Etika dalam kajian filsafat Islam dan Al quran

Etika merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. dalam kajian filsafat dan alquran etika merupakan dasar yang penting untuk di pelajari. oleh karena itu makalah ini secara rinci membahas bagaimana etika dalam pandangan filsafat dan al-quran secara islami.  Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.

Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya.

Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya.

Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.

Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya.

Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebut lebih terasa bermakna.

Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.

Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.

Secara defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk.

Dalam agama Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.

Para filosof muslim awal—dalam kajiannya mengenai etika—apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof adalah akal.[4]


Etika | Moral | Akhlak
Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.

Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya).

Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]

Adapun perkataan akhlak, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[8]

Sementara perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan sudah terlembagakan dalam suatu masyarakat.

Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.

Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.

Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.[9]

Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.

Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[10] Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan.


ETIKA DALAM ALQURAN
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, karena teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus pembahasan ini. Tentunya tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan etika Islam.

Dalam ajaran Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.

Banyak para ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan yang arti asalnya adalah beban.[12]

Term-term di atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.


BEBERAPA MASALAH ETIKA
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan dengan etika, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita melihat konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep etika. Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis.

Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) aliran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap terhadap otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga adalah anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.

Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]

Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikan dan keburukan.

1. Jiwa
Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.[14]

Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.

Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.

Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.

Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]

Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[17]

Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa jiwa merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi daripada semua benda yang ada di alam ini.[18]

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa. Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh yang dipergunakan disebut jantung.[19]

2. Tingkah laku (Akhlak)
Pemikir muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]

Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21] Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis: 
  • perbuatan moral, yang di atas tingkat hewan.
  • perbuatan immoral, yang setingkat dengan hewan.
  • perbuatan antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22] 
Apabila seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral, tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam perbuatan immoral dan antimoral.

Sementara Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebut “perbuatan-perbuatan manusia.”

Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.

Kalau melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.[24]

Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.





3. Baik dan Buruk
Dalam masalah baik dan buruk, Ibnu ‘Arabi menggunakan istilah cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip adalah sumber segala kebaikan dan wujud negatif merupakan basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk karena satu atau beberapa alasan[25], yaitu:
  • karena satu atau lain agama memandangnya demikian.
  • relatif terhadap prinsip etika atau standar kebiasaan yang disahkan oleh kelompok masyarakat.
  • karena hal-hal dan perbuatan itu bertentangan dengan temperamen individual
  • karena hal-hal dan perbuatan itu tidak bisa memuaskan keinginan-keinginan natural, moral atau intelektual dari suatu individu dan sebagainya
  • karena terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori buruk lainnya dari Ibnu ‘Arabi, yaitu kebodohan, kebohongan, ketidak harmonisan, ketidakteraturan, ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di dalam semua itu terdapat kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang apabila ditambahkan pada hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita golongkan buruk, akan berubah menjadi baik. Tak ada yang buruk, semuanya baik. Dengan perkataan lain, apa yang dinamakan buruk itu adalah realitas subyektif, bukan realitas obyektif. Bahkan yang baik itupun apabila dipertentangkan dengan yang buruk akan menjadi subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak adalah wujud murni yaitu Tuhan.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita. Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien tidak mengetahuinya.[26]

Miskawaih berpendapat bahwa kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27] Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, dan lalim.

Manusia berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]

Miskawaih tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan kategori manusia awam dan umum.





Kesimpulan
KESIMPULAN
  • Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
  • Etika Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
  • Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
  • Akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.
  • Kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.

Daftar pustaka
DAFTAR PUSTAKA
  • A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995
  • Ahmad Amin, Ethika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1995
  • Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995
  • Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996
  • Harun Nasution, Filsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
  • Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965
  • Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
  • Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994
  • Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985
  • Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995

Footnote
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15
[2]Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xv
[3] Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18
[4] Ibid., h. xvii
[5] Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13
[6] Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h. 560
[7] Hamzah Ya’kub, Op cit.,
[8] Ibid., h. 11
[9] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147
[10] Ibid.,
[11] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h. 27-28
[12] Madjid, h. 2
[13] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. xix
[14] Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan. (lihat: QS. al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121
[15] Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 1
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126
[17] Hamzah Ya’kub, h. 92
[18] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36
[19] Ibid., h. 43-44
[20] Hamzah Ya’kub., h. 91
[21] Ibid., h. 92
[22] Muthahhari., h. 85
[23] Ahmad Hanafi, h. 159
[24] Ibid.,
[25] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217
[26] Ibid., h. 218
[27] Ibn Miskawaih., h. 40-41
[28] Hamzah Ya’kub., h. 90













.