Makalah Biologi Lingkungan (Subak)

Makalah ini disusun sebagai salah satu bentuk tugas matakuliah biologi lingkungan oleh Annas Kurniawan. Isi dari makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan masukan sangat penulis harapkan,....
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat.....


Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja-Bali
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bali merupakan daerah tujuan wisata dunia, selain dari objek wisata berupa bentang alam yang memang indah, Bali menyuguhkan objek wisata budaya yang tidak dapat dijumpai di daerah tujuan wisata lain. Salah satu wisata alam yang menarik dikunjungi adalah persawahan terasering khas bali dan serta sistem irigasi pertanian yang baik yang dikenal sebagai Subak.
Dilihat dari sejarahnya, Subak telah terbentuk hampir satu millennium. Ini menunjukkan bahwa subak memang adalah suatu lembaga irigasi tradisional yang tangguh dan lestari keberadaannya. Ini dikarenakan subak memilki nilai-nilai luhur yang bersifat sangat universal yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Antara lain secara implisit mengandung pesan agar kita mengelola sumber daya alam termasuk smber daya air secara arif untuk menjaga kelestariannya, senatiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mengedepankan keharmonisan hubungan antar manusia. Tidak hanya itu, subak juga memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Para petani yang tergabung dalam organisasi subak telah memiliki keterampilan dan pengetahuan tradisional yang cukup memadai (kearifan lokal/indigenous knowledge) dalam membangun dan mengelola jaringan irigasi mereka. Karya besar nenek moyang kita berupa sistem irigasi subak beserta landskap sawah teras yang indah yang kita warisi sampai sekarang tentulah menggunakan teknologi tradisional yang mereka miliki.
Tetapi sekarang ini subak Bali sedang mengalami dilema, dimana pariwisata bali memerlukan perluasan tempat dan wilayah guna melengkapi fasilitas-fasilitas kepariwisataan, dan mau tidak mau tanah dan lahan-lahan pertanian mengalami pengikisan akibat pengalihfungsian lahan. Selain itu semakin meningkatnya jumlah penduduk di Bali memberikan dampak negative terhadap sistem irigasi subak. Berdasarkan data hasil survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Tahun 2010, yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Bali sebesar 3,890,757 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk ini akan mengurangi jumlah areal persawahan, sehingga mengancam kelangsungan sitem irigasi subak.
Maka dari itu penulis ingin membahas tentang subak dan nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya agar dapat lebih dikenal, dan meningkatkan kesadaran kita untuk tetap menjaga dan melestarikan keberadannya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dirumuskan beberapa permasalahan antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan subak?
2. Bagaimana penerapan sistem subak?
3. Nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam subak?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah mengacu pada rumusan masalah, yaitu untuk mengetahui:
1. Untuk megetahui apa yang dimaksud dengan subak?
2. Untuk mengetahui bagaimana proses penerapan sistem subak?
3. Untuk mengetahui nilai kearifan lokal apa saja yang terkandung dalam subak?

1.4 Manfaat Penulisan
Secara umum makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pada saat ini dan masa datang. Oleh sebab itu, manfaat yang dapat dipetik dari penulisan makalah ini dipilah menjadi dua, yaitu kegunaan untuk masyarakat dalam arti umum untuk orang banyak (manfaat teoritik, yang terkait dengan pelaksanaan sistem subak) dan kegunaannya untuk masyarakat dalam lingkup perorangan (manfaat praktik, untuk pelaksanaan tindakan dalam pelestarian subak)
Manfaat teoritiknya adalah (1) memberikan pedoman dan landasan teoritik tentang subak dan pelaksanaannya; (2) sebagai pedoman dan landasan teoritik terhadap pentingnya akomodasi aspek sosial dan kondisi riil masyarakat dalam pelestarian subak. Sedangkan manfaat prakteknya adalah (1) hasil penulisan makalah, diharapkan memberi manfaat yang cukup besar sebagai suatu pedoman pelestarian subak di Bali; (2) akan memberikan manfaat secara tidak langsung kepada masyarakat karena mereka dibantu dan difasilitasi dalam pengetahuan akan subak dan nilai kearifan lokal didalamnya.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Subak
Berdasarkan temuan dalam data prasasti, dapat disimpulkan bahwa pertanian dengan sistem perladangan dan sistem persawahan yang teratur telah ada di Bali pada tahun 882 M. Dalam prasasti Sukawana A1 tahun 882 M terdapat kata “HUMA”, berarti sawah dan kata “PERLAK” yang berarti tegalan. Dalam prasasti Raja Purana Klungkung yang berangka tahun saka 994 (1072 M), disebutkan kata Kasuwakara yang kemudian menjadi suwak atau subak. Keaslian sistem ini juga diperkuat dengan lontar Markandeya Purana sebagai dokumen historis yang menyebutkan”...sang mikukuhin sawah kawastanin subak, sang mikukuhin toya kawastaniu pekaseh, ika ne wenang ngepahin toya punika...” artinya, yang mengurus sawah seperti menggarp sawah dan sebagainya dinamakan subak, sedangkan yang diberikan tugas untuk mengurus dan menyelenggarakan pembagian air di sawah dan di ladang disebut pekaseh.
Berbicara mengenai pertanian di Bali, selalu akan diidentikkan dengan sistem subaknya yang merupakan cirri khas sistem pertanian di Bali. Seperti yang diungkapkan oleh  PiƱata (1997) dalam Sunaryasa, 2002, subak di bali memiliki lima ciri yaitu:
  1. Subak merupakan organisasi petani pengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu oraganisasi, subak memiliki pengurus dan pengaturan organisasi (awig-awig) yang tertulis maupun tidak tertulis.
  2. Subak memiliki sumber air bersama, berupa bendungan (ampelan) di sungai, mata air, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi.
  3. Subak mempunyai suatu areal persawahan
  4. Subak mempunyai otonomi, baik internal maupun eksternal
  5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.
Ada banyak definisi tentang subak yang dikemukakan olah para pakar. Menurut Dilihat dari pengertiannya, definisi tentang subak adalah sebagai berikut:
  1. Pinnata (1997) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai masyarakat hokum adat yang bersifat sosio agraris dan religious yang tediri dari petani-petani penggarap sawah pada suau areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber.
  2. Liefrink (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai suatu organisasi petani yang mengatur penyaluran air ke sawah-sawah untuk pertanian, sistem irigasi yang baik, juga sangat efektif digunakan untuk memungut tigasana atau pajak tanah/landrente.
  3. Sutawan (1986) dalam Sunaryasa (2002); mendefinisikan subak sebagai organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari auatu sumber bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan); serta mempunyai kebebasan didalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak luar.
  4. Arif (1999), dalam Windia (2006) memberi perluasan pengertian terhadap karakteristik subak. Arif mendefinisikan subak sebagai suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-teknik-religius.
  5. Peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972 menyatakan Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi dilahan sawah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious, mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.
2.2 Penerapan Sistem SubakDari aspek sosial dan teknik dilihat bahwa subak sebagai sistem teknologi dari sitem sosio kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga sub sistem yaitu:
1. Subsistem budaya (pola piker, norma dan nilai),
2. Subsistem sosial (termasuk ekonomi)
3. Subsistem kebendaan (termasuk teknologi)
Gambar 1. Hubungan timbal balik antar subsistem dalam sistem manajemen irigasi masyarakat yang bersifat sosio-kultural
Kesemua subsistem tersebut memiliki hubungan timbal balik, dan juga memiliki hubungan dengan keseimbangan dan lingkungan. Dengan adanya keterkaitan antar semua sub sistem, maka secara teoritis konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi dapat dihindari.
Gambar 1. menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar, dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi    di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak (Windia, dkk, 2011)
Kereligiusan subak dilihat dari adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi kesuburan ), disamping adanya sanggah pecatu (bangunan suci)yang terdapat dalam setiap blok/komplek persawahan milki petani anggota subak. Aspek religious ini merupakan cerminan konsep Tri Hita Karana yang pada hakekatnya terdiri dari Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan (Sutawan, 2004).
    Dalam perkembangannya hingga saat ini, di Bali telah terbentuk dua buah subakagung yakni subakagung Yeh Ho (mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di sungai Yeh Ho) di Kabupaten Tabanan dan subakagung Gangga Luhur di Kabupaten Buleleng (mengkoordinasikan sistem irigasi yang ada di saluran induk Sungai Buleleng, Sungai Nangka, dan Sungai Banyumala).
    Selanjutnya dalam perkembangan sistem subak di Bali, dapat dicatat jumlah subak dan jumlah areal sawah pada setiap kabupaten di Bali, seperti pada Tabel 1. berikut:

No.    Kabuaten/Kota    Jumlah Subak (buah)    Jumlah Areal Sawah (ha)
1.    Buleleng                               296                            14.210
2.    Jembrana                             95                               9.044
3.    Tabanan                               348                            25.053
4.    Badung                                113                            11.693
5.    Denpasar                             45                              3.318
6.    Gianyar                                478                            16.073
7.    Klungkung                            46                             4.283
8.    Bangli                                   50                              3.166
9.    Karang Asem                       140                            8.498

Jumlah                                       1.611                           95.338
                       
                                                                            Sumber: Windia (2006)

Menurut catatan Bapedda Bali pada tahun 2000, jumlah subak di Bali tetap konstan sejak tahun 1997, namun luas areal persawahan di Bali telah berkurang, yakni masing-masing pada tahun 1997, 1998, dan 1999, berturut-turut seluas 100.221,53 ha, 98.177 ha, dan 95.338 ha. Ini berarti secara fisik keberadaan sistem irigasi subak di Bali telah mulai mengalami ancaman serius (Windia, 2006).
Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya  (l985) dalam Windia, dkk (2011), yakni (i) kegiatannya yang berdasarkan pada usaha swadaya, dan tidak tergantung pada ahli; (ii) bersifat desentralisasi; (iii) kegiatannya berdasarkan pada kerjasama, dan bukanpada persaingan; dan (iv) merupakan teknologi yang sadar pada tanggungjawab sosial dan ekologis.
Konsep Parhyangan dalam sistem subak ditunjukkan dengan adanya Pura pada wilayah subak dan pada komplek persawahan petani. Konsep Palemahan, ditunjukkan dengan adanya kepemilikan sawah untuk setiap subak. Konsep Pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuha setempat, adanya anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak.
Gambar 2. Bangunan suci untuk menyembah Dewi Sri

a. Sistem sosial subak
Subak pada umumnya beranggapan bahwa bagaimana sebaiknya irigasi itu dapat dikelola agar mampu mencukupi kebutuhan air berbagai tanaman pada saat tanaman kekurangan air. Air didistribusikan secara proporsional kepada setiap petani anggota subak, yakni dengan ukuran tektek, satu tektek air irigasi di subak pada dasarnya bermanfaat untuk mengairi areal sawah seluas satu bit tengah sekitar 0,35ha.
Untuk mencapai tujuan seperti yang dikemukakan, maka dibentuklah organisasi sosial subak yang mengelola sistem irigasi yang tersedia. Tugas-tugas yang harus dilaksanakan para pengurus organisasi adalah:
  • Merencanakan tujuan, dan sasaran kegiatan yang merupakan wujud dari pelaksanaan yang taat asas menurut aturan yang diberlakukan.
  • Menjelaskan tujuan dan sasaran kepada anggota
  •  Menyusun kesepakatan tindakan pemecahan permasalahan, dan pembagian tanggung jawab pada seluruh anggota
  • Memberdayakan anggota untuk berperan serta sesuai tujuan, hak,dan kewajiban yang dimiliki.
  • Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan agar tujuan dan sasaran kegiatan yang telah disepakati dapat tercapai dengan baik.
Berkait dengan sistem sosial subak untuk mengatur penyediaan dan mengalokasikan air (mengelola air irigasi) atas dasar kesesuaian dengan pola piker, maka subak membangun organisasinya sesuai dengan kebutuhan setempat. Misalnya, pada daerah-daerah tertentu, ada seorang staf pengurus subak yang disebut dengan petilik, yang bertugas untuk secara rutin mengawasi alokasi dan distribusi air irigasi di kawasan tersebut.
Struktur organisasi subak di Bali pada umumnya adalah sebagai berikut:

Gambar 3. Struktur organisasi subak di Bali pada umumnya
b Artefak/kebendaan   
Agar tujuan-tujuan itu tercapai maka elemen-elemen yang ada dalam organisasi sosial tersebut masing-masing memiliki tanggung jawab agar fungsi-fungsi dari artefak yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Adapun kaitan antara artefak, fungsinya, dan penanggungjawabnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Artefak, fungsi dan penanggung jawabnya

Penjelasan singkat:
  1. Bendung (empelan): lokasinya pada kawasan tikungan sungai
  2. Saluran irigasi (telabah): saluran terbuka yang dimanfaatkan oleh subak yang bersangkutan untuk mengalirkan air irigasi hingga kepetak sawah petani
  3. Trowongan (aungan): dibuat apabila saluran irigasi (telabah) tidak dimungkinkan untuk dibuat.
  4. Bangunan bagi (tembuku): digunakan untuk membagi air ke setiap sawah milik petani.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Tri Hita Karana (THK) , maka pembangunan dan pemanfaatan artefak pada sistem subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar mampu memunculkan kebersamaan dan harmoni dikalangan anggota subak. Arif (l999) dalam Windia (2006) mencatat bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya didesain, dan dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras dengan lingkungannya.
Bangunan bagi ada yang sistem numbak, dan sistem pembagian air ngerirun.
 Gambar 4. Bangunan bagi sistem numbak (tembuku)

Gambar 5. Bangunan bagi sistem ngerirun (box)
 Gambar 6. Saluran sekunder air pada subak

Gambar 7. Saluran tersier

2.3Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung pada sistem subak
Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Berikut nilai-nilai kerifan lokal yang terkandung dalam sistem subak:
  1. Bangunan penangkap air disungai (bendung/empelan) diletakkan pada kawasan tikungan sungai, sehingga dengan demikian bangunan sadap dari bendung tersebut dapat ditempatkan pada lokasi dengan kecepatan air paling tinggi, ada kekuatan sentrifugal dan dengan sedimen paling minimal.
  2. Bagian atas trowongan dibuat melengkung mengandalkan pada batuan asli dan tidak disemen. Pada beberapa tempat dibuat lubang untuk masuk terowongan untuk menjamin agar ada udara diatas air pada saluran sehingga terowongan tetap pada keadaan saluran terbuka.
  3. Tiap petani anggota subak memiliki bangunan pengambilan (water inlet) tersendiri dan juga saluran pembuang (outlet) sendiri. Hal ini akan mempermudah pinjam meminjam air antar anggota juga memudahkan proses pelaksanaan diversifikasi tanaman meskipun pada musim hujan sekalipun pada musim hujan.
  4. Bangunan bagi dibuat dengan sistem tradisional “numbak” dengan ambang rata-rata tanpa pintu, dibuat proporsional sesuai luas lahan yang dimiliki oleh petani, teknologi pengalokasian air ini menjamin transparansi, rasa keadilan dikalangan anggota, mudah dikelola, dan mudah dipantau sehingga dapat dikatakan sebagai teknologi tepat guna.
  5. Setiap petani atau anggota subak menata lahannya mengikuti kontur lahan yang secara umum di Bali memiliki kontur berbukit, sehingga munculah sistem terasering. Sistem terasering ini memiliki manfaat besar menjaga kelestarian lingkungan, hal ini disebabkan karena dengan sistem ini dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya erosi atau longsor, pencucian mineral tanah akibat air pada saat musim hujan, serta menjamin ketersediaan air yang merata kepada petani pada saat usim kemarau.
  6. Sistem subak mengatur pemanfaatan air yang tersedia di alam berperan penting  dalam menjaga keseimbangan dan keserasian antara manusia dan lingkungan, hal ini disebabkan karena subak dikembangkan berdasarkan konsep Tri Hita Karana. 
  7. Adanya pengaturan air kepada petani secara merata dalam sistem subak memberikan jaminan kepada masyarakat akan ketersediaan pangan. Hal ini dimungkinkan, karena adanya kemungkinan saling pinjam air antar sistem subak maupun saling pinjam air antar anggota subak.
  8. Adanya pengaturan pola dan jadwal tanam dilakukan dengan tegas dan ketat, bahkan terkadang dengan pemberian sanksi tertentu bagi yang melanggar. Pengaturan pola dan jadwal tanam dilakukan utuk merespon perubahan musim, dan ketersediaan air di alam. Beberapa pola tanam yang dikenal dalam subak antara lain:
  •  Kerta masa: wilayah subak ditanami padi semua karena jumlah air yang mencukupi
  •  Gegadon: pergiliran tanaman padi dengan palawija, karena pergiliran pemakaian air dengan subak sekitarnya.
Pada kondisi tertentu karena kondisi alam, maka diupayakan dengan sistem:
    a. Ngulu: sawah dihulu yang  mendapatkan air terlebih dahulu
    b. Maongin: sawah yang berada di tengah yang mendapat giliran air
    c. Ngasep: sawah yang dihilir mendapat bagian air paling akhir
Melihat besarnya nilai dan peranan subak bagi petani dan masyarakat khususnya masyarakat di Bali, maka tak salah apabila kita tetap melestarikan sistem subak guna menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan. Mengingat begitu besarnya tantangan kedepan, hendaknya masyarakat dan pemerintah daerah juga berperan dalam melestarikan sistem subak yang sudah dikenal hingga mancanegara.

BAB III
PENUTUP

3.1.    Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
  1. Subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional yang bergerak dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat social religious, mandiri yang anggotanya terdiri dari petani yang berdada dalam suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig.
  2. Penerapan sistem subak diserahkan sepenuhnya kepada anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, hal ini dumungkinkan karena pengelolaan subak bersifat fleksibel.
  3. Nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sistem subak terdapat pada artefak atau aspek benda dan pembuatannya. Seperti pada bendungan, trowongan, serta banguna bagi pada sistem tersebut.

3.2.    Saran
Mengingat sangat pentingnya peranan subak dalam menjaga kelangsungan sistem pertanian di Bali dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya, maka hendaknya kita harus berupaya untuk mempertahankan atau bahkan mengemangkannya di wilayah lain di Indonesia. Mengingat sistem subak memberikan kemudahan dan kepastian kepada petani dalam memperoleh pasikan air irigasi untuk pertanian yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. Jumlah penduduk propinsi bali. Diakses pada www.bps.go.id. Tanggal 5 juni 2011.
Febry. 2008. “Subak bali”. http://masfebrymultyply.com  Diakses pada tanggal 5 juni 2011.
Karana, Agri. 2009. “Pariwisata Vs Subak Bali”  agrikaranablogspot.com. Diakses pada tanggal 5 juni 2011.
No name. 2009. “Belajar Dari Kearifan Lokal” http://diglib-amp.net Diakses pada tanggal 5 juni 2011.
No name. 2009. “Subak miliki Kearifan lokal dan kecerdasan file.pdf” Diakses pada tanggal 5 juni 2011
No name. 2011. Museum Subak Sanggulan. http://www.tabanankab.go.id/. Diakses pada 5 juni 2011.
Sutika. 2008. “lipsus- subak dukung kemandirian pangan di Bali file.pdf” Diakses pada tanggal 12 juni 2011.
Sutawan, I Nyoman. 2004. “Eksistensi subak di Bali mampukah bertahan mengahadapi berbagai tantangan.  file.pdf” Diakses pada tanggal 9 juni 2011.
Sunaryasa (2002). Upaya revitalisasi peran Subak dalam pelestarian fungsi lingkungan. Thesis. Tidak dipublikasikan. Filetype:pdf. Diakses 9 juni 2011.
Suryadi, dede. 2008. Berawal dari kearifan lokal. http://swa.co.id Diakses pada tanggal 9 juni 2011.
Windia. 2006. “Transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan konsep trihita karana” Denpasar: Pustaka Bali post.
Windia, dkk. 2011. Sistem Irigasi Subak Dengan Landasan Tri Hita Karana (THK) Sebagai Teknologi Sepadan Dalam Pertanian Beririgasi. Filetype:pdf. Diakses pada 9 juni 2011













.