Menelisik Makna Kitab Sasangka Djati Karya Pakdhe Narto

Sasangka Djati adalah sebuah buku bertahun 1932 karya R. Soenarto Mertowardojo yang bertalian erat dengan pandangannya terhadap dunia materil. Dalam sikap hidup ini pakhde Narto membagi pandangannya dalam 3 unsur, yaitu distansi, konsentrasi dan representasi.

a. Distansi
Menurut pakhde, pengertian distansi disini adalah manusia mengambil jarak terhadap dunia sekitarnya, baik dalam aspek materil maupun spirituil. Meskipun begitu, distansi disini tidak dicari untuk distansi itu sendiri, melainkan sebagai jembatan penghubung bagi manusia agar dapat menemukan dirinya sendiri. Semacam tolak ukur kesadaran bagi manusia. Karena segala sesuatu dalam dunia (suka, duka, bahagia, sengsara) ini mengeruhkan kesadaran. Oleh karena itu manusia harus mengambil jarak terhadap dunia dan segala hal ihwalnya. Lebih mudahnya, jika manusia ingin mempunyai arti dalam dunia, maka terlebih dahulu dia harus merenungkan tentang dunia itu.

Distansi sendiri punya anak sikap yang tak bisa dipisahkan, yaitu; rila, narima dan sabar.

a.1. Rila
Sesungguhnya hal yg disebut ‘rila’ itu adalah keikhlasan hati dengan rasa bahagia dalam hal menyerahkan segala miliknya, hak-haknya dalam semua buah pekerjaannya kepada Tuhan, dengan tulus ikhlas, karena mengingat semuanya itu ada didalam kekuasaan Tuhan. Maka dari itu harus tiada suatu pun yang membekas didalam hati..[1] 
Berulang kali saya menemukan kata ‘rila’ dalam ajaran ini. ‘rila’ yang bersinonim dengan kata ‘penyerahan’. Sebuah penyerahan yang tidak hanya berwujud dalam perbuatan-perbuatan yang insidentil dan spontan, melainkan harus merupakan sikap hidup yang tetap. Rila selalu menuntut suatu tekad yang dapat kita adakan karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik sebagai penggantinya. Tetapi ada faktor-faktor lain juga dalam hidup sehari-hari yang dapat mendorong manusia untuk dapat bersikap ‘rila’ yang antara lain kekecewaan, perubahan, keterikatan dan berbagai penderitaan yang datang silih berganti dan lain sebagainya..

a.2. Narima
Sikap ‘narima’ itu adalah sesuatu harta yang tak habis-habisnya, oleh karena itu barang siapa yang berhasrat mendapat kekayaan, carilah didalam sifat narima. Bahagialah orang yang memiliki watak narima itu dalam hidupnya, karena ia unggul terhadap keadaan tidak kekal..[2] 
Distansi juga nampak dalam pengertian narima. Artinya; merasa puas dengan takdirnya (bukan nasib), tidak berontak, menerima dengan rasa terima kasih.

Jika sikap ‘rila’ mengarahkan perhatian terhadap segala sesuatu yang telah kita capai dengan upaya sendiri, maka sikap ‘narima’ lebih menekankan pada apa yang ada, faktualitas hidup kita, menerima segala sesuatu yang masuk dalam hidup kita, baik sesuatu yang bersifat materil, maupun suatu kewajiban atau beban yang diletakkan diatas bahu kita oleh sesama manusia.

Narima tidak menyelamatkan seseorang dari mara bahaya, melainkan merupakan satu perisai terhadap penderitaan (penghayatan subyektif) yang diakibatkan oleh malapetaka. Yang menjadi pusat perhatian disini adalah ‘pikiran’ atau lebih tepat ‘rasa’ akibat malapetaka itu..

a.3. Sabar
Gegambaranipun tijang sabar punika kados dene seganten, ingkang boten bade ambaludag, senaosa toja saking pinten-pinten katahing lepen, manungsa iku sabisa-bisa kudu apengawak segara..[3] 
Kata ’sabar’ sering kita jumpai bersama-sama dengan 2 istilah tadi, dan memang merupakan akibatnya. Hanya orang yang menjalankan rila dan narima akan menjadi sabar. Seorang yang dengan rela hati menyerahkan diri dan yang menerima dengan senang hati sudah dianggap sabar dengan sendirinya. Ia akan maju dengan sikap hati-hati, karena sudah menjadi bijaksana berdasar pengalaman.

Kesabaran merupakan “broadmindedness”, kelapangan dada, yang dapat merangkul segala pertentangan, betapapun besarnya perbedaan itu. Kesabaran laksana samudera yang tidak bertumpah, tetap sama, sekalipun banyak sungai yang bermuara padanya..

b. Konsentrasi 
Dalam kitab ini, konsentrasi pun di bagi menjadi 2 bagian, yaitu; ‘Tapa’ dan ‘Pamudaran’.

b.1. Tapa
Aja wareg, nanging aja luwe, aja kakehan melek, nanging iya aja kakehen turu; mangkono sapiturute, kaangkaha dewe kang sarwa sedeng, aja kongsi kaladuk utawa mung umbar-umbaran bae. Mungbae anggone ngurang-ngurangi kaangkaha saperlu, lan aja nganti diprusa kang ndadekake karusakaning raga, nanging dikuliknakna cecegah saka satitik manut kakuwatane..[4] 
Setiap konsentrasi dapat dikacaukan oleh aktifitas nafsu. Nafsu tersebut erat hubungannya dengan fungsi-fungsi jasmani. Kalo seseorang masih muda dan kuat, maka nafsu-nafsu masih bergelora di dalam badannya, terutama nafsu egosentris.

Maka dari itu diperlukan salah satu bentuk tapa. Lewat tapa kekuatan badan diperlemah, hingga sikap dan perasaan terhadap sesama manusia berubah. Orang menjadi sadar dengan relatifitas eksistensinya.

Dengan demikian, maka tapa, asal dipergunakan dengan seksama, dapat mengembalikan seseorang pada pusat hidupnya.

b.2. Pamudaran
Hidup adalah sebuah lingkaran, “sangkan paraning manungsa”. Dalam hidup ini ada banyak gerak-gerik, tetapi sebetulnya tak terjadi sesuatu pun. Atau apa yang terjadi tidak melibatkan diriku. Berkat pamudaran aku lepas dari semuanya itu, seperti orang mati di tengah-tengah hidup yang bergairah ini, mati sajeroning urip.. 
Keadaan hidup yang tercapai oleh tapa yang intensif dapat dilukiskan sebagai rasa kebebasan. Kebebasan batin inilah yang disebut pamudaran. Sebuah kebebasan yang membuat manusia tak lagi merasa terikat dengan dunia materil. ‘pamudaran’ sendiri berasal dari kata ‘udar’ atau ‘wudar’, yaitu melepaskan pakaian atau menguraikan seutas tali. Pamudaran berarti, bahwa seseorang dalam batinnya telah terlepas dari dunia indrawi.

Ciri khas dari pamudaran adalah lenyapnya segala gagasan dan pengalaman. Orang yang bersangkutan menghayati kebersatuannya dengan Tuhan.. Manunggaling kawula gusti.

c. Representasi
Apa yang terkandung dalam pengertian ‘representasi’ ini? Representasi disini adalah bahwa setiap orang yang telah mengambil jarak terhadap materi (bukan meninggalkan materi) dan menemukan kekayaan batinnya, sedang dalam perjalanan menuju kebersatuan dengan Tuhan. Bahkan ia menjadi Tuhan. Sebetulnya ia telah mencapai keadaan mati, sekalipun ia masih hidup. Ia ‘mati sajeroning urip’. Ia lepas dari daya hisap materi.

Dan karena menurut lubuk hatinya dia (hampir) bersatu dengan Tuhan, maka mau tidak mau, dalam kehidupan sehari-hari pun dia juga memperlihatkan sifat-sifat Tuhan (ngiribi sifate Allah). Tuhan adalah ketentraman - dia juga menjadi ketentraman, Tuhan adalah terang - dia juga menjadi terang. Ia menjadi semacam duta besar dari sang maha penguasa tertinggi bernama Tuhan.

Dan dalam hubungan ini, representasi dipecah menjadi 2 anak tangga, yaitu; kuwajiban dan memayu ayuning bawana..

c.1. Kuwajiban
Keplasing turu dadi pasemoning badan wadag. Manawa wong pinudju turu, mangka bandjur ngimpi iku dadi pasemon, manawa roh durung iklas ninggal kahanan ing wektu rahina (awan), pasemon jen manungso ora iklas ninggal kadonjan. Wekasan ing tembe bakal katurunake maneh ing kahuripan kuwadagan.. 
Pakhde Narto percaya, bahwa didunia ini terdapat semacam keindahan. Tetapi keindahan tersebut kabur. Keindahan itu baru menjadi jernih dan sempurna, bila semua orang, masing-masing pada tempatnya sendiri, menjalankan kewajibannya.

Lalu apa saja kewajiban-kewajiban yang menurut kitab ini harus dikerjakan oleh manusia? Secara rinci dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) badan.
Yang dimaksud disini ialah badan manusia. Kita mempunyai kewajiban memelihara badan dan kesehatan jasmani. Badan sendiri tidak berharga, hanya semacam busana. Tetapi kita wajib memeliharanya, karena ia berfungsi sebagai kereta bagi roh.

b) keturunan
Selain badannya sendiri harus dipelihara pula badan yang akan datang, yaitu keturunan. Maka dari itu orang harus mengusahakan keturunan yang baik, agar roh dapat ditampung dalam suatu yang layak dan dengan demikian dapat bekerja terus demi keselamatan dunia.

c) budidharma 
Budidharma adalah semacam kesediaan membantu sesama, dan merupakan suatu gladi resik sebelum orang dapat bersatu dengan Tuhan.

d) pekerjaan 
Memang bagi pakhe Narto, pekerjaan merupakan kewajiban, tapi hanya sebatas itu, tidak lebih. Singkatnya, pekerjaan hanya dihargai sebagai sesuatu yang, walaupun tidak luhur, toh harus dijalankan.

e) penguasa 
Dalam pandangan kitab ini, memenuhi kewajiban terhadap penguasa dianggap sebagai satu sarana yang dapat membebaskan manusia dari kesengsaraan hidup.

c.2. Memayu Ayuning Bawana
Manusia Menginjak dunia Melalui dunia Dan meninggalkan dunia 
Dengan jelas sekali sajak ini menerangkan, apa yang dimaksudkan dengan Memayu Ayuning Bawana. Ungkapan ini tidak mengatakan sesuatu pun yang baru, yang mengandung harapan bagi bawana. Sebenarnya satu-satunya yang dipentingkan ialah manusia baru didunia ini, manusia yang diperbaharui dan memperbaharui. Bumi tetap sama, tak dapat dirubah, tak dapat diperbaharui, karena dasarnya hanya materi.

Manusia sendiri laksana bulan purnama. Bulan yang menyinari, memperindah dan menerangi. Tapi meskipun begitu, jika ia tidak berbuat sesuatu pun, maka bumi akan tetap dingin.

KESIMPULAN
Jadi, kalo boleh saya simpulkan disini, dari ketiga unsur ini (distansi, konsentrasi dan representasi) adalah bahwa manusia harus mengambil ‘distansi’ (jarak) terhadap dunia, “Jagad gedhe” kemudian diadakan ‘konsentrasi’ terhadap dirinya sendiri; inipun semacam distansi terhadap “Jagad cilik” (badan sendiri). Dan hasil dari dua usaha itu ialah ‘representasi’. Lepas dari ikatan dunia materil dengan batin yang dimurnikan, maka orang menjalankan sisa hidupnya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia..

***













.