Contoh Makalah Manajemen - Manajemen Kurikulum

Contoh Makalah Manajemen - Manajemen Kurikulum


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

“Kurikulum 2006, Pupus Sebelum Berkembang”
Kompas, 7 Mei 2013
Praktik sistem pendidikan nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokratisasi negara. Pascareformasi, semangat memperbaiki sistem pendidikan menguat seiring membesarnya kewenangan daerah di era otonomi. Hasil survei menunjukkan, kebijakan pemerintah bidang pendidikan memperoleh apresiasi cukup tinggi dari para guru yang menjadi responden.
Terkait pelaksanaan kurikulum saat ini, yakni Kurikulum 2006, tujuh dari setiap 10 responden menyatakan puas terhadap pelaksanaannya. Tingkat kepuasan terhadap pelaksanaan Kurikulum 2006 lebih tinggi daripada terhadap Kurikulum 2004 yang lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Di mata responden, Kurikulum 2004 cenderung menyeragamkan kurikulum di seluruh Indonesia dan kurang menghargai keunggulan lokal. Kurikulum 2006, yang merupakan penyempurnaan kurikulum sebelumnya, dinilai menjadi pedoman penyelenggaraan pendidikan yang demokratis.
Namun, kepuasan itu tampak merupakan wacana permukaan. Keterbatasan kemampuan guru menjabarkan struktur kurikulum menyebabkan penerapan Kurikulum 2006 bolong di sejumlah lini. Ada kesenjangan yang tercipta antara konsep ideal visioner dan kemampuan guru menerjemahkan menjadi rencana pengajaran.
Kurikulum 2006 dikenal dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara yuridis, KTSP diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, setidaknya terdapat dua persoalan yang menyebabkan muatan konsep demokratisasi pendidikan dalam Kurikulum 2006 berjalan limbung. Persoalan pertama terkait dengan kesiapan guru sebagai ujung tombak kegiatan pendidikan di sekolah. Kurun tujuh tahun pelaksanaan Kurikulum 2006 tidak serta-merta membuat guru memahami konsep dan isi kurikulum ini secara optimal. Pola penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya kemampuan guru dan sekolah.
Survei memperlihatkan, hanya separuh bagian responden yang memahami isi kurikulum dengan baik. Kelompok ini terutama dari kalangan kepala sekolah dan guru kelas. Separuh lain, terutama dari kelompok guru bidang, cenderung hanya mengetahui garis besarnya. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemahaman guru sertifikasi dan tidak bersertifikasi, dari sekolah favorit berakreditasi A ataupun sekolah berakreditasi B dan C.
Kebanyakan guru merupakan tipe mediocre dengan kemampuan pas-pasan yang cenderung satu arah dan belum kreatif ”menerjemahkan” kurikulum. Padahal, gagasan ideal KTSP mengharapkan lahirnya kebaruan pemikiran yang berbasis pada lokalitas. Dalam KTSP, seorang guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menjalankan pendidikan. Artinya, dengan keterbatasan tingkat pemahaman guru terhadap KTSP, sulit mengharapkan munculnya kreativitas pendidikan dari dalam kelas.
Evaluasi
Persoalan kedua terkait dengan muatan struktur KTSP yang dinilai terlalu padat. Tiga dari empat responden menilai, KTSP terlalu sesak yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan materi yang terlalu luas. Kesukarannya juga dinilai melampaui tingkat perkembangan usia anak.
Bagi siswa SD, ada 10 mata pelajaran, termasuk muatan lokal dan pengembangan diri, dengan porsi hingga 36 jam per minggu. Siswa SMP memiliki 12 mata pelajaran, termasuk muatan lokal serta Teknologi Informasi dan Komunikasi, dengan porsi 38 jam per minggu. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat hanya ada empat subyek sebagai inti kurikulum di SD, yakni bahasa, matematika, ilmu sosial, dan pengetahuan alam.
Beban kurikulum masih ditambah dengan standar evaluasi lulusan melalui mekanisme ujian nasional (UN) yang mengukur mutu sekaligus menentukan kelulusan siswa. UN dipandang cenderung membatasi siswa dan guru yang berminat mengeksplorasi pengetahuan di luar materi yang diujikan. Sebagian besar responden menilai, UN tidak relevan menggambarkan pencapaian pendidikan nasional secara utuh, yang meliputi mental, spiritual, dan intelektual. Keluhan ini terutama disuarakan para guru dari sekolah swasta (66,9 persen), sementara guru di sekolah negeri cenderung gamang menyikapi.
Gamang
Rencana peralihan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013 tak urung menerbitkan tanda tanya bagi sebagian guru responden. Hal ini terkait dengan kegamangan para guru melihat kenyataan mereka sehari-hari yang masih jauh dari kata siap dalam menjalankan praktik pengajaran yang bersifat tematik dalam Kurikulum 2013. Dua dari lima responden tidak yakin bahwa rencana peralihan kurikulum menjadi cara yang tepat meningkatkan mutu pendidikan.
Apalagi, dalam praktiknya, ”nasib” guru sekolah saat ini sangat ditentukan kebijakan dinas pendidikan di setiap daerah. Hal yang paling menjadi pertanyaan para guru adalah, jika KTSP yang dinilai ”baik” belum dievaluasi plus dan minus pelaksanaannya, mengapa sudah buru-buru mau menerapkan kurikulum baru?
“Kurikulum 2013 (Bukan) Pepesan Kosong”       
Kompas, 13Mei 2013
Banyak hal perlu dipersiapkan menjelang dua bulan ”target” pelaksanaan Kurikulum 2013, pada Juli mendatang. Pengetahuan guru terhadap perubahan kurikulum masih di permukaan, pemahaman teknis pengajaran masih kedodoran. Tanpa persiapan memadai, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan kekacauan manajemen di sekolah.
Survei Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 memperlihatkan bahwa para guru SD-SMP belum memiliki pemahaman memadai tentang Kurikulum 2013. Dari tiap 10 responden, tujuh di antaranya belum mengetahui isi Kurikulum 2013. Tiga responden lain mengaku sudah tahu, tetapi hanya garis besarnya. Dari delapan kota lokasi survei, Kota Kupang, NTT, merupakan wilayah dengan tingkat pemahaman kurikulum paling rendah.
Pengetahuan guru yang masih sebatas kulit luar terlihat setidaknya dari tiga aspek. Dalam aspek konseptual, lebih dari separuh responden guru belum mengetahui perbedaan muatan isi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006.
Buta konsep ini merembet pada lemahnya perencanaan. Hampir separuh guru mengaku tidak paham teknis menjabarkan materi Kurikulum 2013 ke dalam rencana pelaksanaan pendidikan (RPP).
Pada akhirnya, pada tataran operasional hampir separuh guru mengaku bingung bagaimana teknis pengajaran pada kurikulum baru, khususnya cara mengajar dengan pendekatan tematik-integratif. Sejumlah pertanyaan mengemuka seperti bagaimana cara mengajar materi IPA, IPS, dan bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan, bagaimana pembagian porsi jam mengajar untuk ketiga materi, dan guru bidang apa yang akan mengampu mata pelajaran integratif itu.
Faktor usia dan ”jam terbang” guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan terhadap kurikulum baru justru makin rendah. Kelompok guru senior, dengan masa mengajar di atas 24 tahun, hanya 22 persen yang paham isi Kurikulum 2013. Sebaliknya, kelompok guru muda dengan masa kerja di bawah delapan tahun memiliki proporsi pemahaman lebih tinggi, yaitu 41 persen.
Orientasi nilai yang dianut guru juga memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap kurikulum. Guru berpikiran moderat cenderung memiliki tingkat pengetahuan lebih baik (35 persen) dibandingkan dengan guru konservatif (31 persen). Ada lebih dari separuh proporsi guru (57,5 persen) dalam survei ini berpola moderat. Guru dalam kategori ini antara lain meyakini kualitas pendidikan ditentukan praktik pendidikan dialogis antara guru dan murid, sementara faktor biaya dan sertifikasi guru bukanlah hal utama. Guru moderat terutama berada dalam rentang usia 36-43 tahun, sementara guru konservatif rata-rata berusia 44-50 tahun.
Wacana media
Rendahnya tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013 tidak terlepas dari minimnya sosialisasi resmi dari pemerintah. Sejak pemerintah menggulirkan uji publik perubahan kurikulum sekitar November 2012, gereget sosialisasi tampak kedodoran. Survei menunjukkan, sosialisasi terhadap guru dilakukan rata-rata satu kali dan cenderung menyasar SD-SMP berakreditasi A dan B di kota-kota utama. Baru dua dari tiap 10 guru mendapat sosialisasi, itu pun dinilai tidak memberikan pemahaman memadai.
Sejauh ini, pemerintah baru menyatakan akan melakukan pelatihan massal bagi guru inti dan instruktur nasional pada Mei ini. Sekitar 46.000 guru inti akan dilatih menjadi ujung tombak sosialisasi dilanjutkan dengan pelatihan massal untuk 713.000 guru. Selain itu, pemerintah akan mencetak buku panduan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi guru dan murid. Distribusinya direncanakan sebelum tahun ajaran baru 2013/2014 dimulai.
Minimnya panduan dan sosialisasi formal menyebabkan media massa yang justru banyak mengambil alih wacana perubahan kurikulum dalam beberapa bulan terakhir. Surat kabar (31,8 persen), televisi (27,5 persen), dan internet (15,8 persen) merupakan sumber informasi utama bagi para guru. Kemudian disusul institusi formal seperti kepala sekolah (10,4 persen) dan kolega guru (7,4 persen). Akibatnya, pengetahuan umum para guru terhadap Kurikulum 2013 bersifat setengah-setengah dan cenderung terombang-ambing wacana.
Dampak penerapan kurikulum baru terhadap institusi sekolah juga dikhawatirkan guru. Terkait kondisi dan status sekolah, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan persoalan bagi SD-SMP negeri (50,2 persen) dibandingkan dengan sekolah swasta (46,2 persen).
Hal ini karena jumlah guru bersertifikasi cenderung lebih banyak di sekolah negeri. Tujuh dari setiap 10 guru SD-SMP negeri sudah memiliki sertifikasi guru, sementara hanya lima dari tiap 10 guru di sekolah swasta yang memiliki sertifikasi. Pengurangan jam pelajaran menyebabkan guru bersertifikasi sulit memenuhi syarat minimal jam mengajar per minggu.
Implikasi
            Ambiguitas antara keyakinan sekaligus kekhawatiran mewarnai opini umum dan sikap guru terhadap implikasi perubahan kurikulum. Pada tataran idealisme, secara umum guru optimistis bahwa Kurikulum 2013 akan meningkatkan kompetensi lulusan peserta didik dari aspek spiritual, intelektual, dan mental. Namun, tataran operasional tampak lebih problematis. Sebagian besar guru (64,8 persen) menganggap bahwa Kurikulum 2013 tidak berbeda dengan Kurikulum 2006 yang bermuatan padat sehingga dikhawatirkan memberatkan anak didik.
Pendekatan tematik integratif juga menjadi sorotan. Separuh bagian guru (51,6 persen) khawatir integrasi materi IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia akan melemahkan nilai nasionalisme dan jati diri kebangsaan anak didik. Sekitar separuh guru juga mengkhawatirkan hal itu akan melemahkan kemampuan kognitif siswa atas pelajaran IPA dan IPS (56,1 persen) di satu sisi dan pemahaman tata bahasa (49,8 persen) di sisi lain. Merujuk pada pengamat pendidikan M Abduhzen, integrasi pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia, potensial menimbulkan kerancuan berpikir peserta didik (Kompas, 12/12/2012).
Pro-kontra yang mewarnai perubahan kurikulum menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya siap dilaksanakan. Kesan sebagai kebijakan yang tergesa dan dipaksakan sulit ditepis. Sudah sepatutnya strategi penerapan Kurikulum 2013 dikaji ulang dengan strategi sosialisasi dan pelatihan yang memadai, demi menghindari Kurikulum 2013 menjadi pepesan kosong.
Indah Surya Wardhani Litbang Kompas
            Dua artikel di atas mungkin sudah sangat jelas menjelaskan kepada Bangsa Indonesia dan Pemerintah tentang bagaimana permasalahan dalam mengelola sistem pendidikan terutama kurikulum.
       Padahal, kurikulum merupakan suatu hal yang sangat vital dari sistem pendidikan karenakurikulum merupakan seperangkat/sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar mengajar. Kurikulum adalah implementasi langsung dari proses belajar mengajar yang dilakukan oleh para ujung tombak pendidikan, guru.
Sebenarnya, di manakah letak akar dari permasalahan ini. Apakah semua ini disebabkan oleh kurangnya analisa dan kajian dalam merumuskan sebuah kurikulum, ataukah ketidakpahaman atas kurikulum yang diterapkan, atau mungkinkah karena ketidakpecusan dalam manajemen kurikulum?
Pada kenyataannya, para guru sebagai implementator kurikulu banyak yang tidak paham tentang manajemen kurikulum. Padahal, manajemen kurikulum mutlak diperlukan oleh seluruh komponen stakeholder pendidikan di Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, “Mencerdaskan segenap bangsa Indonesia”.


B.   RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan manajemen kurikulum?
2. Apa saja fungsi dan komponen kurikulum?
3. Apakah fungsi dan tujuan manajemen kurikulum?
4. Apa yang menjadi prinsip manajemen kurikulum?
5. Bagaimana ruang lingkup manajemen kurikulum?
6. Bagaimana proses manajemen kurikulum?
7. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam manajemen kurikulum?
8. Bagaimana contoh manajemen kurikulum KTSP 2006?

Untuk membaca lebih lanjut mengenai makalah ini silahkan klik link dibawah ini:

Download Link: 

Download Makalah Manajemen Kurikulum


Sekian artikel mengenai Contoh Makalah Manajemen - Manajemen Kurikulum. 













.