Al-ra`yi dan Al-hadis

Al-Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis, dan al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu.  Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah

A. Pendahuluan
Menurut Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada masa tabi’in[1] diperkirakan muncul pada masa awal berdirinya Bani Umayyah dan berakhir pada abad ke II H.[2] Dengan demikian periode inii merupakan masa transisi antara sahabat dengan masa timbulnya Imam-imam mazhab baik dari kalangan sunni dengan tokohnya atau dari kalangan Syi’ah.

Pada priode ini dikenal dua kecenderungan dalam metode pelegislasian hukum Islam, pertama adalah aliran yang cenderung memberikan kelonggaran ketika menetapkan hukum suatu masalah dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua adalah aliran yang cenderung bersifat ketat ketika menetapkan hukum suatu masalah sebab lebih mengedepankan hadis ketimbang penalaran. Kedua kelompok yang berbeda ini dikenal dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadis. Makalah ini akan mencoba memaparkan lebih lanjut tentang faktor-faktor yang melatar belakangi munculnya kedua aliran tersebut, metode istinbat hukun serta tokoh-tokohnya dan sebagainya.

B. Ahl Ra’yi.
1. Latar Belakang Kemunculan.
Ahl Ra’yi merupakan sebutan yang digunakan bagi kelompok yang dalam menetapkan fiqh lebih banyak menggunakan sumber ra’yu atau ijtihad ketimbang hadis. Kelompok ini muncul lebih banyak di wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:[3]
  • Keterikatan yang sanga kuat terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ra’yu.
  • Minimnya mereka menerima hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu jumlahnya yang tidak sedikit.
  • Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.

2. Keitimewaan Ahl Ra’yu
Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu, di antaranya:
  1. Banyaknya hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu. Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang mereka temukan terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulum maju ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqh termasuk dalam melahirkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum terjadi.
  2. Dalam pelegeslasian huku, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi mereka juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi syari’at dengan peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at dipandang sangat cocok dengan akal (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan maslahat kepada manusia.
  3. Seefektifnya mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadis da’if dan maudhu’.
3. Tokoh-Tokohnya.
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah sebagai berikut:[4]


1. Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
2. Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3. al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4. Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5. al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam


Berdasarkan uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian hukum lebih banyak menggunakan ra’yu ketimbang hadis. Bila timbul suatu masalah yang memerlukan jawaban hukum maka mereka terlebih dahulu mencari dalilnya di dalam Alquran. Bila ketentuan hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di dalam hadis, yang dalam hal ini mereka memberikan kriteria yang ketat sehingga sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, meskipun tentu saja tidak berarti bahwa mereka tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang menerangkan masalah tersebut maka mereka menggunakan penalaran, dan penggunaan ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.

Termasuk dari metode penalaran yang mereka gunakan adalah istihsan[5] yaitu suatu metode penetapan hukum Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan arahan utamanya ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi pola istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi berserta murid-muridnya.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi Syuraih agar orang yang diberi amanah untuk menjaga barang titipan memberi ganti rugi bila barang tersebut rusak di tangannya. Padahal menurut hadis nabi bahwa orang yang menjaga amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang titipan rusak di tangannya. Putusan hukum seperti itu yang ditetaokan oleh Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan tetapi beliau memandang perlu menetapkan hukuman agar tidak terjadi peyepelean terhadap amanah yang diberikan kepadanya.[6] Dari kasusu ini jelas bahwa putusan yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan aspek ra’yu ketimbang hadis.


C. Ahl Hadis
1. Latar Belakang Kemunculan.

Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.[7]

Menurut para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:[8]
  • adanya ketertarikan terhadap metode yang digunakan guru-guru mereka terutama Abdullah bin Umar yang sangat kuat berpegang pada hadis.
  • banyaknya hadis yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hiudp pada zaman nabi banyak yang tinggal di Hijaz terutama di Mekkah dan Madinah.
  • gaya hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di wilayah Iraq.
  • masalah-masalah baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini di samping karena penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
2. Keistimewaan.
Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok ahl hadis adalah:[9]
  • Sangat kuat berpegang terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz adalah siqat.
  • Tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena akan mendorong penggunaan ra’yu.
  • Dalam memahami suatu nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak mendiskusikan lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
  • Tidak menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
3. Tokoh-Tokohnya.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang tujuh, yaitu:[10]

1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
4. Metode Legislasi Hukum.

Ahl al-Hadis, sesuai dengan namanya sangat menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu. Setiap permasalahan yang muncul, mereka mencari jawabannya di dalam Alquran, bila tidak diketemukan, lalu mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berupa hadis ahad, dan bila juga tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan fatwa akan tetapi mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah sahabat dan tabi’in terutama pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, maka dilihat siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan pendapat, maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu digunakan dalam keadaan terpaksa bila pada sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya.

D. Penutup
Ahl al-Hadis dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderung dalam metode pelegislasian hukum Islam. Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas dan heteroginitas penduduk yang mendiami tempat tersebut. Ahl Hadis yang berkembang di Hijaz mempunyai banyak sumber hadis karena sahabat yang mendengar nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu, penduduknya juga termasuk homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan. Sedangkan Ahl Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis, baik karena sumbernya atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena banyaknya hadis maudhu’. Iraq juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan berlatar berbagai perdaban, percampuran perdaban inilah yang melahirkan berbagai masalah yang membutuhkan pemecahan hukum.

Meski dikatakan sebagai Ahli Ra’yi, mereka masih menggunakan hadis, perbedaannya dengan Ahl Hadis adalah dalam mendahulukan ra’yu ketimbang hadis ahad yang oleh Ahl Hadis, hadis ahad didahulukan ketimbang ra’yu.
Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahl Hadis adalah:


1. Alquran.
2. Hadis.
3. Ijma’ (konsep ijma’ pada abad II).
4. Hadis Ahad

Sementara sumber hukum Ahl Ra’yi adalah:
  • Alquran,
  • Hadis,
  • Ijma’
  • Ra’yu (Qiyas, Istihsan dan sebagainya).


Daftar Pustaka

  • Ahmad, Abd al-Hay. Syazarat al-Zahab fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I. Kairo: al-Maktabah al-Qudsy, 1350 H.
  • Fath, Ahmad Abu. Kitab al-Mukhtarat al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924.
  • Hanafi, Muhammad al-Husein. al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I. Kairo: an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969.
  • Musa, Muhammad Yusuf. Tarikh Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Kitab, 1958.
  • Qayyim, Ibn. I’lam al-Muwaqqin, jil. I. Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.
  • Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.
  • Syalbi, Yusuf as-Sayyid. Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962.
  • Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jil. I. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.
  • Tim Penulis. Ensiklopedi Islam, jil. V. Jakarta: Ichtiar Baru, 1999.
  • Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
  • Zahrah, Abu. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyat . t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah, 1996.
Lihat Footnote
  • [1] Bila dirunut dari segi etimologi kata “tabi’in” merupakan bentuk jamak dari tabi’ yang artinya yang mengikuti. Sedangkan sebagai istilah berarti orang-orang Islam yang pernah berjumpa dengan sahabat Muhammad saw. Dan meninggal dalam keadaan beriman. Menurut Abu Zahrah bahwa istilah ini diambil dari Alquran surat at-Taubah ayat 100. lihat Ensiklopedi Islam, jil. V(Jakarta: Ichtiar Baru, 1999), lihat juga Abu Zahrah, Muhadarat fi tArikh al-Mazahib al-Fiqhiyat (t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah, 1996), h. 28.
  • [2] Muhammad al-husein Hanafi, al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I (Kairo: an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969), h. 69.
  • [3] Muhammad Ali as-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.), h. 74.
  • [4] Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Fiqh al-Islami (Mesir: Dar al-Kitab, 1958), h. 44-46. lihat juga Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jil. I (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), h. 30, juga Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 32.
  • [5] Ahmad Abu al-Fath, Kitab al-Mukhtarat al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh (Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924), h. 128.
  • [6] Muhammad Yusuf Musa,
  • [7] Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqqin, jil. I (Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.), h. 23.
  • [8] Yusuf as-Sayyid Syalbi, Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962), h. 119.
  • [9] Muhammad Husein Hanafi , al-Madkhal, h. 85.
  • [10] Abd al-Hay bin Ahmad, Syazarat al-Zahab fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I (Kairo: al-Maktabah al-Qudsy, 1350 H), h. 114.













.