Pesantren, Dinamika dan Perkembangannya

Makalah oleh: Daulat P. Sibarani

Sejarah Berdirinya Pesantren

Minimnya data tentang pesantren, baik berupa manuskrip atau peninggalan sejarah lain yang menjelaskan tentang awal sejarah kebangunan pesantren, menjadikan keeterangan-keterannga pesan yang berkenaan dengannya bersifat sangat beragam. Namun demikian, kekurangan ini justru menjadi factor determinan bagi terus dijadikannya sejarah pesantren sebagai bahan kajian yang tidak pernah kering. Disamping itu minimnya catatatan sejarah pesantren ini pula kemudian menjadikan alasan tersendiri bagi dilanjutkannya penelusuraan lintasan sejarah kepesantrenan di Indonesia secara berkesinambungan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pondok pesantren memainkan peranan penting dalam usaha memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia terutama pendidikan agama. Pesantren, dari awal mula berdiri hingga saat ini masih terus dapat eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang bermutu. Makalah ini diarahkan untuk melihat dengan jelas perkembangan yang terjadi pada dunia pesantren dari awal mula kemunculannya hingga saat ini, juga berbagai macam dinamika yang terjadi mengiringi eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengayom masyarakat.



Permulaan Berdiri
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama. [1]

Dalam menentukan kapan pertama kalinya pesantren berdiri di Indonesia, terlebih dahulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai pendapat mengenai kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat semenjak abad ketujuh, namun ada juga yang berpendapat semenjak abad kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di Indonesia, namun terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai sekitar abad ketiga belas ketika terjadi kontak perdagangan antara kerajaan Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India.[2]  Dan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa tidak terlepas dari peran wali songo yang dengan gigih memperjuangkan dan menyebarkan nilai-nilai Islam.

Berdirinya Pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia[3]. Pada masa Islam perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.

Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.[4]

Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.

Pendekaan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal  merupakan ciri utama masyarakat pesantren. Watak inilah yang dinyatakan sebagai factor dominan bagi penyebaran Islam di Indonesia.[5] Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat-lewat kitab-kitab klasik.[6] Persoalan asal usul pesantren secara historis lebih tepat jika dipandang sebagai akibat akulturasi dua tradisi besar Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu sama lain dari pada menerima warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam sebagai tradisi yang pasif. Artinya, pandangan hidup dan pemikiran keagamaan kalangan pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan Hindu-Budha.


Pesantren Pada Masa Penjajahan

Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.

Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasii politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian Banga Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.[7]

Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.

Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar harus mendapatkan izin pemerintah setempat.[8]
Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif, meskipun ruangeraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam lainnya.
Pembaharuan ini menyebabkan sistem modern klasikal mulai masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode halaqah berubah menjadi sistem klasikal, dengan mulai menggunakan kursi, meja dan mengajarkan pelajaran umum. Sementara itu beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana yang diterapkan pada sekolah umum.

Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan

Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.[9]

Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena ituharus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.

Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.

Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[10]

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada, pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah.

Ketiga, menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.

Akhir-akhir ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala kritik dan kekurangannya.


Landasan Yuridis Formal Pesantren

Landasan Yuridis formal berdirinya pesantren di Indonesia adalah sebagai berikut :
  • Pancasila, sebagai dasar negara dan filsafah hidup bangsa Indonesia khususnya pada Sila I yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha esa”. Ini berarti agama dan institusi-insitusi agama dapat hidup dan diakhui di Indonesia.
  • UUD 1945, sebagai landasan hukum negara Republik Indonesia pada Pasal 33 tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
  • UUD 1954, ayat 1-2 (BPKNIP) yang menyatakan bahwa pendidikan agama merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional.
  • UU No. 22 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memuat pada pasal 30 ayat 1 sampai 4 memuat bahwa pondok pesantren termasuk pendidikan keagamaan dan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini amat signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan dalam penanganan pendidikan pondok pesantren dimasa yang akan datang.
  • Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1979. Keputusan Menteri Agama No. 18 tahun 1975 di Ubah dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001, tentang penambahan direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren departemen agama sehingga pondok pesantren mendapatkan perhatian khusus dari Kementerian Departemen Agama.

Dinamika Pesantren
Dinamika Keilmuan dan pendidikan 
Pada awalnya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitabyang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh.[11]

Tidak seperti lembaga pendidikan lain yang melakukanperekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren selalu membuka pintu lebar-lebar untuk paa calon santri kapan pun juga. Tak hanya itu, pondok pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya. Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan unuk memasuki pesantren, maka kiai akan selalu welcome saja.

Dua model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren adalah model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.

Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai mengenai masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.

Pada dasarnya , dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lbih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.[12]

Pada abad ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren didominasi olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada waktu itu ajaran ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang berguru ketanah suci, materi yang diajarkannya pun bervariasi.

Baru pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan  perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI. Mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut:
  • Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau sorogan). Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
  • Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di luar (di madrasah atau sekolah umum lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai pembina para santri tersebut.
  • Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.[13]
Peraturan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan suatu keharusan bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah menyikapi dan menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu sendiri, walaupun perubahan dan perkembangan pondok pesantren tidak hanya terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang sama akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu  yang menjadikan satu sama lain akan berbeda. Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:
  • Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
  • Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau madrasah).
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat  keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001.

Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi direktorat tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara optimal terhadap masyarakat.

Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspon oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar.

Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan  dalam penanganan pendidikan pada pondok pesantren di masa yang akan datang.[14]

Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lungkkungan pesantren inilah, diperlukan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam jenis pelajaran baru yang tidak semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga peran guru menjadi penting karena kemampuan yang dimilikinya dari pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal dalam pesantren. Mengikuti perkembangan zaman, beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keterampilan sbagai salah satu materi yang diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit berdagang dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan menghapuskan pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.

Pada awal berdirinya pondok pesantren, pendidikan yang berada didalamnya umumnya berakhir hingga ke jenjang setingkat sekolah menengah Umum / Aliyah. Namun karena mengikuti kemajuan zaman dan arus pesatnya informasi, pondok Pesantren mulai menyediakan pendidikan setingkat perguruan tinggi, khususnya yang berbasis agama seperti fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah. Ini seperti yang terdapat pada pondok pesantren Modern Gontor yang telah memiliki perguruan tinggi sebagai wadah bagi santrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat perguruan tinggi.

Pengaruh dan Eksistensi Pesantren
Pada abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat menjadi begitu berbobot, terutama berkenaan dengan perannya dalam menyebarkan ajaran Islam. Pada masa itu berdirinya pesantren senantiasa ditandai dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitar, yang selalu dimenangkan oleh pihak pesantren, sehingga pesantren diterima untuk hidup dimasyarakat dan kemudian menjadi panutan.[15] Bahkan kehadiran pesantren dengan santri yang banyak dapat menghidupkan ekonomi masyarakat sehingga dapat memakmurkan masyarakat sekitar.

Selain itu pesantren juga memiliki hubungan erat dengan pejabat sekitar. Kiprah kiai dalam menumpas para perusuh mendapat perhatian besar dari pejabat setempat hingga raja. Tak jarang para Raja mengirim putra-putrinya untuk belajar pada kiai tertentu, dan sebagai bentuk penghormatan, pesantren dibebaskan dari pajak tanah. Pada waktu itu kiai terkenal dengan kesaktiannya, makanya seringkali para Raja mohon bantuan manakala kerajaan menghadapi kekacauan. Hal ini seperti yang dilakukan Pakubuwono yang meminta kiai Agung Muhammad Besari untuk membantunya dalam usaha menghalau musuh.

Terpengaruh dengan adat hindu dimana posisi biksu mendapatkan kasta yang pertama, maka begitu juga dalam kacamata masyarakat Jawa. Orang-orang ynag berada di pesantren –baik kiai maupun santri- mendapatkan tempat yang tinggi dalam stratifikasi masyarakat. Bahkan tak jarang para Raja menikahkan anak-anak mereka dengan para kiai tersohor, sehingga menggabungkan dua strata tertinggi dimasyarakat sekaligus. Hal ini seperti Kiai Kasan Besari yang menjadi menantu Pakubuwono II.

Walaupun kehidupan asketis yang luar biasa terjadi dalam dunia pesantren waktu itu, namun demikian tidak dapat dipungkiri peran yang luar biasa pada masa penjajahan. Dimana jarang sekali sebuah pesantren yang berkompromi dengan penjajahan. Pesantren selalu menjadi basis pejuangan mengusir penjajahan, dimana para pemuda yang ingin maju kemedan pertempuran slalu berkumpul didalamnya untuk melakukan “isian dan gemblengan”. Dalam hal ini kita tidak akan lupa dengan kasus Pangeran Diponegoro. Begitu mengakarnya peran ulama/kiai dalam masyarakat –khususnya Jawa, sehingga tak jarang yang menimbulkan mitos-mitos dibalik perjuangan pahlawan kemerdekaan. Seperti adanya sosok Kiai Seibi Angin dibalik perjuangan heroic Jaka Sembung.[16]

Akhir abad ke-19, lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi yang dilakukan pemerintah colonial serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan.

Sebagai lembaga pendidikan yang berumur sangat tua ini, pesantren dikenal sebagai media pendidikan yang menampung seluruh jenis strata masyarakat. Lebih jauh pesantren pada waktu itu sedah membuat lembaga pendidikan umum yang didalamnya tidak hanya mengajarkan agama saja. Bisa dikatakan bahwa pesantren pada waktu itu merupakan lembaga alternative kontra dari pendidikan colonial yang hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat saja.

Fakta sejarah membuktikan, betapa kalangan pesantren sangat intensif melakukan perlawanan terhadap segala perilaku budaya dan ideologi maupun politik yang dikhawatirkan akan merongrong ideology yang mereka yakini. Sebut saja seperti pendirian Nahdatul Ulama yang dimotori oleh orang-orang pesantren. Sikap ini juga ditunjukkan dengan pertentangan antara orang-orang pesantren vis a vis gerakan komunis. Alasan yang dikumandangkan orang-orang pesantren bahwa gerakan tersebut membahayakan keberagamaan masyarakat di Indonesia. Pada fase menjelang kemerdekaan juga bisa dilihat bagaimana para kiai dan santri untuk menolak habis-habisan budaya ‘saikere” yaitu membungkuk sembilan puluh derajat untuk menghormati matahari sebagai dewa bangsa Jepang. Akibatnya kiai ternama seperti Kh. Hasyim Asy’ari mendekam di penjara.[17]

Pesantren-ulama/kiai-santri biasanya memiliki hubungan yang cukup erat dengan masyarakat sekelilingnya. Bahkan tradisi yang berlaku didunia pesantren ini pun berlaku dalam dunia luar pesantren. Hal ini dapat terjadi denngan undangan dari masyarakat kepada kiai untuk menghadiri acara tertentu atau dari para alumni pesantren yang menyebar kedaerah-daerah untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatkannya dipesantren. Seperti pada peringatan maulid Nabi, Nuzul al-Qur’an, walimah al-ursy, pengajian dan lain sebagainya. Dari saling berkelindannya kiai-pesantren-santri ini tentunya memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Seorang santri yang baru ke pesantren satu tahun saja, ketika pulang, dikampungnya akan diperlakkukan layaknya seorang kiai oleh masyarakat dii tempat ia tinggal. Maka tak jarang masyarakat karena kecintaan mereka terhadap pesantren banyak memberikan shadaqah, infaq, waqaf dan amal jariyah lainnya dengan ikhlas untuk perkembangan pesantren.

Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, politik global mengalami rekonfigurasi disepanjang lintas-batas kultural. berbagai masyarakat dan Negara yang memiliki kemiripan kebudayaan akan saling bergandengan. Sementara mereka yang berada di wilayah kebudayaan yang berbeda akan memisah dengan sendirinya. Berhadapan dengan globalisasi dan ancaman kuatnya benturan peradaban, maka tak mungkin pesantren masih bertahan dengan pola pembelajaran lama. Tuntutan masyarakat global adalah profesionalisme, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos kerja yang tinggi. Maka karena itulah watak profesionalitas dan penguasaan teknologi dan pengetahuan yang standar, diperlukan di pondok pesantren. Jika tidak tentunya pesantren harus siap-siap digilas oleh laju zaman, ditinggalkan orang karena telah usang dan tak layak pakai.

Karena itu diharapkan pesantren harus semakin adaptif terhadap perkembangan kamajuan zaman. Atas dasar itu peluang pesantrean sebagai lembaga Pendidikan Islam yang akan menciptakan manusia seutuhnya akan semakin terbuka.[18] Jika kita mengorelasikan benturan peradaban sebagaimana yang diramalkan Huntington, maka sesungguhnya konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus berbahaya bukanlah konflik antar kelas sosial, antar golongan kiai dengan golongan miskin atau antara kelompok kekuatan ekonomi lainnya, akan tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki etnis budaya yang berbeda. Pertikaian antar suku dan konflik-konflik antar etnis –dalam peradaban- akan senantiasa terjadi.

Dalam hal semacam ini ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan dunia pesantren, yaitu: pertama, konflik yang rawan terjadi pada dunia pesantren sendiri adalah masalah persoalan aliran dan keagamaan. Maka, sebagai antisipasi terhadap terjadinya  konflik tersebut, pesantren hendaknya menyosialisasikan semangat inklusifitas. Kedua, berhadapan dengan derasnya arus informasi yang terus mengalir dengan berbagai ragam, pola hidup dan budaya yang ditawarkan. Maka, mau tidak mau, pihak pesantren harus mempersiapkan mental, hingga tidak mudah larut dengan budaya besar. Sekalligus tidak serta merta menutup dengan budaya yang terus menerus hadir. Bersikap kritis dan kreatif merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Ketiga, boleh jadi ramalan Huntington tentang adanya konflik antar peradaban tersebut benar, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa kemungkinan konflik tersebut mampu dihindari. Salah satu caranya adalah dengan mengerahkan kreativitas masyarakat dalam menjembatani dan memfasilitasi hubungan antara berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda. Dengan demikian akan mampu mengikat perasaan emosional antarmereka dan akhirnya mampu meminimalisir konflik tersebut dan peran ini harus mampu dilakukan oleh pesantren.

4. Pendidikan Tinggi di Pesantren.
Adalah merupakan sebuah anggapan umum bahwa pesantren merupakan hal yang bertolak belakang dengan pendidikan tinggi dengan segala bentuknya, dikatakan demikian karena pesantren dianggap sebagai ciri dari pedesaan sementara pendidikan tinggi merupakan ciri dari perkotaan.[19] Dalam hal mengatasi masalah ini, beberapa pesantren telah memasukkan unsur pendidikan tinggi ke dalam unsur ke pesantrenan. Pada masa sekarang ini, ada banyak pondok pesantren yang telah mempunyai perguruan tinggi di dalamnya.

Nuansa di dalam perguran tinggi di pesantren ternyata tidak sama dengan nuansa yang dikembangkan di dalam unsur kepesantrenan yang lain, seperti tradisi cium tangan, mengikuti pendapat guru dan sebagainya. Di pendidikan tinggi di pesantren, tradisi seperti ini tidak diteruskan, mahasiswa mempertahankan pendapatnya sendiri dan memperdebatkannya dengan dosen. Tradisi baru inilah kemudian yang membuat shock mahasiswa lulusan pesantren salafiyah, karena hal demikian sangat bertentangan menurut ajaran moral yang ia terima. Masuknya unsur pendidikan tinggi dan segala tradisinya ke dalam pesantren merupakan pengaruh dari globalisasi dan modernisasi.


Penutup

Pesantren dipadang sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang didirikan oleh para ulama (Kiai  : Jawa). Pesantren didirikan dalam rangka mendidik masyarakat untuk memahami dan melaksanakan ajaran Islam, dengnan menekankan pentignya moral keagamaan sebagai pedoman hidup. Pengertian tertua, karena pesantren adalah lembaga yang telah lama hidup dan masih tetap eksis hingga saat ini walaupun telah banyak berubah dari bentuk awal mula berdirinya dari berbagai bidangnya. Bahkan pesantren telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat islam di Indonesia dan turut mewarnai dinamika bangsa Indonesia.


Demikianlah makalah ini kami tulis, semoga dapat bermanfaat dan menjadi masukan berarti bagi dunia pendidikan khususnya pesantren, terutama sebagai bahan diskusi pada mata kuliah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kepada Allah saya berserah diri sambil berharap selalu mendapat taufik dan hidayah darinya.


Lihat Footnote di sini pada Makalah Pesantren | Dinamika dan Perkembangan



DAFTAR PUSTAKA

  • Ali, Fahry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru. Bandung : Mizan, 1990.
  • Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung : Citapustaka, 2004.
  • ________________, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional Jakarta : Prenada Media, 2004.
  • Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Shtudi tentang Pandang Hidup Kiai. Jakarta : LP3ES, 1994.
  • Faiqah, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta : Kucica, 2003.
  • Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta : Cemara Indah, 2004.
  • Haedari, Amin dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.
  • Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta, 1989.
  • Karim, Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
  • Prawiranegara, Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta.
  • Soemarjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada Pers, Yogyakarta: t.p.
  • Supriyadi, Kiai, Priyai di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Cakra, 2001.
  • Tim Penyusun, Ke-Nu-an, Ahlussunnah Wali Songo al-Jama’ah. Semarang : CV Wicaksana, 1990.













.