuti dan mentaati sunnah Nabi Muhammad saw.
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah….”31
Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda:
“Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Alquran dan Hadis”. (Diriwayatkan oleh Malik secara Mursal dan Hakim dengan sanad yang bersambung dan mensahihkannya)32.
Begitu banyak firman Allah maupun hadis Rasul yang menegaskan kewajiban mengakui dan mengikuti sunnah Rasul saw. sebagai pembawa kitab Alquran. Menanggapi hadirnya golongan ini, tidak hanya para ulama yang beraksi keras, namun pemerintah juga ikut turun tangan. Contohnya di Indonesia, munculnya tokoh-tokoh seperti Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad, membuat pemerintahan Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/J.A/1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan aliran ini di Indonesia.
Bab III
Penutup
Secara umum, hadis terbagi pada dua bentuk, yakni hadis yang diterima dan hadis yang ditolak. Untuk hadis yang diterima para ulama masih membedakannya dalam beberapa istilah. Namun demikian mereka tetap sepakat dapat menjadikan hadis-hadis tersebut sebagai hujjah hukum. Sedangkan hadis yang ditolak, meskipun telah nyata penolakannya, namun para ulama masih membedakan hadis tersebut pada beberapa bentuk.
Hadis Maudu’ sebagai hadis yang ditolak dan dinilai sangat berbahaya, membuat para ahli hadis menetapkan beberapa hal yang perlu dicermati pada sebuah hadis. Agar lebih cepat diketahui kalau hadis itu adalah palsu. Selain munculnya para pembuat hadis palsu dalam sejarah Islam, diakhir abad kedua hijriah muncul para pengingkar sunnah. Reaksi keras menanggapi aliran ini tidak saja muncul dikalangan ulama, namun juga dikalangan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
- Al Albani, Muhammad Nairuddin. Al hadis Hujjatun bi Nafsihi Fil ‘Aqidah wal Ahkami, terj. Muhammad Irfan Zein. Hadis Sebagai Landasan Akidah dan Hukum. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
- Ambary, Hasan Mu’arif (ed). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003.
- Husain, Abu Lubabah. Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
- Al Khatib, Ajjaj. Usul al Hadis;Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al Fikr, 1981.
- Rahman, Fatur. Ikhtisar Mustalahul Hadis. Yogyakarta: al Ma’arif, 1987.
- Rahman, Zufran. Kajian Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam (Jawaban Terhadap Aliran Inkar Sunnah). Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
- As Salih, Subhi. Ulum al Hadis wa Mustalahuh. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
- Suparta, Munzier (ed). Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
____________________
1 Ajjaj al Katib, Usul al Hadis: ‘Ulumun wa Mustalahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1981), h.301.
2 Munzier Suparta, ed. Al, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.82.
3 Mengenai jumlah orangnya, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. Al Qadi al Baqillani menetapkan sekurang-kurangnya lima orang. Astikhari menetapkan minimal sepuluh orang. Bahkan ada yang menetapkan hingga tujuh puluh orang, hal ini menurut mereka berdasarkan firman Allah Q.S al A’raaf: 155.
4 Mutawatir lafzi adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak para rawi sejak awal sampai akhir sanadnya, dengan memakai lafaz yang sama. Menurut para ulama, hadis ini sangat sedikit sehingga sukar dikemukakan contohnya. Bahkan Ibn Hibban mengatakan kalau hadis ini tidak diperoleh.
5 Mutawatir ma’nawi adalah hadis yang periwayatannya disepakati maknanya, tetapi lafaznya tidak. Untuk hadis ini, banyak contoh yang dapat diberikan,salah satunya hadis tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Meskipun redaksi hadis tentang itu berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi saw. mengangkat tangan ketika berdoa.
6 Mutawatir ‘Amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi saw. menyuruhnya , mengerjakannya atau selain dari itu. Contoh hadis mutawatir ‘amali juga banyak, seperti hadis yang menerangkan waktu salat, rakaat salat, pelaksanaan haji, kadar zakat dan lain sebagainya.
7 Munzier, Ilmu, h. 92.
8 Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h.76.
9 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Media Pratama, 1996), h.155.
10 Fatur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis (Yogyakarta: al Ma’arif, 1987), h. 95.
11 Munzier, Ilmu, h.112.
12 Jika ia hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi yang terpercaya. Sehingga kadang-kadang garib dalam matannya, dan kadang-kadang dalam isnadnya.
13 Jika diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih dari guru yang terpercaya.
14 Subhi as Salih, MembahasUlum al Hadis wa Mustalahuh, terj. Tim Pustaka Firdaus, Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.139.
15 Munzier, Ilmu, h.116. contoh hadis Sahih li gairi seperti hadis yang diriwayatkan oleh Turmuzi melalui jalur Muhammad Ibn ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada tiap kali hendak melaksanakan salat”. Menurut Ibn as Salah, Muhammad Ibn ‘Amr terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi kedabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ketingkat hasan. Namun hadis ini juga diriwayatkan oleh al Bukhari melalui jalur A’raj dari Abu Hurairah yang hadisnya dinilai Sahih. Oleh karena itu, hadis yang diriwayatkan Turmuzi tersebut naik menjadi Sahih li gairi.
16 Kesepakatan ini dalam hal yang berkaitan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, bukan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
17 Perbedaan ini terjadi karena penggolongan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi antara hadis Sahih dan hadis daif.
18 Utang, Ilmu, h.170.
19 Pengertian hasan li zatihi sama seperti pengertian hadis hasan yang dijelaskan diatas, sedangkan hasan li gairihi adalah hadis yang pada dasarnya hadis daif, tetapi karena adanya sanad atau matan lainnya yang menguatkannya, maka kedudukannya naik menjadi hasan li gairihi.
20 Munzier, Ilmu, h.124
21 Kelemahan sanad terjadi pada persambungan sanadnya atau kualitas siqohnya. Sedangkan kelemahan pada matannya terjadi pada sandaran matannya.
22 Subhi as Salih, Membahas, h.149-188.
23 Ibid.,h.230.
24 Utang, Ilmu, h.188.
25 Pendapat pertama diantaranya dikemukakan oleh Ahmad Amin. Sedangkan pendapat kedua oleh kalangan ahli hadis.
26 Utang, Ilmu, h.101-193.
28 Hasan Muarif Ambary , ed. al, Ensiklopedi Islam (Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.225-226.
29 Menurut Khudari Bek, mereka adalah kalangan teolog Mu’tazilah. Sedangkan menurut Abu Zahra mereka adalah orang-orang zindiq yang lahirnya mengaku Islam tetapi batinnya ingin menghancurkan Islam dan dari kalangan Khawarij.
30 Diantaranya Taufiq Sidqi yang membebaskan gerakan salat. Lalu Rasyad Kahlifa yang menganggap hadis adalah buatan iblis yang dibisikkan kepada Muhammad saw. Bahkan ada pendapat yang menyebutkan bahwa aliran ini dipengaruhi golongan orientalis. Salah satunya HAR Gibb yang mengatakan bahwa kitab suci dan sunnah adalah gabungan ucapan Muhammad selaku utusan Tuhan bukan wahyu.
31 Q.S. An Nisa’:80
32 Muhammad Nasiruddin al Bani, al Hadis Hujjatun Bi Nafsihi Fil ‘Aqiduh Wal Ahkami, terj. Muhammad Irfan Zein, Hadis sebagai Landasan Akidah dan Hukum (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h.51.