Wayang Thithi, Perkawinan Dua Budaya

Wayang kulit Cina - Jawa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wayang Thithi mulai dikenal di Yogyakarta pada tahun 1925 hingga sekitar tahun 1967. Istilah thithi sendiri didapat dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang biasa mengiringi setiap pertunjukan wayang kulit China yang jika dipukul akan mengeluarkan suara thek…thek…thek.. Suatu bunyi yang terdengar di telinga orang Jawa sebagai thi… thi… thi… Untuk lakon sendiri, berbeda dengan wayang kulit Jawa yang selalu mengangkat lakon dari dua epos terkenal yakni Ramayana dan Mahabarata maka untuk wayang thithi ini lakon atau cerita yang dimainkan adalah mitos dan legenda negeri Tiongkok seperti San Pek Eng Tay, Sam Kok, Thig Jing Nga Ha Ping She, dan sebagainya. 

Dan karena wayang thithi merupakan sebuah kesenian budaya hasil akulturasi dari kebudayaan China dan Jawa maka tokoh-tokoh yang terdapat dalam lakon wayng thithi inipun perpaduan dari dua kebudayaan ini yaitu nama-nama para tokoh lakon, negara, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis menurut nama-nama aslinya (Hokkian), akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, sebagian besar mempergunakan istilah-istilah Jawa seperti : narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, radhyan, dyah, abdi, prajurit dan sebagainya. Dan karena pola yang di ambil oleh wayang thithi ini adalah pola pedalangan wayang purwa maka baik janturan, suluk maupun kandha, seluruhnya menggunakan idiom-idiom pedalangan jawa, pun begitu dengan prosesi yang harus dilakukan sang dalang sebelum memulai pertunjukkan wayang thithi seperti dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan. Selain itu, sang dalang juga harus menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita, menguasai bahasa Jawa dan sebagainya.

Buku-buku lakon wayang thithi yang sampai saat ini masih bisa dijumpai adalah milik koleksi pribadi Dr. F. Seltmann di Stuttgart, yang dijual kepada Staatsbibliothek zu di Berlin pada tahun 1995. Naskah-naskah ini dibeli oleh Dr. F. Seltmann ketika ia tinggal di Yogyakarta selama 1 tahun (1964-1965?) dari Gan Thwan Sing (1885-1966). Pembelian naskah-naskah ini melengkapi pembelian satu kotak wayang Cina-Jawa milik Gan Thwan Sing. Teks wayang Cina-Jawa Yogyakarta merupakan teks lakon pergelaran wayang. Cerita-ceritanya ditulis dalam bentuk prosa, berbahasa dan beraksara Jawa. Keunikan naskah ini terletak pada aksara Jawa yang diciptakan oleh Gan Thwan Sing untuk menuliskan nama-nama tokoh Cina, bahasa, aksara dan kisahnya. Naskah lainnya terdapat di beberapa tempat termasuk di rumah warga keturunan dalang wayang thithi itu sendiri. 

Secara garis besar lakon yang di tulis dalam bahasa dan huruf Jawa ini diawali dengan lokasi adegan seperti di kerajaan, khayangan dan sebagainya. Kemudian barulah dilanjutkan dengan nama-nama tokoh wayang yang terdapat dalam lakon tersebut, dan diakhiri dengan uraian kisahnya. Tata cara pertunjukan wayang Thithi ini secara umum tidak berbeda dengan wayang kulit purwa, yang terbagi dalam tiga pembabakan. Yaitu : 


  • Babak awal, pertunjukan diiringi dengan gendhing-gendhing pathet nem.
  • Babak pertengahan, dalang memberi isyarat kepada para pemusik (niyaga) agar sejenak membunyikan gendhing lindur dan disusul dengan gendhing pathet sanga.
  • Babak akhir, pertunjukan diiringi dengan gendhing pathet manyura. Sebagai penutup, iringan musik gamelan menyajikan gendhing ayak-ayakan pamungkas.


Hanya saja, berbeda dengan wayang kulit purwa, yang memiliki adegan banyolan (punakawan : Semar, Gareng, Petruk, Bagong), pada mulanya dalam pertunjukan wayang Thithi ini tidak dikenal adegan tersebut. Hal ini disebabkan karena tradisi Cina memang tidak mengenal tokoh-tokoh punakawan. Sebagai gantinya, GTS menghentikan jalannya pertunjukan untuk memberi waktu istirahat sang dalang. Masa istirahat ini ditandai dengan ditancapkannya seorang tokoh berbusana petugas keamanan membawa papan pengumuman yang memuat tulisan berbahasa Melayu, beraksara Latin : “Istirahat 10 menit” meski pada perkembangan selanjutnya, Gan Thwan Sing, salah satu tokoh pedalangan wayang thithi menciptakan tokoh-tokoh mirip punakawan, yang diberi busana dan tata rambut bercorak Cina klasik, kecuali Semar. Tokoh Semar sengaja tidak diciptakan karena Gan Thwan Sing memahami makna tokoh Semar bagi orang Jawa. Tokoh Semar adalah lambang kemuliaan bagi orang Jawa. Untuk mengiringi pertunjukan wayang ini, maka digunakanlah musik gamelan seperti halnya wayang kulit purwa. Biasanya digunakan seperangkat gamelan dengan tangga nada slendro dan pelog. Perihal tembang atau gending-gending yang mengiringi wayang ini masih diperlukan penelitian tersendiri yang berkaitan dengan rekonstruksi pertunjukan wayang kulit Cina-Jawa.














.