Makalah Al-Muwatta Imam Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal
BAB I
PENDAHULUAN
Hasil kodifikasi Hadis yang dilakukan oleh Muhammad ibn Syihab al Zuhri (51-125 H) dan Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm dianggap sebagai kitab Hadis yang pertama ada dalam sejarah pembukuan Hadis. Namun karya kedua ulama tersebut tidak dapat dijumpai lagi saat sekarang ini. Setelah kedua tokoh tersebut maka bermuncullah sejumlah ulama Hadis yang menghimpun dan mengkodifikasi Hadis, sehingga lahirlah kitab-kitab hadis yang bervariasi jenis dan macamnya dilihat dari sistimatika penyusunannya.
Di antara kitab-kitab Hadis yang merupakan hasil kodifikasi para ulama tersebut yang masih dapat kita jumpai saat ini di antaranya adalah : kitab al Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik ibn Anas dan Musnad Ahmad ibn Hanbal. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dipaparkan materi dan susunan kedua kitab tersebut berikut riwayat hidup penyusunnya serta penilaian ulama terhadap kedua kitab tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Muwatta Imam Malik
Imam Malik termasuk salah seorang ulama besar, baik dalam bidang Hadis maupun fikih. Keilmuannya tentang bidang tersebut didukung lingkungan dan daerah dimana beliau tinggal dan berkembang yaitu di kota Madinah, dimana kota tersebut merupakan salah satu pusat perkembangan ilmu agama dan berikutnya kota tersebut banyak menyimpan beraneka ragam khasanah ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, Imam Malik salah seorang yang mampu mengeksplorasi dirinya menjadi ulama besar dengan segudang karyanya, diantaranya adalah : Risalah ila ibn Wahb Fi al Qadr, Kitab al Nujum, Risalah Fi al Aqdhiyah, Tafsir Gharib al Quran, Risalah Ila al laits b. Sa’d, Risalah Ila abu ghassan, Kitab al Siyar, Kitab al Manasik dan Kitab al Muwaththa’.
B. Riwayat Hidup Imam Malik
Nama lengkap dari Imam Malik adalah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi ‘Amir ibn al Harist ibn Ustman ibn Jutsail ibn Amr ibn al Harist al Asyabiyal Himyari Abu Abd Allah al Madaniy.[1] Beliau lahir mungkin pada tahun 93 H di kota Madinah, keluarganya asli Yaman. Dan di masa Nabi, keluarganya berdiam di kota Madinah. Kakek beliau adalah seorang tabi’in dan buyutnya adalah sahabat Nabi SAW, isterinya bernama Fatimah dan dikaruniai tiga orang putera yaitu : Yahya, Muhammad dan Hammad.[2] Beliau wafat pada tahun 179 H dalam usia delapan puluh tujuh tahun.
Sejak kecil, beliau mendapat pendidikan dari ayahnya yang telaten mengurus puteranya dan suka meneliti kembali pelajarannya. Pernah ibn Malik salah menjawab pertanyaan ayahnya. Ayahnya lalu bilang bahwa ia lantaran banyak membuang waktu dengan bermain burung dara, ternyata itu merupakan pelajaran yang lekat dan berharga bagi ibn Malik, dan sejak itu beliau berkonsenttrasi pada studinya.[3] Kecerdasannya terlihat dari kemampuannya menghafal Alquran sejak usia baligh dan pada usia tujuh belas tahun telah menguasai ilmu-ilmu agama.[4] Dalam belajar ilmu Hadis, beliau tidak berkelana namun berkesempatan belajar pada ulama-ulama terkemuka ketika mereka mengunjungi kota Madinah.[5] Diantara gurunya adalah :
- Ibn Hurmuz (w. 148 H), seorang fakih kota Madinah, Imam Malik berguru kepadanya selama tujuh atau delapan tahun.
- Muhammad ibn Syihab al Zuhri (w. 123 / 124 H), seorang ulama Hadis yang menerima Hadis langsung dari sejumlah sahabat Nabi SAW.
- Nafi’ Maulana ibn Umar (w. 117 / 120 H), seorang hafizd dan imam dari kalangan tabi’in di Madinah. Dan seluruh riwayatnya tidak didapati adanya kesalahan.
- Imam Ja’far al Shadiq ibn Muhammad ibn Ali al Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (80 – 148 H), seorang ulama ahli ilmu dan agama di Madinah.
- Rabi’ah al Ra’yi ibn Abi Abdurrahman (w. 130 / 136 H), seorang ulama yang menguasai ilmu fikih.
- Amir ibn Abd Allah ibn al Zubair ibn al Awwam.
- Na’im ibn Abd Allah al Majmar.
- Zaid ibn Aslam.
- Abd Allah ibn Dinar al Adawi Abu Abd al Rahman al Madini Mawla ibn Umar.[6]
Dengan kesungguhan dan ketekunan Imam Malik dalam menuntut ilmu serta kontribusi para gurunya, Imam malik kemudian muncul sebagai ulama besar khususnya di bidang Hadis di Madinah. Terkait dengan pengumpulan Hadis, Imam Malik dikenal seorang yang teliti, karena beliau menolak perawi yang tidak tsiqat, dan tidak akan meriwayatkan Hadis kecuali yang sahih dan perawinya yang tsiqat.
Kepribadian dan sikap Imam Malik dikenal juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Hal ini dapat kita jelaskan hubungan beliau dengan penguasa politik yang sangat baik, meski tidak memberi sokongan apapun kecuali hanya memberi nasehat yang tulus, adalah tugas seorang terdidik untuk menemui penguasa dan memerintahkan mereka berbuat ma’tuf dan melarang berbuat munkar.[7]
Dan pada suatu saat khalifah Abu Ja’far meminta Imam Malik menulis buku yang dapat disebar luaskan sebagai hukum negara di seluruh dunia Islam, dan akan digunakan untuk mengadili dan memrintah, siapa yang menyalahinya akan dituntut. Namun Imam Malik tak sependapat dengan mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW telah tersebar di seluruh dunia Islam, khususnya di masa khalifah Umar yang biasa mengirim sahabat sebagai guru, orang sudah belajar dari sahabat tersebut dan setiap generasi juga telah belajar dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu sangat memungkinkan dalam banyak kasus terdapat lebih dari satu pilihan untuk mengamalkan ajaran Islam, akibatnya timbul berbagai pola dan kebanyakan mempunyai kedudukan yang sama. Maka jika orang mencoba mengubah dari yang sudah mereka ketahui kepada yang tidak mereka ketahui maka mereka akan menganggap itu adalah bid’ah. Dengan demikian lebih baik membiarkan tiap kota dengan pengetahuan Islamnya sebagaimana adanya. Abu Ja’far menghargai pandangan Imam Malik ini.[8] Bahkan ketika khalifah itu menghendaki agar Imam Malik membacakan kitab itu kepada putera khalifah, Imam Malik menjawab, pengetahuan tidak mendatangi orang, tetapi oranglah yang mendatangi pengetahuan.
Dan pada suatu saat khalifah Abu Ja’far meminta Imam Malik menulis buku yang dapat disebar luaskan sebagai hukum negara di seluruh dunia Islam, dan akan digunakan untuk mengadili dan memrintah, siapa yang menyalahinya akan dituntut. Namun Imam Malik tak sependapat dengan mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW telah tersebar di seluruh dunia Islam, khususnya di masa khalifah Umar yang biasa mengirim sahabat sebagai guru, orang sudah belajar dari sahabat tersebut dan setiap generasi juga telah belajar dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu sangat memungkinkan dalam banyak kasus terdapat lebih dari satu pilihan untuk mengamalkan ajaran Islam, akibatnya timbul berbagai pola dan kebanyakan mempunyai kedudukan yang sama. Maka jika orang mencoba mengubah dari yang sudah mereka ketahui kepada yang tidak mereka ketahui maka mereka akan menganggap itu adalah bid’ah. Dengan demikian lebih baik membiarkan tiap kota dengan pengetahuan Islamnya sebagaimana adanya. Abu Ja’far menghargai pandangan Imam Malik ini.[8] Bahkan ketika khalifah itu menghendaki agar Imam Malik membacakan kitab itu kepada putera khalifah, Imam Malik menjawab, pengetahuan tidak mendatangi orang, tetapi oranglah yang mendatangi pengetahuan.
C. Kitab Al-Muwatta
Kitab ini adalah karya termashur Imam Malik di antara sejumlah karyanya yang ada. Disusunnya kitab ini adalah atas anjuran khalifah Abu Ja’far al Mansyur dari Dinasti Abbasiyah yang bertujuan untuk disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat Muslim dan selanjutnya dijadikan sebagai pedoman hukum negara di seluruh dunia Islam dan juga akan digunakan sebagai acuan bagi para hakim untuk mengadili perkara-perkara yang diajukan kepada mereka serta menjadi pedoman bagi para pejabat pemerintah. Namun Imam Malik menolak tujuan yang diinginkan oleh khalifah tersebut, bahwa agar Al Muwaththa’ digunakan satu rujukan atau satu sumber saja dalam bidang hukum.
Kitab al Muwaththa’ mencatat Hadis Nabi SAW dan fatwa ulama awal di Madinah.[9] Disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar baru kemudian fatwa, sehingga al Muwaththa’ bukanlah murni kitab Hadis tetapi juga mengandung pendapat hukum para sahabat Nabi, tabi’in dan beberapa pakar sesudah itu. Hal ini dapat kita ketahui bahwa Imam Malik sering merujuk kepada pendapat ulama Madinah dalam masalah yang tidak ada dalam Hadis Nabi tentangnya, bahkan juga dalam hal memahami Hadis Nabi serta penerapannya.
Dipakainya istilah al Muwaththa’ pada kitab Imam Malik ini adalah karena kitab tersebut telah diajukan Imam Malik kepada tujuh puluh ahli fikih di Madinah dan ternyata mereka seluruhnya menyetujui dan menyepakatinya.[10] Al Muwaththa’ berarti memudahkan dan membetulkan, maksudnya adalah al Muwaththa’ itu memudahkan bagi penelusuran Hadis dan membetulkan atas berbagai kesalahan yang terjadi, baik pada sisi sanad maupun pada sisi matan.[11]
Menurut ibn al Hibah, Hadis yang diriwayatkan Imam Malik berjumlah seratus ribu Hadis, kemudia Hadis-hadis tersebut beliau seleksi dengan merujuk kesesuaian dengan alquran dan sunnah sehingga tinggal sepuluh ribu Hadis.Dari jumlah itu beliau lakukan seleksi kembali sehingga akhirnya yang dianggap mu’tamad berjumlah lima ratus Hadis.[12] Beberapa kali dilakkukan revisi oleh Imam Malik atas Hadis yang dikumpulkan mengakibatkan kitab ini memiliki lebih dari delapan puluh naskah (versi), lima belas diantaranya yang terkenal adalah :[13]
- Naskah Yahya ibn Yahya al Laytsi al Andalusi, yang mendengar al Muwaththa’ pertama kali dari Abd al Rahman dan selanjutnya Yahya pergi menemui Imam Malik secara langsung sebanyak dua kali tanpa perantara.
- Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al Qasim, seorang hakim di Madinah.
- Naskah Muhammad ibn al Hasan al Syaibani, seorang murid Abu Hanifah dan murid Imam Malik.
D. Penilaian dan Kritik Para Ulama Terhadap Kitab Al-Muwatta
Ada beberapa ulama yang memberikan penilaian dan kritik terhadap penyeleksian Hadis yang dilakukan Imam Malik dalam kitab al Muwaththa’, diantaranya adalah :
Al Hafidz ibn Abd al Bar, seorang ulama abad ke 5 H, dalam penelitiannya terhadap kitab al Muwaththa’ berkesimpulan bahwa semua Hadis yang menggunakan ungkapan balaghani dan perkataannya “ dari al tsiqah “ yang tidak disandarkannya pada seseorang dan terdapat enam puluh Hadis semuanya musnad tanpa melalui jalur Malik. Kemudian terdapat empat Hadis yang tidak dikenal yaitu, pertama, dalam bab al ‘Ama fi al Sahwi (perbuatan ketika kelupaan), kedua, dalam bab Maja’a fi Laylat al Qadr (sesuatu yang dating pada saat malam al Qadr), ketiga, dalam bab al Jami’ dan keempat dalam bab Istimthar bi al Nujum ( meminta hujan dengan bintang) pada bagian terakhir dalam bab Salat.[14]
Ibn Ashir berpendapat bahwa kitab al Muwaththa’ adalah kitab yang bermanfaat, dimana pembagian babnya sebagaimana dalam kitab fikih namun di dalamnya terdapat Hadis yang lemah sekali bahkan munkar. Oleh karena itu al Muwaththa’ tidak diletakkan dalam jajaran kitab al Khamsah akan tetapi posisinya menduduki tangga keenam.[15]
Beberapa tokoh ulama modern berpendapat bahwa Imam Malik bukan ahli Hadis dan kitabnya al Muwaththa’ bukan kitab Hadis akan tetapi adalah kitab fikih serta sekaligus karyanya sebagai kitab fikih. Ulama yang berpendapat itu adalah ustadz Ali Hasan Abd al Qadir dalam kitabnya Nazratun ‘Amatun fi Tarikh al Fiqh. Pendapat tersebut telah dibantah oleh Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al Hadist wa al Muhadditsun. Adapun inti bantahan abu zahwu adalah :
Memang benar al Muwaththa’ karya Imam Malik memuat fikih dan undang-undang, akan tetapi tidak menutup tujuan lain yaitu mengumpulkan Hadis-hadis sahih. Oleh karena itu kitabnya mencakup Hadis Nabawi dan fikih Islami.
Bercampurnya di dalam kitab al Muwaththa’ kandungan yang mencakup sabda nabi SAW, pendapat sahabat dan fatwa tabi’in dan sebagian pendapat Imam Malik tidak dapat dijadikan alasan bahwa itu bukan kitab Hadis, karena muhaddisin yang lain juga menempuh cara yang demikian.[16]
E. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam sejarah pengumpulan Hadis, abad ketiga Hijriyah merupakan periode kelima, yakni periode yang ditandai dengan upaya melakukan periwayatan secara kritis, sehingga para ulama Hadis fokus pada bagaimana mengumpulkan dan memisahkan serta menyaring mana Hadis yang sahih, hasan dan dhaif. Dalam rangka hal itu maka ulama Hadis mula-mula menyusun kitab-kitab Musnad.
Dengan Musnad itu, para ulama Hadis menghimpun Hadis-hadis dengan cara mengurut nama para sahabat Nabi, baik berdasarkan senioritas dalam memeluk Islam maupun berdasarkan faktor nasab atau asal kabilah, daerah maupun dengan menyusun nama-nama sahabat. Selain dengan kitab Musnad ini, mereka juga menulis Hadis Nabi dalam kitab yang dikelompokkan dengan bab, huruf berdasarkan kandungan matannya bukan berdasarkan nama para sahabat.[17] Adapun salah satu kitab Musnad yang terpopuler adalah yang disusun oleh Ahmad ibn Hanbal.
F. Riwayat Hidup Imam Ahmad bin Hanbal
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal al Syaibani al Marwazi al Baghdadi. Ayah beliau adalah seorang mujtahid di kota Basrah, dan ibunya bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik as Syaibani, berada di Marw ketika mengandung Imam Ahmad dan pindah ke Baghdad yang kemudian melahirkan Imam Ahmad pada tanggal 20 rabiul awal 164 H,[18] dan kemudian Imam ahmad meninggal pada tahun 241 H dalam usia 77 tahun.
Beliau mulai belajar Hadis pada tahun 178 H ketika berusia enam belas tahun dan menghafal jutaan Hadis semasa hidupnya. Dalam studinya, lebih banyak di kota Baghdad, meski demikian juga melakukan perjalanan ke berbagai tempat yaitu mula-mula kepada Qadhi Abu Yusuf (w. 189 H), seorang pengikut Imam Abu Hanifah untuk belajar Hadis. Kemudian ia menjadi murid Imam al Syafi’i untuk belajar fikih dan Hadis.
Selanjutnya Imam Ahmad pergi ke Yaman untuk menerima Hadis dari Abd al Razzaq, dan setelah itu melakukan perjalanan untuk belajar hadis dari Bisyr al Mufadhdhal al Raqqasyi, Sufyan ibn ‘Uyainah, Yahya ibn Said al Qaththan, Abd Razzaq ibn Hamman al Shan’ani, Sulaiman ibn Dawud al Thayalasi, Ismail ibn Ulayah, Mu’tamir ibn Sulaiman al Bashri.[19]
Kredibilitas Imam Ahmad di bidang Hadis patut dikagumi, karena selain hafal satu juta Hadis juga sangat handal dalam hal pengetahuan atsar para sahabat dan tabi’in.
Tentang kemuliaan pribadinya, dikemukakan oleh ibn Hibban bahwa beliau adalah seorang ahli fikih, hafidz yang kuat, senantiasa bersikap wara’, setia melakukan ibadah hingga ia diganjar dengan cambukan. Allah memeliharanya dari berbuat bid’ah, dan bahkan Imam Syafi’I menyatakan bahwa dalam hal menetapkan kesahihan dan kedhaifan Hadis, Imam Syafi’I masih bersandar kepada Imam Ahmad, dan lebih lanjut ia menyatakan aku keluar dari Irak dan tidak aku tinggalkan seorang yang lebih utama, lebih wara’, dan lebih taqwa padanya selain dari Ahmad ibn Hanbal.[20]
G. Kitab Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal memuat kurang lebih 40.000 Hadis. Sekitar 10.000 Hadis diantaranya berulang-ulang, jumlah tersebut disaring dari lebih 750.000 Hadis. Musnad ini tidak disusun berdasarkan urutan sanad para sahabat yang meriwayatkan Hadis Nabi. Penyusunan nama sahabat lebih memperhatikan urutan keutamaannya yaitu dimulai dengan empat Khalifah Rasyidin, diikuti enam orang sahabat lainnya penghulu surga kemudian para sahabat yang memeluk Islam pertama kali dan seterusnya, sebagian menurut abjad dan sebagian menurut wilayah atau kabilah.[21]
Jumlah sahabat yang terdapat dalam kitab Musnad ini menurut ibn Katsir sebanyak 904 orang. Jumlah tersebut belum menjangkau keseluruhan sahabat Nabi yang meriwayatkan Hadis, yang menurut ibn Katsir masih terdapat sekitar 200 orang sahabat lainnya yang terlewatkan.[22]
H. Penilaian Ulama Terhadap Musnad Ahmad bin Hanbal
Penilaian yang dilakukan Ahmad ibn Syakir terhadap Musnad ini, bahwa banyak Hadis sahih yang tidak ditemukan dalam Kutub al Sittah. Kesahihan Hadisnya adalah menurut pernyataan Ahmad ibn Hanbal , “ kitab ini kuhimpun dan kupilah dari lebih 750.000 Hadis, jika Muslimin berselisih tentang sebuah Hadis nabi maka jadikanlah kitabku ini sebagai rujukan, jika kamu menemukan yang dicari di sana, itu sudah cukup sebagai hujjah. Kalau tidak maka Hadis yang diperselisihkan itu bukanlah hujjah.[23]
Menurut penelitian as Sa’ati, bahwa Hadis-hadis yang termuat dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal tidak seluruhnya riwayat Ahmad ibn Hanbal tapi merupakan tambahan dari anaknya yaitu Abdullah. Selain itu juga dilakukan oleh Abu Bakar al Qathil yang meriwayatkan Musnad itu dari Abdullah.[24]
Terkait dengan terdapatnya tambahan Hadis selain riwayat Ahmad ibn Hanbal, ulama berbeda pendapat dalam hal status dan kualitas Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Musnad tersebut. Menurut Nawir Yuslem, setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda dalam menentukan kualitas Hadis-hadis yaitu :
Pertama, bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad tersebut dapat dijadikan hujjah, pendapat ini didukung oleh Abu Musa al Madani, ia menyatakan bahwa Ahmad ibn Hanbal sangat hati-hati dalam menerima kebenaran sanad dan matan Hadis.
Kedua, bahwa di dalam kitab Musnad tersebut terdapat Hadis sahih, hasan dan maudhu’. Di dalam al Mawdhuat, Ibn al Jauwzi menyatakan terdapat 19 Hadis maudhu’, sedangkan al Hafidz al Iraqi menambahkan 9 Hadis maudhu’.
Ketiga, bahwa di dalam Musnad tersebut terdapat Hadis sahih dan Hadis dhaif yang dekat pada derajat Hadis hasan. Pendapat ini dianut oleh Abu Abdullah al Dzahabi, Ibn Hajar al Asqalani, Ibn Taymiyah dan al Suyuthi.
Namun demikian kedudukan Musnad Ahmad ibn Hanbal termasuk kedalam kelompok kitab Hadis yang diakui kehujjahannya sebagai sumber ajaran Islam. Jika dilihat dari segi peringkatnya, Musnad Ahmad Ibn Hanbal menempati peringkat kedua, disederajatkan dengan kitab Sunan yang empat, yaitu Sunan Abu dawud, Sunan an Nasa’I, Sunan at Turmudzi dan Sunan Ibn Majjah, Sedangkan peringkat pertama ditempati Shahih al Bukhari dan Shahih al Muslim serta kitab al Muwaththa’ Ibn Malik.[25]
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Al-Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Ahmad ibn Hanbal, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Daftar Pustaka dan Footnote