Jika Anda pernah mendengar Kamasutra yang memuat tentang berbagai posisi dalam berhubungan badan, atau setidaknya kitab Centini dari keraton Jawa yang pada beberapa bagiannya memuat juga tentang tips dan etika dalam berhubungan seks, maka manuskrip kuno atau yang lazim disebut dengan lontara dari Bugis yakni Assikalaibineng pun bisa disebut juga sebagai manuskrip yang membahas hal yang sama dengan dua kitab kuno yang saya sebut di atas. Manuskrip kuno yang berisi tentang perpaduan seksualitas budaya bugis dengan etika Islam ini pada awalnya merupakan ilmu atau ajaran yang terbilang rahasia dan hanya diajarkan pada perkumpulan-perkumpulan tertentu seperti dalam perkumpulan tarekat dan sebagainya, sebelum akhirnya pada tahun 2009 manuskrip ini diterbitkan sebagai sebuah buku yang dapat anda perolah di toko buku terdekat. Penerbit buku ini adalah Ininnawa dengan judul yang sama, Assikalaibineng.
Lantas, apa saja isi dan kandungan yang terdapat dalam manuskrip Assikalaibineng ini? Manuskrip ini terbagi dalam beberapa bab yang pada tiap-tiap babnya mengupas antara lain tentang potensi ejakulasi dini, faktor kejiwaan yang mendorong seseorang untuk melakukan hubungan seksual, dan tips and triks seputar seksualitas seperti waktu yang baik untuk berhubungan intim, tips memanjakan pasangan selepas berhubungan intim, cara mudah merawat dan mengencangkan organ tubuh dengan memanfaatkan air mani yang keluar selepas berhubungan intim, pijat dan urut, mantra-mantra, dan sebagainya.
Assikalaibineng secara harfiah berarti cara berhubungan suami istri. Akar kata yang sama dipakai juga oleh para petani untuk mengistilahkan awal masa tanam padi di sawah. Kenapa? Karena, seperti juga dalam kitab suci Al-Qur’an yang pada salah satu ayatnya menyebutkan sebuah perumpamaan yang manis bahwa istri-istrimu adalah sawah ladang bagimu, dan kitab ini pun lahir atas pengaruh dari ajaran Islam maka kiranya cukup jelas penjelasan di atas kenapa satu kata bisa memuat dua arti yang secara harfiah begitu berbeda. Dan memang, seperti lazimnya zaman ketika kitab ini ditulis bahwa yang berperan penting dalam sebuah hubungan intim adalah dari pihak laki-laki maka kitab ini pun baik dalam isi maupun penyajian lebih dihususkan sebagai pegangan bagi para suami dalam tugasnya di ranjang. Mungkin ini jugalah yang sekaligus menjadi penjelasan mengapa ajaran ini hanya terbatas diajarkan kepada calon mempelai laki-laki saja, beberapa hari menjelang akad nikah.
Ajaran Kitab Persetubuhan Bugis ini diawali dengan pengetahuan tentang mandi, berwudlu, shalat sunah dan tafakur bersama sebagai prasyarat nikah batin, sebelum akhirnya menanjak ke tahapan lelaku badaniah, seperti bercumbu, penetrasi dan segala yang harus dilakukan setelah berhubungan intim. Dan karena, meski Assikalaibineng merupakan kitab yang berisi tentang ilmu-ilmu seksologi, tapi pendekatan yang digunakan adalah sisi tata kramanya, maka dalam aktifitas badaniyah ini disarankan untuk dilakukan dengan cahaya yang tidak benderang dan dilakukan dalam satu sarung, atau kain tertutup, atau kelambu.
Seperti juga dalam Kamasutra, dalam Assikalaibineng ini pun mengenal istilah foreplay atau pemanasan sebelum penetrasi. Dalam Assikalaibineng untuk foreplay mengenal dua istilah yakni makkarawa (meraba) dan manyyonyo (mencium). Dua kegiatan yang dilakukan oleh tangan dan mulut dalam foreplay ini adalah dengan mengeksporasi zona-zona erotis yang terdapat dalam tubuh wanita, yakni pada 12 titik rangsangan yang diantaranya adalah meraba lengan sebagai titik rabaan pertama sebelum akhirnya meningkat pada titik rabaan berikutnya seperti pele lima (telapak tangan), sadang (dagu), edda’ (pangkal leher), dan cekkong (tengkuk) adalah sejumlah titik yang dalam buku ini direkomendasikan di-karawa dan dinyoyyo di tahap awal foreplay.
Setelah bagian badan tubuh, mulailah masuk di sekitar muka. Titik rawan istri dibagian ini disebutkan; buwung (ubun-ubun), dacculing (daun telinga), lawa enning (perantara kening dia atas hidung), lalu inge (bagian depan hidung). Di titik ini juga disebutkan, tahapan di bagian badan sebelum penetrasi langsung adalah pangolo (buah dada) dan posi (pusar). Dalam foreplay berupa makkarawa dan manyonyyo ini, buku menyarankan tetap tenang dan mengatur irama naffaseng (nafas). Karena kitab persetubuhan ini sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqhi al’jima atau ajaran berhubungan seks suami istri dalam syariat Islam, maka proses menahan nafas itu direkomendasikan dengan melafalkan zikir dan menyatukan ingatan kepada Allah Taala.
Untuk orang-orang zaman sekarang mungkin akan sedikit janggal dengan ajaran berdzikir sambil bersenggama ini. Tapi jika membaca komentar dari penyusun buku ini bahwa adakalanya seorang suami ketika berhubungan intim biasanya lebih berfokus untuk mencapai titik klimaks dan akhirnya memungkinkan untuk ejakulasi dini, maka ajaran berdzikir (tentu saja dalam hati) ketika dalam bersenggama menjadi terasa masuk akal, karena setudaknya dengan tidak melulu berfokus pada keadaan mencapai titik puncak menjadikan sebuah hubungan badan lebih panjang dan dengan sendirinya kepuasan sang istri pun bisa dicapai.
Lantas bagaimana cara untuk membangunkan seorang istri ketika sang suami sedang ingin menyalurkan libidonya sementara sang istri sudah pulas, mengingat adakalanya jadwal tidur antara suami dan istri terdapat perbedaan? Dalam kitab ini diajarkan bahwa bila suami sedang ingin berhubungan maka sebaiknya suami memberi isyarat dengan cara mengangkat tangan kirinya dan kemudian menghembuskan nafas dari hidung. Jika nafas yang keluar dari lubang hidung kanan lebih kuat berhembus, maka pertanda kejantanan yang bangkit. Namun jika hembusan dari lubang kiri lebih kuat, maka sebaiknya sang suami menunda lebih dulu (hal 141). “Dalam keyakinan kebatinan Bugis, nafas hidung yang lemah dan kuat berkaitan langsung dengan ilmu kelaki-lakian atau kejantanan seorang pria.” (Thamzil Thahir)
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa, lelaku dzikir dan mengatur hembusan nafas ketika berhubungan intim sangatlah penting, karena dusamping agar tak terlalu fokus pada pencapaian orgasme diri sendiri, juga agar gerakan dalam berhubungan intim pun tidak menjadi sedemikian vulgar. Secara rinci dari proses pengaturan nafas dan dzikir ini sendiri dijelaskan dalam beberapa uraian yang begitu indah dan sangat amasuk akal, seperti misalnya saat kalamung (zakar) bergerak masuk urapa’na (vagina) disarankan membaca lafal (dalam hati) Subhanallah sebanyak 33 kali disertai tarikan nafas. “Narekko mupattamamai kalammu, iso’i nappasse’mu”. Sebaliknya, jika menarik zakar, maka hembuskanlah napasmu (narekko mureddui kalamummu, muassemmpungenggi nappase’mu), dan menyebutkan budduhung. Bahkan bisa dibayangkan karena babang urapa’na (pintu vagina) perempuan ada empat bagian, maka di bagian awal penetrasi, disarankan hanya memasukkan sampai bagian kepala kalamummu lalu menariknya sebanyak 33 dengan tarikan napas dan disertai zikir, hanya untuk menyentuh “timungeng bunga sibollo” (klitoris bagian kiri). Mungkin bagi generasi sekarang, lafalan zikir dalam hati saat bersetubuh akan sangat lucu, namun pelafalan Subhanallah sebanyak 33 kali dan perlahan dan diikuti tarikan napas akan membuat daya tahan suami melebihi ekspektasi istri! (hal 80)
“Mupanggoloni kalamummu, mubacasi iyae / ya qadiyal hajati mufattikh iftahkna. / Pada ppuncu’ni katauwwammu pada’e tosa mpuccunna bunga’e (sibolloe) / tapauttmani’ katawwammu angkanna se’kkena, narekko melloko kennai babangne ri atau, lokkongi ajae ataummu mupallemmpui aje; abeona makkunraimmu, majeppu mukennai ritu atau’., na mubacaisi yae wikka tellu ppulo tellu / subhanallah.. /”
Artinya, “Arahkan zakarmu, dan bacalah ini / Ya qadiyyal hajati mufattikh iftakhna / kemudian cium dadanya,. lalu naikkan panggulnya, ketika itu mekarlah kelaminnya layaknya mekarnya kelopak bunga, masukkan zakarmu hingga batas kepalanya, dan bacalah subhanallah 33 kali”. (hal 144).
Dan seperti yang tercantum di awal tulisan, kitab ini pun menerangkan tentang waktu yang baik untuk berhubungan intim berikut manfaat-manfaatnya jika hal ini dikerjakan. Menurut kitab ini tak semua waktu bagus untuk berhubungan intim. Ada waktu-waktu khusus yang harus diperhatikan jika ingin memiliki anak yang diinginkan, dari mulai warna kulit anak, faktor kecerdasan anak yang kelak dilahirkan dan sebagainya tergantung dari pada jam atau waktu kapan Anda melakukan hubungan intim. Misalnya untuk mendapatkan anak dengan warna kulit tertentu, kitab ini menyebutkan bahwa jika ingin memiliki anak berkulit putih maka persetubuhan harus dilakukan sesudah Isya, untuk anak dengan warna kulit gelap, persetubuhan dilakukan pada tengah malam, dan untuk anak dengan warna kulit kemerah-merahan dilakukan persetubuhan antara waktu Isya dan atau pas tengah malam. Sedangkan untuk anak berkulit putih bercahaya, bersetubuhan dilakukan dengan memperkirakan berakhirnya masa terbit fajar di pagi hari. Atau lebih tepatnya dilakukan usai solat subuh. Untuk zaman sekarang, mungkin aturan ini akan terdengar lucu di telinga kita, karena disamping belum dapat dibuktikan secara ilmiah, aturan-aturan bersetubuh pada jam-jam tertentu ini menjadikan seks bukan lagi sebagai rekreasi yang dapat dilakukan kapan pun kita membutuhkannya, tapi lebih kepada pro-kreasi atau kebutuhan membelah diri yang adakalanya mengesampingkan unsur dasar dari seks itu sendiri sebagai suatu aktivitas badani.
Kemudian, pada bab berikutnya kitab ini membahas tentang tips atau tepatnya treatmen bagi para suami untuk menjaga kebugaran dan kelangsingan tubuh pasangannya. Untuk melangsingkan dan menghaluskan kulit istrinya, kitab ini mengajarkan tentang pijitan setelah berhubungan, pun begitu untuk menghaluskan kulit istrinya, sang suami dapat memanfaatkan ‘air mani’ sisa yang biasanya meleler di bagian luar babang urapa’ (vagina) istri dan kalamummu (zakar) pihak suami dan sejumlah mantra bugis-Arab.
Untuk tahapan berikutnya, sehabis berhubungan, kita bisa memanfaatkan air mani dari liang fajri yang telah bercampur dengan cairan perempuan. Kemudian letakkan di telapak tangan dan campurlah dengan sedikit air liur, dan sambil membaca dengan lafalan bugis, “waddu waddi, mani-manikang”. Air mani basuhan ini bisa dipijitkan ke 12 titik zona erotis istri agar tidak kendur dan tetap sensitif menerima rangsangan, atau juga dengan cara memiji-mijitnya disekitar tulang kering di ujung bawah jari kelingking, agar tubuh sang istri senantiasa lansing dan tentu saja singset.