Sejarah tentang “Hukum Kodrat” merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan “keadilan yang mutlak” (absolute justice) dan sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam usahanya tersebut.
Sampai sekarang masalah Hukum Kodrat tetap “aktuil” dan tetap belum “terpecahkan”. Dengan berubahnya keadaan masyarakat dan keadaan politik, maka berubahlah pula pengertian tentang Hukum Kodrat.
Menurut sejarah, Hukum Kodrat dipergunakan untuk macam-macam keperluan, antara lain :
Teori-teori Hukum Kodrat dapat dibedakan dalam :
Hukum Kodrat juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala macam “ideology”. Akan tetapi teori Hukum Kodrat yang terpenting dan yang dapat bertahan adalah teori Hukum Kodrat yang diilhami oleh dua macam cita-cita, yaitu :
Jika ajaran Hukum Kodrat dipergunakan untuk membela salah satu dari cita-cita sebagai berikut, maka Hukum Kodrat merupakan satu bagian yang “organis” dan “essensieel” dari satu hiearchie nilai-nilai hukum.
Sebagai dasar dari satu ketertiban internasional Hukum Kodrat dalam waktu yang tak terputus-putus memberi ilham kepada Kaum De Stoa, ilmu hukum dan filsafat hukum romawi, pendeta-pendeta dan gereja-gereja dari abad Pertengahan, ketertiban hukum barat abad pertengahan dan sistem hukum internasional Hugo de Groot.
Pertentangan – pertentangan antara teori-teori kedaulatan internasional secara yuridis dapat dianggap sebagai usaha-usaha merubah asas-asas tertentu Hukum Kodrat yang mengikat semua bangsa, menjadi hukum positif.
Apabila seluruh umat manusia dapat digabungkan dalam satu organisasi hukum maka prinsip-prinsip hukum tertentu yang oleh Hugo de Groot dan oleh filsafat-filsafat lain dinamakan Hukum Kodrat, dan yang pada waktu itu sering dinamakan “general principles of law”, akan menjadi asas-asas dari hukum positif tertinggi yang berasal dari “the international Sovereign”.
A. Zaman Purbakala
Heraclitus dari Ephese, filsuf Yunani yang pertama, mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia ada di bawah pengawasan satu Undang-undang Ketuhanan.
Menurut Archytos dari Tarente, seorang murid dari Phythagoras, perbedaan antara Undang-undang Ketuhanan dan Undang-undang manusia adlah bahwa Undang-undang Ketuhanan tidak tertulis, sedang Undang-undang manusia adalah tertulis.
Kaum Sofis, filsuf-filsuf dari Timur yang selalu berorientasi pada fakta-fakta, tidak mengakui adanya Hukum Kodrat. Untuk kaum sofis yang ada hanya hukum positif, dan menurut hukum positif ini adalah hasil dari kekuasaan dan kekerasan.
Pendirian Socrates tentang Hukum Kodrat ada lain sama sekali dari pendapat kaum Sophis. Menurut Socrates, masalah Hukum Kodrat adalah bahwa kita harus menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya sikap kita tehadap Undang-undang Ketuhana. Kita dapat mentaatinyaatau melanggarnya. Disini masalahnya adalah masalah “etis”, masalah kesusilaan.
Baru dengan Aristoteles masalah Hukum Kodrat mendapat dasar filsafat yang murni. Dalam bukunya “Etica” Aristoteles mengadakan perbedaan antara apa yang adil menurut Undang-undang dan apa yang adil menurut “kodrat”. Hukum Kodrat berlaku di mana-mana dengan cara yang sama dan adalah bebas dari kehendak pendapat dan tindakan manusia. Hukum Kodrat terdiri dari suatu hukum yang tidak tertulis.
Sesudah mashab Aristoteles adalah mashab “De Stoa” yang memperkembangkan suatu pendapat tentang Hukum Kodrat dengan menerima satu pengertian “hukum kesusilaan alami” (natuurlijke zedewet). Menurut ajaran ini ada satu hukum kesusilaan alamiah ketuhanan yang mempunyai kekuasaan untuk memerintahkan yang baik dan menghalangi apa yang bertentangan dengannya. Dalam Hukum Kodratlah letaknya perbedaan antara apa yang baik dan apa yang jahat. Dalam hal ini “kodrat” dan “hukum” dianggap sama.
Idee Hukum Kodrat ini dalam hakekatnya adalah tidak lain dari pada satu “idée” (pengertian). Artinya “idée” tadi adalah bukan hasil dari satu penyelidikan, bukan hasil dari pengalaman-pengalaman yang ada di lapangan hukum, melainkan hanya satu perkiraan berdasarkan akal, yang kebenarannya tidak dibuktikan.
Dari pandangan sebagai tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Kodrat adalah hanya satu “instink” alamiah yang dimiliki baik oleh manusia maupun oleh binatang.
Oleh karena itu, sesungguhnya istilah Hukum Kodrat adalah suatu istilah yang mengandung pertentangan. Perkembangan tentang idée Hukum Kodrat di zaman menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : “Kesalahannya terletak pada penglihatan dalam perkembangan yang dianggap berjalan secara “biologis”, oleh karena kita tidak berhasil untuk memadamkan keinginan kita untuk mencari satu hukum yang kekal dan abadi.
B. Zaman Pertengahan
Pada waktu itu, alam pikiran baru agama Nasrani menguasai semua pikiran ilmiah, agama Nasrani menjadi dasar semua pikiran ilmiah. Pandangan-pandangan filsafat secara bebas dilarang, mazhab-mazhab filsafat ditutup. Filsafat zaman purbakala merupakan lawan berat agama Nasrani. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat Agama Nasrani didorong kebelakang. Termasuk hal yang disampingkan adalah ajaran Hukum Kodrat zaman purbakala, ajaran ini baru pada tahun 1200 mendapat perhatian lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sikap “biologis” yang diambil oleh ajaran Hukum Kodrat klasik.
Manusia di satu pihak merupakan bagian dari alam, yang disebabkan oleh “zondenval”. Hal ini diterangkan oleh Aristoteles, seorang filsuf yang tak beragama, dalam filsafat alamnya dan para sarjana dari abad pertengahan menganggap Aristoteles sebagai seorang “ahli” tentang hal tersebut, yang otoritasnya tidak dapat disangkal. Dengan perantara agama, manusia dapat tertolong dari keadaan sebagai tersebut dan dapat mencapai tujuannya yang sesungguhnya, yaitu penghidupan yang lebih tinggi.
Pada waktu itu hanya terdapat “bekas” dari ajaran Hukum Kodrat dan tidak ditemui karya-karya tentang Hukum Kodrat yang baru. Malah karya-karya tentang Hukum Kodrat yang ditulis pada zaman sebelumnya, pada abad Pertengahan pada hilang. Juga karya Aristoteles yang termashur yang ditulis dalam bagian 5 dari bukunya “Ethica” hilang pula. Hanya penganut-penganut agama Islam dari Timur yang masih menaruh perhatian pada ilmu dan peradaban yang dikembangkan oleh bangsa Yunani dan Romawi, ketika mereka di abad ke-7 menemukannya di biara-biara di Siria.
Di lain pihak ajaran Hukum Kodrat yang didasarkan pada alamiah, yang murni masih dipertahankan oleh beberapa penganut-penganut agama Katolik, antara lain oleh Isidorus dari Seville (636). Menurut Isoderus Hukum Kodrat terdiri dari segala sesuatu yang sama untuk segala bangsa yang di mana-mana dipelihara oleh keinginan-keinginan alami dan bukan oleh satu lembaga manusia.
Mengenai pengertian tentang Hukum Kodrat Gratianus (1150) yang mengumpulkan sumber hukum Gereja, mengikuti pendapat “Isodorus van Seville”. Sementara itu pengertian-pengertian pokok tentang hukum ditambah dengan dua macam pengertian pokok lagi.
Augustinus mengetengahkan pengertian baru yaitu pengertian Hukum Abadi (Lex Aeterna), oleh karena “dosa” (zoned) membuat Hukum Kodrat tidak lagi hukum yang murni. Selain daripada itu, agama Nasrani di samping hukum yang dapat dikenal oleh “rasio” dan Hukum Kodrat, mengenal pula hukum yang diwahyukan oleh Tuhan, sebagai misalnya Undang-undang Musa, undang-undang mana harus diterima dengan begitu saja, tanpa kritik. Berhubung dengan hal tersebut maka timbul pengertian pokok baru tetang hukum yaitu hukum “Ketuhanan” (Lex divine).
Bonaventure mengatakan bahwa Hukum Kodrat menetapkan, mengikat dan mewajibkan. Menurut d’Aquasparta undang-undang adalah satu peraturan atau satu “norma” berdasarkan akal, yang berasal dari “akal” kepada persekutuan. Yang oleh tiap orang dianggap “baik” atau “buruk” itulah Hukum Kodrat. Hal tersebut adalah sebagai satu cahaya yang datangnya dari dalam. Jadi menurut pandnagna sebagai tersebut, maka Hukum Kodrat tak lain daripada apa yang berlaku umum dalam satu persekutuan kesusilaan tertentu. Oleh karena pada abad pertengahan orang-orang hanya mengenal cara berpikir Gereja dan mereka beranggapan bahwa apa yang diajukan oleh Gereja mempunyai nilai yang mutlak, maka pada waktu itu orang beranggapan bahwa apa yang diajuka oleh Gereja itulah yang merupakan kebenaran.
Thomas van Aquino mengadakan perbedaan yang tajam antara empat pengertian hukum (rechtskategorien) tersebut di atas, yaitu hukum abadi (lex aeterna), hukum ketuhanan (lex divina), Hukum Kodrat (lex naturalis), dan hukum positif, yaitu :
Lex Aeterna adalah hukum keseluruhan yang berakar pada jiwa Tuhan. Yang dapat melihat dan dapat menyelami hukum abadi ini adalah hanya Tuhan sendiri, manusia tak dapat mengenalnya. Akan tetapi sebagian kecil dari hukum tersebut, dikenalkan oleh Tuhan kepada manusia dengan perantara wahyu. Hukum ini dinamakan :
Hukum Ketuhanan (Lex divina), misalnya Undang-undang Nabi Musa,
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) adalah bagian dari hukum yang dapat ditemukan oleh manusia dengan perantara akalnya. Lex naturalis adalah bayangan dari hukum abadi dalam akal manusia satu bagian dari hukum abadi yang dikenal oleh manusia, sebagai hal yang terang, hal yang sudah selayaknya, karena terkandung pembawaan manusia. Sebagai makhluk yang berakal, maka manusia semuanya bertindak dengan cara yang sama terhadap Hukum Kodrat. Karena adanya kesatuan dari akal, maka asas-asas pokok adalah sama untuk semua orang dan Hukum Kodrat tak dapat diubah-ubah.
Hukum Positif adalah pelaksanaan dari Hukum Kodrat oleh manusia, berhubungan dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan di dunia. Misalnya menurut undang-undnag kodrat yang asli : Benda adalah milik bersama; dan kemerdekaan itu hendaknya sepenuhnyabagi manusia. Akan tetapi berhubungan dengan keadaan di dunia diadakan “hak milik” dan timbul lembaga “perbudakan”.
Hukum positif yang oleh Thomas dinamakan undang-undang manusia (menschelijke wet) adalah hukum yang ada dan yang berlaku. Menurut Thomas undang-undang adalah tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Dualisme antara alam dan hukum jadi dipecahkan ke jurusan kerohanian. Oleh karena perintah dan larangan termasuk dalam bidangnya. Undang-undang adalah satu pedoman dan ukuran yang mendapat “alasan-alasan” dari “kemauan”. Akal (rede) dituntun oleh kehendak. Undang-undang dapat mengatur dan menunjuk, kehendak dari mereka yang memegang pemerintahan yang menentukan isi dari undang-undang.
Disamping Hukum Kodrat dan hukum positif, untuk keperluan hidup manusia masih ada Hukum Ketuhanan (Goddelijke wet). Hanya dengan hukum ketuhanan ini manusia dapat mencapai tujuan yang terakhir, yaitu kebahagiaan yang abadi. Oleh karena pertimbangan-pertimbangan manusia adalah tidak tetap, sedang mengenai sebab-sebab yang tersimpan di dalam manusia tak dapat memberi pertimbangannya, manusia hanya dapat memberi pertimbangan-pertimbangan tentang perbuatan-perbuatan luar. Undang-undang harus mendidik para warga negara ke arah kebaikan (kebajikan).
Penilaian oleh “akal” Tuhan terhadap segala sesuatu adalah berbeda daripada penilaian oleh akal manusia. Akan tetapi yang harus menjadi ukuran segala sesuatu adalah akal Tuhan. Tidak ada seorangpun yang dapat mengenal hukum abadi, kecuali para nabi-nabi. Segala sesuatu yang adil menurut hukum manusia asalnya dari hukum abadi.
Semua peraturan-peraturan Hukum Kodrat asalnya dari ketentuan, “Bahwa kita harus berbuat baik dan menghindari hal-hal yang buruk”. Menjadi pengaturan kegiatan-kegiatan alami menurut peraturan-peraturan Hukum Kodrat.
Pustaka.
----------------
Sampai sekarang masalah Hukum Kodrat tetap “aktuil” dan tetap belum “terpecahkan”. Dengan berubahnya keadaan masyarakat dan keadaan politik, maka berubahlah pula pengertian tentang Hukum Kodrat.
Menurut sejarah, Hukum Kodrat dipergunakan untuk macam-macam keperluan, antara lain :
- Hukum Kodrat merupakan alat yang utama guna merubah hukum perdata bangsa Romawi yang lama menjadi satu sistem hukum umum dan yang berlaku untuk seluruh dunia.
- Hukum Kodrat dipergunakan sebagai senjata dalam perebutan kekuasaan antara gereja dari abad pertengahan dan kaisar-kaisar Jerman.
- Hukum Kodrat dipergunakan sebagai dasar hukum Internasional dan dasar kemerdekaan perorangan terhadap pemerintah absolute.
- Para hakim Amerika Serikat mempergunakan Hukum Kodrat untuk memberikan penafsiran mengenai Undang-undang Dasar (Constitution).
- Kadang-kadang Hukum Kodrat dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang sedang berkuasa.
Teori-teori Hukum Kodrat dapat dibedakan dalam :
- Teori-teori Hukum Kodrat yang bersifat “otoriter” dan teori-teori Hukum Kodrat yang bersifat “individualistis”.
- Teori-teori yang “maju” (Progressive) dan teori yang “kolot” (conservative).
- Teori-teori yang bersifat “agama” (religious) dan teori-teori yang bersifat “rasionalistis”
- Teori - teori-teori yang bersifat “mutlak” (absolute) dan teori-teori yang bersifat “relatif” .
Hukum Kodrat juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala macam “ideology”. Akan tetapi teori Hukum Kodrat yang terpenting dan yang dapat bertahan adalah teori Hukum Kodrat yang diilhami oleh dua macam cita-cita, yaitu :
- Adanya satu ketertiban umum yang menguasai umat manusia (a universal order governing all men)
- Hak-hak azasi yang tidak dapat dipisahkan dari orang perorangan (the inalienable rights of the individual).
Jika ajaran Hukum Kodrat dipergunakan untuk membela salah satu dari cita-cita sebagai berikut, maka Hukum Kodrat merupakan satu bagian yang “organis” dan “essensieel” dari satu hiearchie nilai-nilai hukum.
Sebagai dasar dari satu ketertiban internasional Hukum Kodrat dalam waktu yang tak terputus-putus memberi ilham kepada Kaum De Stoa, ilmu hukum dan filsafat hukum romawi, pendeta-pendeta dan gereja-gereja dari abad Pertengahan, ketertiban hukum barat abad pertengahan dan sistem hukum internasional Hugo de Groot.
Pertentangan – pertentangan antara teori-teori kedaulatan internasional secara yuridis dapat dianggap sebagai usaha-usaha merubah asas-asas tertentu Hukum Kodrat yang mengikat semua bangsa, menjadi hukum positif.
Apabila seluruh umat manusia dapat digabungkan dalam satu organisasi hukum maka prinsip-prinsip hukum tertentu yang oleh Hugo de Groot dan oleh filsafat-filsafat lain dinamakan Hukum Kodrat, dan yang pada waktu itu sering dinamakan “general principles of law”, akan menjadi asas-asas dari hukum positif tertinggi yang berasal dari “the international Sovereign”.
A. Zaman Purbakala
Heraclitus dari Ephese, filsuf Yunani yang pertama, mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia ada di bawah pengawasan satu Undang-undang Ketuhanan.
Menurut Archytos dari Tarente, seorang murid dari Phythagoras, perbedaan antara Undang-undang Ketuhanan dan Undang-undang manusia adlah bahwa Undang-undang Ketuhanan tidak tertulis, sedang Undang-undang manusia adalah tertulis.
Kaum Sofis, filsuf-filsuf dari Timur yang selalu berorientasi pada fakta-fakta, tidak mengakui adanya Hukum Kodrat. Untuk kaum sofis yang ada hanya hukum positif, dan menurut hukum positif ini adalah hasil dari kekuasaan dan kekerasan.
Pendirian Socrates tentang Hukum Kodrat ada lain sama sekali dari pendapat kaum Sophis. Menurut Socrates, masalah Hukum Kodrat adalah bahwa kita harus menjawab pertanyaan, bagaimana seharusnya sikap kita tehadap Undang-undang Ketuhana. Kita dapat mentaatinyaatau melanggarnya. Disini masalahnya adalah masalah “etis”, masalah kesusilaan.
Baru dengan Aristoteles masalah Hukum Kodrat mendapat dasar filsafat yang murni. Dalam bukunya “Etica” Aristoteles mengadakan perbedaan antara apa yang adil menurut Undang-undang dan apa yang adil menurut “kodrat”. Hukum Kodrat berlaku di mana-mana dengan cara yang sama dan adalah bebas dari kehendak pendapat dan tindakan manusia. Hukum Kodrat terdiri dari suatu hukum yang tidak tertulis.
Sesudah mashab Aristoteles adalah mashab “De Stoa” yang memperkembangkan suatu pendapat tentang Hukum Kodrat dengan menerima satu pengertian “hukum kesusilaan alami” (natuurlijke zedewet). Menurut ajaran ini ada satu hukum kesusilaan alamiah ketuhanan yang mempunyai kekuasaan untuk memerintahkan yang baik dan menghalangi apa yang bertentangan dengannya. Dalam Hukum Kodratlah letaknya perbedaan antara apa yang baik dan apa yang jahat. Dalam hal ini “kodrat” dan “hukum” dianggap sama.
Idee Hukum Kodrat ini dalam hakekatnya adalah tidak lain dari pada satu “idée” (pengertian). Artinya “idée” tadi adalah bukan hasil dari satu penyelidikan, bukan hasil dari pengalaman-pengalaman yang ada di lapangan hukum, melainkan hanya satu perkiraan berdasarkan akal, yang kebenarannya tidak dibuktikan.
Dari pandangan sebagai tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Kodrat adalah hanya satu “instink” alamiah yang dimiliki baik oleh manusia maupun oleh binatang.
Oleh karena itu, sesungguhnya istilah Hukum Kodrat adalah suatu istilah yang mengandung pertentangan. Perkembangan tentang idée Hukum Kodrat di zaman menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : “Kesalahannya terletak pada penglihatan dalam perkembangan yang dianggap berjalan secara “biologis”, oleh karena kita tidak berhasil untuk memadamkan keinginan kita untuk mencari satu hukum yang kekal dan abadi.
B. Zaman Pertengahan
Pada waktu itu, alam pikiran baru agama Nasrani menguasai semua pikiran ilmiah, agama Nasrani menjadi dasar semua pikiran ilmiah. Pandangan-pandangan filsafat secara bebas dilarang, mazhab-mazhab filsafat ditutup. Filsafat zaman purbakala merupakan lawan berat agama Nasrani. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat Agama Nasrani didorong kebelakang. Termasuk hal yang disampingkan adalah ajaran Hukum Kodrat zaman purbakala, ajaran ini baru pada tahun 1200 mendapat perhatian lagi. Hal tersebut disebabkan oleh sikap “biologis” yang diambil oleh ajaran Hukum Kodrat klasik.
Manusia di satu pihak merupakan bagian dari alam, yang disebabkan oleh “zondenval”. Hal ini diterangkan oleh Aristoteles, seorang filsuf yang tak beragama, dalam filsafat alamnya dan para sarjana dari abad pertengahan menganggap Aristoteles sebagai seorang “ahli” tentang hal tersebut, yang otoritasnya tidak dapat disangkal. Dengan perantara agama, manusia dapat tertolong dari keadaan sebagai tersebut dan dapat mencapai tujuannya yang sesungguhnya, yaitu penghidupan yang lebih tinggi.
Pada waktu itu hanya terdapat “bekas” dari ajaran Hukum Kodrat dan tidak ditemui karya-karya tentang Hukum Kodrat yang baru. Malah karya-karya tentang Hukum Kodrat yang ditulis pada zaman sebelumnya, pada abad Pertengahan pada hilang. Juga karya Aristoteles yang termashur yang ditulis dalam bagian 5 dari bukunya “Ethica” hilang pula. Hanya penganut-penganut agama Islam dari Timur yang masih menaruh perhatian pada ilmu dan peradaban yang dikembangkan oleh bangsa Yunani dan Romawi, ketika mereka di abad ke-7 menemukannya di biara-biara di Siria.
Di lain pihak ajaran Hukum Kodrat yang didasarkan pada alamiah, yang murni masih dipertahankan oleh beberapa penganut-penganut agama Katolik, antara lain oleh Isidorus dari Seville (636). Menurut Isoderus Hukum Kodrat terdiri dari segala sesuatu yang sama untuk segala bangsa yang di mana-mana dipelihara oleh keinginan-keinginan alami dan bukan oleh satu lembaga manusia.
Mengenai pengertian tentang Hukum Kodrat Gratianus (1150) yang mengumpulkan sumber hukum Gereja, mengikuti pendapat “Isodorus van Seville”. Sementara itu pengertian-pengertian pokok tentang hukum ditambah dengan dua macam pengertian pokok lagi.
Augustinus mengetengahkan pengertian baru yaitu pengertian Hukum Abadi (Lex Aeterna), oleh karena “dosa” (zoned) membuat Hukum Kodrat tidak lagi hukum yang murni. Selain daripada itu, agama Nasrani di samping hukum yang dapat dikenal oleh “rasio” dan Hukum Kodrat, mengenal pula hukum yang diwahyukan oleh Tuhan, sebagai misalnya Undang-undang Musa, undang-undang mana harus diterima dengan begitu saja, tanpa kritik. Berhubung dengan hal tersebut maka timbul pengertian pokok baru tetang hukum yaitu hukum “Ketuhanan” (Lex divine).
Bonaventure mengatakan bahwa Hukum Kodrat menetapkan, mengikat dan mewajibkan. Menurut d’Aquasparta undang-undang adalah satu peraturan atau satu “norma” berdasarkan akal, yang berasal dari “akal” kepada persekutuan. Yang oleh tiap orang dianggap “baik” atau “buruk” itulah Hukum Kodrat. Hal tersebut adalah sebagai satu cahaya yang datangnya dari dalam. Jadi menurut pandnagna sebagai tersebut, maka Hukum Kodrat tak lain daripada apa yang berlaku umum dalam satu persekutuan kesusilaan tertentu. Oleh karena pada abad pertengahan orang-orang hanya mengenal cara berpikir Gereja dan mereka beranggapan bahwa apa yang diajukan oleh Gereja mempunyai nilai yang mutlak, maka pada waktu itu orang beranggapan bahwa apa yang diajuka oleh Gereja itulah yang merupakan kebenaran.
Thomas van Aquino mengadakan perbedaan yang tajam antara empat pengertian hukum (rechtskategorien) tersebut di atas, yaitu hukum abadi (lex aeterna), hukum ketuhanan (lex divina), Hukum Kodrat (lex naturalis), dan hukum positif, yaitu :
Lex Aeterna adalah hukum keseluruhan yang berakar pada jiwa Tuhan. Yang dapat melihat dan dapat menyelami hukum abadi ini adalah hanya Tuhan sendiri, manusia tak dapat mengenalnya. Akan tetapi sebagian kecil dari hukum tersebut, dikenalkan oleh Tuhan kepada manusia dengan perantara wahyu. Hukum ini dinamakan :
Hukum Ketuhanan (Lex divina), misalnya Undang-undang Nabi Musa,
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) adalah bagian dari hukum yang dapat ditemukan oleh manusia dengan perantara akalnya. Lex naturalis adalah bayangan dari hukum abadi dalam akal manusia satu bagian dari hukum abadi yang dikenal oleh manusia, sebagai hal yang terang, hal yang sudah selayaknya, karena terkandung pembawaan manusia. Sebagai makhluk yang berakal, maka manusia semuanya bertindak dengan cara yang sama terhadap Hukum Kodrat. Karena adanya kesatuan dari akal, maka asas-asas pokok adalah sama untuk semua orang dan Hukum Kodrat tak dapat diubah-ubah.
Hukum Positif adalah pelaksanaan dari Hukum Kodrat oleh manusia, berhubungan dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan di dunia. Misalnya menurut undang-undnag kodrat yang asli : Benda adalah milik bersama; dan kemerdekaan itu hendaknya sepenuhnyabagi manusia. Akan tetapi berhubungan dengan keadaan di dunia diadakan “hak milik” dan timbul lembaga “perbudakan”.
Hukum positif yang oleh Thomas dinamakan undang-undang manusia (menschelijke wet) adalah hukum yang ada dan yang berlaku. Menurut Thomas undang-undang adalah tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Dualisme antara alam dan hukum jadi dipecahkan ke jurusan kerohanian. Oleh karena perintah dan larangan termasuk dalam bidangnya. Undang-undang adalah satu pedoman dan ukuran yang mendapat “alasan-alasan” dari “kemauan”. Akal (rede) dituntun oleh kehendak. Undang-undang dapat mengatur dan menunjuk, kehendak dari mereka yang memegang pemerintahan yang menentukan isi dari undang-undang.
Disamping Hukum Kodrat dan hukum positif, untuk keperluan hidup manusia masih ada Hukum Ketuhanan (Goddelijke wet). Hanya dengan hukum ketuhanan ini manusia dapat mencapai tujuan yang terakhir, yaitu kebahagiaan yang abadi. Oleh karena pertimbangan-pertimbangan manusia adalah tidak tetap, sedang mengenai sebab-sebab yang tersimpan di dalam manusia tak dapat memberi pertimbangannya, manusia hanya dapat memberi pertimbangan-pertimbangan tentang perbuatan-perbuatan luar. Undang-undang harus mendidik para warga negara ke arah kebaikan (kebajikan).
Penilaian oleh “akal” Tuhan terhadap segala sesuatu adalah berbeda daripada penilaian oleh akal manusia. Akan tetapi yang harus menjadi ukuran segala sesuatu adalah akal Tuhan. Tidak ada seorangpun yang dapat mengenal hukum abadi, kecuali para nabi-nabi. Segala sesuatu yang adil menurut hukum manusia asalnya dari hukum abadi.
Semua peraturan-peraturan Hukum Kodrat asalnya dari ketentuan, “Bahwa kita harus berbuat baik dan menghindari hal-hal yang buruk”. Menjadi pengaturan kegiatan-kegiatan alami menurut peraturan-peraturan Hukum Kodrat.
Pustaka.
----------------