Serat Kalathida: Eksistensialisme A la Jawa


Ahyaning arda rubeda, Ki Pujangga amengerti, mesu cipta matiraga, mudhar waraning gaib, sasmitaning sakalir, ruweding sarwa pakewuh, wiwaling kang warana, dadi badaling Hyang Widdhi, amedharken paribawaning bawana.[1]

Syair tembang sinom diatas merupakan pembuka dari kitab sastra kuno Serat Kalathida karangan (R.Ng) Ranggawarsita (1728-1802 tj). Kalathida sendiri secara harfiah terdiri dari gabungan dua kata yaitu Kala yang artinya masa dan Tidha yang artinya samar, kabur atau tak menentu. Jadi bila dua kata itu di gabungkan maka Kalathida bermakna sebuah zaman yang samar, gagap, kabur, absurd dan tak menentu.

Ranggawarsita melalui karyanya inilah meramalkan bahwa akan datang satu periode masa yang jungkir balik dan tak menentu (dia menyebutnya sebagai “zaman edan atau zaman kalabendhu”) sebuah zaman dimana laki-laki akan seperti perempuan dan perempuan layaknya laki-laki, dimana sebuah janji dusta dimuntahkan, dan seribu topeng dikenakan, mayoritas manusia pun akan kehilangan eksistensialisme kemanusiaannya karena manusia lebih mementingkan untuk mengejar dimensi-dimensi keduniawian semata dan mengesampingkan dimensi spiritualitas kejiwaan. dan kita (kita?) seperti yang di ramalkan oleh serat itu

Amenangi zaman edan
Emoh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Ning yen tan melu
Boyan keduman melik
Kaliren wekasanipun[2]

Dan kalau ditilik-tilik dari kekinian yang kita hadapi sekarang ini, apakah mungkin inilah zaman kalabendhu yang di ramalkan oleh Ki Ranggawarsita sebagai “bila tatanan berguncang, akan datang zaman kalabendhu” itu?

Terlepas dari benar tidaknya ramalan itu, menurut saya Serat Kalathida memiliki semacam semangat protes zaman, protes pada keadaan yang telah memporak-porandakan sendi kehidupan dan merampas kemanusiaan seorang manusia. Pada bagian ini Ki Ranggawarsita seperti sedang menguraikan sebuah absurditas kehidupan, ketak menentuan dan mengeksplorasi sisi eksistensialisme seorang manusia, sehingga dari sini manusia kemudian diharapkan menyadari bahwa dirinya adalah wakil jagat raya yang harus dan mau mengenali dirinya sendiri sebagai makhluk teomorfis. Dengan begitu kemudian manusia-manusia itu pun menjelma sebagai manusia unggul. Manusia-manusia pilihan.

Dan ternyata, entah kebetulan atau memang kitab karangan ini beredar hingga ke Jerman dan Perancis, beberapa tahun kemudian pandangan Ki Ranggawarsita tentang humanisasi dan moralitas kehidupan ini diikuti pula oleh pemikir-pemikir modern di sana, sebut saja seperti Nietzche dengan uebermencsh dalam kotbah monumentalnya Zarathustra, atau Sartre lewat ensoi dan poursoi-nya, Camus lewat moralitas kehidupannya, bahkan Edmund Husserl dengan filsafat penomenologisnya dan banyak lagi.

Yang mungkin membedakan pandangan Ki Ranggawarsita dengan para filsuf Jerman dan Perancis di atas hanyalah terletak pada bagaimana cara penyelesaian mereka terhadap penomena yang mereka hadapi itu. jika Ranggawarsita (mungkin karena factor cultural) lebih menekankan pada sikap pasrah dan mendekatkan diri ke Tuhannya, maka berbeda jalan yang di tempuh oleh Nietzsche, Husserl, Camus dan Sartre (lagi-lagi mungkin karena factor cultural juga). Para filsuf  itu lebih memilih bersikap memberontak pada tatanan yang membelenggu eksistensi kemanusiaan mereka.

“Eksistensialisme a la Ranggawarsita termanipestasi dalam penyerahan total dan mutlak pada eksistensi Tuhannya”, demikian kata Supaat I. Latief, “sehingga eksistensinya sendiri (eksistensi pribadi) kehilangan sebuah kemungkinan.” Dengan begitu, eksistensi seperti ini merupakan eksistensi kebebasan yang telah dicabut dari posibilitasnya untuk dapat mengubah tatanan. Sikap pasrah Ranggawarsita ini dapat kita saksikan lewat syair yang beliau tulis di salah satu bab serat Kalathida di bawah ini:
Sageda sabar santosa, mati sajeroning ngurip, kaling ing reh aruara, murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatsih, sanityasa tyas mamasuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawatawis, borang angga suwarga mesi martaya.[3]
Meskipun begitu, sikap pasrah pada eksistensi Tuhan yang di ajarkan oleh syair di atas tentu saja tidak serta merta mengharuskan manusia dalam mencapai kesucian harus meninggalkan segala tetek bengek keduniawian mereka dan ngejogrog namru di tempat-tempat sunyi dan jauh dari orang-orang di sekitarnya seperti kain pel yang habis di pakai. Seorang manusia, boleh-boleh saja berada di tempat keramaian, selama ia tidak terganggu dan tetap punya kesempatan untuk merenung dan kontemplasi pada permasalahan eksistensialis. Sendiri dalam keramaian. Mati sajeroning ngurip. Iwak rak melu asin senajan urip ning segoro. Dengan demikian, pada akhirnya dari laku lampah yang ia jalani itu diharapkan sang manusia dapat memberi makna dan nilai terhadap kehidupan di sekitarnya, ditengah keong sak kenong matane, tikus-tikus pada ngidung lan kucing gering kang njagani.

Kalau sudah begitu, pada tingkat selanjutnya barulah sang manusia boleh meneruskan perjalanannya menuju dunia transenden untuk kemudian menjadi soko guru atau pandhito ratu yang mumpuni untuk memberikan contoh tauladan dan nasihat pada manusia-manusia disekitarnya…














.