Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Karya: Desy Damayanti
Basah kuyub. Sore itu, ketika matahari hendak kembali ke peraduannya, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Aku yang saat itu sedang mengunjungi Monumen Kebangkitan Nasional di Solo, buru-buru berlari mencari tempat berteduh. Warung bakso terdekat adalah referensi terakurat di saat darurat. Tiba-tiba, seorang lelaki botak menyenggolku hingga membuatku hampir tumbang. Dengan sigap ia meraih tanganku kemudian menariknya ke peluknya. Lelaki berkulit sawo matang dengan mata sipit itu mengenakan seragam dinas berwarna coklat. Sepertinya ia seorang pegawai pemerintah. Dilihat dari tas yang ia bawa, rupanya leleki itu adalah seorang guru SMA. Masih muda, umurnya baru 20 tahun.
“Neng, apa kamu baik-baik saja?”, tanya lelaki itu membuyarkan lamunanku karena terpesona olehnya. Akupun segera ambil jarak dengan lelaki yang tak ku kenal ini.
“Ah, iya. Aku baik-baik saja.”, jawabku agak gugup.
“Hujannya lebat ya? Kelihatannya, kamu bukan orang sini ya?”, tanya lelaki botak itu mencoba mengakrabkan diri.
“Iya, memang. Saya dari Jakarta, mas. Lagi ikut study tour yang diadain sekolah saya.”, jawabku.
“Kamu masih SMA? Nama kamu siapa?”, tanyanya lagi.
“Namaku Budi. Budiwati Utami. Mas boleh panggil aku Tami.”, jawabku singkat.
Entah apa sebabnya tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang menarikku. Sementara itu, tiba-tiba pria botak bermata sipit itu memudar dan lama-kelamaan menghilang. Begitupun warung bakso dan sekitarnya ikut menghilang. Sungguh tak masuk akal.
Brugh!
Ah, sakit. Lagi-lagi aku memimpikan momen perjumpaan pertamaku dengan Mahmud. Sudah tiga kali aku memimpikan momen tersebut. Apa mungkin ini hanya efek samping dari rasa kangen yang sudah dua tahun tak terealisasikan? Ah, sejak pertemuan pertamaku itu aku dan Mahmud bertukar nomor telepon dan alamat facebook. kemudian lambat laun hubungan kami semakin dekat dan akhirnya kami berpacaran tiga bulan sesudah pertemuan itu.
Matahari merangkak ke langit biru, sementara sinarnya menembus jendela kaca kamarku. Silau. Kulihat jam dinding kamarku sudah menunjukkan angka tujuh, sedangkan pukul 09.10 WIB aku harus sudah berada di kelas. Hari ini aku tak boleh telat ke kampus lagi, atau miss Yuni akan menendangku keluar dari kelasnya. Aku segera bersiap dan langsung meluncur ke kampus. Sebelumnya, tak kulewatkan sarapan pagiku dengan keluarga yang sudah menjadi ritual setiap pagi kami.
“Mama denger, kamu mau ke Solo, Tami. Memangnya kapan kamu mau kesana?”, tanya mamaku di sela-sela acara breakfast kami.
“Tiga hari lagi, ma. Aku mau ngelewatin ultahku di Solo.”, jawabku sambil melahap roti isi yang mamaku buatkan.
“Kenapa nggak di Jakarta saja? Solo itu jauh, nak.”, tanya mama lagi. Agaknya ia sedikit keberatan dengan rencanaku.
“Aku ada janji sama Mahmud, ma. Kami udah janjian mau ketemu di Monumen Kebangkitan Nasional, tempat pertama kali kita ketemu.”, tukasku menjawab pertanyaan mama.
“Ya sudah. Terserah kamu saja. Mama cuma mau yang terbaik untukmu, nak.”, pugkasnya. Aku hanya tersenyum simpul dan melanjutkan sarapanku.
20 Mei 1993, itulah hari dimana aku lahir ke dunia ini. Bertepatan dengan hari peringatan berdirinya Boedi Oetomo (EYD: Budi Utomo) atau lebih sering kita kenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Itulah sebabnya mama memberiku nama Budiwati Utami. Mungkin, jika aku laki-laki namaku adalah Budi Utomo. Karena hal tersebut pula aku selalu menjadi bahan ejekan teman-temen ketika aku masih duduk di bangku SD. Tepatnya ketika aku duduk di kelas lima, karena saat itu kami diajarkan materi tentang Kebangkitan Nasional pada mata pelajaran sejarah.
Tak disangka miss Yuni tidak masuk hari ini. Tapi masih ada sederet mata kuliah yang sudah menanti hari ini. Menjadi mahasiswa jurusan PBI (Pendidikan Bahasa Indonesia) memang tidak sesulit mereka yang memilih matematika atau exact, akan tetapi cukup membuatku sakit kepala ketika harus menyelesaikan tugas yang berbau “mengarang”. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri, serta orang-orang yang ada di sekitarku bahwa aku akan menjadi seorang guru bahasa Indonesia, kelak. Itu semua sebagai bentuk cintaku pada negriku yang kata Justin Bieber merupakan “some random country” atau negeri antah berantah.
Hari ini tak ada sms ataupun telpon dari Mahmud. Padahal, lusa aku akan berada di Solo untuk menemuinya. Tadi malam, terakhir ia mengirim sms untukku yang isinya ucapan selamat tidur untukku. Setelah itu, sama sekali tak ada kabar lagi darinya. Padahal hari sudah terlalu sore. Mungkinkah ia kehabisan pulsa? Aku tak bisa berhenti bertanya-tanya dalam hati. Tidak basanya ia tak mengirim kabar seharian. Entahlah.
Kelelahan karena seharian beraktivitas melanda tubuhku. Rasanya daki dan keringat sudah betah bermukim di sekujur badanku yang berwarna kuning langsat. Dengan air hangat, kubasahi badanku yang tengah letih. Tak perlu banyak shampoo untuk rambutku, karena rambutku hanya sebatas pundak saja. Seusai mandi, aku segera berpakaian lalu membuka ponselku. Ternyata sebuah pesan singkat dari Mahmud masuk ke inboxku.
“syg, mf bru bsa sms kmu skrg. Aggy apa ni?”, begitulah isinya.
“o. Gpp koq. Biz mndi ni. Oia, lusa aq go to Solo.”, balasku via sms.
“okesip. Aq tunggu. Skrg aq mw nerusin krjaan ni, mklum lgi nmpuuuk. Bye cantik.”, satu sms terakhir darinya. Tak kubalas.
Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali, karena aku harus menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke Solo. Besok merupakan hari ulang tahunku. Rencananya aku akan menginap di hotel atau apapun yang bisa untuk menginap. Aku tak ingin ketinggalan pesawat yang akan mengantarkanku ke Solo. Tak perlu waktu lama untuk berkemas, selanjutnya aku pamitan dengan ibu dan ayahku. Mereka pun tak henti menasehatiku banyak hal. Maklum, perwujudan kasih sayang mereka terhadapku, mungkin.
Di bandara, aku mendapat sms dari Mahmud. Tadi pagi aku mengirim pesan padanya, bahwa aku akan ke Solo hari ini dan tak ada balasann darinya. Mungkin ia masih tidur tadi pagi, dan baru sempat membalas smsku sekarang.
“Hati2 d jln ea. Maf bru bka hape.”, begitu smsnya.
“iya, Gpp.”, balasku singkat.
Tak berapa lama kemudian, akupun terbang ke Solo. Di dalam pesawat, aku tak membuka ponsel sama sekali. Aku hanya tertidur sambil mendengarkan music dari music player yang sengaja ku bawa. Tiga jam kemudian, akupun mendarat di Solo dengan selamat. Tak ada yang menjemputku. Maklum, pacarku sedang sibuk dan tak ada waktu untuk menjemputku. Terpaksa kucari sendiri penginapan untuk melepas penatku. Tentu saja penginapan yang jaraknya dekat dengan Monumen Kebangkitan Nasional. akupun segera tidur setelah mendapatkan tempat penginapan.
Sore pun tiba. Pelan-pelan ku buka mata yang masih sedikit ngantuk. Akupun segera mandi, setelah itu aku berwisata kuliner untuk mengganjal perut. Setelah dirasa cukup kenyang, aku jalan-jalan sebentar. Menikmati sore hari di jalanan kota Solo. Setelah itu, akupun segera pulang ke penginapan untuk rehat.
Esok harinya, aku bersiap untuk menemui Mahmud di Monumen Kebangkitan Nasional. Satu jam sudah, aku sibuk memilih kostum yang cocok untuk bertemu dengannya. Pilihanku jatuh pada kemeja coklat dengan jeans berwarna biru telur asin, serta bando berwarna pink sebagai pemanis. Setelah dirasa cantik, akupun segera meluncur ke tempat yang sudah ditentukan. Kukenakan wedges coklat dan tas hitam. Tak perlu waktu lama untuk sampai ke tempat itu. Aku sampai di Monumen Kebangkitan Nasional tepat lima belas menit sebelum waktu yang di janjikan, yaitu pukul 09.00 WIB. Rasanya aku sudah tak sabar menunggu kedatangannya.
Tak perlu menunggu terlalu lama, seorang lelaki tinggi dengan jeans biru serta kemeja hitam melambaikan tangannya padaku. Benar, ia adalah Mahmud pacarku. Dua tahun tak bertemu, ternyata ia membiarkan rambutnya tumbuh. Sekali lagi aku terpesona olehnya. Ia berada di seberang jalan. Kulihat ia tersenyum dan mulai berjalan kearahku. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Pandangannya beralih pada seorang anak SD yang sedang menyebrang, sedangkan tak jauh darinya ada sebuah mini bus melaju dengan kecepatan tinggi dan siap menghantam tubuh kecil gadis perempuan itu. Tanpa pertimbangan, kulihat Mahmud dengan spontan berlari kearah anak kecil tersebut. Jantungku serasa hendak terlepas dari dadaku. Dengan sigapnya Mahmud meraih anak kecil tersebut dan melarikannya ke tepi jalan. Ibu anak kecil itu teriak histeris. Khawatir akan anaknya yang hampir saja tertabrak mini bus. Pacarku tertenggor mini bus itu, namun tak ada luka serius yang ia alami. Segera ku berlari kearahnya. Ia dikerumuni orang-orang yang mengkhawatirkan anak kecil itu. Setelah menyadari kehadiranku, ia tersenyum dan mendekatiku.
“Kamu nggak apa-apa kan?”, tanyaku dengannada cemas.
“Iya.”, jawabnya sambil tersenyum simpul kepadaku. “Happy Birthday ya, sayang.”, lanjutnya sambil mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya. “Dan juga selamat hari kebangkitan nasional.”, sambungnya. Membuatku spontan melipat mukaku. Kemudian ia tersenyum geli.
“Kamu ini! Pacarnya lagi khawatir setengah mati malah bercanda.”, ujarku dengan nada jengkel. Ia hanya tersenyum geli melihat tingkahku. Kemudian kami menghabiskan waktu dengan gembira, seharian.
Hari ini aku mendapat pelajaran berharga, bahwa aku memiliki seorang pacar yang luar biasa. Tak peduli resiko yang ia ambil, ia menyelamatkan seorang anak kecil yang nyaris tertabrak mini bus. Selain itu, ia adalah seorang guru yang baik. Yang selalu berusaha agar anak didiknya mempunyai bekal untuk terjun ke masyarakat nantinya. Ia mengajar PKn di sebuah SMA di Solo. Berharap agar siswanya memiliki rasa cinta tanah air dan nasionalisme yang tinggi. Kelak, akupun akan menjadi seorang guru bahasa Indonesia. Akupun akan berusaha menjadi seperti Mahmud. Berusaha menanamkan rasa cinta terhadap bahasa pemersatu, yakni bahasa Indonesia. Di masa depan, aku akan mengabdikan diriku sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tugasku sekarang adalah belajar dengan sungguh-sungguh agar aku bisu lulus kuliah tepat wktu. Insya Allah!