Makalah BHP-Penelitian Kesehatan

BAB I
PENDAHULUAN



1.1    LATAR BELAKANG

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi biomedik, dan penerapannya dalam praktek kedokteran, membangkitkan kecemasan di antara masyarakat umum dan menghadapkan masyarakat terhadap masalah-masalah etik. Masyarakat mengekspresikan keprihatinan tentang apa yang ditakutkan akan merupakan penyalahgunaan dalam penyelidikan ilmiah dan teknologi biomedik. Hal ini dapat dipahami mengingat metodologi penelitian eksperimental biomedik. Penelitian berawal dengan penetapan hipotesis dan ini kemudian diuji dalam laboratorium serta pada hewan-hewan percobaan. Agar hasil-hasil temuan dapat bermanfaat secara klinis, percobaan harus dilakukan pada subyek manusia, dan meskipun dirancang secara hati-hati, penelitian demikian membawa resiko pada subyek-subyek tersebut. Resiko ini dibenarkan tidak karena manfaat pribadi bagi sang peneliti atau lembaga penelitian, tetapi lebih karena manfaatnya bagi subyek manusia yang terlibat, serta kemungkinan sumbangannya pada pengetahuan manusia, hilangnya penderitaan atau bertambahnya usia.
Perubahan fundamental dalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek yang sebelumnya merupakan sarana penunjang berubah peran dan memberi landasan pada keseluruhan upaya manusia.  Khususnya dalam bidang ilmu kedokteran. Penelitian kesehatan atau biomedical research oleh World Health Organization (WHO) meliputi penelitian tentang farmasetik, peralatan kesehatan, radiasi medik dan imaging, prosedur bedah, catatan medik, sampel biologik, penelitian epidemiologi, ilmu sosial dan psikologi. Dibutuhkannya sampel biologik untuk penelitian, sehingga kode etik penelitian kesehatan ada untuk menghargai martabat manusia dan hak asasi nya sebagai sesama ciptaan. Etika adalah prinsip-prinsip yang secara moral mengatur tindakan suatu individu atau kelompok profesional  atau filosofi yang mendasari prinsip-prinsip.
1.2    RUMUSAN MASALAH

a.    Bagaimana prinsip suatu penelitian kesehatan
b.    Bagaimana prinsip uji klinik yang baik
c.    Bagaimana fungsi Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
d.    Bagaimana pandangan bioetik, medikolegal, serta islam dalam etika pengambilan, penyimpanan, dan pemanfaatkan  organ manusia untuk penelitian.
1.3    TUJUAN

Penyusunan masalah ini dimaksudkan untuk
a.    Mengetahui prinsip suatu penelitian kesehatan
b.    Mengetahui prinsip uji klinik yang baik
c.    Mengetahui fungsi Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
d.    Mengetahui pandangan bioetik, medikolegal, serta islam dalam etika pengambilan, penyimpanan, dan pemanfaatkan  organ manusia untuk penelitian.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1.         PENELITIAN KESEHATAN
Perubahan fundamental dalam kehidupan manusia, antara lain perubahan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang sebelumnya merupakan sarana penunjang berubah peran dan memberi landasan pada keseluruhan upaya manusia. Dari sini berkembanglah konsep-konsep baru, seperti pembangunan berdasarkan pengetahuan (knowledge based development) dan diakui bahwa mutu pengelolaan pengetahuan strategik menentukan keberlangsungan hidup suatu upaya/organisasi. Ini dapat dilihat dari daya saing dan kemampuannya beradaptasi pada perubahan lingkungan. Berdasarkan konsep baru upaya kesehatan dilaksanakan dengan sistem kesehatan berdasarkan pengetahuan (knowledge based health systems). Akibat perubahan fundamental tersebut, maka pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek memegang peran, yang makin menentukan dalam penyusunan kebijakan dalam pembangunan kesehatan dan implementasinya.
        Penelitian kesehatan atau biomedical research oleh World Health Organization (WHO) meliputi penelitian tentang farmasetik, peralatan kesehatan, radiasi medik dan imaging, prosedur bedah, catatan medik, sampel biologik, penelitian epidemiologi, ilmu sosial dan psikologi.
Menurut isi deklarasi Helsinki butir 11 dan 12, penelitian kesehatan harus menghormati :
1.    Privacy
2.    Dignity (martabat)       
3.    Human care (manusiawi)   

2.2     LANDASAN HUKUM
Beberapa landasan hukum yang mendasari kode etik penelitian kesehatan diantaranya:
2.2.1    Nuremberg Code (1947)
Nuremberg Code adalah instrumen internasional pertama mengenai etik penelitian kesehatan dan berasal dari keputusan Pengadilan para Dokter (the Doctor’s Trial) di kota Nuremberg tahun 1947. The Doctor’s Trial adalah bagian dari Nuremberg Military Tribunal yang mengadili kejahatan perang yang dilakukan rezim Nazi Jerman. Para dokter yang diadili disalahkan melaksanakan penelitian kesehatan tanpa tujuan ilmiah yang rasional. Penelitian dilakukan secara paksa pada tawanan kamp konsentrasi oleh personel yang tidak memenuhi persyaratan. Nuremberg Code meletakkan dasar perdana untuk pengembangan etik penelitian kesehatan. Code disusun untuk melindungi integritas subjek penelitian, menentukan persyaratan-persyaratan untuk melaksanakan penelitian kesehatan secara etis dan secara khusus memberi tekanan pada persetujuan sukarela (voluntary consent) oleh manusia yang diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
2.2.2    Universal Declaration of Human Rights (United Nations, 1948)
The General Assembly of the United Nations pada tahun 1948 mengadopsi the Universal Declaration of Human Rights. Guna mem-beri kekuatan hukum dan moral pada Deklarasi tersebut pada tahun 1966 the General Assembly menetapkan the International Convenant on Civil and Political Rights, yang dalam Artikelnya ke-7 disebut No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In partcular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation. Artikel ke-7 ini menegaskan perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan setiap relawan manusia yang ikut serta sebagai subjek dalam penelitian kesehatan.

2.2.3    The Declaration of Helsinki. Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects (World Medical Assembly, 2000)
Dalam riset biomedik pada manusia terdapat panduan yang tercantum dalam Deklarasi Helsinki ( 1964) dari World Medical Association (WMA), yang direvisi di Tokyo (1975), di Venesia ( 1983), di Hongkong ( 1989), serta International Ethical Guidelines for Biomedical Resesrch Involving Human Subject oleh Council for International Organization of Medical Sciences ( CIOMS) dan WHO ( 1993).
Dalam Deklarasi Helsinki tercantum prinsip- prinsip dasar riset, etik riset kedokteran yang dikombinasi dengan pengobatan (riset klinik) dan riset biomedik non klinik yang berbunyi sebagai berikut:
1.    Riset biomedik pada subjek manusia harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dan berdasarkan eksperimen laboratorium hewan percobaan dan pengetahuan yang adekuat dan literatur ilmiah.
2.    Disain dan pelaksanaan eksperimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu protokol untuk kemudian diajukan kepada suatu komisi independen yang ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi komentar dan bimbingan.
3.    Riset biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medik yang kompeten. Tanggung jawab atas manusia yang diteliti terletak pada tenaga medik yang kompeten dan bukan pada manusia yang diteliti walaupun subjek telah memberikan persetujuan.
4.    Riset biomedik pada manusia tidak boleh dikerjakan kecuali bila kepentingan tujuan penelitian tersebut sepadan dengan resiko yang akan dihadapi subjek.
5.    Setiap peneliti pada subjek harus diketahui oleh peneliti secara seksama mengenai resiko yang mungkin timbul dan manfaat potensial baik bagi subjek maupun bagi orang lain. Kepentingan subjek harus lebih diutamakan daripada kepentingan ilmu pengetahuan maupun masyarakat.
6.    Dalam penelitian, hak seseorang untuk melindungi integritas dirinya harus selalu dihormati. Peneliti harus berusaha menekan sekecil mungkin dampak penelitian terhadap integritas mental, fisik dan kepribadian subjek.
7.    Seorang dokter tidak diperbolehkan ikut dalam proyek riset dengan subjek manusia jika ia tidak dapat memperkirakan bahaya apa yang mungkin timbul. Dokter juga harus menghentikan penelitian bila bahaya apa yang mungkin timbul. Dokter juga harus menghentikan penelitian bila bahaya yang dijumpai ternyata melampaui manfaat yang diharapkan.
8.    Dalam mempublikasikan hasil penemuannya, maka harus dilaporkan hasil yang akurat. Eksperimen yang dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang digariskan dalam deklarasi helsinki tidak boleh diterima untuk publikasi.
9.    Dalam riset manusia, maka kebanyakan subjek harus diberitahu tentang tujuan, metode, manfaat serta kerugian yang bisa dialami.
10.    Dalam meminta persetujuan setelah penjelasan ini, dokter harus berhati-hati bilamana ada kemungkinan pasien merasa tergantung kepada dokter atau keadaan dimana subjek memberi persetujuan dibawah paksaan.
11.    Untuk penderita yang tidak kompeten secara hukum, maka persetujuan setelah penjelasan harus diminta dari pelindungnya yang sah menurut hukum setempat.
12.    Dalam protokol riset, selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma-norma etik yang dilaksanakan telah sesuai dengan deklarasi helsinki.  
2.2.4    Operational Guidelines for Ethics Committees that Review Biomedical Research  (WHO 2000)
Dokumen membahas secara rinci tujuan dan cara pembentukan komisi etik penelitian serta pengadaan sistem penilaian etik. Selain itu juga dibahas masalah keanggotaan dan prosedur kerja, termasuk aplikasi protokol penelitian dan proses pengambilan keputusan. Dokumen tersebut merupakan pedoman kunci untuk membentuk KEPK dan menentukan prosedur kerjanya. Dokumen ini telah diterjemahkan dan diadaptasi untuk Indonesia oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes.
2.2.5    International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects  (CIOMS 2002)
Council of International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) adalah organisasi internasional non-pemerintah yang berafiliasi resmi dengan WHO. Dokumen tersebut adalah dokumen mutakhir hasil penyempurnaan keempat yang paling lengkap tentang etik penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian. Pedoman CIOMS memberi perhatian khusus pada penerapan Deklarasi Helsinki di negara-negara sedang berkembang untuk digunakan bagi perumusan kebijakan penerapan standar etik penelitian kesehatan sesuai keadaan setempat. KEPK memakai dokumen tersebut, sebagai bahan referensi utama, dan sangat menganjurkan untuk membaca keseluruhan buku CIOMS tersebut.
Selain 5 (lima) dokumen tersebut, masih terdapat banyak dokumen lain tentang etik penelitian kesehatan berkaitan dengan permasalahan khusus atau bidang khusus penelitian kesehatan. Misalnya International Guidelines for Ethical Review of Epidemiological Studies (CIOMS 1991), Guidelines for Good Clinical Practice for Trials on Pharmaceutical Products (WHO, 1995), Ethical Guidelines in HIV Preventive Vaccine Research (UNAIDS, 2000) dan Directive on Clinical Trials yang diadopt oleh Council of Ministers of the European Union yang telah diberlakukan mulai tahun 2004.

2.3      PRINSIP ETIKA UMUM
Masalah di negara sedang berkembang yang sekarang sudah makin sedikit  dipertentangkan adalah sampai seberapa jauh prinsip etik dianggap universal atau pluralistik, berkaitan dengan budaya setempat (culturally relative). Sebenarnya, tantangan yang sekarang dihadapi etik penelitian kesehatan universal adalah penerapan prinsip-prinsip etik penelitian kesehatan universal di dunia multikultural yang menggunakan beraneka-ragam sistem pelayanan kesehatan. KEPK berpendirian bahwa penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian tidak boleh melanggar standar etik universal. Tetapi, pada aspek tertentu (seperti otonomi perorangan dan Persetujuan Sesudah Penjelasan (PSP, Informed Consent) harus memperhitungkan nilai budaya setempat.
Semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian wajib didasarkan pada 3 (tiga) prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons), berbuat baik (beneficence, dalam bahasa Latin bene artinya baik dan fecere artinya membuat), dan keadilan (justice). Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui sebagai prinsip dasar etik penelitian yang memiliki kekuatan moral. Sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-jawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum. Ketiga prinsip etik umum tersebut adalah sebagai berikut :
2.3.1.    Prinsip Menghormati Harkat Martabat Manusia
Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia sebagai pribadi (persona) yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan sekaligus bertanggungjawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri. Secara mendasar prinsip ini bertujuan:
1.    menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri (self-determination), dan
2.    melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan bahwa manusia yang berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse).
2.3.2.    Prinsip Etik Berbuat Baik (Beneficence)
Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal. Diikutsertakannya subyek manusia dalam penelitian kesehatan dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan penelitian yang dilakukan. Prinsip etik berbuat baik, mempersyaratkan bahwa :
1.    risiko penelitian harus wajar (reasonable) dibanding manfaat yang diharapkan,
2.    desain penelitian harus memenuhi persyaratan ilmiah (scientifically sound),
3.    para peneliti mampu melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga kesejahteraan subjek penelitian, dan
4.    diikuti prinsip do no harm  (non maleficence-tidak merugikan), yang menentang sengaja merugikan subjek penelitian.
Prinsip tidak merugikan, menyatakan bahwa jika orang tidak dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat, maka setidak-tidaknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subyek penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan perlindungan terhadap tindakan penyalahgunaan.
2.3.3.    Prinsip Etik Keadilan (Justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama  dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya. Prinsip etik keadilan terutama menyangkut keadilan distributif (distributive justice) yang mempersyaratkan pembagian seimbang (equitable), dalam hal beban dan manfaat yang diperoleh subyek dari keikutsertaan dalam penelitian. Ini dilakukan dengan memperhatikan, distribusi usia dan gender, status ekonomi, budaya dan konsiderasi etnik. Perbedaan dalam distribusi beban dan manfaat hanya dapat dibenarkan dan  dapat dipertanggungjawabkan, jika didasarkan pada perbedaan yang relevan secara moral antara orang orang yang diikutsertakan. Salah satu perbedaan perlakuan tersebut adalah kerentanan (vulnerability). Kerentanan adalah ketidakmampuan untuk melindungi kepentingan sendiri dan kesulitan memberi PSP, kurangnya kemampuan menentukan pilihan untuk memperoleh pelayanan kesehatan atau keperluan lain yang mahal, atau karena tergolong yang muda atau berkedudukan rendah pada hirarki kelompoknya. Untuk itu, diperlukan ketentuan khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan subjek yang rentan.
Sponsor dan peneliti pada umumnya tidak bertanggung jawab atas perlakuan yang kurang adil di tempat penelitian dilaksanakan. Kegiatan yang dapat memperburuk keadaan, menambah kekurangadilan, atau membantu terciptanya ketidakseimbangan baru harus dihindarkan. Sponsor dan peneliti juga tidak boleh mengambil keuntungan/kesempatan dari ketidakmampuan negara-negara atau daerah penghasilan rendah atau masyarakat yang rentan untuk kepentingan sendiri dengan melaksanakan penelitian yang lebih murah.
Penelitian obat/produk baru tanpa mengikutsertakan negara sedang berkembang akan mengakibatkan tidak diketahuinya profil keamanan dan efektivitas obat/produk tersebut di berbagai populasi/kelompok etnik di negara sedang berkembang. Penyalahgunaan keadaan tertentu dari negara bwerkembang tempat penelitian dilakukan, semata-mata untuk menghindari sistem pengaturan yang rumit di negara industri guna menghasilkan produk yang menguntungkan di pasar negara industri, tidaklah etis.
Pada umumnya, proyek penelitian harus menguntungkan negara-negara dengan penghasilan rendah, atau paling sedikit tidak memperburuk keadaannya. Penelitian harus memperhatikan kebutuhan dan prioritas  kesehatan masyarakat, serta setiap produk yang dihasilkan harus dapat tersedia secara wajar guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat tempat penelitian dilaksanakan  sedapat mungkin memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan melindungi kesehatannya sendiri. 
Keadilan mempersyaratkan bahwa penelitian harus peka terhadap keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan. Risiko untuk subjek yang rentan paling mudah dapat dipertanggungjawabkan, jika tindakan atau prosedur membawa kemungkinan manfaat langsung untuk kesehatannya. Jika tidak ada keuntungan langsung untuk subjek maka penelitian masih dapat dibenarkan; melihat manfaat yang akan diterima oleh masyarakat dari mana subjek berasal.
2.4         Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
Peran ilmu pengetahuan yang makin menentukan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia telah tampak dalam peningkatan jumlah dan juga mutu penelitian kesehatan di Indonesia. Sebagian penelitian kesehatan dapat diselesaikan di laboratorium dengan menggunakan model in-vitro, tetapi sering juga diperlukan model in-vivo dengan menggunakan hewan percobaan dan/atau mengikutsertakan relawan manusia sebagai subjek penelitian. Sebagai bangsa yang beradab, kesediaan dan pengorbanan relawan manusia wajib dihargai dan dihormati. Dalam hal ini perlu dikembangkan mekanisme, struktur, dan prosedur yang selalu melindungi kehidupan, kesehatan, kesejahteraan (welfare), keleluasaan pribadi (privacy), dan martabat (dignity) relawan manusia. Untuk keperluan tersebut perlu dibentuk Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) di setiap lembaga yang banyak/sering melaksanakan penelitian kesehatan, dengan mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian atau menggunakan hewan percobaan. KEPK sesudah melakukan penilaian protokol penelitian dengan hasil yang memuaskan harus memberikan persetujuan etik (ethical clearance). Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian atau menggunakan hewan percobaan, yang dilaksanakan tanpa persetujuan etik adalah pelanggaran berat etik penelitian.
2.4.1    Peran dan fungsi KEPK
1.    Menyampaikan atas permintaan atau atas prakarsa sendiri nasehat dan pandangannya mengenai permasalahan etik penelitian kesehatan kepada pimpinan lembaga.
2.    Menjamin bahwa penelitian kesehatan yang dilaksanakan oleh, di, atau bersama lembaga memenuhi kriteria etik penelitian.
3.    Menjamin bahwa relawan manusia yang diikutsertakan sebagai subjek penelitian dihormati dan dilindungi martabat (dignity), keleluasaan pribadi (privacy), hak-hak, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraannya.
4.    Menjamin bahwa keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan subjek penelitian tidak pernah akan dikalahkan (override) oleh upaya pencapaian tujuan penelitian bagaimanapun pentingnya.
5.    Menjamin kesejahteraan dan penanganan manusiawi hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian kesehatan.
6.    Menegaskan bahwa etik penelitian akan dilaksanakan atas tiga prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia, berbuat baik, dan keadilan.
7.    Dalam pelaksanaan peran dan fungsinya KEPK memakai sebagai dasar Deklarasi Helsinki dan buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan.
8.    KEPK melaksanakan fungsinya dengan memberi persetujuan etik (ethical clearance) sesudah melakukan penilaian protokol penelitian yang diketahui pimpinan lembaga.
9.    KEPK tidak berwenang memberi sanksi, tetapi dapat mengusulkan pemberian sanksi kepada pimpinan lembaga. KEPK berhak menarik kembali/membatalkan persetujuan etik yang telah diberikan kalau di kemudian ditemukan pelanggaran selama pelaksanaan penelitian. Pada prinsipnya KEPK menganggap bahwa pemberian sanksi kurang pantas dan lebih mengutamakan mengembangkan suasana keterbukaan dan saling percaya (mutual trust) untuk melakukan pembinaan.   
10.    KEPK bukan komisi penguji atau penilai ilmiah (akademis), tetapi merupakan komisi penilai dan pengambil keputusan tentang kelayakan etis suatu penelitian kesehatan guna mendukung terlaksananya penelitian kesehatan bermutu.
2.5    Persetujuan setelah Penjelasan (PSP/Informed Consent)
Pada semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek penelitian, peneliti harus memperoleh Persetujuan setelah Penjelasan (PSP) sukarela dari calon subjek penelitian. Jika subjek penelitian tidak mampu memberi PSP maka persetujuan harus diperoleh dari seorang yang menurut hukum yang berlaku berhak mewakilinya. Tidak diperlukannya PSP (waiver) hanya dibenarkan pada suatu keadaan khusus, dan merupakan suatu perkecualian yang harus disetujui lebih dahulu oleh KEPK.
Izin atau persetujaun dari subyek penelitian untuk turut berpartisipasi dalam penelitian, dalam bentuk tulisan yang ditandatangani atau tidak ditandatangani oleh subyek dan saksinya, disebut informed consent.[1] Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam suatu informed consent adalah sebagai berikut :
1.    Kesediaan subyek untuk secara sukarela bersedia berpartisipasi dalam penelitian itu, termasuk penelitian eksperimen.
2.    Penjelasan tentang penelitian.
3.    Pernyataan tentang berapa lama subyek penelitian perlu berpartisipasi dalam penelitian
4.    Gambaran tentang apa yang akan dilakukan terhadap subyek penelitian, sebagai peserta sukarela penelitian. Setiap prosedur eksperimental perlu dijelaskan.
5.    Gambaran mengenai resiko dan rasa tidak enak yang mungkin dialami subyek, jika subyek berpartisipasi dalam enelitian.
6.    Gambaran tentang keuntungan atau ganti rugi bagi subyek, jika subyek berpartisipasi dalam penelitian ini.
7.    Informasi mengenai pengobatan dan alternatif lain yang akan diberikan kepada subyek, jika subyek mengalami resiko dalam penelitian.
8.    Gambaran tentang terjaminnya rahasia biodata dan hasil pemeriksaan medis sunyek.
9.    Penjelasan mengenai pengobatan medis dan ganti rugi yang akan diberikan kepada subyek, jika subyek mengalami masalah yang berhubungan dengan penelitian.
10.    Nama jelas dan alamat berserta nomor telepon yang lengkap, kepada siapa calon subyek dapat menanyakan tentang masalah kesehatan yang mungkin muncul berkaitan dengan penelitian tersebut.
11.    Pengertian partisipasi dalam penelitian haruslah sukarela, bahwa subyek dapat memutuskan untuk meninggalkan penelitian tanpa dirugikan, bahwa apabila ia bersedia berpartisipasi kemudian sesudah jangka waktu tertentu ia meninggalkan penelitian, ia bebas pergi tanpa ada sanksinya.
12.    Jumlah subyek penelitian yang akan turut serta dalam penelitian dan lokasi penelitian akan dilaksanakan.
13.    Subyek akan diberitahukan jika terjadi problem yang membahayakan subyek dalam penelitian tersebut

2.6     PRINSIP UJI KLINIK
Adapun prinsip uji klinik yang baik, yaitu :
1.    Sesuai prinsip etik deklarasi Helsinki
2.    Pertimbangan resiko atau ketidaknyamanan dan manfaat (manfaat lebih besar daripada resiko)
3.    Hak, keamanan, kesejahteraan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau masyarakat
4.    Informasi non-klinik memadai
5.    Berlandaskan ilmiah yang kuat dan diuraikan dalam protokol dengan rinci atau jelas
6.    Sesuai dengan protokol yang telah mendapat ethical cleareance
7.    Pelayanan medik
8.    Tanggung jawab dokter atau dokter gigi
9.    Peneliti memenuhi syarat
•    Pendidikan
•    Pelatihan
•    Pengalaman
10.    Ethical clearence
•    Bebas dari tekanan
11.    Informasi direkam, ditangani dan disimpan dilaporkan atau diinterpretasi, diverifikasi secara akurat
12.    Lindungi kerahasiaan subjek
13.    Produk yang diteliti dibuat, ditangani, disimpan sesuai GMP atau CPOB dandigunakan sesuai dengan protokol yang disetujui
14.    Sistem penjaminan mutu


BAB III
PEMBAHASAN


3.1.    Kasus
Di beberapa RS di Inggris, secara rutin dilakukan pengambilan dan penyimpanan organ-organ anak-anak yang diautopsi untuk keperluan penelitian dan pengajaran.
Pengambilan, penyimpanan, pemanfaatan dan pemusnahan organ-organ tersebut ternyata dilakukan di luar pengetahuan dan persetujuan orang tua / keluarga. Koleksi terbesar ditemukan di Alder Hey Children’s Hospital di Liverpool (1988-1995).
Sebagian besar organ-organ tersebut tidak pernah diperiksa secara histopatologi (bahkan banyak diantaranya tidak disentuh sama sekali). Sikap para dokter sangat otoriter dan paternalistic dengan menyatakan bahwa orang tua dan keluarga tidak ingin tahu tentang penyimpanan dan pemanfaatan organ anak tersebut.

3.2.    Aspek Bioetik
Ada tiga aspek bioetik yang mendasari penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia atau dalam kasus ini berupa organ manusia, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons), berbuat baik (beneficence), dan keadilan (justice). Secara universal, ketiga prinsip tersebut telah disepakati dan diakui sebagai prinsip dasar etik penelitian yang memiliki kekuatan moral. Sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-jawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum.
Prinsip yang paling tidak diperhatikan dalam kasus ini adalah prinsip untuk menghormati harkat martabat manusia. Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia sebagai pribadi yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan sekaligus bertanggungjawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri. Secara mendasar prinsip ini bertujuan untuk menghormati otonomi, yang mempersyaratkan bahwa manusia yang mampu menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati kemampuannya untuk mengambil keputusan mandiri (self-determination), dan melindungi manusia yang otonominya terganggu atau kurang, mempersyaratkan bahwa manusia yang berketergantungan (dependent) atau rentan (vulnerable) perlu diberikan perlindungan terhadap kerugian atau penyalahgunaan (harm and abuse). Dalam kasus ini, anak-anak merupakan salah satu dari vulnerable group atau golongan yang rentan untuk dijadikan subjek penelitian selain dari wanita hamil dan menyusui, narapidana, mahasiswa, tentara, serta penderita kelainan jiwa.
Sesuai dengan Nuremberg Code (1947) dan Universal Declaration of Human Rights (1948) yang telah lahir terlebih dahulu sebelum kasus ini bermula, dan menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat menjadi subjek dari penelitian ilmiah atau eksperimen tanpa adanya suatau persetujuan terlebih dahulu. Dalam kasus ini, dokter dan tenaga medis lainnya dengan leluasa menggunakan organ anak-anak hasil autopsi tersebut tanpa sepengetahuan pihak keluarga. Hal tersebut merupakan pelanggaran dari hak asasi seseorang terhadap martabatnya untuk menentukan sikap dan mengambil keputusan sendiri.
Hal yang seharusnya dilakukan adalah dengan memberikan informed concern yang berisi ijin dari seseorang (atau yang mewakilinya, dalam kasus adalah orang tua) untuk diikutkan/berpartisipasi dalam suatu proyek penelitian ilmiah. Dalam informed concern tersebut juga disebutkan tujuan, manfaat, dan resiko yang akan diterima oleh calon subjek penelitian agar yang bersangkutan dapat menimbang-nimbang terlebih dahulu sebelum bergabung dalam penelitian ilmiah tersebut.
Deklarasi Helsinki pun yang menjadi acuan etik dalam suatu penelitian ilmiah ikut memberikan masukan bagi kasus ini. Disebutkan bahwa semua protokol penelitian yang menyangkut manusia, harus ditinjau dahulu oleh suatu Komisi khusus untuk dipertimbangkan, diberi komentar dan mendapatkan pengarahan (consideration, comments and guidance) selain itu pada protokol juga harus dicantumkan adanya pertimbangan etik. Maka seharusnya sebelum suatu penelitian berlangsung harus ditinjau dahulu oleh suatu komisi khusus, agar seluruh prosedur dapat berjalan dengan baik dengan tanpa melanggar batas-batas etik.

3.3    Aspek Medikolegal
PP No. 18 tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
PASAL I
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
a.    Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan;
b.    Bedah mayat anatomis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran;
Aspek mengenai hal ini terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan , yaitu ;
PASAL 70
1.    Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tanaga kesehatan.
2.    Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
3.    Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

3.4 Aspek Etik Islam
Islam adalah agama yang begitu menghormati manusia baik dia hidup maupun sesudah ia mati. Yang dapat dilihat pada ayat-ayat dan hadis berikut.
Q.S : Bani Israil : 70
ﻭ ﻠﻘﺩ ﮎﺮﻣﻧﺎ ﺒﻧﻲﺍﺩﻢ
Arti:
“Sesungguhnya Kami memuliakan anak Adam (manusia)”

Nabi SAW bersabda
ﺍﺬﺍﺮﺍﻴﺘﻢﺍﻠﺣﻧﺎﺯﺓﻓﻘﻭﻣﻭﺍﻠﻬﺎ
Arti :
“Bila kamu melihat jenazah , maka berdirilah”
 (Riwayat Jama’ah selain Ibnu Majah dari Abi Sa’id, Kitab Almutaqa, juz II, hal 96)

ﺴﺮ ﻋﻅﻢ ﺍﻠﻣﻳﺕ  ﻜﮑﺴﺮﻋﻈﻡ ﺍﻠﺣﻲ ﻓﻲ ﺍﻹﺛﻡ   
Arti:
“Memecah tulang orang mati dianggap seperti memecahkan tulang orang hidup dalam hal dosanya.” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah)
    Namun kepentingan orang hidup harus didahulukan terhadap kepentingan orang mati. Dalam keadaan darurat kita diberi Allah rukhsah (keringanan) untuk melakukan yang dilarang.
Q.S An-Nahl : 115

ﺍﻧﻣﺎ ﺣﺮﻢ ﻋﻠﻳﮑﻢﺍﻠﻣﻳﺘﺔ ﻭﺍﻠﺩ ﻢ ﻭﻠﺣﻢ ﺍﻠﺧﻧﺰﻴﺭﻭﻣﺎ ﺍﻫﻞ ﻠﻌﻳﺭﺍﷲ ﺒﻪ ﻓﻣﻦﺍﺼﻂﺭﻏﻳﺭﺒﺎﻍ ﻭﻻﻋﺎﺪ ﻓﺎﻦﺍﷲ ﻏﻔﻭﺭ ﺭﺣﻳﻢ
Arti :
“Diharamkan Allah atasmu bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih tidak atas nama Allah. Barang siapa yang terpaksa dengan tidak berniat jahat dan tidak mlebihi batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang”

Fiqh

ﻮﺇﻥ ﺑﻠﻊﺍﻠﻤﻳﺕ ﺟﻮﻫﺮﺓ ﻠﻐﻳﺮﻩ ﻮﻤﺎﺕ ﻮﻁﺎﻠﺏ ﺼﺎﺤﺑﻬﺎ ﺸﻖ ﺟﻮﻔﻪ ﻮﺮﺪﺕﺍﻠﺠﻮﻫﺮﺓ ﻮﺇﻥ ﻜﺎﻨﺕ ﺍﻠﺠﻮﻫﺮﺓ ﻠﻪ ﻓﻔﻳﻪ ﻮﺠﻬﺎﻦ ﺃﺤﺩﻫﻤﺎ ﻳﺸﻖ ﻷﻨﻬﺎ ﻠﻠﻮﺮﺛﺔ

Arti :
“Mayat yang semasa hidupnya menelan permata milik orang lain, dan pemiliknya meminta permata itu, harus dibedah perutnya dan dikembalikan permata itu kepada pemiliknya. Dan jika permata itu milik si mayat sendiri,boleh dibedah dan boleh tidak , karena permata itu adalah milik ahli waris”


ﻭﺍﻠﺣﺎ ﻤﻞ ﺇﺬ ﺍﻤﺎﺖ ﻭﻔﻲ ﺑﻂﻧﻬﺎ ﻭﻠﺩ ﺤﻲ ﺸﻕ ﺑﻂﻧﻬﺎﻋﻨﺩﺃﺑﻲ ﺤﻧﻴﻓﺔ ﻮﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻮﻗﻞ ﺃﺤﻤﺩ׃ﻻﻳﺸﻕ وﻋﻥ ﻤﺎﻠﻚ ﺮوﺍﻳﺗﺎﻥ ﻛﺎﻠﻤﺬﻫﺑﻳﻥ 

Arti :
“Orang hamil yang meninggal sedang dalam kandungannya, ada bayi yang masih hidup harus dibedah perutnya ( untuk menyelamatkan bayinya ). Menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’i. Menurut Imam Malik, boleh dibedah, boleh tidak, sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal tidak boleh dibedah ( wanita hamil yang meninggal harus dibedah untuk menyelamatkan bayinya yang masih diharapkan hidup )”


BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan konsep baru upaya kesehatan dilaksanakan dengan sistem kesehatan berdasarkan pengetahuan (knowledge based health systems). Perubahan fundamental tersebut mengakibatkan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek memegang peran, yang makin menentukan dalam penyusunan kebijakan dalam pembangunan kesehatan dan implementasinya. Agar suatu penelitian kesehatan tersebut sesuai dengan kaidah etik yang berlaku maka diperlukannya suatu aturan yang mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia yang digunakan sebagai subjek penelitian.
Pada kasus ini, pengambilan organ di Inggris merupakan tindakan yang menyimpang dari bioetik, medikolegal, dan etik islam. Dalam aspek bioetik, kasus ini telah menyimpang dari beberapa deklatasi Internasional, diantaranya : Nuremberg Code (1947), Universal Declaration of Human Rights (1948), dan Deklarasi Helsinki (1964).
Dalam pandangan islam, pengambilan organ manusia yang telah meninggal hukumnya mubah (boleh) dilakukan jika keadaan terdesak karena kepentingan orang meninggal lebih diutamakan dibandingkan orang yang masih hidup.
Pengambilan organ ini seharusnya sesuai dengan bioetik dan berdasarkan prosedur yang berlaku. Semua penelitian kesehatan yang mengikutsertakan relawan manusia atau dalam kasus ini berupa organ manusia sebagai subjek penelitian wajib didasarkan pada 3 (tiga) prinsip etik umum, yaitu menghormati harkat martabat manusia (respect for persons), berbuat baik (beneficence), dan keadilan (justice). Peneliti harus memberikan informed concern kepada calon subjek penelitian (atau wali, dalam kasus ini orang tuanya) tentang penelitian yang akan dilakukan pada organ dimaksud, setelah sebelumnya diberikan etnical clereance atau izin etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK). Komisi ini akan memberikan pertimbangan, komentar dan pengarahan (consideration, comments and guidance) terhadap prosedur penelitian yang akan dilaksanakan. Hasil dari penelitian ini harus bermanfaat bagi masyarakat luas dan mendatangkan resiko yang jauh lebih sedikit dari manfaatnya, sehingga suatu penelitian dapat dipertanggung-jawabkan baik menurut pandangan etik maupun hukum.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.litbang.depkes.go.id/ethics/etika%20penelitian%20kesehatan.pdf
http://125.160.76.194/data/pedoman_nasional_knepk_2004.doc
Microsoft ® Encarta ® 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation. All rights reserved.
http://www.cioms.ch
http:// www.litbang.depkes.go.id/ethics/knepk/kegiatan/LAP%20RAKER1.pdf
PEDOMAN ETIK INTERNASIONAL UNTUK PENELITIAN BIOMEDIK YANG MELIBATKAN SUBYEK MANUSIA oleh Dewan Organisasi Ilmu-ilmu Kedokteran Internasional (CIOMS) bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)


















.