ANGGIE DANIA PUTRI
4EA01 / 10206108
EKONOMI UANG DAN BANK
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam keheningan menatap situasi Indonesia saat ini, akan membuat kita gamang. Dengan muram dan sedih kita harus mengatakan, realitas memang masih jauh dari harapan. Dihantam krisis multi dimensi, membuat kita jatuh tersungkur, bahkan seakan berada di titik nadir. Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan tanpa suara (voice of the voiceless) itu terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita pikirkan? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. Oleh karena itu, mari kita mencari tahu siapakah “si miskin” itu?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja, tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not? Tentu juga bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga, tradisi gotong royong, tanah, famili dan lain-lain. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras), namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat subsistensi.
Orang miskin yang aktif bekerja ini dalam terminologi World Bank disebut economically active poor atau pengusaha mikro. Dan meninjau struktur konfigurasi ekonomi Indonesia secara keseluruhan, dari 39,72 juta unit usaha yang ada, sebesar 39,71 juta (99,97%) merupakan usaha ekonomi rakyat atau sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dan bila kita menengok lebih dalam lagi, usaha mikro merupakan mayoritas, sebab berjumlah 98% dari total unit usaha atau 39 juta usaha (Tambunan, 2002).
Pada saat Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) didirikan dengan suatu seremoni bersama Presiden RI di Istana Negara tanggal 10 Maret 2000, maka jika dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan, pengembangan keuangan mikro terasa dibangun atas setidaknya kombinasi tiga maksud: untuk mengenal dan memperkenalkan LKM, membangun network diantara mereka yang terkait dengan LKM, serta mencari dan melaksanakan langkah-langkah berikutnya bagi pengembangan LKM. Ketiga maksud yang mendasari pengembangan Gema PKM merupakan cerminan atas pandangan mengenai keuangan mikro.
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development yaitu pembanguan berbasis masyarakat mengarahkan perkembangan pada kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan, konsep teknologi tepat guna, indigenous technology, indigenous knowledge dan indigenous institutions sebagai akibat kegagalan konsep transfer teknologi, tuntunan masyarakat dunia tentang hak asasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam proses pembangunan, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang merupakan suatu alternatif paradigma pembangunan baru, lembaga swadaya masyarakat, meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendekatan pengembangan masyarakat dalam praksis pembangunan. Pembangunan berbasis masyarakat bertujuan untuk menciptakan masyarakat berdaya dan berbudaya.
BAB II
ISI
2.1 Pengusaha Mikro (Economically Active Poor)
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro (microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan lebih lancar dan lebih besar. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat (Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1.Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
2.Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
Contoh bentuk ini adalah:
Syarat LKM
•Memenuhi syarat Legal-Formal
•Transparan –mudah diawasi
•Mengutungkan bagi masyarakat & LKM sendiri
•Memberikan pelayanan keuangan yang dapat menjangkau masyarakat luas
3.Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin, namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada. Sedangkan bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Sedangkan
2.2 Pengembangan Keuangan Mikro dan Penanggulangan Kemiskinan
Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama didasarkan pada motivasi untuk mempercepat usaha penanggulangan kemiskinan. Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui :
¨ tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi (ketidaktetapan)
¨ mengelola resiko dengan lebih baik
¨ secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset
¨ mengembangkan kegiatan usaha mikronya
¨ menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya
¨ dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik
Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan (mikro), hampir seluruh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri (yang sangat-sangat terbatas) atau pada kelembagaan keuangan informal (rentenir, tengkulak, pelepas uang), yang membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat miskin sekaligus juga memiliki potensi dan peran besar untuk meningkatkan ekonomi keluarga jika mendapat kesempatan, yang sebenaranya juga sekaligus menunjukkan pentingnya peran dan kebutuhan masyarakat miskin terhadap layanan lembaga keuangan yang sesuai dengan karakteristik mereka.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, keuangan mikro pada gilirannya juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap alokasi sumberdaya, promosi pemasaran, dan adopsi teknologi yang lebih baik. Dengan demikian, keuangan mikro membantu peningkatan ekonomi dan pembangunan, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin. Lebih dari pada itu keuangan mikro dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem keuangan secara menyeluruh melalui integrasi pasar keuangan dan peningkatan jangkauan layanan yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional.
2.3 Kegiatan Keuangan Mikro dan Dampaknya terhadap Penanggulangan Kemiskinan
Kegiatan Keuangan Mikro Hasil Yang Diperoleh Dampak pada Kemiskinan
Tabungan/ Simpanan • Peningkatan simpanan
• Pendapatan dari simpanan
• Peningkatan kapasitas investasi
• Kapasitas menggunakan teknologi lebih baik
• Memungkinkan pola konsumsi yang lebih pasti
• Meningkatkan kemampuan menghadapi gejolak eksternal
• Mengurangi kebutuhan meminjam dari rentenir dengan bunga tinggi
• Kemampuan membeli aset produktif
• Mengurangi tekanan untuk menjual aset •Mengurangi kerentanan rumah tangga terhadap resiko dan goncangan eksternal
•Penurunan kerawanan konsumsi keluarga
•Peningkatan pendapatan
•Pengurangan keparahan (severity) kemiskinan
•Pemberdayaan
•Pengurangan pengucilan sosial
Pinjaman • Dapat memanfaatkan peluang investasi yang lebih menguntungkan
• Memungkinkan adopsi teknologi yang lebih baik
• Kemungkinan perluasan kegiatan usaha mikro
• Diversifikasi kegiatan ekonomi
• Memungkinkan pola konsumsi yang lebih pasti
• Menyediakan ruang bagi pengambilan resiko
• Mengurangi ketergantungan pada sumber dana eksternal yang mahal
• Meningkatkan ketahanan terhadap goncangan eksternal
• Memperbaiki tingkat keuntungan investasi
• Mengurangi tekanan untuk menjual aset •Peningkatan pendapatan
•Meningkatan keragaman sumber pendapatan
•Mengurangi kerawanan pendapatan
•Mengurangi kerawanan konsumsi
•Meningkatkan konsumsi rumah tangga
•Peningkatan kemungkinan untuk mendapat pendidikan bagi anak-anak
•Keparahan kemiskinan dikurangi
•Pemberdayaan
•Mengurangi pengucilan sosial
Asuransi dan penjaminan • Peningkatan simpanan pada aset finansial
• Mengurangi resiko dan potensi kerugian
• Mengurangi tekanan untuk menjual aset
• Mengurangi dampak goncangan eksternal
• Meningkatkan investasi • Peningkatan pendapatan
• Mengurangi kerawanan konsumsi
• Peningkatan kemanan dan ketahanan keluarga
Dirangkum dari beberapa publikasi ADB (Asean Development Bank).
Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Namun, disisi yang lain UMKM juga masih dihadapkan pada masalah mendasar yang secara garis besar mencakup: pertama, masih sulitnya akses UMKM pada pasar atas produk-produk yang dihasilkannya, kedua, masih lemahnya pengembangan dan penguatan usaha, serta ketiga, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pembiyaan dari lembaga-lembaga keuangan formal khususnya dari perbankan menyebabkan mereka bergantung pada sumber-sumber informal. Bentuk dari sumber-sumber ini beraneka ragam mulai dari pelepas uang (rentenir) hingga berkembang dalam bentuk unit-unit simpan pinjam, koperasi dan bentuk-bentuk yang lain.
Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga keuangan informal ini lebih mengena di kalangan pelaku UKM karena sifatnya yang lebih fleksibel, misalnya dalam hal persyaratan dan jumlah pinjaman yang tidak seketat persyaratan perbankan maupun keluwesan pada pencairan kredit. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal sesuai dengan kebutuhan pelaku UKM, yang umumnya membutuhkan pembiayaan sesuai skala dan sifat usaha kecil. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan informal ini kemudian disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun sangat disayangkan, bahwa keberadaan LKM belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional sebagaimana lembaga keuangan lainnya seperti perbankan, asuransi, dan perusahaan pembiayaan. Keberadaan perbankan telah diatur secara jelas dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dengan Bank Indonesia sebagai motor penggeraknya, bahkan terdapat penjaminan oleh pemerintah berupa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang semakin mengukuhkan keberadaan perbankan. Sedangkan LKM sendiri belum memiliki payung hukum yang benar-benar menjamin perkembangan LKM itu sendiri. Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih menitikberatkan bentuk-bentuk transfer atau subsidi, padahal dalam rantai kemiskinan tidak selalu harus diatasi dengan cara tersebut. Aspek yang lebih penting adalah memutus mata rantai kemiskinan yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat miskin menjadi produktif, sehingga sangat relevan jika mengupayakan LKM sebagai salah satu pilar sistem keuangan nasional. Lembaga keuangan mikro ini mempunyai peran besar dalam menumbuhkan calon-calon pengusaha ditingkat desa, meningkatkan produktivitas usaha kecil masyarakat pedesaan, serta menunjang program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Perspektif pengembangan LKM akan sangat bergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul.
2.4 Merajut Kebersamaan dan Membangun Kemandirian Bangsa
Dalam konteks menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami, membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan. Salah satunya adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya masyarakat (masyarakat miskin).
Dari pengalaman yang ada, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi yang intensif.
Dan dari refleksi itu, untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui semacam terbentuknya semacam forum ini, niat baik saja tidaklah cukup. Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan. Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari para stakeholder sendiri.
Sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak putuskan hari ini tidak akan berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap akan berusaha untuk survive dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan atau yang tidak, hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat (usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang. Setiap generasi mempunyai pilihannya sendiri. Namun, setiap pilihan merupakan cerminan dari sebuah sikap. Inilah yang akan memperlihatkan apakah kita akan menjadi bangsa yang besar dan mandiri, ataukah memang kita adalah bangsa yang lemah dan hanya menjadi peminta-minta. Inilah tantangan generasi kita sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan. Memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat terutama pada usaha mikro merupakan hal yang sangat strategis untuk mewujudkan broad based development. Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro untuk meningkatkan usahanya. Keberadaan keuangan mikro tidak dapat dipisahkan dari usaha-usaha penanggulangan kemiskinan. Bahkan perhatian dan usaha untuk mengembangkan keuangan mikro terutama didasarkan pada motivasi untuk mempercepat usaha penanggulangan kemiskinan.
Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan. Keuangan mikro pada gilirannya juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap alokasi sumberdaya, promosi pemasaran, dan adopsi teknologi yang lebih baik. Keuangan mikro dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem keuangan melalui integrasi pasar keuangan dan peningkatan jangkauan layanan yang selama ini tidak dapat dilakukan oleh bank konvensional. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan instrumen penting dan efektif bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Keberadaan LKM tidak terlepas dari perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Perspektif pengembangan LKM akan sangat bergantung pada kemampuan LKM memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan unsur kelemahan dan menekan ancaman yang muncul.
Dalam konteks menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) diperlukan sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan. Salah satunya adalah pembentukan Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya dapat dipecahkan sendiri diantara pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan komunikasi intensif.
DAFTAR PUSTAKA
[Artikel - Th. II - No. 2 - April 2003] Pengembangan Keuangan Mikro dan Penanggulangan Kemiskinan. Oleh Dr. Bayu Krisnamurhti – Direktur Pusat Studi Pembangunan IPB dan Anggota Gema PKM Indonesia.
[Artikel - Th. II - No. 6 - September 2003] Merajut Kebersamaan dan Kemandirian Bangsa Melalui Keuangan Mikro Untuk Menanggulangi Kemiskinan dan Menggerakkan Ekonomi Rakyat. Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_6.htm
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_18/artikel_4.htm
http://wecarebengkulu.wordpress.com/2009/06/24/pembangunan-berbasis-masyarakat-mungkinkah-dapat-menjawab-masalah-sosial/