Makalah Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan merupakan suatu faktor kebutuhan dasar untuk setiap manusia sehingga upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, karena melalui pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu Negara (daerah). Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh fertilitas masyarakat. Pendidikan dapat menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan suatu Negara.

Pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang harus lebih diprioritaskan sejajar dengan investasi modal fisik karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Di mana nilai balik dari investasi pendidikan (return on investment = ROI) tidak dapat langsung dinikmati oleh investor saat ini, melainkan akan dinikmati di masa yang akan datang.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sebenarnya telah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan suatu negara, dengan mengisolasi dua faktor, yaitu; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keahlian dan kualitas manusia. Faktor yang kedua inilah yang sampai saat ini telah menjadi isu utama tentang pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut Solow (1958) juga telah melakukan analisa dari temuannya tentang residual dalam penjelasan mengenai pertumbuhan ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta (1999) juga menjelaskan bahwa residual itu menujukkan tingkat pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi tersebut menunjukkan suatu keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan kesehatan.

Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi.

Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh Al-Samarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia, pemerintah telah melakukan beberapa program antara lain dengan menghapuskan biaya untuk Sekolah Dasar dan memperbesar pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak dari program ini adalah meningkatnya tingkat enrollment rate ratio pendidikan dasar. Namun demikian masalah yang harus diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah adalah distribusi pendidikan yang tidak merata.

Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, pertumbuhan tidak akan bisa tumbuh dengan baik walaupun peningkatan mutu pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jika tidak ada program yang jelas tentang peningkatan mutu pendidikan dan program ekonomi yang jelas.

Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001) menegaskan dari hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial.

Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79.

Namun, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Apabila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.

Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.

Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

Lalu pertanyaannya, apakah ukuran yang dapat menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.

Dari berbagai studi tersebut sangat jelas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui berkembangnya kesempatan untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, dan ketarmpilan, keahlian, serta wawasan mereka agar mampu lebih bekerja secara produktif, baik secara perorangan maupun kelompok. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut.


B. Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

Di Indonesia, pendidikan masih belum mendapatkan tempat yang utama sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang masih jauh dari amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Padahal dalam UU tersebut, telah mengamanatkan tentang besarnya anggaran pendidikan di berbagai level pemerintahan minimal 20%.

Anggaran pendidikan dari APBN 2006 saja baru mencapai 9% atau Rp 36,7 triliun, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan jumlah anggaran pendidikan baru berkisar 11%. Rendahnya pemenuhan anggaran pendidikan dapat mengakibatkan mutu pendidikan dan perluasan akses pendidikan menjadi terhambat. Akibatnya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan teknologi juga terpasung.

Indikasi lain yang perlu menjadi perhatian lebih untuk menjadikan pendidikan sebagai basis perubahan dalam meningkatkan pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi adalah tingkat melek huruf dan angka partisipasi pendidikan. Berdasarkan laporan dari Dirjen PLS tentang tingkat pemberantasan buta aksara secara nasional di Indonesia telah mengalami penurunan tahun 2006 hingga menjadi sekitar 13 juta orang yang masih buta huruf.

Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004 yang berjumlah 15,4 juta orang, dan menurun menjadi 14,6 juta orang pada tahun 2005. Jika dilihat persentase selama 2004 s/d 2006 telah terjadi penurunan 16,15%. Bahkan menurut Ace Suryadi (2006) diharapkan pada tahun 2015 pemberantasan buta aksara sudah bisa tuntas dengan asumsi pengurangan setiap tahun 1,6 juta orang.

Sementara tingkat partisipasi pendidikan menurut data Susenas 2004, APS penduduk usia 7 s/d 12 tahun meningkat dari 92,83% pada 1993 menjadi 96,775 pada 2004. Dalam rentang waktu yang sama APS penduduk usia 13 – 15 tahun meningkat dari 68,74% menjadi 83,49%. Sedangkan APS penduduk usia 16 – 18 tahun meningkat dari 40,23% menjadi 53,48%. Data tersebut menunjukkan adanya masalah kesenjangan partisipasi pendidikan, sehingga pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran pendidikan agar masyarakat lebih banyak lagi yang mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan.

Yang jelas, kondisi di atas akan memunculkan fenomena tersendiri bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia, diantaranya kesenjangan pendapatan, ketertinggalan pendidikan, kemiskinan, dan kemakmuran masyarakat. Sylwester (2002) telah merekomendasikan dari hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa negara yang mencurahkan banyak perhatian terhadap public education (dilihat dari persentase GNP terhadap pendidikan) mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah.

Akan tetapi, di Indonesia, investasi modal fisik masih dianggap sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, di Indonesia cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya, karena diharapkan dapat memberikan efek multiplier terhadap tenaga kerja di Indonesia. Namun, dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi, akibatnya banyak tenaga kerja sendiri tersingkirkan.

Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik di banding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.

Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumber daya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.

Dengan demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Persentase investasi pendidikan 20 persen dari total anggaran pemerintah harus segera dipenuhi sesuai dengan amanat undang-undang.

Demikian juga sektor swasta, selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input (Tobing, 1994).


DAFTA PUSTAKA
  • Al-Samarai, S. 2002. The Changing Distribution of Public Education Expenditure in Malawi. Africa Region Working Paper Series 29.
  • Bank Dunia, “The East Asia Miracle”, University Press, Oxford, 1993
  • Damin, Sudarwan, “Media Komunikasi Pendidikan”, Bumi Aksara, Jakrta, 1995
  • Depdikbud, Dirjen Dikmenum, dan Dir Dikmenum, “Panduan Manajemen Sekolah”, Proyek Peningkatan Mutu SMU Jakarta, Jakarta, 1999
  • Engle, G and C.W.J. Granger.1987. Cointegration and Error Corection: Representation and Testing. Econometrica. Vol. 100: 818-834.
  • Fattah, Nanang, “Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan”, Rosda Karya, Bandung, 2002
  • Green, William H.,“Econometric Analysis”, 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing Co, 1993.
  • Gupta, K. 1999. Public Expenditure on Education and Literacy Lavels: A Comparative Study. State University at Stony Book.
  • Kerlinger, Fred N., “Behavioral Research”, New York: Holt Rinehard and, Winston, 1978
  • Khusaini. 2004. Analisis Disparitas Pendapatan Antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Provinsi Banten. JIPIS. Vol. 2, No. 2. Tahun 2005
  • Mankiw, N.G, Romer, D. and Weil, N.D. 1992. A Contribution to the Empiris of Economic Growth. Quartely Journal of Economics. Vol 107 Issue 2: 407-437. 
  • Levin, Henry M and Schultz G. Hans, “Finacing Recurrent Education Strategic the Increasing Employment, Job Opportuniyies and Productivity”, Sage Publications, New Delhi, 1983
  • Marsuki. 2005. Analisis Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kawasan Timur Indonesia. Mitra Wacana Media. Jakarta
  • Suhaenah Soeparno, Ana, “Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, dalam “Mengurai Benang Kusut Pendidikan”, Transformasi-UNJ, Jakarta, 2003
  • Supriadi, Dedi, “Satuan Biaya Pendidikan: Dasar dan Menengah”, Rosda Karya, Bandung, 2003
  • Suryadi, Ace dan Tilaar, H. A.R., “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar”, Rosda Karya Bandung, 1994
  • Susanti, Hera, Moh Ikhsan, dan Widyanti, “Indikator-Indikator Makro Ekonomi”, edisi kedua LPFEUI, Jakarta, 1995
  • Triaswati, N. et al, “Pendanaan Pendidikan di Indonesia”, dalam Jalal, F. Supriadi, D. eds, “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”, Adicita Karya Nusa, Yogjakarta, 2001
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional













.